RUT
PENDAHULUAN
Salah satu kisah jang amat menarik dari Perdjandjian Lama tersedia bagi kita
dalam kitab ketjil tersendiri, jang dinamakan menurut tokoh utamanja, Rut. Semua
sependapat, bahwa kisah tersebut merupakan suatu permata sni tjerita Israil,
dengan pelukisan watak jang tadjam, penggambaran dan pertjakapan jang hidup,
ketegangan dramatis, tanpa mendjadi ketegangan jang ber-lebih2an dan sensasi.
Dalam Kitab Sutji Hibrani kitab ketjil tersebut termasuk dalam apa jang disebut
“Ketubim” dan mendjadi bagian dari kelima “Megillot”. Jakni kitab2 ketjil, jang
dibatjakan selama ibadah pada perajaan2 besar Israil: Madah Agung pada perajaan
Paska, Lagu Ratap pada peringatan tahunan runtuhnja Jerusjalem, Pengchotbah pada
perajaan pondok daun2, Ester pada perajan Purim, sedang Rut dichususkan untuk
perajaan Pentekosta, perajaan panen, karena didalamnja diutarakan pula panen
djelai. Tetapi dalam terdjemahan2 Junani dan Latin kuno kitab Rut ditempatkan
sedudah kitab para Hakim, dan pengaran2 kono pun menjebutkan, bahwa memang
itulah tempatnja. Makanja banjak ahli memandang kitab ketjil itu sebagai
tambahan ketiga pada kitab para Hakim. Namun tempat aselinja sukarlah ditentukan
dengan pasti. Dalam terdjemahan2 kuno kitab itu dapat digandingkan dengan kitab
para Hakim, karena kisahnja berlangsung didjaman para Hakim (1, 1); sedangkan
sebaliknja dalam daftar Hibrani kitab2 sutji mungkin digolongkan dalam Ketubim
untuk keperluan ibadah.
Kisahnja agak sederhana susunannja. Suatu keluarga ketjil di Juda terpaksa
mengungsi karena kelaparan kewilajah Moab. Dua anaknja, jakni Mahlon dan Kiljon,
memperisteri dua wanita Moab, ‘Orpa dan Rut. Tetapi dalam perantauan jang lama
itu keluarga tersebut mendapat pertjobaan jang berat. Bapak keluarga, Elimelek,
meninggal dan djuga kedua anaknja. Demikianlah djanda Na’omi tertinggal bersama
dengan kedua menantu perempuannja jang tak beranak. Beberapa waktu kemudian ia
mau pulang ketanahairnja. Kedua menantu perempuannja ingin ikut sertanja. Tetapi
Na’omi mendesak, supaja mereka kembali sadja. ‘Orpa menjetudjuinja, tetapi Rut
bersikeras hati. Setibanja di Betlehem, Rut berusaha mentjari penghidupannja
dnegan memungut sisa2 gandum diladang, seperti orang2 miskin lainnja. Kebetulan
ia berada diladang seorang bernama Bo’az. Bo’az sudah mendengan tentang
kelakuang Rut jang terpudji itu dan oleh karenanja memperlakukannja dengan
sangat murah hati. Ternjatalah Bo’as itu masih sanak Na’omi. Adapun Na’omi mau
mendjual sebidang tanah, milik suaminja jang telah meninggal, tetapi menurut
undang2 milik-pusaka tersebut harus tetap tinggal dikalangan kaum kerabat. Dari
sebab itu Rut didorongnja, untuk mengusahakan, supaja Bo’az membeli tanah itu
dan mengawini Rut, sehingga Elimelek mendapat keturunan dan tanah itu tetap
mendjadi milik lekuarganja sendiri. Sebab anak jang mungkin akan dilahirkan dari
Bo’az dan Rut menurut hukum mendjadi tjutju Elimelek. Usaha ini berhasil. Bo’az
tidak enggan menerima usul itu. Tetapi masih ada sanak lain, jang lebih berhak
atasnja. Didalam himpunan rakjat dipintugerbang kota soal itu dikemukakan oleh
Bo’az. Sanak tadi tidak mau mengawini Rut dan oleh karenanja melepaskan hak2nja
demi untuk Bo’az. Maka Bo’az mengawini Rut dan dari perkawinan itu lahirlah
mojang radja Dawud.
Dalam kisah itu Bo’az tampil sebagai “penebus” dan oleh karenanja ia mengawini
Rut. Fungsi penebus itu agak luas dan berdasarkan hubungan darah. Jang paling
dekat hubungan darahnja harus “menebus’sanaknja, entah ia djatuh dalam
perbudakan, entah ia terantjam kisas, hal mana lalu ditebus, entah milik kerabat
itu hendak djatuh kedalam tangan oralng lain dan oleh karenanja harus dibeli
oleh si “penebus”. Adapun istilah “penebus” ini djuga diambil-alih dalam bidang
keigamaan; maknanja Jahwe “menebus” umatNja dari perbudakan dan dari musuh2nja.
Fungsi “penebus” tidak mengandung kewadjiban untuk kawin, sehingga perkawinan
antara Bo’az dan Rut tidak merupakan menggantikan-tikar, seperti jang tertera
dalam Taurat (Ul. 25, 5-10). Diluar kitab Rut tidak terdapat tjontoh satupun
dari perkawinan sedemikian itu didalam Perdjandjian Lama. Mungkinlah kita bersua
dengan adat lama, agaknja adat setempat, jang tidak sampai dimasukkan dalam
kodifikasi resmi perundangan Israil. Dari kitab Rut itu sendiri njatalah, bahwa
Bo’az tidak begitu wadjib melainkan berhak, demi fungsinja sebagai penebus,
untuk mengawini Rut.
Apa jang mendjadi maksud dan pokok adjaran kitab Rut, sudah djelaslah pada
pembatjaan selintas-pintas. Kitab rut adalah madah pudjian atas “kesetiaan kaum
kerabat” baik dari pihak Rut maupun dari pihak Bo’az. Dan dikalangan orang2
Israil jang mursjid – Rut sudah dimasukkan kedalam umat Jahwe – hal itu
didasarkan atas kejakinan agama. Dalam seluruh kitab tersebut Jahwe membimbing
kedjadian2 dan djuga perkawinan antara Bo’az dan Rut. Kesetiaan aum kerabat atas
dasar keigamaan itu merupakan adjaran tetap kitab tersebut dan dalam diri Rut
dipudjilah Ibu Al Masih (Mt. 1, 5) sebagai wanita jang dalam rasa keigamaannja
dan mursjid, kendati asal kafirnja. Ada jang menjelipkan maksud2 lain pada kitab
ketjil itu. Beberapa ahli mengemukakan adanja ketjondongan politis didalamnja,
se-akan2 kisah itu hendak menjundjukkan, bahwa Dawud mempunjai hak atas daerah
Efraim demi asal-usulnja. Hanjalah sajangnja, menurut kitab itu Elimelek
bukannja dari suku Efraim melainkan dari marga Efrata di Juda. Ada pula ahli2
lain menganggap kitab ketjil itu suatu polemik lawan rigorisme dan eksklusivisme
Esra, jang bertindak keras terhadap perkawinan2 tjampuran (Esr. 9; 10; Neh. 13,
1-3. 23-27) dan menutup rapat pintu masuk Israil terhadap orang2 kafir. Kisah
Rut, kata mereka, mewakili pendirian lain jang tidak begitu rigoristis dan lebih
universalistis. Tanpa memilih pendirian terntentu, sangat sulitlah untuk
menemukan kembali ketjondongan2 sedemikian itu dalam kitab tersebut. Achirnja
kitab itu hanjalah suatu pudjian atas kebadjikan Rut dan Bo’az; maksud besar
lain tidak perlu di-hubung2kan dengan kisah jang amat sederhana itu. Bahwa
menurut kenjataannja kitab itu merupakan pudjian atas wangsa Dawud, kiranja tak
perlu diartikan, bahwa itulah jang dimaksudkan; meskipun al itu mungkin mendjadi
sebabnja kitab itu tetap terpelihara, dan utnuk kegunaan itu mungkin djuga
silsilah Dawud ditambahkan kepada kitab itu.
Bila tepatnja kitab itu ditulis, tidak mudahlah ditentukan . mereka jang
menganggapnja sebagai polemik lawan Esra, dengan sendirinja menempeatkannja pada
djaman sesudah pembuangan, tidak lama sebelum ataupun didalam masa Esra-Nehemia.
Tambahan pula mereka mengemukakaan bahasa, jang dipakai dalam kitab itu, jaitu
bahasa Hibrani dari djaman belakangan jang sudah mendapat pengaruh kuat dari
bahasa Aram. Tetapi semua argumen itu tidak dapat menjakinkan. Diatas sudh
disebutkan, bahwa polemik itu tidak ada. Dan mengenai bahasanja, memang bahasa
jang dipengaruhi bahasa Aram, tetapi didjaman radja2pun bahasa Aram sudah
digunakan dan mempunjai pengaruhnja. Tambahan lagi hendaknja diingat, bahwa
dalam peredaran djaman kitab itu disesuaikan dnegna bahasa jang berlaku.
Beberapa ahli beranggapan, bahwa bahasa Hibrani kitab Rut tidak kalah dengan
bahasa Hibrani kitab2 Sjemuel dan Radja2. sebaliknjapun kitab itu sendiri tidak
memberikan banjak petundjuk, untuk menanggalkannja dengan teliti. Dari 1,1
njatalah, bahwa djaman para Hakim sudah lewat. Tjatatan 4, 7 – djika ini bukan
tambahan – kemudian – mengandaikan, bahwa kisah itu terdjadi djauh kemudin
daripada masa kedjadiannja. Karena djaman para Hakim itu berlangsung hingga ke
Sjaul (sekitar th. 1030), maka tentulah kitab itu ditulis sesudahnja. Silsilah
jang menguntji kitab itu sampai kepada Dawud. Djadi, se-tidak2nja dalam
bentuknja jang sekarang ini, kitab itu tertanggal sesudah Dawud. Tetapi lalu
tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kitab itu tjaja silsilah itu diteruskan.
Tokoh Dawud kan tjukup besar, untuk merupakan kuntjinja. Karena kitab itu
njatanja tidak mengenal undang Deuteromium 23, 3, jang melarang orang2 Moab
dimasukkan kedalam djemaah Israil, dan lagi perkawinan Bo’az tidak persis
tjotjok dengan undang2 tentang menggantikan tikar, kiranja orang dapat
memutuskan, bahwa kitab itu terdjadi sebelum undang2 tadi berlaku umum, djadi
sebelum penerimaan umum Kitab Ulangtutur dalam th. 621. djadi dapat dikata,
sangat boleh djadi kitab Rut itu ditulis antara th. 900 dan 600. Menentukan
lebih landjut, tidak dapat, tanpa djatuh dalam hipotese2 jang agak mengawang.
Itupun berlaku pula tentang pengarang kitab ketjil tersebut. Tradisi Jahudi
menjebut2 Sjemuel. Tetapi hal ini terlalu didasarkan atas pemikiran theologis,
untuk dipandang sebagai keterangan jang boleh dipertjaja. Nama2 lainpun tak
dapat dikemukakan. Tentang sipengarang hanja dapat dikata, bahwa agaknja ia
bukan dari kalangan levita atau imam, sebab tidak nampak sedikitpun perhatian
chas kepada hal2, jang mendjadi perhatian kalangan2 tersebut. Hanja dapat
dikatakan bahwa si penulis adalah orang jang dalam rasa keigamaannja dan dari
kalangan awam.
Persoalan terachir ialah apa kitab Rut itu menjadjikan suatu chajalan sastera
belaka ataukah peristiwa sedjarah. Pada dirinja chajalan sastera dalam Kitab
Sutji dapat diterima, seperti misalnja kitab Jonas. Tetapi ini harus dibuktikan
dalam tiap2 hal tersendiri. Beberapa ahli suka menamakan kitab Rut itu sebuah
“novel” dengan maksud untuk pembinaan. Tetapi ini harus dibuktikan.
Dikemukakanlah tjorak simbolis nama2, jang terdapat dalam kitab itu (Mahlon,
Kiljon, Na’omi, ‘Orpa, Rut dan Bo’az) dan jang agaknja didasarkan atas
kedjadian2 jang dikisahkan. Simbolik ini memang sangat mungkin, tetapi
djanganlah lalu ditraik kesimpulan2 jang terlalu djauh daripadanja. Boleh djadi
didalam tradisi, atau mungkin djuga oleh si pengarang kisah sendiri, nama2 tadi
diberikan kepada orang2 jang sungguh pernah ada atas dasar hal-ihwal jang njata.
Kenjataan bahwa Dawud (I Sjem. 22, 3-4) ada hubungan2nja dengan Moab,
didjelaskan dengan hubungan kerabat, seperti jang dikemukakan dalam kitab Rut.
Dari sebab itu tentulah ada dasar sedjarahnja bagi kisah itu. Sampai kemana
perintjian2nja dan bagian2 ketjilnja itu historis adanja, sukarlah ditentukan
dengan keterangan2 jang tersedia.