Topik : Keramahtamahan

18 Januari 2008

Receh Dermawan

Nats : Aku bersaksi bahwa mereka telah memberi menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka (2Korintus 8:3)
Bacaan : 2Korintus 8:1-15

Suatu ketika saya menumpang mobil seorang kawan. Di celah antara dua bangku depan, ia meletakkan sebuah kaleng berisi uang receh.

"Ini untuk ongkos parkir, ya?" saya bertanya.

"O, bukan," jawabnya. "Itu kebiasaan ayah saya. Ia selalu menyediakan uang receh untuk diberikan pada pengemis atau pengamen di jalan."

Saya mencelos. Berbeda sekali dengan sikap saya selama ini! Jangankan sempat menyiapkan uang, saya malah lebih sering merasa terganggu kalau ada pengemis atau pengamen mendekati saya sambil meminta sedekah. Saya berdalih, di dompet saya tidak ada uang receh. Sebenarnya itu hanya alasan untuk menenteramkan hati. Kalau saya mau jujur, saya memang tidak berusaha menyiapkan uang untuk didermakan. Dengan kata lain, saya pelit.

Jemaat-jemaat di Makedonia jauh dari sikap pelit ini. Mereka sendiri tengah dibelit berbagai persoalan dan didera kemiskinan. Namun, hal itu tidak menumpulkan kemurahan hati mereka. Sebaliknya, mereka dengan penuh sukacita dan sukarela memberikan bantuan melampaui kemampuan mereka. Kedermawanan mereka ini sangat menyentuh Paulus, sehingga ia menggunakannya untuk menggugah jemaat Korintus agar meneladani sikap tersebut.

Kedermawanan yang sejati rela berkorban demi kesejahteraan orang lain. Namun, kebajikan semacam ini tentu tidak muncul begitu saja. Untuk menepis sikap pelit dan belajar bermurah hati pada sesama, kita perlu melatih, membentuk, dan mengembangkan kedermawanan mulai dari taraf yang sederhana -- mungkin seperti ayah kawan saya tadi --ARS

18 September 2008

Jangan Menghakimi

Nats : Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Matius 7:3)
Bacaan : Matius 7:1-5

Istri saya sudah tuli," keluh seorang suami kepada dokter pribadinya. "Saya harus bicara berkali-kali padanya, barulah ia mengerti." Sang dokter lantas memberi usul: "Bicaralah dengannya dari jarak sepuluh meter. Jika tak ada respons, coba dari jarak lima meter, lalu dari jarak satu meter. Dari situ kita akan tahu tingkat ketuliannya."

Si suami mencobanya. Dari jarak sepuluh meter, ia bertanya pada istrinya, "Kamu masak apa malam ini?" Tak terdengar jawaban. Ia mencoba dari jarak lima meter, bahkan satu meter, tetap saja tak ada respons. Akhirnya ia bicara di dekat telinga istrinya, "Masak apa kamu malam ini?" Si istri menjawab: "Sudah empat kali aku bilang: sayur asam!" Rupanya, sang suamilah yang tuli.

Saat mengkritik orang lain, kita kerap kali tidak sadar bahwa kita pun memiliki kelemahan yang sama, bahkan mungkin lebih parah. Ada kalanya apa yang tidak kita sukai dari orang lain adalah sifat yang tidak kita sukai dari diri sendiri. Kita belum bisa mengatasi satu kebiasaan buruk, kemudian jengkel saat melihat sifat buruk itu muncul dalam diri orang lain, sehingga kita memintanya untuk berubah.

Tuhan Yesus tidak melarang kita menilai orang lain secara kritis. Namun, janganlah membesar-besarkan kesalahan orang lain dengan mengabaikan kesalahan diri sendiri. Jika kita memakai standar atau ukuran tinggi dalam menilai orang lain, pastikan kita sendiri sudah memenuhi standar yang kita buat. Yang terbaik adalah introspeksi diri terlebih dulu sebelum memberi kritik kepada orang lain -JTI



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA