Topik : Kesabaran

15 Oktober 2003

Bukan Tangan Saya

Nats : Aku tidak akan menjamah tuanku itu, sebab dialah orang yang diurapi Tuhan (1Samuel 24:11)
Bacaan : 1Samuel 23:28-24:16

Ada kalanya lebih baik menunggu Allah bertindak daripada berusaha membuat segala sesuatu terjadi menurut kehendak kita. Itu adalah pelajaran yang dapat kita lihat jelas saat Daud menolak membunuh Saul meski raja itu berusaha membunuhnya (1 Samuel 24). Ketika Saul seorang diri di dalam dan dalam posisi yang lemah, pengikut Daud memberitahukan bahwa itu merupakan kesempatan yang Allah berikan untuk mengambil alih kedudukan sebagai raja yang memang sudah menjadi haknya (ayat 5). Namun Daud menolak dan berkata, "Dijauhkan Tuhan-lah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi Tuhan, yakni menjamah dia" (ayat 7).

Setelah Saul meninggalkan gua, Daud berseru kepadanya, "Tuhan kiranya menjadi hakim di antara aku dan engkau, Tuhan kiranya membalaskan aku kepadamu, tetapi tanganku tidak akan memukul engkau" (ayat 13). Daud tahu Allah telah memilihnya menjadi raja. Namun, ia pun tahu membunuh Saul bukanlah cara yang tepat untuk memuluskan jalannya menjadi raja. Ia menunggu Allah menyingkirkan Saul dari takhta.

Adakah suatu rintangan antara Anda dengan sesuatu yang sesungguhnya menjadi hak Anda? Anda percaya itu adalah kehendak Allah, tetapi waktu dan cara untuk mendapatkannya tampak tidak tepat. Pikirkan masak-masak dan tekunlah berdoa sebelum mengambil jalan yang buruk untuk menuju suatu tujuan yang indah.

Menunggu Allah bertindak adalah kesempatan terbaik bagi kita agar segala hal yang benar terjadi sesuai dengan jalan-Nya --David McCasland

18 Oktober 2003

Sukacita Penantian

Nats : Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya (1Samuel 1:27)
Bacaan : 1Samuel 1:19-28

Sembilan bulan mungkin terasa tak berujung bagi calon ibu. Selama tiga bulan pertama, perubahan hormon terkadang menyebabkan rasa mual yang tidak hilang-hilang di pagi hari. Emosi meninggi, sehingga memperpanjang rasa sedih yang tidak beralasan di sore hari. Lalu perubahan nafsu makan memaksanya bangun di tengah malam karena menginginkan pizza, coklat, dan asinan.

Selama tiga bulan berikutnya, tubuh sang ibu membesar sehingga ia menghabiskan waktu berjam-jam berbelanja pakaian baru. Pada tiga bulan terakhir, aktivitas normal ibu berganti dengan berbagai kesibukan menjelang kelahiran bayi.

Lalu tiba-tiba penantian yang panjang itu berakhir. Sembilan bulan itu terasa seperti berita kemarin. Semuanya lenyap. Penantian itu menjadi tidak penting, menjadi kenangan yang samar-samar karena tenggelam dalam sukacita. Bertanyalah pada ibu yang baru saja melahirkan, apakah ia menyesali masa-masa kehamilannya. Tidak pernah!

Hana bahkan menanti lebih lama lagi. Selama bertahun-tahun ia belum dikaruniai seorang anak. Ia merasa sangat tidak puas dan malu (1 Samuel 1). Namun Tuhan mengingat dirinya, dan ia pun mengandung. Sukacitanya menjadi penuh.

Hana menanti-nantikan dengan sabar dan ia melihat Tuhan mengubah kesedihannya menjadi sukacita yang berkelimpahan. Pujiannya (1 Samuel 2:1-10) mengingatkan bahwa kekecewaan dan kepahitan yang terdalam dapat mendatangkan kepenuhan dan kebahagiaan. Bagi setiap orang yang menanti-nantikan Tuhan, hari-hari penuh penantian akan membuahkan sukacita di kemudian hari --Mart De Haan

28 November 2003

Hari-hari Biasa

Nats : Dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran (2Korintus 6:4)
Bacaan : 2 Korintus 6:1-10

Pernahkah Anda menerima kartu natal disertai surat dari seorang kawan yang menceritakan kembali kejadian-kejadian biasa tahun lalu? Pernahkah seseorang bercerita tentang membersihkan karpet atau membuang sampah? Mungkin belum pernah.

Sebuah terbitan di internet berjudul Journal of Mundane Behavior mengatakan bahwa kejadian-kejadian rutin seperti itu mengisi sebagian besar waktu kita. Sang redaktur pelaksana, seorang pakar sosiologi, mengatakan bahwa rutinitas sehari-hari berharga karena hampir 60 persen hidup ini kita gunakan untuk kegiatan seperti berangkat-pulang kerja dan berbelanja bahan pangan.

Kita jarang memerhatikan hari-hari biasa Rasul Paulus, tetapi ia menulis, "Dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah" (2Korintus 6:4). "Segala hal" tersebut bukan saja dalam hal menanggung dera, tetapi juga "dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga ..., dalam kemurnian hati, ... kemurahan hati, ... dan kasih" serta pengalaman sehari-hari lainnya (ayat 4-10).

Oswald Chambers mengatakan bahwa kita cenderung kehilangan semangat "saat tidak punya visi dan dorongan, kecuali rutinitas pekerjaan biasa. Akhirnya, hal yang penting bagi Allah dan manusia adalah ketekunan yang terus-menerus terhadap sesuatu yang tidak kelihatan, dan satu-satunya cara untuk menjaga agar hidup tidak hancur adalah tetap memandang Allah" (My Utmost For His Highest, 6 Maret).

Maka, mari kita jalani hari ini dengan sungguh-sungguh bagi Tuhan, karena hari ini adalah hari biasa yang penting --David McCasland

15 Juni 2004

Berdoa dan Menunggu

Nats : Berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia ... (Mazmur 37:7)
Bacaan : Nehemia 1:5-11

Sepasang suami-istri kristiani merasa sangat sedih karena anak laki-laki mereka yang telah menikah beserta keluarganya tidak mau lagi pergi ke gereja dan tidak memberi tempat bagi Allah dalam kehidupan mereka. Sebagai sahabat mereka berdua, saya menganjurkan supaya mereka tetap menunjukkan kasih, berdoa, dan menghindari munculnya perdebatan. Namun pada pertemuan Natal keluarga tahunan, sang ayah mengkhotbahi anaknya di hadapan saudara-saudara kandungnya yang lain. Akibatnya sang anak beserta keluarganya meninggalkan pertemuan itu dengan marah dan memutuskan hubungan dengan orangtuanya.

Memang sulit untuk mengandalkan doa saja apabila Anda menginginkan suatu hal terjadi seketika. Tetapi itulah yang dilakukan Nehemia. Pikirannya terusik saat mendengar berita yang mengabarkan bahwa orang-orang Israel di Yerusalem ada dalam kesukaran besar (Nehemia 1:3,4). Nehemia adalah seorang pria dengan kemampuan kepemimpinan yang hebat dan berada pada posisi yang menguntungkan untuk menerima bantuan dari raja yang ia layani, sehingga ia sangat ingin menolong rakyatnya. Tetapi ia tahu bahwa ia bisa-bisa dijatuhi hukuman mati jika menghadap Raja Persia tanpa diundang. Oleh karena itu, meskipun Nehemia telah meminta Allah agar segera memberinya kesempatan, ia cukup memercayai Allah dengan menunggu. Empat bulan kemudian, raja memberinya izin untuk menyampaikan permohonannya (2:1,4).

Tidak selalu mudah untuk bersabar, tetapi Allah dapat dipercaya. Tunggulah Dia dengan sabar —Herb Vander Lugt

5 Januari 2005

“cukup!”

Nats : Demikian jugalah halnya dengan orang kaya; di tengah-tengah segala usahanya ia akan lenyap (Yakobus 1:11)
Bacaan : Yakobus 1:9-11; 5:1-6

Setelah Bob Ritchie lulus dari univer-sitas, ia kemudian menghabiskan waktu selama dua dasawarsa berikutnya dalam genggaman cinta akan uang serta mengejar kenaikan jabatan. Ia memindahkan istri dan keluarganya sebanyak lima kali demi kariernya, supaya ia dapat menghasilkan lebih banyak uang. Setiap kali pindah, mereka meninggalkan komunitas gereja yang ramah.

Setelah selang beberapa waktu, Bob dan keluarganya menjadi jarang meluangkan waktu untuk gereja. Karena umat Allah menjadi orang asing, maka Tuhan pun menjadi Pribadi yang asing baginya. Ia menjadi orang yang benar-benar kesepian dan terisolasi. Karena merasa tidak puas terhadap hidupnya, ia akhirnya berkata, “Cukup!”

Sekarang Bob memberi kesaksian bahwa Allah telah mengajarkan arti dari kata mengurangi. Ia berhenti mengejar uang, menggunakan lebih sedikit waktu di tempat kerja, mengurangi pengeluaran, serta belajar mencukupkan diri dengan apa yang ia miliki. Keluarganya kini kembali menjadi setia kepada Tuhan dan aktif di gereja.

Dalam suratnya yang singkat dan praktis, Yakobus memperingatkan kita untuk tidak terobsesi menimbun kekayaan (1:9-11; 5:1-6). Apakah kita orang kaya atau miskin, hasrat akan uang dapat secara halus mengambil alih kehidupan kita. Tanpa sadar, beberapa orang percaya telah jatuh ke dalam cengkeramannya dan lenyap di tengah-tengah usaha mereka (1:11).

Apakah Anda perlu mengikuti teladan Bob? Mungkin inilah waktunya untuk berkata, “Cukup!” —Dave Egner

13 Januari 2005

Raku

Nats : Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan (Roma 12:12)
Bacaan : Yakobus 1:2-4

Beberapa teman memberi kami sebuah tembikar Raku. “Setiap tembikar dibentuk dengan tangan,” menurut keterangan labelnya, “suatu proses yang memungkinkan jiwa pekerja seni berbicara melalui pekerjaan yang diselesaikan dengan ketepatan dan keintiman khusus.”

Setelah tanah liat dibentuk oleh penjura, tembikar itu dibakar dalam tungku api. Kemudian, saat masih merah karena terbakar, tembikar itu dibenamkan dalam tumpukan serbuk gergaji, dan dibiarkan di sana sampai jadi. Hasilnya adalah produk yang unik—”tidak ada duanya,” label itu menegaskan.

Begitu juga dengan kita. Kita memiliki bukti cetakan tangan Sang Penjura. Dia juga telah berbicara melalui karya-Nya“dengan ketepatan dan keintiman khusus”. Kita masing-masing dibentuk dengan cara khusus untuk pekerjaan khusus: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya, Dia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).

Namun, meskipun kita diciptakan untuk melakukan pekerjaan baik, kita belum sempurna. Kita harus mengalami tungku api penderitaan. Sakit hati, patah semangat, penuaan tubuh adalah prosesproses yang digunakan Allah untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dimulai- Nya.

Jangan takut dengan tungku api yang mengepung Anda. “Sabarlah dalam kesesakan” dan nantikanlah produk jadinya. “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4) —David Roper

20 April 2007

Diperlukan Kesabaran

Nats : Kasih itu sabar; kasih itu baik hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong (1Korintus 13:4)
Bacaan : 1Korintus 13

Penerbangan kami ke Singapura ditunda karena ada masalah pada mesin. Penundaan selama 15 menit berubah menjadi 30 menit, lalu 60 menit -- dan kemudian 3 jam. Para petugas pemelihara pesawat sibuk menenangkan orang banyak, tetapi mereka sudah lelah dan menjadi cepat marah. Saat malam semakin larut, kumpulan orang banyak itu mulai berubah menjadi kerusuhan massa -- mereka berteriak-teriak kepada petugas dengan bahasa kasar. Sang pilot bahkan datang untuk membantu, tetapi orang banyak itu pun berbalik melawan dia.

Saat saya memerhatikan kelanjutan situasi itu, seorang pria Singapura yang berdiri di sisi saya berkata dengan lembut, "Kesabaran akan sangat dibutuhkan malam ini."

Hidup dapat membuat frustrasi, bahkan membangkitkan amarah. Namun demikian, kerap kali ketidaksabaran hanyalah cerminan dari keegoisan kita dalam menanggapi kekecewaan hidup. Kasih sejati digambarkan di dalam Alkitab sebagai pengorbanan diri (Yohanes 15:13), dan salah satu cara menunjukkan kasih itu adalah kesabaran terhadap orang lain. "Kasih itu sabar; kasih itu baik hati.... Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah" (1Korintus 13:4,5). Kasih mengesampingkan keinginan pribadi kita dan berusaha meneladani Kristus.

Apakah hal itu terdengar mustahil? Ya, jika kita mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun, bila kita berdoa meminta pertolongan, Allah akan memberi kita kesabaran yang mencerminkan kasih-Nya -- bahkan di tengah keadaan yang menjengkelkan --WEC


Bila hatimu kesal, cemas mencekam
Apakah engkau mengeluh, mengomel, dan marah?
Ataukah batinmu dapat mengendalikan
Sebab kepada Yesus engkau berserah? --Branon

29 Juli 2007

Penundaan dari Allah

Nats : Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku (Habakuk 2:1)
Bacaan : Habakuk 1:12-2:3

Menanti adalah hal yang berat bagi saya. Saya ingin mendapatkan jawabannya sekarang. Penangguhan membuat saya bingung; penundaan mematahkan semangat. Saya frustrasi atas penundaan oleh Allah, dan saya bertanya-tanya mengapa itu terjadi dan kapan waktunya akan tiba. "Berapa lama lagi, oh, Tuhan?"

Nabi Habakuk juga ingin mendapat jawaban, tetapi Allah memilih waktu-Nya sendiri. "Aku mau berdiri di tempat pengintaianku ... menantikan apa yang akan difirmankan Allah kepadaku," tulis Habakuk (2:1). "Penglihatan itu masih menanti saatnya," jawab Allah. "Nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang" (ayat 3).

Iman tidak pernah putus asa. Iman tahu bahwa selain yang terlihat, semua berjalan dengan baik. Iman dapat menunggu tanpa melihat tanda-tanda atau petunjuk yang jelas bahwa Allah sedang bekerja, sebab dengan iman kita memercayai-Nya. "Semua penangguhan itu sungguh baik, sebab kita selamat jika berada di tangan Allah," kata Madame Guyon (1648-1717).

Kita harus belajar memandang setiap penundaan sebagai hal yang "sungguh baik". Penangguhan justru dapat menjadi kesempatan untuk berdoa, bukannya menjadi cemas, tak sabar, dan jengkel. Penangguhan adalah kesempatan bagi Allah untuk membangun sifat abadi yang sulit kita peroleh, yaitu kerendahan hati, kesabaran, ketenangan, dan kekuatan. Allah tak pernah berkata, "Tunggu sebentar," kecuali Dia berencana melakukan sesuatu dengan keadaan kita -- atau di dalam kita. Dia menunggu menunjukkan kasih karunia-Nya.

Jadi, bersabarlah! Jika jawaban Allah tampak lambat, "Nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang" --DHR

9 Maret 2008

Bukan Milik Iblis Lagi

Nats : Sebab jika mereka ... telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk daripada yang semula (2Petrus 2:20)
Bacaan : 2Petrus 2:17-22

"Coba tabrakkan anjing Anda ke tembok. Ia pasti akan melolong kesakitan, bukan? Lalu, apa jadinya bila Anda mencoba melakukannya lagi? Ia akan waspada dan menahan kuat-kuat dengan keempat kakinya agar tak terbentur tembok. Ia belajar dari pengalaman, bahwa menabrak tembok itu sakit. Ia tak mau mengulang. Anjing pintar! Lalu, bagaimana dengan kita? Bukankah kita kerap merasa kotor, gelisah, salah, hancur ketika melakukan dosa? Suatu saat, kita yakin Yesus telah menyucikan. Kita merasa lega, putih, bening. Namun, kita kerap mengulang kesalahan yang sama, dosa yang dulu. Bukankah itu berarti, anjing lebih pintar dari kita?" demikian ilustrasi seorang pendeta senior yang terus saya ingat sampai kini.

Demikian pula Petrus mengkritik guru-guru palsu, yakni mereka yang melepaskan diri dari kecemaran dunia setelah mengenal Yesus, tetapi kemudian jatuh lagi ke dalamnya-bahkan terjatuh lebih dalam. Dalam bahasa yang keras, Petrus menyebut mereka anjing dan babi yang suka kembali pada apa yang dimuntahkan dan kubangannya yang kotor (ayat 22). Mereka disebut orang yang akan masuk ke dalam kegelapan yang paling dahsyat (ayat 17). Bukan karena dosa mereka, melainkan karena setelah mengenal Kristus dan bebas dari kecemaran dunia, mereka kembali pada kecemaran yang tadinya mereka tinggalkan. Dengan begitu, seolah-olah setiap pengalaman dengan Kristus diabaikan, dipunggungi, dan disingkirkan!

Memperjuangkan iman kristiani berarti menjaga karya pendamaian Kristus agar tetap menjadi terang jiwa kita. Mari tetap berada dekat denganNya setiap saat, sebab kita tak mungkin berjalan sendiri-DKL

11 Juni 2008

Gambaran Suram

Nats : Hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku" (Yohanes 21:19)
Bacaan : Yohanes 21:15-19

Seperti apakah masa depan kita nanti? Para pengamat lingkungan meramalkan hidup akan semakin sulit. Meningkatnya pemanasan global akan membuat kota-kota di pesisir terendam air. Jumlah ikan di laut berkurang, bahkan akan habis karena terlalu banyak dikeruk. Bensin, solar, dan minyak tanah tidak ada lagi. Kalaupun ada, pasti mahal sekali. Persaingan hidup semakin tajam. Belum lagi munculnya krisis pangan, karena pertambahan penduduk tak seimbang dengan pertambahan produksi pangan. Jaringan televisi CNN pernah menayangkan gambaran suram masa depan bumi dalam tayangan berjudul Planet in Peril (Dunia dalam Ancaman Bahaya). Sungguh mengerikan!

Ketika Yesus menjelaskan masa depan Petrus kepadanya, Petrus juga merasa ngeri. Bayangkan, Yesus mengatakan bagaimana ia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak ia kehendaki (ayat 18). Penganiayaan terbayang di depan. Ibarat film, hidupnya tak akan berakhir dengan happy ending. Di ujung jalan, salib menanti. Lalu, apakah Petrus lantas tak bersemangat hidup? Tampaknya tidak, karena sesudah memberitahukan semuanya Yesus berkata, "Ikutlah Aku" (ayat 19). Artinya, asal Petrus terus melangkah bersama Yesus, ia akan dimampukan untuk bertahan sampai akhir. Kenyataan membuktikan bahwa akhirnya Petrus mati disalib, namun ia tidak menyesal. Dengan tegar ia menghadapinya, malahan minta disalib terbalik.

Seperti apakah masa depan kita? Tak ada jaminan bahwa hidup akan semakin baik atau bumi semakin ramah. Namun, kita memiliki jaminan penyertaan Tuhan. Siapa saja yang mengikut Yesus akan dimampukan untuk tegar menghadapi situasi, seburuk apa pun —JTI

25 September 2008

Betapapun Hebatnya

Nats : Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan ... burung-burung ... ternak dan atas seluruh bumi ... segala binatang melata (Kejadian 1:26)
Bacaan : Kejadian 1:1-31

Bioteknologi adalah sebuah bidang ilmu yang menerapkan kemajuan teknologi ke dalam bidang ilmu biologi. Prospek kemajuan yang ditawarkan oleh bidang ilmu yang satu ini sungguh luar biasa. Mulai dari yang sudah kita anggap normal, seperti semangka tanpa biji, sampai kepada yang masih terasa bagaikan mimpi seperti mengganti anggota tubuh kita yang rusak dengan teknologi sel punca (stem cell).

Namun, perkembangan ini juga menimbulkan banyak masalah etika. Kemajuan yang ditawarkan tersebut acap kali berbenturan dengan batas-batas etika yang selama ini dipegang oleh masyarakat. Sebagai contoh, teknologi embryonic stem cell membutuhkan janin sebagai bahan percobaannya. Tak heran begitu banyak perdebatan yang terjadi di kalangan para ahli etika seputar isu-isu bioteknologi tersebut.

Disadari atau tidak, perkembangan bioteknologi memang membawa perubahan yang besar dalam pola pikir manusia mengenai seluruh alam dan ciptaan. Manusia, dengan perkembangan bioteknologi, seakan-akan merasa mampu mengubah alam dan kemudian menciptakan kehidupan baru. Dengan demikian, manusia merasa bahwa ia adalah allah. Dan karena itu, ia tidak lagi memerlukan Allah yang sejati.

Sebagai umat percaya, kita harus berhati-hati terhadap isu ini. Sebab seperti yang kita baca dalam bacaan Alkitab hari ini, tampak jelas siapa Tuhan dan siapa kita. Dia adalah pencipta segala sesuatu, sedangkan kita, betapa pun hebat dan canggihnya, tetap hanyalah ciptaan yang penuh keterbatasan. Tanpa Dia kita tidak ada. Terlepas dari Dia kita binasa -ALS



TIP #29: Klik ikon untuk merubah popup menjadi mode sticky, untuk merubah mode sticky menjadi mode popup kembali. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA