Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 >  "TAKLUKKANLAH BUMI DAN BERKUASALAH..." > 
C. SUMBANGAN ALKITAB IBRANI UNTUK REFLEKSI EKOLOGIS 

Tafsir mutakhir tentang Kej. 1 cenderung menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam, juga dalam ay. 28. Tafsiran pasif itu cenderung melihat cerita awal (protologi) sebagai ungkapan dari apa yang dinantikan di masa depan atau zaman akhir (eskatologi). Namun tetap ada tafsiran Kej. 1 yang menyebut dirinya lebih realistis, yang mempertahankan ketegangan antara mengerjakan bumi dan memelihara binatang secara baik-baik di satu pihak, dan membendung serta menaklukkan kekuatan alam yang khaotik di lain pihak.

Namun diskusi apakah relasi manusia dengan alam dalam Kej. 1 harus diartikan sebagai kepengurusan yang pasif atau dominasi yang ada kalanya dapat keras juga, dianggap terlalu terfokus kepada manusia saja, terlalu antroposentris. Padahal cerita penciptaan mencapai puncaknya bukan pada hari penciptaan manusia, melainkan pada hari Sabat, pada hari Allah berhenti dari segala pekerjaan-Nya, pada hari yang diberkati dan dikuduskan oleh-Nya. Perspektif Sabat yang berfokus pada Allah atau teosentris itu sangat penting untuk memberi kembali kepada manusia tempatnya bukan hanya sebagai pengurus di atas tetapi juga sebagai sesama makhluk di tengah makhluk-makhluk lainnya.

Di bawah ini ingin diselidiki bagaimana visi tentang hubungan manusia dengan lingkungannya di dalam Alkitab Ibrani selebihnya. Perhatian diberikan kepada beberapa bagian pokok Alkitab yang secara khusus menyoroti relasi manusia dengan alam ciptaan, dan yang menyingkapkan sesuatu tentang sifat relasi itu.

1. Cerita Firdaus (Kejadian 2-3)

Sangat disukai dalam eko-teologi sekarang ini adalah cerita tentang penciptaan manusia dalam taman Eden atau firdaus (Kej. 2). Adam dan Hawa dalam taman dipandang sebagai lambang oikos (rumah), simbol ekosistem dengan eco-balance. Manusia pertama digambarkan hidup dalam keadaan simbiosis harmonis dengan semua makhluk.1365 Namun ada juga yang mengingatkan bahwa cerita firdaus ini dapat memberi kesan yang antroposentris. Manusia dibentuk sebagai yang pertama, dan semua yang lain disusun di sekitarnya.1366

Makna eko-teologis yang sesungguhnya dari cerita firdaus (Kej. 2) hanya dapat di tanggap kalau Kej. 2 dilihat bersamaan dengan cerita tentang pemberontakan manusia dalam Kej. 3. Seluruh cerita Kej. 2-3 merupakan suatu kritik terhadap situasi bumi yang nyata. Pertama-tama, diungkapkan bahwa kenyataan di bumi bertentangan dengan maksud Sang Pencipta. Antara lain dikatakan bahwa bumi seharusnya menghasilkan buah yang baik selagi dipelihara dan dikerjakan manusia dengan baik, akan tetapi ternyata bumi menghasilkan semak duri dan rumput sementara manusia bersusah payah dan berpeluh (Kej. 2:9,15, 3:17-19). Manusia dan binatang diciptakan sebagai makhluk yang sama-sama dibuat dari debu tanah untuk hidup berdamai, tetapi ternyata mereka malahan saling mencurangi, mengancam dan membunuh (2:18-20, 3:1,14-15).1367

Kedua, keadaan buruk itu disadari sebagai akibat sikap manusia yang tidak tahu tempatnya, tidak lagi mengakui Allah sebagai Tuhannya tetapi mau menjadi seperti Dia. Nasib bumi dikaitkan dengan terganggunya hubungan manusia dengan Tuhan. Maka cerita penciptaan dalam Kej. 2-3 tidak mengangkat manusia ke dalam posisi yang tinggi atas makhluk lainnya, tetapi sebaliknya memberi kesadaran bahwa manusia dalam arogansinya telah membawa akibat buruk juga untuk Lingkungan hidupnya.1368

Ketiga, kendatipun demikian, Kej. 2-3 juga memberi pengharapan: manusia yang terkutuk bersama dunianya, tetap dipertahankan dan diperhatikan Tuhan (3:20). Dunia ciptaan Tuhan mempunyai masa depan! Berkaitan dengan perspektif masa depan ini, sejumlah penafsir membaca cerita firdaus (Kej. 2) sebagai nubuat masa depan.1369 Protologi dimaksudkan sebagai 'eskatologi'. Cerita firdaus tidak berbicara tentang suatu keadaan harmonis di masa lampau yang kemudian hilang, tetapi tentang suatu kemungkinan yang dibuka Tuhan untuk masa depan: hasil tanah yang baik, anugerah kerja, dan simbiosis semua makhluk hidup, dll. Manusia dapat menumbuhkan relasi harmonis dengan alam dan segala makhluk, kalau tidak lagi mengangkat dirinya sebagai yang tertinggi tetapi mematuhi Tuhan. Cerita firdaus ternyata sama sekali tidak antroposentris tetapi sebaliknya sangat teosentris.

2. Cerita Air bah (Kejadian 6-9)

Kedua cerita penciptaan (Kej. 1 dan Kej. 2-3) dilanjutkan dalam cerita tentang air bah (Kej. 6-9)1370 Cerita tentang Allah yang juga Pemusnah ini sering dikesampingkan sebagai mitos yang agak asing dalam tradisi iman Israel. Tetapi akhir-akhir ini cerita Nuh mendapat perhatian baru; bahkan dijunjung sebagai "teks penuntun"1371 dalam menghadapi krisis ekologi. Dalam cerita ini telah ditemukan sejumlah unsur yang mampu mendorong refleksi ekologis yang sekaligus serius dan optimis.

Pertama, cerita ini berbicara tentang suatu malapetaka untuk seluruh bumi, suatu peristiwa katastrofal, hal mana dapat membantu pembaca modern untuk menumbuhkan kesadaran akan seriusnya krisis yang kini sedang dihadapi bumi. Belum pernah dalam sejarah, kehidupan di bumi terancam secara begitu serius, seperti sekarang ini.

Kedua, cerita air bah pun mengaitkan malapetaka katastrofal tersebut dengan kegagalan manusia untuk mengambil tempatnya yang wajar sebagai salah satu makhluk di bumi. Kesombongan manusia yang sudah ditampilkan dalam Kej. 3:4-6, diangkat kembali dalam bentuk mitos tentang manusia yang membanggakan diri sebagai keturunan ilahi (6:1-4). Sikap angkuh ini membuahkan "kejahatan semata-mata" dan "kekerasan" yang merusak kehidupan di bumi (6:5-12). Kaitan antara "tindakan kekerasan" dan kerusakan lingkungan hidup kentara dimana-mana, khususnya juga di Indonesia sekarang ini.

Ketiga, cerita air bah ini menyajikan suatu simbol kuat untuk tindakan pelestarian lingkungan hidup, yakni dalam figur Nuh. Bahtera yang dibuatnya ibarat rumah (oikos) yang menyediakan tempat untuk semua spesies. Nuh bertindak untuk memelihara segala yang hidupnya terancam, dalam kepercayaan bahwa Sang Pencipta mau memelihara karya-Nya yang terancam itu.

Keempat, keyakinan terakhir itu mendapat konfirmasi dalam kesimpulan cerita. Tuhan memberi jaminan, "takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam." (8:21-22). Tuhan menggantungkan senjata pemusnahan (busur) menjadi tanda Perjanjian (pelangi). Ia mengikat Perjanjian itu bukan hanya dengan manusia tetapi dengan semua makhluk yang hidup, dengan seluruh bumi (9:8-17).1372

Di tengah jaminan dan Perjanjian tersebut,1373 terdapat beberapa aturan Tuhan yang selalu sudah menarik perhatian pembaca yang karnifor: mengingat kemerosotan dunia, Tuhan melindungi nyawa manusia tetapi mengizinkan manusia membunuh binatang, burung dan ikan untuk dijadikan makanannya. "Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau. Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan" (Kej. 9:2-4). Penting dilihat bagaimana konsesi Tuhan ini sekarang mulai dibaca dengan mata lain, dengan lebih memperhatikan tujuan terbatas (untuk tujuan makanan saja; lagi terkecuali darah), yang membedakan konsesi Tuhan ini dari kesewenangan dan kekejaman manusia terhadap hewan dan binatang lain pada masa produksi masal dan eksperimen kejam sekarang ini. Lagi pula, Kej. 9:2-4 dalam konteks Kej. 1-11 mau mengatakan bahwa teror manusia terhadap dunia binatang itu tidak merupakan kehendak Allah yang asli (bdk. 1:29-30), maka juga tidak termasuk ideal simbiosis yang diharapkan di masa depan.1374

3. Kitab Mazmur

Kitab Mazmur menarik perhatian eko-teologi bukan hanya karena adanya beberapa "mazmur penciptaan",1375 tetapi terutama karena koleksi doa ini memperlihatkan bahwa tradisi Ibrani lebih kompleks daripada yang sering disangka. Di sini kita menemukan sejumlah doa yang jelas menyimpang dari tafsir Alkitab yang cenderung memberi tekanan pada transendensi Allah atau sentralitas manusia. Beberapa mazmur sepenuhnya tenggelam dalam kenikmatan dunia alam dan menemukan Allah justru hadir di situ. "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya" (Mzm 19:1).1376 Biarpun kehadiran Allah dalam alam ini sering dikatakan 'asing' bagi alam pikiran Ibrani, namun unsur-unsur yang di bilang 'asing' ini ternyata sempat bertahan dalam ibadat dan Alkitab Ibrani dan memperlunak coraknya yang trasenden dan antroposentris yang biasanya dikatakan mewarnai arus utama alam pikiran Ibrani.1377

Cukuplah membaca kedua mazmur penciptaan yang paling populer, Mzm. 8 dan 104, untuk melihat pula perbedaan pandangan yang mungkin dalam satu umat beragama. Mzm. 8 tampak terkesima dengan manusia yang berkuasa atas segala makhluk yang "diletakkan di bawah kakinya", sedangkan Mzm. 104 memberi manusia suatu tempat yang sepenuhnya terintegrasi di tengah makhluk-makhluk lainnya.

"Engkau [Tuhan] telah membuatnya [manusia] hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan..." (8:6-9). Di sini manusia, sebagai wakil Allah, diberi posisi kekayaan di atas semua ciptaan lainnya. Namun keyakinan diri manusia ini hanya dapat dimengerti secara tepat kalau diperhatikan juga kontrasnya dengan ayat-ayat sebelumnya. Kedudukan tinggi yang diberikan Tuhan kepada insan ini diimbangi dengan kesadaran diri manusia sebagai yang teramat kecil dan tidak berarti sama sekali di tengah jagad raya, karya agung tangan Tuhan (ay. 3-5). Manusia yang diberi posisi tinggi adalah sekaligus manusia yang kecil di tengah langit dan bumi yang memukau; lalu bersama seluruh alam raya manusia ini memuji kuasa dan kemuliaan Allah (bingkai doa dalam ay. 2 dan 10).

Keikutsertaan manusia bersama semua makhluk lain dalam pujian kepada Allah Pencipta juga menjadi perspektif Mzm. 104. Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu" (ay. 24). Namun demikian, relasi manusia dengan makhluk-makhluk lain digambarkan sangat berbeda, dibandingkan dengan Mzm. 8; tidak ditandai oleh kontras antara rasa diri kecil dan kesadaran akan tanggung jawab besar sebagai yang berkuasa atas yang lain. Sebaliknya, manusia diberi ruang hidup di samping yang lain: aliran sungai untuk keledai, hutan dan pohon-pohonnya untuk burung-burung, padang untuk hewan, ladang untuk manusia, gunung-gunung tinggi bagi kambing-kambing hutan, bukit-bukit batu bagi pelanduk (Mzm 104:18); malam hari untuk binatang liar, dan siang hari untuk manusia (Mzm 104:19-23). Bagi semua makhluk terjaminlah habitatnya oleh Tuhan, tanpa satu pun menjadi objek manusia atau curna melayani kepentingan manusia. Bahkan samudera raya dibagi adil antara manusia pelayar dan ikan kecil dan besar, termasuk Leviatan (Mzm 104:25-26). Semua makhluk sama-sama menantikan makanannya dari Tuhan; dan keberadaan semua ciptaan sama-sama tergantung dari perkenanan roh Tuhan (Mzm 104:27-30).1378 Manusia sepenuhnya terintegrasi dalam dunia ciptaan.

Model simbiosis yang harmonis dalam Mzm. 104 ini jelas tidak mencerminkan kenyataan perjuangan hidup sehari-hari yang keras dan mengancam, tetapi mengungkapkan rancangan Allah Pencipta yang didambakan akan terwujud di masa depan (seperti Yes. 11). Dalam baris terakhir pemazmur sadar bahwa ideal itu belum terwujud sekarang, sebab masih ada faktor pengganggu: "Biarlah habis orang-orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang-orang fasik tidak ada lagi!" (Mzm 104:35). Sama seperti dalam cerita firdaus dan air bah, di sini pun Israel sekali lagi mengaku bahwa kejahatannya adalah ancaman yang paling berat bagi lingkungan hidup yang sudah dirancang Allah dengan baik dan bijaksana.1379

4. Hikmat Kebijaksanaan Israel

Mzm. 104 sudah membawa kita ke dalam dunia kebijaksanaan Israel. Sastra kebijaksanaan tidak menyibukkan diri dengan sejarah khas umat Allah, tetapi menampung pengalaman hidup yang lebih umum dan kosmopolitan. Sama seperti kaum bijak di Mesir dan Arab, orang bijak di Israel mencari keteraturan atau irama yang berlaku di dunia. Untuk menemukannya mereka mengamati - selain kehidupan manusia - juga alam yang berbicara kepada mereka tentang irama tersebut. Bagi orang bijak di Israel alam ciptaan itu berbicara tentang kebijaksanaan Allah (Mzm. 104:24). Sang Khalik telah menciptakan semuanya dengan didampingi hikmat yang sejak awal ada pada-Nya (Ams. 3:19, 8:22-36, Ayb. 28). Alam dan segala macam makhluk dihargai sebagai sumber hikmat yang diteliti kaum bijak (1Raj. 4:32-33).1380 Di lain pihak kaum bijak di Israel juga sadar akan keterbatasan untuk dapat menemukan hikmat di situ. Banyak hal yang tinggal misterius (bdk. Ams. 30:15-28). Memang Allah "membuat segala sesuatu dengan indah pada waktunya, ...Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir" (Pkh. 3:11).1381

Keterbatasan pengertian manusia itu diungkapkan paling tajam dalam kitab Ayub. Tetapi justru di situ pula - dalam jawaban akhir Allah kepada Ayub - ditemukan ekspresi terindah tentang rahasia mendalam dan nilai tersendiri segala makhluk. Dengan pertanyaan-pertanyaan retoris Allah membangkitkan rasa kagum akan karya-karya ciptaan-Nya yang melampaui pengertian manusia: kekaguman untuk rahasia dasar bumi, Taut, bintang-bintang, fajar, topan, dst. Ayub ditanya pula:

"Siapakah yang menggali saluran bagi hujan deras dan jalan bagi kilat guruh, untuk memberi hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang, ke atas padang tandus yang tidak didiami manusia; untuk mengenyangkan gurun dan belantara, dan menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda? (Ayb. 38:25-27).

Dalam rentetan pertanyaan Allah ini manusia tidak lagi menjadi tokoh sentral dunia ciptaan. Tidak segalanya di dunia perlu dikaitkan dengan manusia atau ada di situ untuk melayani kebutuhannya.1382

James Barr mengakhiri perdebatannya dengan Lynn White dengan mencatat bahwa perhatian Israel untuk `teknologi' tidak pertama-tama ditemukan dalam cerita-cerita penciptaan atau sejarah, melainkan dalam sastra kebijaksanaan yang kosmopolitan (penggalian kekayaan bumi, pertambangan batu-batu permata). Kegiatan itu digambarkan sebagai sesuatu yang mereka lakukan dengan rasa nikmat, hormat dan kekaguman terhadap bumi yang tetap diakui sebagai dunia Allah yang tak dapat mereka tembusi.1383

5. Kitab-kitab Sejarah dan Para Nabi

Bagian sastra Israel yang paling khas dan yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan sekitarnya, tentulah kisah-kisah tentang sejarah yang ditempuh Israel bersama Yahweh, dan sastra kenabian yang menafsirkan sejarah itu. Kendatipun fokusnya adalah sejarah bangsa, namun demikian, pembacaan ulang dengan kepekaan untuk masalah lingkungan alam selama beberapa puluh tahun terakhir ini telah menemukan banyak bahan yang menarik untuk refleksi ekologis.1384

Sebagai contoh dalam tulisan-tulisan 'sejarah' kami hanya menyebut kitab Ulangan dan lanjutannya dalam kitab Yosua s/d Raja-Raja ("Karya Sejarah Deuteronomistik") yang sangat menekankan tema tanah, dan kaitan antara keadaan tanah dan mutu hidup orang Israel.1385 Pasang surutnya kesuburan tanah Israel dan ramahnya alam berjalan sejajar dengan ke(tidak)setiaan Israel terhadap Perjanjian dan kehendak Tuhan. Sebaliknya, segala usaha untuk memanipulasikan alam dengan upacara-upacara bagi dewa-dewi kesuburan malahan mengakibatkan kegersangan dan kesunyisepian (Ul. 4:21-29, 8:7-18; 29:22-29; 1Raj. 9:6-9, 17:1-18:46).1386

Menyangkut sastra para Nabi, menarik dilihat bahwa kitab Yoel yang lazimnya dianaktirikan sebagai nubuat yang agak `kabur' dan kemudian, sekarang menikmati perhatian baru, misalnya sebagai "sebuah ritual untuk memulihkan aturan kosmis."1387 Kitab Yoel digunakan sebagai program untuk membangkitkan kesadaran akan krisis lingkungan hidup (tulah belalang), memberi peringatan akan malapetaka yang mengancam bumi, mendorong perubahan gaya hidup (seruan tobat), menggerakkan orang dalam keprihatinan ekologis, dan menyajikan harapan baru akan pemulihan lingkungan hidup dan masyarakat, dengan melibatkan orang.1388

Selain perhatian baru untuk kitab atau pasal tertentu, patut dicatat suatu ciri umum dalam bahasa para Nabi, bahkan dalam seluruh bahasa puitis Alkitab, yakni penggunaan kiasan-kiasan alam. Kendatipun ada demitologisasi alam dalam kepercayaan Israel, namun alam ciptaan yang bukan ilahi itu ternyata tetap memiliki pesona religius, sehingga suka digunakan sebagai lambang yang menyingkapkan misteri ilahi yang tidak dapat diungkapkan demikian kuat dan intens dengan kata-kata langsung. Desakan dahsyat Allah atas dirinya seorang nabi diungkapkan dengan menggelegar "Singa telah mengaum!" (Am. 3:8). Ketekunan Tuhan dalam memelihara umat-Nya dan ketidaktentuan jawaban mereka ditangkap secara tajam dalam kiasan kebun anggur (Yes. 5:1-7). Kebutuhan umat akan tuntunan Tuhan dilukiskan secara mengena dalam gambaran kawanan domba yang tak dapat bertahan tanpa gembala yang bertanggung jawab (Yeh. 34).1389

Bukti yang terpenting betapa para Nabi menghargai alam secara positif, adalah hal yang berikut. Apabila mereka berbicara tentang ancaman atau keselamatan masa depan atau akhir zaman1390, mereka sering tidak menemukan kata yang lebih ekspresif daripada membiarkan alam berbicara: padang gurun menjadi daerah aliran sungai yang hijau, subur dan menyehatkan (Yeh. 47:1-12; Yes. 35:1-7 dan lawannya Yes. 34:11-15, 41:18-19; 43:19-20, 5:5-6); binatang-binatang buas mencari makanan bersama, berbaring bersama, atau bermain dengan anak-anak manusia (Yes. 11:6-9, 65:25). Gambaran masa depan serupa ini baru dapat dimengerti secara tetap kalau disadari bahwa para Nabi tidak berbicara secara kiasan tentang keselamatan di surga, tetapi tentang suatu pembaruan bangsa dan negerinya di bumi ini. Setelah masa pembuangan, ketika pembaruan negeri itu tampak tak tercapai, nubuat "apokaliptik awal" bahkan berbicara tentang suatu pembaruan kosmis total yang akan dikerjakan Tuhan, pengadaan langit yang baru dan bumi yang baru, yang a.l. mencakup kesuburan dan berkat tanah, dan kedamaian segala makhluk (misalnya Yes. 65:17-25).1391 Gambaran-gambaran ini menunjukkan bahwa seluruh alam ciptaan mengambil bagian dalam keselamatan yang akan dikerjakan Tuhan. Harapan akan keselamatan manusia bersama seluruh dunia ciptaan cocok dengan dambaan akan dunia harmonis yang diretroyeksikan dalam cerita-cerita penciptaan Israel atau diproyeksikan dalam Mzm. 104. Keselamatan manusia tidak terwujud di sebuah dunia di seberang dengan meninggalkan alam ciptaan, bukanlah pembebasan manusia/jiwa dari kekangan badan dan bumi, melainkan akan terwujud di tengah dunia yang turut diperbarui. Harapan masa depan yang mencakup dunia ciptaan ini serasi juga dengan iman Israel yang memandang penciptaan dan penyelamatan tidak sebagai dua pokok kepercayaan tersendiri melainkan mengaitkannya.1392

Di samping itu, pada hemat kami Nabi-Nabi Israel dapat memberikan sumbangan tersendiri kepada perkembangan eko-teologi sekarang ini. Salah satu fokus perhatian para Nabi yang terpenting adalah keadilan. Mereka diilhami untuk menjadi suara kaum lemah dan memberi harapan kepada yang tertindas. Segi itu menjadi semakin penting dalam gerakan lingkungan hidup, sebab kini lebih disadari bahwa masalah lingkungan hidup dan masalah keadilan sangat berkaitan. Sudah larva dilihat bahwa hidup mewah mencemarkan dan mengeruk bumi, udara dan air. Tetapi sebagian kerusakan lingkungan juga berkaitan dengan kemiskinan; disebabkan oleh sistem ketidakadilan yang terus menerus memaksakan orang lemah untuk bergeser ke tempat-tempat kediaman, pertanian dan pencaharian hidup lain yang keadaannya sudah buruk dan akan menghancurkannya lebih jauh lagi, namun bagi mereka tak ada pilihan lain.1393 Kesadaran ini menyebabkan bahwa semakin kuatlah tendensi ke arah "ekologi sosial"1394 Seruan bumi tak dapat dipisahkan dari seruan orang miskin! Para Nabi Israel memberi suara kepada kedua-duanya.



TIP #06: Pada Tampilan Alkitab, Tampilan Daftar Ayat dan Bacaan Ayat Harian, seret panel kuning untuk menyesuaikan layar Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA