Resource > Kemuliaan Salib > 
BAB VI. "ALLAHKU, ALLAHKU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?" 

(Mat 27:46; Mr 15:34)

Hanya inilah dari tujuh kata-kata diatas salib yang dicatat baik oleh Markus, maupun Matius; kata-kata yang sama terdapat dalam kalimat-kalimat pembuka dari Mazm 22, namun kedua penginjil itu tidak menyinggungnya sebagai suatu perwujudan ramalan Sesudah kesengsaraan jasmani dan rohaniah selama enam jam diatas salib jeritan ini mencetus dari bibir Juruselamat kita. UcapanNya yang pertama ialah: "Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" suatu doa untuk pengampunan. UcapanNya yang kedua adalah suatu janji akan perdamaian: "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku didalam Firdaus." UcapanNya yang ketiga adalah kata-kata lemah lembut kepada ibuNya yang menunjukkan rasa prihatin: "Ibu, inilah anakmu! ... "Inilah ibumu!" Kemudian hari sangat gelap. Dan sebelum ketiga ucapan terakhir berturut-turut cepat dikeluarkan: - "Aku haus" "Sudah selesai," "Ya Bapa; kedalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu," - kedengaranlah jeritan pedih. "AllahKu, AllahKu, mengapa ...?(Luk 23:34,43; Joh 19:26-27,28,30; Luk 23:46)

Bahwa ada sesuatu yang mengandung kekuatan dan perasaan tunggal dalam kata-kata Yesus diatas salib ini adalah jelas dari kenyataan, bahwa kedua penginjil itu dengan saksama, dan hanya dalam hal ini, mengulangi kata-kata yang dipergunakan Tuhan Yesus: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Lagi pula dimana-manapun dalam Alkitab kita tidak menemukan ulangan kata-kata ini kecuali dalam Mazm 22 yakni Mazmur Messias. Jeritan itu menyatakan penderitaan yang belum pernah dan tidak akan pernah dialami lagi di dunia ini.

Ada suatu tradisi, yang disinggung oleh Ludolf orang Carthus, yang telah dimulai sejak abad keempat belas, bahwa Tuhan Yesus, ketika Dia berada diatas kayu salib, mulai mengulangi kata-kata dari Mazm 22 dan melanjutkan perenunganNya sampai ayat keenam dari Mazm 31: "Kedalam tanganMu aku percayakan rohku." Disamping khayalan ini, tidak dapat diragukan, bahwa dalam Kitab Mazmur -- lebih dari pada didalam buku manapun -- yang selalu ada dalam hati Kristus dan sering juga pada bibirNya, kita menemukan suatu tafsiran dari hidupNya dan kesadaran MessiasNya. Memang adalah benar bahwa dalam Mazm 22 ini ada penuturan mengenai penyaliban dalam bahasa yang membuat orang bertanya apakah ini sejarah atau ramalan?

Tetapi bagi orang yang percaya jeritan ini adalah suatu pembukaan tabir dari penderitaan dan siksaan pedih yang diderita Juruselamat kita dan suatu bukti dari kasihNya yang tak terhingga itu terhadap orang-orang berdosa. Ini menantang kita, agar supaya kita kuat untuk memahami "betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, ... ia melampaui segala pengetahuan.(Ef 3:18-19)

Jika salib itu adalah kebenaran pokok dari Perjanjian Baru. maka jeritan ini adalah jantung dari kebenaran ini serta pengungkapannya yang lebih dalam. Inilah saat kesucian yang paling luhur bagi pembaca yang bersungguh-sungguh dalam membaca tentang kesengsaraan itu.

Dengan tepat Spurgeon berkata: "Kita harus meletakkan tekanan pada tiap kata dari ucapan yang paling sedih dari segala ucapan: Mengapa? Apakah sebabnya dari kenyataan yang aneh, bahwa Allah meninggalkan AnakNya sendiri pada saat yang begitu buruk? PadaNya tidak terdapat sebab, tetapi kenapa Dia ditinggalkan? Engkau. Aku dapat mengerti kenapa Yudas pengkhianat dan Petrus penakut itu pergi, tetapi Engkau, AllahKu, kawanKu yang setia, bagaimanakah Engkau bisa meninggalkan Aku? Inilah yang paling buruk, lebih buruk daripada segala-galanya. Nyala yang paling dahsyat dari neraka adalah pengasingan roh manusia dari Allah Meninggalkan: jika Engkau menghajar Aku, mungkin Aku akan memikulnya karena wajahMu akan bersinar; tetapi untuk meninggalkan Aku sama sekali, oh! kenapakah demikian? Aku: Anak tak bersalah, penurut dan menderita, kenapa Engkau meninggalkan Aku mati? Yesus Kristus ditinggalkan, karena dosa kita telah memisahkan kita dari Allah kita."

Untuk dapat memahami apa artinya penderitaan jasmani, rohani dan pikiran dalam jeritan kesengsaraan itu, kita harus membayangkan kembali keadaan-keadaannya. Penyaliban adalah siksaan yang paling mengerikan yang di reka dunia lama dan merupakan hukuman yang paling benar dari hukum pidana Romawi. Hukuman ini mencakup kesengsaraan jasmani dan penghinaan. Kesengsaraan ini diakibatkan sikap badan yang tidak biasa, rasa sakit yang berdenyut-denyut dari tangan dan kaki yang ditusuk dengan paku, kehausan karena demam dan kehabisan tenaga yang berangsur-angsur dan kematian. Penghinaan ini dua kali lebih terasa lagi bagi orang Yahudi, karena salib merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengandung ciri kutuk Allah (Gal 3:13; Ul 21:23). Semuanya ini ditambah lagi dengan perbedaan yang sangat mencolok antara kesucian Kristus, kenyataan bahwa Dia tidak salah dan martabat ke tuhanan dengan cemoohan kasar, ejekan dan penghinaan yang dilontarkan kepada korban yang tak berdaya itu oleh mereka yang berdiri dibawah kayu salib, bahkan juga oleh mereka yang digantung disampingNya (Mat 24:44; Luk 23:39). Kepala-kepala imamlah yang menghasut mengolok-olokkan Dia: "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diriNya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! ... Ia menaruh harapanNya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia.(Mat 27:42-43) Dan sebagai jawaban turunlah kesuraman kegelapan gaib yang meliputi tempat seluruhnya dari jam 12 sampai jam 3. Sesudah kegelapan selama tiga jam ini berteriaklah Yesus dengan suara keras dari kegelapan sunyi dari kesengsaraanNya: "AllahKu, AllahKu, mengapa!!...?"

Melanthon dan Kaum Reformasi yang lain menerangkan jeritan ini sebagai bukti bahwa Kristus mengalami dalam roh insaniNya kemurkaan ilahi terhadap dosa. Ada yang mengatakan, bahwa ini merupakan petunjuk, bahwa rencana-rencana politikNya telah gagal, bahwa itu adalah jeritan seorang patriot yang sungguh kecewa. Ada lagi yang mengatakan, termasuk Skhleiermakher, bahwa kata-kata itu merupakan kalimat pembuka dari mazmur ratapan dengan kesimpulannya yang luhur, yang diucapkan, Yesus sebagai bukti dari kemessiasanNya. Meyer mengatakan bahwa oleh karena Dia merasa sengsara ditolak manusia, "kesadaranNya akan kesatuan dengan Allah pada saat itu lenyap." Olhausen bicara tentang, "pengasingan sementara yang objektif dan aktual oleh Allah." Dr Philip Skhaff melihat dalam pengalaman Kristus ini sebagai ulangan yang diperhebat dari kesengsaraan di Gethsemane dan puncak dari kesengsaraan yang dideritaNya untuk umat manusia: "Itu adalah pengalaman manusia yang ilahi dari dosa dan maut dalam hubungan rohaniah dan arti universal untuk umat manusia oleh seorang yang betul-betul suci dan tidak bercela, suatu kesengsaraan jasmaniah dan rohaniah yang tak dapat dilukiskan, dengan prospek langsung dari, dan dalam pergumulan dengan maut sebagai upah dosa dan puncak dari segala kesengsaraan manusia, darimana Juruselamat bebas, tetapi yang Dia dengan sukarela terima karena kasih yang tak terhingga untuk kepentingan umat manusia."

Tentu bukanlah karena Yesus Kristus takut mati atau tidak mempunyai keberanian moril untuk menghadapi soal ini. Bahkan kafir seperti Jean Jacques Rousseau lebih tahu dan berkata: "Apabila Socrates mati sebagai seorang filsuf, Yesus dari Nazaret mati sebagai Allah."

Tanpa kepercayaan bahwa Tuhan Yesus memikul dosa kita didalam tubuhNya di kayu salib, tanpa penerimaan unsur perwakilan dalam kematianNya, jeritan diatas salib itu tidak akan dapat dijelaskan. Tetapi bila Yesus adalah Anak Domba Allah dan Allah menimpakan kepadaNya kesalahan kita sekalian, maka kita akan mempunyai kunci untuk membuka rahasia dari penderitaan semacam itu.

Jika kematian Kristus hanyalah kematian seorang syahid besar untuk kebenaran, maka jeritan itu memang anehlah tidak pada tempatnya. Tetapi kalau Dia mati -- "Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar" -- jika Dia "menjadi dosa karena kita;(1Pet 3:18; 2Kor 5:21) maka dosa kita sendiri dan dosa seluruh dunia merenggutkan dari Juruselamat kita jeritan siksaan dan kesunyian. Apakah penebusan itu? Itu adalah kepuasan yang diberikan kepada kebenaran Allah karena dosa manusia oleh penderitaan hukuman pengganti dari AnakNya yang dikasihi.

Kalau kita tidak menyukai perumusan Theologis demikian, kita bisa juga menemukan kebenaran besar yang dinyatakan dalam liturgi-liturgi Gereja yang dipakai pada Perjamuan Kudus, apabila kita memperingati kematianNya. Apakah yang lebih indah daripada penafsiran Gereja Reformasi Belanda: "Kita percaya bahwa Dia menderita dengan pemakuan badanNya yang dikuruniai itu diatas kayu salib sehingga dengan demikian Dia dapat membubuhiNya dengan tulisan dosa kita; bahwa Dia juga memikul kutukan diri kita sehingga Dia dapat melimpahkan rahmat pada kita. Dan merendahkan diriNya pada nista yang paling rendah dan siksaan mereka, baik jasmani maupun rohani diatas kayu salib ketika Dia menjerit dengan suara keras: "AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" agar supaya kita dapat diterima Allah dan tidak pernah akan ditinggalkanNya."

"Tuhan telah menimpahkan kepadanya kesalahan kita sekalian" -- kesalahan, noda, luka, penyesalan. Segala kegagalan kita, kekurangan, kejatuhan, fitnah, kesalahan, pelanggaran, utang; dosa; kebodohan, kecemaran, ketidakbenaran Kita tidak boleh takut menghadapi segala yang tercakup dalam kenyataan ini; Kita tidak akan pernah rasa hancur, congkak kita sampai kita menyadari bahwa kita hanya dapat "diperdamaikan dengan Allah" karena "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita.(Yes 53:6; 2Kor 5:21; Gal 3:13) Bukan hanya karena dosa kita, tetapi karena dosa seluruh dunia Dia ditinggalkan Allah. Segala dosa dan keaiban dari abad ke abad dalam arti tertentu melalui Dia, segala gelombang dan ombaknya. Nafsu-nafsu kasar dan kegelapan dari bangsa-bangsa purbakala sampai ke zaman prasejarah; kenakalan yang berlarut-larut dari bangsa Israel, keangkuhan Ninewe dan Tirus; kekejaman Mesir dan Babylon; ketidakadilan masyarakat; kejahatan-kejahatan pasar, rumah pelacuran dan medan peperangan; pengkhianatan Yudas dan penyangkalan Petrus dan semua yang pernah meninggalkan Yesus; dosa Pilatus, Herodes dan Kayafas, dosa dari umat manusia masa silam, masa sekarang dan masa datang. Entah bagaimana dengan jalan yang penuh rahasia semuanya ini didesakkan pada jiwaNya yang mengakibatkan jeritan siksaan itu. Jiwa yang justru menjadi tempat kediaman Allah disiksa dalam taman Getsemane dan di Golgota oleh hantu yang dahsyat dari suatu dunia yang penuh dosa. Begitu gelap, begitu mutlak, begitu nyata siksaan dari salib itu. Penderitaan dari jiwa Kristus adalah jiwa dari penderitaanNya.

Kematian dan penderitaan Kristus adalah lebih daripada penderitaan saja; penderitaan itu adalah suatu usaha penebusan. Pada berbagai taraf dalam sejarah Gereja -- tidak hanya Gereja Katholik, melainkan juga Protestan -- tekanan yang berlebih-lebihan selalu diletakkan pada penderitaan Kristus. Tetapi ini bukanlah soal apa yang Dia derita tetapi apa yang Dia perbuat. Penderitaan Kristus adalah begitu ilahi karena Dia merubahnya menjadi suatu perbuatan besar, Itu adalah suatu penderitaan yang diterima dan kemudian dirubah oleh ketaatan suci dalam keadaan kutuk dan laknat yang ditumpahkan dosa atas manusia sesuai dengan kesucian Allah. Penderitaan itu adalah korban terhadap kesucian Allah. Hingga demikian dia adalah hukuman. Tetapi unsur penebusnya bukanlah jumlah atau keperihannya, melainkan ketaatannya, kesuciannya.

Sekalipun demikian orang segan mengadakan analisa mengenai jeritan diatas kayu salib itu, Setelah dikatakan segala yang dapat dikatakan untuk membuat artinya jelas, tetapi dia tetap merupakan suatu rahasia, rahasia dari Penebusan. Dalam arti apakah, yang dapat difahami, Bapa pengasih yang tak terhingga itu bisa meninggalkan AnakNya yang tunggal itu dan membiarkan Dia sendirian dalam kegelapan dan kesengsaraan? Ada orang yang lekas -- terlalu lekas -- bicara tentang Kristus sebagai sasaran dari kemurkaan Ilahi; namun demikian tanpa pembatasan yang teliti ini tetap merupakan pikiran yang sangat menyakitkan, Tentu untuk sesaatpun penderitaan Ilahi ini tidak akan bisa menjadi sasaran daripada kegusaran BapaNya -- Dia, yang turun dari surga untuk menjalankan kehendakNya untuk melaksanakan tujuan dari kasih yang tak terhingga dengan penebusan dunia yang binasa, betapapun besar pengorbanan pribadi yang dimintanya. Sebaliknya, tak pernah pikiran dari Bapa ditujukan pada Anak dengan pengabsyahan yang lebih tidak bersyarat dan kasih yang lebih mendalam: "Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku membiarkan nyawaKu untuk menerimanya kembali.(Joh 10:17) Tidak pernah dia lebih menyadari, bahwa Dia menjalankan kehendak Bapa dan pasti berkenan dan tidak bisa Dia ditinggalkan sama sekali.

Dalam jeritan kesengsaraan ini tersimpul juga segala rasa kesunyian Tuhan Yesus semua hidupNya, suatu rasa kesunyian yang mencapai puncaknya diatas kayu salib, "Akulah seorang diri yang melakukan pengirikan.(Yes 63:3)

Dia sunyi ketika dilahirkan, sunyi di Nazaret pada masa Dia belum muncul di depan umum, sunyi di gurun pasir dan diatas puncak gunung. KesunyianNya ini adalah kesunyian dari orang yang tidak difahami, kesunyian pemimpin, kesunyian pencobaan, kesunyian doa. Dia merasa sunyi ditengah-tengah orang banyak, dan sunyi diatas gunung dimana Dia berubah rupa sehingga kemuliaanNya kelihatan; sunyi dalam duka cita dan air mata karena Yerusalem. Dan paling sunyi dan sendirian ketika Dia berada di Getsemane, dan di Golgota. "Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri." "Orang-orang ... membenci Aku tanpa alasan." "Sekalipun Ia tidak berbuat kekerasan dan tidak ada tipu dalam mulutNya. Tetapi Tuhan berkehendak meremukkan Dia dengan kesakitan.(Mat 26:56; Mazm 69:4; Yes 53:9-10) Maka karena itu Kristus turut memikul pemalingan muka Allah Bapa, yang merupakan hakekat dan puncak kengerian dari dosa.

"Menurut hemat saja," kata Robert Keable, ketika dia bicara mengenai kesunyian diatas kayu salib itu, "dalam arti yang sebenarnya Dia mengucapkan pengalaman dari hidupNya suatu pengalaman yang sampai saat itu dipikul oleh Orang yang penuh kesedihan dalam kesunyian hatiNya. Tidak dapat disangkal ini diperhebat lagi di Golgota, tetapi Orang Sunji, yang ditolak oleh dunia karena Dia tidak mempunyai dosa, ditolak oleh Allah karena Dia "menjadi dosa karena kita.{n4} Ah, inilah paradox cinta yang tak dapat diucapkan! Kemenangan ajaib dari kesunyianNya. Pada jam 3 Yesus Tuhan kita betul-betul sebatang kara dalam keluasan daerah dari segala yang ada."



TIP #10: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab menjadi per baris atau paragraf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.06 detik
dipersembahkan oleh YLSA