Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 3 No. 1 Tahun 1988 > 
BAPTISAN DAN KEPENUHAN ROH 
Penulis: Daniel Lucas, S.Th.
 A. PENDAHULUAN

Tema-tema sekitar Roh Kudus dan pekerjaan-Nya agaknya masih tetap relevan dan tetap hangat untuk diperbincangkan sampai akhir abad ini. Fakta demikian perlu kita syukuri bersama. Hal tersebut tidak lain merupakan pertanda adanya kepekaan di kalangan pimpinan gereja untuk mengangkat topik ini ke permukaan. Kita menyaksikan bahwa banyak berkat sungguh-sungguh diperoleh, bukan semata-mata karena topik itu dibicarakan, tetapi saya percaya hal ini juga merupakan berkat tersendiri dari Pribadi Roh Kudus.

Di samping itu, akhir-akhir ini cukup banyak terdengar orang memberikan kesaksian bahwa mereka telah mengalami kelepasan yang baru, mendapatkan sukacita yang tak terhingga setelah mereka merasakan "pengalaman kedua", "berkat tambahan" di luar pengalaman kelahiran baru ketika menerima Kristus sebagai Juruselamat. Tuhan menjadi lebih dekat dan lebih nyata, kedamaian yang dirasakan datang berlipat ganda, kuasa dan kemenangan selalu menjadi berita yang hangat setelah mendapatkan sentuhan dari Roh Kudus, demikian pengakuan mereka.

Pengalaman tersebut menjadi lebih kontras apabila dibandingkan dengan sebagian gereja yang mengalami kelesuan, kekuranggairahan, lunturnya kasih jemaat, kehilangan kuasa dan kemenangan, dan sebagainya. Dari sisi lain boleh di kata bahwa sebenarnya pengalaman mistis ini juga secara langsung merupakan reaksi internal terhadap gejala formalisme, dogmatisme, hirarkisme, tradisionalisme serta institusionalisme yang memang kerapkali sedikit banyak dapat kita jumpai di dalam gereja.

Sekali lagi, kita perlu mengucap syukur apabila ke alamat gereja datang berbagai koreksi, kritik, atau usaha penyadaran. Sebab ini merupakan pertanda akan adanya kemajuan, kedewasaan dan keterbukaan, - serta kalau perlu pembaruan. Tetapi, bersamaan dengan itu, harus pula secepatnya kita bertanya: Apakah dasar yang melatarbelakangi kritik atau koreksi itu benar dan alkitabiah? Apakah reaksi atau gejala 'counter' tersebut bisa dipertanggungjawabkan seluruhnya di bawah terang prinsip firman Tuhan? Dari sudut inilah saya mengajak kita melihat secara ringkas pengertian tentang baptisan dan kepenuhan Roh.

 B. PANDANGAN ALIRAN TERTENTU TENTANG BAPTISAN DAN KEPENUHAN ROH

Orang yang berpandangan bahwa baptisan Roh merupakan "second blessing" (berkat kedua) umumnya menganggap kelahiran baru di dalam Kristus, atau pertobatan orang Kristen, atau percaya dan menerima Kristus sebagai Juruselamat belumlah cukup apabila orang Kristen itu belum mengalami baptisan Roh yang manifestasinya terlihat di dalam karunia-karunia tertentu yang spektakuler, seperti misalnya berbahasa lidah, bernubuat atau berkarunia penyembuhan. Manifestasi itu merupakan akibat atau hasil dari baptisan Roh, yaitu yang disebut dengan istilah "kepenuhan Roh."

Sekalipun demikian, kebanyakan mereka menyamakan istilah "baptisan" itu dengan istilah-istilah: "dipenuhi" atau "penuh" (Kis. 2:4), "menerima" (Kis. 2:38), "dimeteraikan" (Ef. 1:13), atau "diurapi" (2 Kor. 1:21). Dalam hal ini - untuk membedakannya dengan istilah kelahiran baru - mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa "Di dalam kelahiran baru Roh Kuduslah yang bekerja aktif, sarananya adalah darah penebusan, hasilnya kelahiran baru; tetapi di dalam baptisan Roh, Kristuslah yang bekerja aktif, sarananya adalah Roh, hasilnya adalah mendapatkan kuasa (dari atas)" (Bruner, A Theology of the Holy Spirit, h. 60).

Pandangan kompleks seperti di atas bisa timbul karena mereka menganggap semua ayat di dalam Matius 3:11, Markus 1:7-8, Lukas 3:16, Yohanes 1:33; dan Kisah 1:5 ditujukan (atau diucapkan) kepada orang-orang atau murid-murid yang pada saat itu sudah percaya, sudah menerima Kristus sebagai Juruselamat mereka. Jadi, jikalau kepada orang Kristen pertama dan murid-murid yang sudah percaya itu masih perlu ditambahkan pengalaman baptisan Roh, itu berarti sebelum mereka dibaptis oleh Roh mereka adalah orang Kristen yang masih "kekurangan" sesuatu.

Fakta lain yang mereka ambil sebagai contoh adalah kasus-kasus yang cukup menyolok di dalam kitab Kisah Para Rasul. Peristiwa di dalam Kisah 2:4; 2:38; 8:4-25; 19:1-7 dianggap sebagai materi yang sangat kuat untuk menarik kesimpulan bahwa semua orang Kristen yang sudah bertobat atau menerima Kristus belum menjadi orang Kristen yang lengkap, utuh dan berkuasa. Kenyataan itu membuktikan bahwa mereka masih kekurangan sesuatu, dan oleh karena itu perlu mengalami baptisan Roh sesudah pertobatan.

Yang dimaksud dengan "masih kekurangan sesuatu" adalah absennya pola hidup yang berkemenangan, penuh sukacita, keberanian bersaksi yang berlipat ganda, kuasa untuk melayani serta karunia-karunia spektakuler lainnya. Tetapi umumnya tekanan yang dimasukkan adalah pada kuasa yang dinamis untuk melayani, terutama seperti yang disebutkan dalam Kisah 1:8. Dalam hal-hal seperti inilah saya rasa di kalangan mereka secara obyektif kita dapat menyaksikan buah serta realitanya. Mudah-mudahan ini merupakan koreksi atau kritik mereka yang ikut membangun gereja kita jikalau di dalamnya betul-betul nampak "kekurangan" sesuatu.

 C. TANGGAPAN DAN KRITIK

Sekalipun kita melihat dan mengakui bahwa di dalam koreksi dan kritik mereka yang menekankan perlunya pengalaman baptisan Roh ada obyektif serta realitanya, kita tetap perlu menyatakan ketidaksetujuan dan kritik atas sebagian pandangan mereka.

Secara global, orang yang berpandangan bahwa baptisan Roh merupakan "second blessing"-nya Roh sebenarnya paling sedikit keliru dalam dua segi. Pertama, kekeliruan historis, yaitu keliru di dalam melihat dan mengartikan pengalaman para Rasul khususnya dan sejarah Gereja pada umumnya. Sebab apabila kita menyelidiki dengan teliti pengalaman para Rasul, Bapa-bapa Gereja dan sejarah Gereja pada umumnya boleh di kata hampir tidak ada yang berpandangan ekstrim tentang baptisan Roh, kecuali beberapa gerakan sektaris atau separatis yang memisahkan diri dari gereja induk (untuk bagian historisnya tidak saya ketengahkan di dalam makalah ini).

Kekeliruan kedua adalah kekeliruan eksegetikal dan hermeneutikal, yaitu keliru di dalam menetapkan arti yang tepat dari pernyataan firman Tuhan serta keliru di dalam membangun prinsip-prinsip penafsirannya. Misalnya, salah satu prinsip umum di dalam menafsirkan firman Tuhan adalah "tafsirkanlah setiap nas sesuai dengan ajaran Alkitab secara menyeluruh". Langkah-langkahnya adalah kita harus membandingkan suatu nas dengan nas-nas lain dalam kitab yang sama, kemudian dengan nas-nas lain dalam kitab yang ditulis oleh penulis yang sama, selanjutnya dengan nas-nas lain dalam Perjanjian yang sama, sampai ke seluruh isi Alkitab. Patokannya adalah: nas yang jelas menafsirkan nas yang kurang jelas atau lebih rumit. Contohnya, apabila kita membaca Kisah 2:38 dapat timbul kesan seakan-akan sesudah dibaptislah baru seseorang mendapatkan pengampunan dosa. Namun dari kitab yang sama (Kisah 10:43) dikatakan bahwa "barangsiapa percaya kepada Kristus, ia akan mendapat pengampunan dosa." Selanjutnya penulis yang sama, yaitu Lukas, dalam bagian yang lain dari tulisannya (Lukas 24:46-48) tidak menyebutkan syarat baptisan untuk mendapatkan pengampunan dosa. Jadi, kita kembali lagi kepada nas yang semula, yaitu Kisah 2:38. Kita selidiki kembali. Ternyata, melalui penyelidikan bahasa aslinya, kata "untuk" di sana lebih tepat digantikan dengan kata "karena (pengampunan dosamu)." Sehingga ketidakjelasan ayat dalam Kisah 2:38 menjadi terpecahkan.

Langkah-langkah seperti di atas juga perlu ditempuh pada waktu kita hendak meneliti ajaran tentang baptisan dan kepenuhan Roh. Ketika muncul istilah "...kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus", kita perlu bertanya: Apa artinya "dibaptis dengan Roh Kudus" di sini? Apakah ada hubungannya dengan istilah "...penuhlah mereka dengan Roh Kudus" dalam Kisah 2:4? Bila ada hubungan, hubungan yang bagaimana? Apakah kedua istilah itu sama artinya? Bila sama, mengapa dikatakan bahwa Paulus pernah dua kali tercatat "penuh dengan Roh Kudus" (Kisah 9:17; 13:9), demikian pula Petrus (Kisah 2:4; 4:8)? Apakah ini juga berarti kedua Rasul itu pada saat itu juga dibaptis oleh Roh Kudus dua kali? Bukankah peristiwa baptisan Roh merupakan kejadian yang satu kali untuk selamanya pada diri seseorang (an unrepeated operation, a completed past action, once and for all); jelas pula, apabila kita bandingkan dengan 1 Korintus 12:13 yang memberikan indikasi kuat bahwa baptisan Roh merupakan peristiwa yang terjadi satu kali untuk selamanya dalam diri orang percaya. Lihat bentuk "aorist tense" pada kata-kata "telah dibaptis". Bukankah kepenuhan Roh merupakan suatu keadaan yang dapat terjadi secara berulang-ulang dalam diri seseorang (perhatikan kejadian yang dicatat pada diri Paulus dan Petrus tadi; bandingkan juga dengan Efesus 5:18 yang dicatat dalam bentuk "present tense, imperative, passive" yang mengindikasikan adanya suatu perintah atau tuntutan yang harus terjadi terus-menerus serta berulang-ulang dengan dorongan pribadi Roh yang bekerja di belakangnya)?

Pernyataan di atas sudah merupakan bukti pertama bahwa pernyataan yang mengatakan istilah "baptisan" sama dengan istilah "kepenuhan" tidak sesuai lagi dengan prinsip firman Tuhan.

Sekarang kita meninjau bukti kedua. Apakah di dalam Kisah Para Rasul dokter Lukas juga mencatat mengenai baptisan Roh sebagai syarat orang Kristen mendapat kuasa setelah mereka menjadi percaya? Apakah kejadian atau peristiwa satu-satunya di dalam Kisah 19:1-7 (di mana istilah baptisan disebutkan dalam ayat 3-5) boleh kita ambil sebagai prinsip universal yang berlaku bagi semua jemaat di segala abad dan tempat? Mengapa di dalam peristiwa Kisah 8:14-17 dokter Lukas tidak memakai istilah "baptisan" Roh? Apakah ia tidak konsisten? Mengapa pula ada orang yang langsung menyamakan istilah "menerima" Roh Kudus dengan istilah "baptisan" Roh? Jikalau baptisan Roh merupakan "second blessing" yang tentunya perlu dan penting bagi semua orang yang telah percaya, mengapa pengalaman itu tidak nampak dan tidak disebutkan terjadi pada diri sida-sida dari Etiopia yang telah menjadi percaya itu (Kisah 8:26-40), dan juga tidak ada pengalaman "berkat kedua" yang terjadi pada diri Paulus sesudah ia percaya kepada Kristus (Kisah 9:1-30 band. 11:19-30 dst.)? Apakah kita boleh mengatakan bahwa "tidak disebutkan (di dalam Alkitab) belum tentu tidak ada," sambil kita meragukan kelengkapan Alkitab sebagai firman Allah?

Jikalau demikian bagaimanakah kita mulai menjelaskan Kisah 2:4, apakah ini merupakan peristiwa "second blessing" yang juga berlaku bagi semua orang Kristen di segala abad? Untuk menjawab ini saya ingin mengajak kita melihat apa yang dijelaskan oleh John Stott (Baptisan dan Kepenuhan, h. 12-15) yang intinya adalah sebagai berikut: dalam Kisah 2 terdapat dua kelompok manusia, yakni 120 orang yang sudah percaya (bnd. Kisah 1:15) dan 3000 orang yang pada saat itu baru mau percaya (2:41). Ke-120 orang menerima kepenuhan Roh pada saat itu, demikian pula ke-3000 orang menerima pengampunan dosa serta karunia Roh pada waktu itu juga (2:38-40).

Orang Kristen zaman sekarang tentu saja tidak boleh menyamakan diri dengan kelompok pertama yaitu ke-120 orang itu. Pengalaman mereka sebagai murid-murid pertama adalah pengalaman yang unik dan khusus. Orang Kristen zaman sekarang harus melihat kepada pengalaman ke-3000 orang itu karena situasi historis seperti yang dialami ke-120 orang itu telah lama berhenti.

Tetapi bagaimana kita membuktikan pernyataan terakhir tadi?

Jawabnya terdapat di dalam Kisah 11:15-17. Inilah bukti Alkitab menjelaskan Alkitab! Pada waktu itu Petrus sedang mempertanggungjawabkan keberaniannya untuk menginjil atau bertemu dengan bangsa kafir (di luar orang Israel). Ia menjelaskan bagaimana Kornelius sekeluarga (yang sebelumnya bukan orang Kristen) juga telah menerima Kristus sebagai Juruselamat dan Roh Kudus telah turun ke atas mereka (10:34-48). Tetapi yang menarik adalah Petrus mengatakan bahwa pengalaman Kornelius sekeluarga "sama seperti dahulu ke atas kita", yaitu ke-120 orang itu! Pernyataan seperti itu diulang kembali pada ayat ke-17. Jadi bagi Petrus, janji tentang baptisan Roh juga direalisasikan pada waktu Kornelius sekeluarga menjadi percaya, ketika menerima Kristus sebagai Juruselamat ketika itulah mereka dibaptis oleh Roh.

Apabila kita membandingkan hal ini dengan 1 Korintus 12:13 maka terlihatlah apa yang dicatat oleh Lukas sama sekali tidak bertentangan dengan pandangan rasul Paulus. Bentuk "aorist tense" (bentuk masa lampau bagi peristiwa yang terjadi satu kali saja) pada 1 Korintus 12:13 memperkuat apa yang telah disebut di atas. Baptisan Roh terjadi satu kali saja yakni pada saat seseorang menerima Kristus sebagai Juruselamat. Paulus, kepada orang Korintus yang pada saat itu hidup dalam daging serta kekacauan lainnya, mengatakan bahwa mereka (dahulu pada waktu percaya) telah dibaptis oleh Roh. Jadi; baptisan Roh berhubungan dengan status dan posisi kita di hadapan Tuhan pada saat kita menjadi percaya, bukan berhubungan dengan keadaan kita dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman kita.

Lalu, bagaimana menjelaskan peristiwa di dalam Kisah 8:5-17 dan 19:1-7? Karena kedua peristiwa itu merupakan kasus khusus, dan juga karena keterbatasan ruang, saya menganjurkan para pembaca menyimak buku John R. Stott (Baptisan dan Kepenuhan, h. 15-20). Di sana telah diuraikan secara mendetail dan mengena tentang kedua peristiwa tersebut.

Sebagai kelanjutannya, kita akan memaparkan bukti yang ketiga. Ini berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang menerima baptisan Roh atau kepenuhan Roh akan menampakkan tanda-tanda, di antaranya yang paling dominan adalah kemampuan berbahasa lidah (glosolalia). Apakah betul ada hubungan yang erat antara baptisan Roh dengan glosolalia? Apakah Tuhan Yesus pernah mengajarkan kepada murid-murid-Nya tentang glosolalia? Apakah para rasul pernah menuntut jemaat mula-mula dengan keharusan glosolalia sebagai bukti bahwa Roh Kudus telah diterima?

Apabila kita melihat ke dalam Kisah 2 di sana tidak akan ditemukan indikasi bahwa ke-3000 orang yang percaya itu (2:41) berkata-kata dalam bahasa lidah, sekalipun jelas mereka telah menerima Roh Kudus. Hal yang sama juga terjadi pada orang lumpuh dalam Kisah 3, pada ke-5000 orang yang percaya dalam Kisah 4, pada sida-sida dari Etiopia dalam Kisah 8, dalam Kisah 11 pada orang percaya di Antiokhia, pada orang-orang percaya lainnya di dalam Kisah 13, 14, 16. Di dalam semua peristiwa itu tidak tercatat bahwa mereka berglosolalia. Yang ada hanya laporan bahwa sebagian besar mereka dibaptis dengan air.

Sebelum kita meneruskan fakta lainnya, ada baiknya kita melihat arti dari "kepenuhan", "penuh dengan", atau "dipenuhi oleh" Roh. Secara umum dipenuhi oleh Roh berarti dikuasai dan didominasi oleh hadirnya Pribadi dan kuasa Roh dalam diri orang percaya. Bila dibandingkan dengan konteks Efesus 5:18, dipenuhi Roh dapat berarti "berada di bawah pengaruh Roh" (bandingkan dengan "mabuk anggur" yang artinya "di bawah pengaruh anggur"), dalam pengertian yang kontinyu dan (bisa) berulang kali (perhatikan bentuk present tense). Dalam satu kalimat dapat dikatakan bahwa pemenuhan Roh merupakan suatu tuntutan yang seharusnya ada di dalam diri orang Kristen secara terus-menerus dan nyata terlihat dari luar oleh orang lain.

Dipenuhi Roh berlainan dengan baptisan Roh. Baptisan Roh berlangsung atau terjadi hanya satu kali yaitu ketika seseorang menerima Kristus sebagai Juruselamat. Ia diyakinkan oleh Roh tentang keselamatan, dilahirbarukan, dimeteraikan, dan dibaptis oleh Roh (bnd. 1 Kor 12:13). Barulah setelah itu orang tersebut bisa atau tidak dipenuhi Roh tergantung kepada kadar imannya serta penyerahannya di hadapan Tuhan.

Maka jelaslah bahwa seorang Kristen yang tidak dipenuhi Roh adalah seorang Kristen yang "kering". Hal ini akan terlihat dalam seringnya ia gagal dalam menghadapi pencobaan, tidak tampak buah Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, ...penguasaan diri), tidak mampu dan tidak mau bersaksi, tidak ada kemajuan dalam pelayanan, tidak ada kuasa, dan sebagainya.

Tetapi sebaliknya, ada satu catatan yang menarik yang dapat kita lihat di dalam Alkitab tentang orang yang dipenuhi Roh; yaitu bahwa orang yang dipenuhi Roh tidak pernah mengatakan bahwa dirinya dipenuhi Roh. Orang lain yang melihat dan menyaksikan bahwa ia dipenuhi Roh. Mereka menyaksikan ada buah Roh dan buah pelayanan di dalam kehidupannya. Sebab itu kepenuhan Roh adalah suatu keharusan, sesuatu yang normal bagi kehidupan setiap orang Kristen. Kepenuhan Roh tidak boleh dianggap sebagai sesuatu keanehan, kelainan, sesuatu yang luar biasa, dan hanya sedikit orang saja yang dipenuhi; Billy Graham mengatakan: "It is intended for all, needed by all, and available to all."

Mengapa kepenuhan Roh perlu ada pada setiap orang Kristen?

Dari Kisah 1:8 kita mendapatkan satu ajaran yang sangat penting, yaitu bahwa kepenuhan Roh mempunyai tujuan menjadikan murid Tuhan sebagai seseorang yang menjalankan misi Tuhan dengan kuasa untuk memenangkan jiwa. Bukti yang paling dekat ialah ketika Petrus dan orang Kristen mula-mula itu dipenuhi Roh mereka langsung menjadi saksi Tuhan yang berkuasa sehingga hasilnya adalah 3000 orang bertobat (Kisah 2:4, 11, 41).

Sedangkan apabila kita menarik konteks pasal 4:31, terlihatlah bahwa murid-murid itu dipenuhi Roh dengan satu maksud, yaitu memberitakan firman Allah. Inilah yang seharusnya menjadi "acid test" (tes investigasi) pada masa kini. Apakah sebenarnya motivasi orang-orang yang mencari-cari kuasa melalui baptisan atau kepenuhan Roh? Apakah itu untuk kepuasan dan kesenangan diri sendiri? Untuk pameran? Untuk peningkatan harga diri rohani? Atau sebaliknya, supaya Kristus dipermuliakan?

Sungguh sangat disayangkan kenyataannya, dewasa ini ada sejenis gerakan yang ultra-ekstrim menutup mata terhadap fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas. Bahkan secara blunder, mereka berani mengajarkan bahwa orang yang belum mengalami baptisan dan kepenuhan Roh adalah orang yang tidak akan Tuhan selamatkan. Padahal aliran induk mereka sendiri, yang lahir kira-kira tahun 1900, dewasa ini mengharamkan ajaran "absurd" tersebut (lih, bagian B tentang Pandangan Aliran Tertentu).

Apabila sesudah uraian panjang lebar di atas masih terdapat orang yang mengatakan bahwa ciri satu-satunya dari kepenuhan Roh adalah glosolalia, maka sekali lagi bukti dari Alkitablah yang seharusnya diteliti dengan seksama. Misalnya, jelas bahwa Petrus dua kali disebut sebagai orang yang penuh dengan Roh (Kisah 2:4; 4:8), namun ia tidak berbahasa lidah. Stefanus juga dua kali disebut demikian (6:5; 7:55) dan ia sama sekali tidak berbahasa Roh. Barnabas, yang menjadi rekan pembimbing Paulus yang mula-mula sekali, juga adalah orang yang dipenuhi Roh tanpa glosolalia (11:24). Jemaat Kristen awal juga demikian (4:31). Akan halnya Paulus dua kali ia dicatat "penuh dengan Roh Kudus" tetapi tidak langsung disambung dengan catatan bahwa ia berbahasa lidah (9:17; 13:9), walaupun Paulus sendiri mengaku bahwa ia dapat berbahasa roh lebih daripada orang lain (1 Kor. 14:18).

 D. PENUTUP

Setelah dipaparkan tentang kekeliruan eksegetikal dan hermeneutikal dalam tafsiran atau praanggapan pandangan tertentu tentang baptisan dan kepenuhan Roh, mungkin timbul keberatan dari sementara fihak yang mengatakan bahwa cara pembuktian eksegetikal dan hermeneutikal tersebut merupakan cara yang dogmatis kaku, membatasi lingkup atau kebebasan karya Roh. Kita tidak boleh terpaku pada "huruf-huruf yang mati" apalagi bahasa asli dari Alkitab. Bukankah "...hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan" (2 Kor 3:6)?

Apabila yang dimaksud adalah Alkitab tidak perlu terlalu menjadi ukuran atau patokan ini itu dalam urusan rohani gereja, maka harus dipertanyakan dengan patokan apakah gereja hidup di tengah-tengah segala - rupa angin pengajaran palsu? Bagaimanakah seseorang menghindarkan dirinya dari prasuposisi subyektif di dalam mendekati segala sesuatu? Siapakah di antara para pemimpin gereja dewasa ini yang berani mengatakan "Thus saith the Lord to me" dengan isi yang lain dari keseluruhan isi Alkitab, "sui generis", hingga perkataannya berbobot sama setara dengan isi Alkitab? Jikalau kita menemukan tokoh seperti itu, maka ia boleh disebut sebagai nabi atau rasul, entah ia berasal dari Korea, Amerika Serikat, Surabaya, Jakarta, Semarang atau Depok (Bogor).

Seharusnyalah setiap orang percaya dibangun di atas kebenaran firman Tuhan, karena dari sanalah bersumber segala sistem iman Kristen. Namun, tanpa pretensi apapun, kita harus mengakui bahwa "Exegesis without presupposition is impossible". Tinggal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana bentuk prasuposisi seseorang pada saat ia mendekati firman Tuhan? Apakah sudah terdapat kecurigaan kita bahwa Alkitab itu penuh dengan kesalahan? Apakah kita menganggap Alkitab terlalu kaku untuk dijadikan pedoman prinsip-prinsip dasar kehidupan Kristen?

Setelah tanggapan dan kritik, kiranya perlu diberikan beberapa segi positif yang timbul dari aliran yang menekankan baptisan dan kepenuhan Roh. Segi positif yang memang merupakan "blessing in disguise" ini disampaikan bukan dengan tujuan sekedar basa-basi, tetapi merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Pertama, situasi jemaat Kristen yang mengalami kelesuan, kehilangan kuasa dan kasih menjadi dingin, seyogyanya merupakan tantangan bagi kita semua. Apakah jemaat kita telah betul-betul menghayati soal peranan pribadi Roh Kudus di dalam kehidupan individual mereka? Apakah para aktivis jemaat kita merupakan orang-orang yang penuh dengan Roh? Kedua, permasalahan di atas seharusnya membangkitkan visi kita untuk memikirkan pola pembinaan warga jemaat kita dengan pengajaran alkitabiah. Sudah seberapa jauh mereka mengenal pribadi dan pengajaran tentang Roh Kudus? Memang betul ada aliran yang terlalu ekstrim menekankan soal peranan Roh, tetapi bukankah sebaliknya cukup banyak gereja dewasa ini yang terlalu meremehkan peranan Roh di dalam kehidupan jemaat baik secara sadar maupun tidak? Biarlah kalimat-kalimat di atas menjadi "sepotong tebu manis" yang kita cicipi di tengah kekeringan tenggorokan kita. Sesudah itu, dengan semangat yang lebih baru dan positif, kita isi hari depan gereja dengan sejarah yang lebih indah lagi.

 DAFTAR BAHAN ACUAN

Abineno, JL. Ch. Roh Kudus dan Pekerjaan Nya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.

Bridge, Donald & David Phypers. Karunia-karunia Roh dan Jemaat. Bandung: Kalam Hidup.

Bruner, Frederick Dale. A Theology of the Holy Spirit. Grand Rapids: Eerdmans, 1982.

Coleman, Robert E. Roh dan Firman. Bandung: Kalam Hidup.

Graham, Billy. The Holy Spirit. Waco: Word Books, 1978.

Marshall, Catherine. Roh Kudus Penolong Kita. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.

Stott, John R.W. Baptisan dan Kepenuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.

White, R.E,O. Jawabnya adalah Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA