Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 > 
MISI GEREJA: SUMBER KONFLIK 
Penulis: Arliyanus Larosa
 PENDAHULUAN

Misi adalah hal yang sangat mutlak bagi gereja (bahkan bagi semua agama). Tanpa misi, gereja tidak akan pernah ada. Sebab Gereja hadir karena misi. Namun, justru karena misi itu sangat penting dan mutlak bagi gereja, maka misi itu sering disalahpahami. Misi sering menjadi persoalan baik secara intern maupun ekstern, baik dalam hubungan antar gereja, maupun hubungan antar gereja dengan umat beragama lain. Misi menjadi persoalan dalam hubungan antar gereja, ketika kata itu dipakai oleh gereja tertentu untuk mengukur aktivitas gereja lain. Ungkapan seperti: "gereja itu tidak memiliki misi",. menjadi contoh dari persoalan ini. Misi menjadi persoalan dalam hubungan antar agama, ketika aktivitas yang disebut "misi" oleh gereja tertentu dipandang sebagai ancaman oleh agama lain. Misi dipandang sebagai sumber dari konflik yang terjadi dalam hubungan antara agama, secara khusus dalam hubungan antar agama Islam dari Kristen di Indonesia.

Hal terakhir inilah yang akan menjadi fokus dari tulisan atau artikel ini. Dalam tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk menjawab pertanyaan: Benarkah misi menjadi sumber konflik antar agama (baca: Islam Kristen) di Indonesia? Dan dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menunjukkan bahwa hal ini sebenarnya hanya merupakan kesalahpahaman. Dengan perkataan lain, yang saya hendak uraikan adalah dugaan saya tentang kesalahpahaman yang potensial menimbulkan konflik, isi dari dan penyebab munculnya kesalahpahaman tersebut, serta sedapat mungkin berusaha menempatkan yang disalahpahami itu pada tempat yang sebenarnya.

Suatu Kesalahpahaman

Pada hemat saya, ada dua isu sentral yang telah menyebabkan munculnya kesan bahwa misi Kristen di Indonesia adalah sumber konflik antara agama, minimal sumber ketidakharmonisan hubungan antara agama, secara khusus hubungan antara Islam - Kristen di Indonesia. Yang pertama adalah isu "kristenisasi" (dan juga "islamisasi"). Isu inilah yang memberikan sumbangan terbesar dalam terciptanya keadaan yang rawan dalam hubungan antar kelompok agama di Negeri yang kita cintai ini. Padahal Kristenisasi adalah kata yang tidak dikenal dalam kamus teologi atau sejarah gereja. Misiologi (yang disebut-sebut sebagai induk dari istilah Kristenisasi) juga tidak mengenal istilah ini. Tapi, aneh bin ajaib, istilah ini dipakai begitu sering dalam percakapan warga tentang misi gereja, seolah kata ini adalah kata yang sudah jelas maksudnya dan celakanya, kata kristenisasi dipandang mengandung nilai yang benar pula.

Pada hemat saya, istilah kristenisasi ini muncul sebagai akibat dari kesalahpahaman tentang misi gereja, baik oleh kalangan Kristen maupun oleh kalangan non Kristen (baca: Islam). Ada kalangan tertentu dalam kekristenan yang memang memahami dan meyakini misi gereja itu sebagai usaha untuk menjadikan semua bangsa di dunia ini menjadi pemeluk agama Kristen. Dan bertolak dari keyakinan ini, mereka mengembara ke segala pelosok yang mungkin, untuk mengajak orang menjadi penganut agama Kristen. Dan dalam usaha itu, kalangan tertentu tersebut tidak segan-segan memakai segala macam metode, termasuk pembandingan yang berat sebelah terhadap validitas ajaran agama lain, yang ujung-ujungnya tentu pemutlakan ajaran gereja (yang mereka anut) sebagai satu-satunya yang benar. Dan inilah yang agaknya dimaksudkan dengan kristenisasi. Pada sisi lain, ada kalangan non Kristen, yang mencurigai segala sesuatu yang dilakukan gereja sebagai usaha bujuk rayu untuk berpindah agama dan memeluk agama Kristen. Usaha-usaha yang tulus, tanpa pamrih, dari kalangan Kristen (tertentu) untuk berbagi tetap dicurigai (dan karena itu sering sekali ditolak): hanya sebagai tipu daya yang ujung-ujungnya mengajak pindah agama. Dan inilah yang agaknya mereka maksudkan dengan istilah kristenisasi.

Hal kedua yang sering menjadi penyebab munculnya kesalahpahaman ini adalah pertanyaan keliru yang sering diajukan dalam membandingkan kebenaran agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam pendekatan antara kekristenan dan agama-agama dunia, ada suatu asumsi yang hampir tidak diragukan bahwa satu-satunya pertanyaan yang benar adalah, "Apakah yang terjadi terhadap orang non Kristen sesudah kematian?" Lebih celaka lagi karena pertanyaan ini diajukan bukan karena sungguh-sungguh ingin bertanya, bukan karena keinginan yang tulus untuk mendengar jawaban iman dari pihak-pihak yang ditanyakan itu melainkan sekedar basa-basi, yang dijadikan pintu bagi penghakiman terhadap kebenaran agama lain. Artinya, dalam mengajukan pertanyaan tersebut, sang penanya biasanya sudah punya jawaban yang absolut. Dan jawaban yang absolut ini dipakai sebagai alat untuk menilai jawaban yang diberikan oleh pihak yang ditanyakan yang ujung-ujungnya mengajak agar pihak lain itu mengakui kekeliruan, minimal ketidakcukupan iman yang ia atau mereka anut selama ini dan mengakui kemutlakan iman Kristen.

Akar-akar Kesalahpahaman

Kesalahpahaman tentang misi gereja ini saya duga (karena saya memang belum melakukan penelitian tentang hal ini) pertama-tama bersumber dari kesalahpahaman tentang apa yang biasa disebut "Amanat Agung" (Mat 28:19-20) yang berbunyi: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman". Ada kalangan Kristen yang memandang ayat tersebut sebagai dasar misi; karena itu mereka memakai ayat ini sebagai legitimasi terhadap usaha kristenisasi, seperti dimaksud dalam pemahaman di atas. Perintah, yang diasalkan Penulis Injil Matius pada Yesus, untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus, membaptis dan mengajarkan ini, dianggap sebagai perintah yang sangat jelas terhadap usaha kristenisasi. Dalam buku-buku. seperti: "Menjawab Tantangan Amanat Agung"; "Menjadi dan Menjadikan Murid Kristus".. "Injil untuk Semua Orang", misalnya, hal ini amat sangat jelas terlihat. Dalam buku-buku tersebut, Amanat Agung ditafsirkan sebagai perintah untuk pergi ke seluruh dunia (terutama yang penduduknya belum menjadi pemeluk agama Kristen) untuk menobatkan orang-orang di situ menjadi pengikut Kristus. Pengikut Kristus di sini disamaartikan dengan menjadi penganut agama Kristen dan menjadi anggota gereja.

Pada sisi lain, kecurigaan pihak non Kristen di Indonesia berakar pada persepsi yang keliru terhadap kebijakan pemerintah Belanda terhadap Pekabaran Injil di Indonesia pada zaman kolonial dulu. Alwi Shihab dalam bukunya Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, misalnya, antara lain mengatakan bahwa sejak semula ada kecurigaan yang sangat tinggi dari pihak Islam (baca: Muhammadiyah) terhadap misi Kristen di Indonesia (maksudnya Pulau Jawa). Bagi tokoh seperti Ahmad Dahlan, misalnya, kuatnya misi Kristen pada zaman kolonial dipandang sebagai awal dari kekuatan dahsyat yang akan mengusir Islam secara menyeluruh dari bumi Indonesia. Karena itu, muncullah reaksi untuk menentang misi Kristen dimana saja dan dalam bentuk apapun. Namun, demikian lanjut Alwi, meskipun ada usaha yang sangat keras untuk menentang misi Kristen dari pihak Islam, agama Kristen pada waktu itu tetap tampil sebagai pemenang, karena pihak pemerintahan kolonial Belanda memberi dukungan yang sangat besar bagi usaha kristenisasi di Pulau Jawa tersebut. Dan inilah, menurut Alwi, yang menjadi sumber kecurigaan pihak Islam terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Indonesia. Bahkan ketika pada masa kini, ada kalangan Kristen yang tulus terlibat dalam usaha menanggulangi masalah-masalah sosial di Indonesia, kalangan Islam tertentu tetap mencurigainya sebagai usaha terselubung untuk kristenisasi.

Apakah Pandangan-pandangan tersebut Benar?

Namanya saja kesalahpahaman! Ya, pasti salah! Amanat Agung tentu bukan perintah dan karena itu tidak boleh menjadi legitimasi kristenisasi. Perintah menjadikan murid (matheteusate), yang adalah kata kerja utama dan berarti sebagai atau menjadi inti dari pengutusan tersebut (sebab dua kata kerja lain: membaptiskan dan mengajar bersifat partisipatif, yang menerangkan kata kerja utama), adalah perintah untuk melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, seperti dicatat oleh penulis Injil Matius dalam Injilnya. Jadi, ketika Matius mengidentifikasikan misi sebagai "menjadikan murid", ia tidak berpikir tentang menambah anggota-anggota baru ke dalam "Jemaat". Menjadi murid tidaklah sama dengan menjadi anggota sebuah "gereja setempat", "menjadikan murid" tidak semata-mata berarti peluasan jumlah gereja secara angka. Menjadikan murid lebih merupakan perintah untuk menjadikan orang lain memiliki pengalaman seperti yang dimiliki para murid pertama. Artinya sebagaimana para murid Yesus meneladani Yesus dalam ketaatanNya kepada kehendak Bapa-Nya, demikian juga para murid harus membuat orang lain dapat meneladani mereka dalam ketaatan pada kehendak Bapa yang diajarkan Yesus. Para murid dari murid Yesus itu juga harus melakukan hal yang sama kepada orang lain, dan demikian seterusnya. Atau, kalau mengikuti kata kerja partisipatifnya: "Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu...", maka memuridkan berarti membuat orang lain melakukan apa yang telah diajarkan Yesus. Mat 7:21 mengatakan: "Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." Jadi, Amanat Agung lebih menekankan ortopraksis ketimbang ortodoksi.

Tentang dukungan pemerintah Belanda bagi misi Kristen pada masa lampau, saya harus menegaskan bahwa kita tidak boleh melihatnya secara sederhana seperti kesan sebagian kalangan Islam dalam buku Dr. Alwi Shihab. Perlu diingat bahwa berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang terkesan memberi dukungan terhadap misi Kristen itu, sesungguhnya tidak pertama-tama bertolak dari keinginan untuk mendukung misi Kristen, melainkan sebagai alat untuk memperkokoh cengkeraman Belanda terhadap masyarakat Indonesia pada waktu itu. Belanda berasumsi bahwa dengan menjadikan masyarakat Indonesia memeluk agama Kristen maka mereka dapat dengan mudah dijinakkan atau minimal ditarik untuk memihak Belanda. Asumsi pemerintahan Belanda ini kemudian sudah terbukti sangat keliru. Sebab bukan hanya orang Kristen Indonesia yang akhirnya menentang Belanda, melainkan para misionaris Belanda juga.

Mengenai pertanyaan: "Apakah yang terjadi terhadap orang non Kristen sesudah kematian?" saya ingin menegaskan bahwa ini adalah pertanyaan yang salah! Dan sepanjang itu tetap merupakan pertanyaan yang sentral, maka kita tidak pernah akan sampai kepada kebenaran.

Apa Yang Harus Kita Lakukan?

Untuk meluruskan kembali pemahaman tentang misi sehingga terhindar dari salah paham, terutama anggapan bahwa seolah-olah misi Kristen memang sumber konflik; minimal dua hal yang harus kita lakukan. Pertama, memberi penjelasan yang jernih terhadap akar-akar kesalahpahaman tersebut; dan kedua, memberi penjelasan tentang motif-motif misi yang ada dalam Alkitab, sehingga semua pihak memahami dengan baik apa itu misi.

Sebagai usaha awal, maka dalam tulisan ini, saya akan berusaha memberi uraian ringkas terhadap kedua pokok tersebut.

 A. PENJERNIHAN KESALAHPAHAMAN

1. Amanat Agung

Seperti yang telah saya tuliskan di atas, inti pokok Amanat Agung adalah memuridkan dunia, dalam artian menjadikan semua orang melakukan yang Yesus telah ajarkan. Tema kemuridan memang merupakan hal sentral bagi Injil Matius dan pemahaman Matius mengenai gereja dan misi. "Para murid" adalah konsep eklesiologis yang paling khas dari penulis Injil" ini. Namun, baiklah kita pertama-tama berpaling pada kata kerjanya, matheteuein, 'menjadikan murid'. Kata kerja ini hanya muncul empat kali di dalam Perjanjian Baru, tiga di antaranya di dalam Matius (Mat 13:52; 27:57; 28:19) dan sekali di dalam Kis 14:21.

Mat 28:19 merupakan satu-satunya kesempatan ketika kata tersebut digunakan dalam bentuk perintah: matheteusate, "jadikanlah murid!". Lebih dari itu, kata ini adalah kata kerja utama dalam "Amanat Agung" dan inti dari pengutusan tersebut. Kedua kata partisipatifnya, "membaptiskan" dan "mengajar", jelas berada di bawah "menjadikan murid" dan menggambarkan bentuk "pemuridan" yang harus terjadi. Dengan pengertian ini dan bertentangan dengan unsur-unsur entusias dan antinominian dalam komunitasnya, Matius menggunakan perintah yang mendesak.

Konsep "murid" jauh lebih sentral di dalam Matius daripada dalam Injil-injil Sinoptik lainnya. Istilah ini muncul 73 kali di dalam Matius, dibandingkan dengan Markus (46 kali) dan Lukas (37). Bagi Matius, ungkapan "murid-murid" tidak mengacu pada keduabelas murid saja (seperti yang terjadi di dalam Markus dan Lukas). Kata ini digunakan dalam cara yang tidak begitu sempit meskipun keduabelas murid selalu dipradugakan bila kata ini digunakan. Secara lebih positif, bagi Matius, para murid yang pertama itu adalah prototipe bagi gereja. Dengan demikian, istilah tersebut meluas hingga mencakup para "murid" Matius sendiri pada zamannya.

Kaitan antara zaman Yesus dan zaman paguyuban Matius pada kenyataannya diberikan dalam perintah "Jadikanlah murid!" (Mat 28:19). Dengan kata lain, para pengikut Yesus yang hidup di bumi harus menjadikan orang lain apa yang telah terjadi pada diri mereka murid-murid. Jadi, para "murid" pada zaman Matius meneladani murid-murid Yesus yang pertama, seperti halnya para murid yang pertama itu meneladani Yesus sendiri. Jadi, bagi Matius, para murid yang pertama adalah model bagi paguyubannya sendiri, sebagai tokoh ideal yang harus diteladani; dan ia menganjurkan paguyubannya untuk "menjadikan murid" yang selayaknya mirip dengan para murid yang pertama.

Matius, dalam Injilnya, cenderung menekankan ortopraksis Ia memilih, dari tradisi Yesus, kisah-kisah dan ucapan-ucapan tentang perbuatan-perbuatan (khususnya "pekerjaan Kristus", Mat 11:21 tentang menghasilkan buah, tentang melakukan kehendak Allah, tentang ketaatan pada Torah, tentang kesempurnaan, juga tentang praktik keadilan. Semuanya ini jelas menunjuk pada suatu pemahaman yang sangat spesifik tentang misi. Baik penekanan yang legalitas terhadap doktrin yang benar maupun klaim yang entusiastik bahwa seseorang dipimpin oleh Roh tidak ada gunanya apabila hal tersebut tidak didukung oleh buah-buah yang dihasilkan "yang sesuai dengan pertobatan" (Mat 3:8). Sebuah pohon yang baik dikenali hanya melalui buah-buahnya (Mat 7:19-20).

Jadi, bagi Matius. menjadi murid berarti melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, yang telah dicatat oleh si penulis Injil secara terinci di dalam Injilnya. Misi tidak dipersempit pada kegiatan yang membuat seseorang suatu ciptaan yang baru, dengan memberikan mereka "janji yang pasti", sehingga apa pun yang terjadi, mereka akan "diselamatkan untuk selama-lamanya". Misi melibatkan, dari permulaan dan sebagai sesuatu yang sudah dipahami, usaha untuk membuat orang-orang percaya yang baru itu peka terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, membuka mata dan hati mereka untuk mengenali ketidakadilan, penderitaan, penindasan, dan kemalangan mereka yang tergeletak di tepi jalan. Tidak ada pembenaran untuk menganggap bahwa "Amanat Agung" melulu berurusan dengan "penginjilan" dan bahwa "Perintah yang Agung" (Mat 22:37-40) mengacu pada "keterlibatan sosial". Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacques Matthey.

Menurut "Amanat Agung" Matius, tidaklah mungkin melakukan pemuridan tanpa menyuruh mereka mempraktikkan panggilan Allah untuk melakukan keadilan bagi yang miskin. Perintah mengasihi yang merupakan dasar satu-satunya bagi keterlibatan gereja di dalam politik, adalah bagian yang integral dari perintah misi.

Apabila Matius mengidentifikasikan misi sebagai "menjadikan murid", ia tidak berpikir tentang menambahkan anggota-anggota baru ke dalam "jemaat" atau "mendominasi" yang sudah ada. Menjadi murid tidaklah sama dengan menjadi anggota sebuah "gereja setempat" dan "menjadikan murid" tidak semata-mata berarti perluasan jumlah gereja secara angka. Yang ideal, setiap anggota gereja harus menjadi murid sejati, tetapi jelas tidak demikian yang terjadi dengan paguyuban-paguyuban Kristen yang dikenal Matius; karena itu ia memperingatkan mereka akan perumpamaan tentang lalang di antara gandum (Mat 13:24-30) dan akan kenyataan bahwa ikan yang tidak berharga kadang-kadang ditangkap dalam pukat kerajaan (Mat 13:47-50).

Soalnya kini adalah: Apakah yang telah diajarkan oleh Yesus untuk dilakukan itu? David J. Bosch dalam salah satu bukunya, Transformasi Misi, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (yang juga telah menjadi dasar utama dalam uraian di atas), menegaskan bahwa hal ini berhubungan dengan Khotbah di Bukit yang terdapat dalam Mat 5-7. Saya ingin mengutip beberapa bagian dari ayat-ayat tersebut untuk memberi penegasan bahwa perintah menjadikan murid itu tidak sama dengan kristenisasi, dan karena itu tidak perlu menjadi sumber konflik. Lebih jauh, saya ingin menegaskan bahwa menjadikan murid itu justru memberi sumbangan dalam usaha mewujudkan kedamaian dan keserasian hubungan antar agama di Indonesia, bahkan bagi persatuan bangsa.

- Mat 5:9 "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah".

Nas ini hendak mengatakan bahwa seseorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus harus mengusahakan perdamaian atau membawa damai (bukan hanya cinta damai). Perdamaian di sini bukan berarti menghindarkan diri dari persoalan-persoalan, melainkan menghadapinya secara baik, meskipun jalan ke arah itu merupakan jalan yang berat.

- Mat 5:13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang".

Nas ini hendak mengatakan bahwa seseorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus harus menjadi alat untuk mencegah terjadinya pembusukan dan sekaligus mendatangkan kenikmatan bagi sesama.

- Mat 5:22

"Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala".

Nas ini, terutama bagian terakhir, memberi peringatan yang sangat keras kepada murid Kristus agar tidak pernah memandang orang lain sebagai kafir, tidak mempunyai Tuhan, tidak memiliki keselamatan. Dengan perkataan lain seorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus, tidak boleh menempatkan keabsolutan keyakinannya sebagai alat untuk menilai, apalagi menghakimi keyakinan sesama yang berbeda keyakinan.

- Mat 7:1

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi".

- Mat 7:12

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Kalau kita menghendaki orang lain menghormati keyakinan agama kita, maka hormatilah keyakinan agamanya terlebih dahulu. Kalau kita tidak menghendaki orang lain menjelek-jelekkan agama kita atau menarik anggota kita, maka jangan juga melakukan hal itu kepada orang lain.

Itulah antara lain yang harus dilakukan atau diperlihatkan oleh pengikut Kristus dalam rangka memuridkan dunia. Dan ini jugalah yang harus mereka ajarkan kepada orang lain agar orang lain lakukan. Dengan melakukan hal ini dan membuat orang lain melakukannya, maka para pengikut Kristus telah memenuhi perintah untuk menjadikan semua bangsa menjadi murid Yesus. Dan kalau ini bisa terjadi, bukankah konflik akan segera menjadi "fosil"? Bukankah kedamaian dan persatuan akan serta terwujud?

Mengenai "baptiskan" dapat dikatakan bahwa bagi Matius baptisan adalah pintu melalui mana orang dipanggil untuk menjadi murid Yesus. Baptisan bukankah suatu tindakan ataupun keputusan manusia, melainkan suatu pemberian kasih karunia. Melalui baptisan orang yang dibaptiskan itu dijadikan peserta dalam keseluruhan kesempurnaan janji ilahi dan realitas pengampunan dosa. Jadi, baptisan disini adalah akta simbolis dari pengampunan dosa. Itulah sebabnya dalam Amanat Agung tidak tercantum kata pengampunan dosa. Sebab bila dicantumkan itu akan menjadi berlebihan. Bagi Matius, hal ini sudah dengan sendirinya tercantum dalam rumusan baptisan: "Seseorang menjadi murid melalui baptisan karena di situ dosa-dosanya diampuni". Seperti yang juga dikatakan oleh Paulus (justru dalam konteks sebuah teks baptisan!), "bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus" (Rm 6:11), dengan kata lain, terimalah sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh apa yang telah Allah lakukan, dan bertindaklah sesuai dengan hal itu! Apa yang telah dilakukan Allah di dalam Kristus -- pengampunan dosa -- adalah sebuah titik tolak dalam kehidupan baru sang murid dan dimeteraikan dalam akta baptisan.

Dari apa yang telah kita lihat di atas, perintah "ajarlah mereka" bersama-sama dengan perintah "baptislah mereka", tampaknya merupakan isi yang sesungguhnya dari upaya pemuridan. Dan karena itu pula, merupakan misi di dalam pemahaman Matius. Lebih jauh tampak bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda dengan misi dalam ayat-ayat paralel dalam Injil-injil yang lain dan di dalam Kisah Para Rasul. Dalam Luk 24:47 pesan yang diberitakan kepada bangsa-bangsa adalah pesan pertobatan dan pengampunan dosa di dalam nama Yesus. Dalam Kis 1:8, kepada murid diberitahukan bahwa mereka akan menjadi saksi peristiwa Paskah, yang dikuatkan oleh Roh Kudus. Dalam Yoh 20:21-23, para murid pun dijanjikan Roh Kudus dan diutus ke dalam dunia oleh Kristus yang bangkit dengan kuasa untuk mengampuni dosa. Matius, tampaknya sedikitpun tidak mempunyai pemahaman hal ini. Yesus, menurut Matius, kedengaran sangat didaktis dan legalistis dan sangat memalukan, khususnya bagi kaum Protestan, yang lebih suka mendengar tentang pemberitaan daripada pengajaran, tentang pengampunan dosa dan kuasa Roh Kudus daripada menjalankan perintah-perintah.

Markus menggunakan kata "memberitakan" (keruso) dan "mengajar" (didasko) sebagai sinonim. Matius secara konsisten membedakan kedua aktifitas tersebut. Dalam Matius, "berkhotbah" dan "memberitakan" selalu mengacu pada pesan yang ditujukan kepada orang luar. Kata ini sering kali digunakan bersama-sama dengan "Injil kerajaan". Ungkapan "memberitakan Injil (kerajaan)" kadang-kadang digunakan dengan acuan khusus pada suatu misi (kepada bukan Yahudi) di masa depan (Mat 24:14; 26:13; bdk. 10:7). Yesus tidak pernah "berkhotbah" kepada murid-muridNya: Ia "mengajar" mereka. Demikian pula di rumah-rumah ibadah dan di bait Allah (artinya di antara "orang-orang percaya") Yesus tidak pernah "berkhotbah". tetapi selalu "mengajar". Jadi, mengapa Ia membuang istilah yang sangat misioner di dalam 'Amanat Agung'-Nya? Mengapa tidak ada satu kata pun tentang "berkhotbah" (sembilan kali dalam Matius), "memberitakan Injil" (empat kali), "menginjili" (sekali)? Inilah jenis istilah yang digunakan Yesus dalam kisah pengutusan dalam Mat 10. Jadi, mengapa kata ini tidak muncul di sini, dalam suatu pengutusan yang melibatkan upaya menjangkau dunia?

Di balik pemilihan kata-kata ini terdapat pertimbangan-pertimbangan teologis dan misiologis yang penting. Sebab, bagi Matius, mengajar bukanlah semata-mata suatu upaya intelektual. Pengajaran Yesus adalah suatu himbauan kepada kehendak para pendengarnya bukan terutama kepada intelek: ini merupakan panggilan untuk suatu keputusan yang konkrit untuk mengikut Dia dan untuk taat pada kehendak Allah. Apa yang harus "diajarkan" oleh para rasul kepada murid-murid yang baru menurut Mat 28:20 adalah taat pada kehendak Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam pelayanan dan pengajaran Yesus. Tidak ada Injil yang dalam suatu entusiasme Roh dapat menjauhkan dirinya dari Yesus yang pernah hidup di dunia. Perintah-perintahNya tetap berlaku dan berkuasa, juga untuk masa depan. Kesinambungan harus dipertahankan antara Yesus, yang pernah hidup di dunia dan Kristus yang dimuliakan. Mereka yang dijadikan murid-murid dan dibaptiskan oleh utusan-utusan Kristus harus mengikuti Yesus sebagaimana yang dilakukan oleh kesebelas murid. Jadi, kemuridan ditentukan oleh hubungan dengan Kristus sendiri bukan oleh ketaatan pada perintah-perintah yang tidak pribadi. Konteksnya bukanlah ruangan kelas (dimana "pengajaran" biasanya berlangsung untuk kita), bahkan bukan pula gereja, melainkan dunia.

Namun, kita harus berbicara lebih jauh dengan jalan mewujudkan pengajaran ini, "perintah-perintah" Yesus ini. Istilah yang digunakan Matius yang segera muncul dalam pikiran kita ketika kita berusaha melakukan ini adalah "kehendak Bapa-Ku". Lebih daripada para penulis Injil lainnya, Matius menyoroti sentralitas kehendak Allah bagi Yesus dan murid-murid. Dalam Mat 7:21 acuan pada kehendak Bapa muncul dalam suatu konteks eskatologis dengan latar belakang penghakiman terakhir, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." Dalam nada yang sama "Bapamu yang di sorga tidak menghendaki" ada salah seorang dari anak-anak ini hilang (Mat 18:14).

Dengan demikian, kasih kepada sesama dapat dianggap sebagai tolok ukur untuk kasih kepada Allah. Hal yang sama pun berlaku bagi perbuatan. Perbuatan pun merupakan ujian bagi otentisitas dari kata-kata. "Percaya", "mengikut Yesus", "mengerti", semuanya mengandung unsur komitmen aktif yang mengalir ke dalam perbuatan.

Secara khusus keprihatinan ini muncul di dalam Khotbah di Bukit, bagian pertama dari lima komposisi besar Matius tentang pengajaran Yesus, khususnya dalam bagian yang terakhir (bdk. Mat 7:21) "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku; Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga," dan Mat 7:24, "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya ...." Matius sendiri menyarikan keseluruhan pelayanan Yesus dengan kata-kata "pekerjaan Kristus" (ta erga tou Christou - Mat 11:2. Ringkasan ini muncul dalam bagian utama yang penting dari Injilnya setelah dua percakapan pertama dan sebelum tiga percakapan yang terakhir). Ungkapan "Pekerjaan Kristus" dapat dianggap sebagai judul dari seluruh paroan pertama dari Injil ini dan jelas mempunyai konotasi misioner; sesungguhnya, bagian ini adalah suatu konsep misioner kunci dan yang memberikan capnya dan pemahaman dasar Matius tentang misi.

Dalam konteks inilah kita harus menghargai pemahaman Matius tentang dosa atau kegagalan, atau yang lebih khas adalah kemunafikan. Konteksnya mengungkapkan bahwa hal ini berarti tiadanya perbuatan yang baik, buah-buah, meskipun misalnya seseorang mempunyai kata-kata yang benar. Sebuah kata yang hampir mirip dengan kemunafikan adalah anomia ("kejahatan"). Matius, satu-satunya penginjil yang menggunakan kata ini. Dia menggunakannya empat kali. Hal ini memperlihatkan bahwa, bagi Matius, kemunafikan itu lebih dari sekadar berpura-pura atau sok suci. Kemunafikan adalah kejahatan; kegagalan untuk bertindak dalam hubungan dengan sesama dan Allah.

2. Pertanyaan tentang Keselamatan

Seperti telah saya katakan di atas, pertanyaan "Apa yang akan terjadi pada jiwa manusia setelah kematian" adalah pertanyaan yang salah. Ada tiga alasannya (di sini saya mengikuti argumen Lesslie Newbigin), yaitu pertama, pertanyaan itu adalah salah; karena untuk pertanyaan itu hanyalah Allah sendiri yang mempunyai hak untuk menjawabnya. Setiap teolog yang benar-benar serius harus belajar untuk mengerti kemungkinan yang tidak mungkin akan keselamatan. Paulus, yang begitu yakin bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat memisahkan ia dari kasih Allah dalam Yesus Kristus, juga mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia harus melatih dirinya dengan disiplin "supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain jangan aku ditolak." (1 Kor 9:27). Kedua, pertanyaan seperti ini didasarkan atas suatu abstraksi. Dengan mengkonsentrasikan perhatian ke atas nasib jiwa individu sesudah kematian, pertanyaan ini mengabstraksikan jiwa dari kenyataan yang penuh dari pribadi manusia sebagai seorang pelaku dan penanggung jawab derita di dalam sejarah dunia yang berjalan terus ini. Ini sebenarnya bagian dari gerakan reduksionis yang menyesatkan. Kalau kita menolak bentuk reduksionisme ini, maka pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah, "Apa yang akan terjadi atas jiwa orang ini setelah kematian?" tetapi, "Apa akhir yang memberikan makna kepada riwayat orang ini sebagai bagian dari keseluruhan cerita Allah?". Maka dari itu dialog kita dengan orang-orang yang mempunyai iman yang lain haruslah mengenai apa yang sedang terjadi di dunia ini sekarang dan mengenai bagaimana kita memahaminya dan mengambil bagian di dalamnya. Ketiga, pertanyaan itu mulai dengan individu dan kebutuhannya untuk yakin tentang kebahagiaan yang paling akhir dan bukan dengan Allah dan kemuliaan-Nya. Pertanyaan "bagaimana saya diselamatkan" adalah pertanyaan yang egoistik dan bertentangan dengan Injil. Sebab siapa pun yang telah mengerti apa yang telah diperbuat Allah bagi semua orang di dalam Yesus Kristus, pasti akan bertanya: "Bagaimanakah Allah akan dimuliakan? Bagaimana anugerah-Nya yang mengherankan itu akan dikenal, dirayakan dan dipuja?" Seluruh diskusi tentang peranan dari agama-agama dunia dan ideologi-ideologi sekuler dari sudut pandang iman Kristen adalah berat sebelah bila mulai dengan pertanyaan, "Siapakah yang pada akhirnya akan diselamatkan?" Itu adalah pertanyaan yang hanya Allah sendiri yang akan menjawabnya; dan adalah praanggapan yang angkuh pada teolog-teolog untuk menganggap bahwa pekerjaan merekalah untuk menjawabnya.

Apakah konsekuensi praktis dari pendekatan ini bila dimanfaatkan sebagai titik berangkat hubungan kita dengan orang-orang dari iman yang lain?

Pertama, setiap orang yang mengaku atau disebut sebagai pengikut Kristus harus mencari dan menyambut semua tanda anugerah Allah yang ada, di dalam kehidupan orang-orang yang tidak mengenal Yesus sebagai Tuhan. Ini adalah bagian dad semangat memuridkan dunia, yaitu mengikuti teladan dari Yesus, yang sedemikian bergairah menyambut bukti-bukti iman dalam orang-orang yang berada di luar rumah tangga Israel.

Kedua, setiap orang yang mengaku dan disebut sebagai pengikut Kristus harus bersemangat untuk bekerja sama dengan orang-orang dari semua iman dan ideologi dalam semua proyek yang sejalan dengan pemahaman Kristen tentang tujuan Allah di dalam sejarah.

Ketiga, komitmen bersama untuk pekerjaan dunia semacam ini, memberi konteks untuk dialog yang benar. Di sinilah tempat dialog yang nyata dapat mulai. Dialog yang nyata mengenai isu-isu yang nyata. Itu bukan hanya berbagi pengalaman-pengalaman keagamaan, meskipun dialog itu dapat mencakup hal ini juga.

 B. MOTIF-MOTIF MISI DALAM ALKITAB

Para ahli misiologi telah melakukan sejumlah studi tentang pokok ini. Karena itu, yang akan saya uraikan berikut ini adalah komplikasi dari hasil penelitian para ahli misiologi tersebut, yang tersebar dalam sejumlah buku.

1. Misi adalah Memuridkan Semua Bangsa

Hal ini rasanya tidak perlu dijelaskan lagi, karena telah dijelaskan secara cukup panjang lebar dalam bagian di atas.

2. Misi adalah Tindakan Pembebasan dan Penyetaraan (emancipatory)

Beberapa tahun terakhir ini, secara khusus atas pengaruh teologi pembebasan Amerika Latin, misi telah dipahami dalam pengertian Yes 61:1, yang kemudian terdapat dalam Luk 4:18, sebagai program mesianis Yesus: "Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. "Yesus tampil di depan umum dan bertindak sebagai yang diurapi Allah, yang melakukan pembebasan dalam kerangka perjanjian kekal (Yes 61:8).

Di sini, dalam Lukas, proklamasi Injil dijelaskan dengan dua kualifikasi yang sangat terkenal pada masa kini. Pertama, penjelasan bahwa Injil dialamatkan kepada orang-orang miskin. Baik Konferensi Para Uskup Amerika Latin di Poebla (1979) maupun Konferensi Misionaria Sedunia di Melbourne (1980) menekankan pilihan untuk berpihak kepada orang-orang miskin sebagai pusat misi. Kedua, pemberitaan firman dihubungkan secara konkrit dengan tindakan-tindakan pembebasan, untuk menghancurkan struktur-struktur yang menindas dan tidak adil, yang telah mendesak orang-orang miskin kedalam situasi mereka yang memang miskin dan mengendalikan mereka dengan kekerasan. Karena itu, tujuan misi adalah melakukan restrukturisasi masyarakat dalam skala global yang menyeluruh. Tujuannya menghadirkan kerajaan Allah. Misi yang seperti ini akan menghancurkan pemisahan tradisional antara gereja dan dunia, gereja dan negara, spiritualitas dan kekuatan atau kekuasaan politik.

Ini memang bukan hanya menjadi misi gereja. Karena itu dalam melakukan misi ini gereja harus bekerja sama dengan gerakan-gerakan non religius dan yang non Kristen, yang memiliki tujuan yang sama.

3. Misi adalah Kesaksian

Dalam diskusi ekumenis belakangan ini, istilah kesaksian terdengar semakin keras. Hal ini disebabkan karena di dunia barat dan dalam lingkungan para pendiri lapangan misi, konsep misi secara tidak menguntungkan mendapat konotasi triumfalistik yang buta. Dalam konteks ini "kesaksian" kedengarannya lebih rendah hati. Idenya adalah misi itu bukan untuk membanggakan tindakan-tindakan besar yang dilakukan gereja, tetapi untuk menyadari karya Allah yang besar. Landasan Alkitab yang biasa dipakai untuk pemahaman ini adalah Kis 1:8: "...kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Di sini para rasul dipanggil bukan untuk melakukan, tetapi untuk menjadi. Artinya mereka bukan memberi kesaksian verbal melainkan menjadikan diri mereka sebagai saksi.

4. Misi adalah Tindakan Allah yang Universal

Allah perjanjian lama, yang mengidentifikasi diri sebagai Allah Abraham, Isak, dan Yakub dan yang telah memberitahukan namanya kepada Musa, Yahwe, adalah Allah dari dunia secara menyeluruh.

Kej 10 adalah pasal yang memberi daftar tentang bangsa-bangsa, sangat penting untuk memahami motif universal dari tindakan Allah dalam PL. Gerhard von Rad menggambarkan pasal ini sebagai kesimpulan dari sejarah penciptaan. Semua bangsa berasal dari Allah sebagai pencipta, sekaligus berada di bawah pengawasan mata Allah yang sabar dan menghakimi. Bangsa-bangsa bukan hanya hiasan dalam drama yang sungguh-sungguh antara Allah dan manusia, melainkan, bangsa-bangsa itu (yaitu manusia secara menyeluruh) adalah bagian dari drama itu sendiri. Pekerjaan dan aktifitas Allah ditujukan kepada semua manusia.

 CATATAN PENUTUP

Dari catatan-catatan kecil yang telah saya sebut di atas, kiranya menjadi jelas bahwa misi gereja seharusnya tidak menjadi sumber konflik. Sebaliknya misi gereja adalah panggilan untuk mengusahakan hidup yang harmonis, damai, berkeadilan, dan penuh persaudaraan. Dengan demikian kita dapat mengatakan konflik yang terjadi antar pemeluk agama di beberapa tempat, bukan pertama-tama karena misi agama itu menyumbang konflik, melainkan karena agama dimanfaatkan demi kepentingan politik.

Namun ini tidak berarti bahwa isu kristenisasi (atau islamisasi) itu tidak menyumbang apa pun pada konflik yang kita (sebagai bangsa) alami saat ini. Bila misi gereja masih dipahami (entah oleh kalangan Kristen atau non Kristen tertentu) sebagai usaha penarikan orang lain menjadi penganut agama Kristen, maka konflik pasti akan segera muncul. Dan ini memang telah kita lihat dalam beberapa kasus. Pembakaran sejumlah gedung gereja atau sekolah teologi, sebagian disebabkan oleh isu kristenisasi ini. Entah karena kehadiran gereja atau sekolah teologi tersebut memang bertujuan untuk melakukan kristenisasi melalui berbagai kegiatannya, atau entah hanya karena kecurigaan yang tidak berdasar dari kalangan non Kristen tersebut.

Tapi, apapun alasannya, konflik yang muncul karena isu kristenisasi (atau islamisasi) tetap keliru. Karena itu kedua belah pihak perlu mengoreksi diri. Kalangan Kristen tertentu perlu mengkaji ulang pemahamannya tentang Amanat Agung, dan perlu memusatkan perhatiannya bukan pada upaya menjawab pertanyaan: "Apakah yang akan terjadi pada orang bukan Kristen sesudah kematian?", melainkan menjawab pertanyaan: "Apa akhir yang memberikan makna kepada riwayat orang ini sebagai bagian dari keseluruhan cerita Allah?" Pada sisi lain, pihak non Kristen perlu melihat sejarah Pekabaran Injil dan motif keterlibatan orang-orang Kristen masa kini dalam masalah-masalah sosial secara lebih objektif dan komprehensif. Hanya dengan kesediaan mengubah paradigma masing-masing itulah, misi gereja (dan agama lain juga) dapat menjadi berkat bagi dunia. Dan dengan demikian isu kristenisasi (atau islamisasi) segera menjadi "fosil", dan tidak lagi menjadi sumber konflik.



TIP #28: Arahkan mouse pada tautan catatan yang terdapat pada teks alkitab untuk melihat catatan ayat tersebut dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA