Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 > 
"TAKLUKKANLAH BUMI DAN BERKUASALAH..." 
Penulis: Martin Harun, OFM

Masalah lingkungan hidup - mau tidak mau - merupakan milik kita bersama, baik lokal maupun global. Juga keprihatinan kita bersama? Ada sepuluh juta manusia dan lebih banyak makhluk lain lagi yang hidup di kota Jakarta, yang baru-baru ini diberi kehormatan oleh PBB sebagai kota tercemar nomor tiga di dunia, setelah Mexico City dan Bangkok.1332 Kesejahteraan lingkungan hidup kita begitu mudah dikorbankan kepada kebutuhan lain, yang ada kalanya sangat mendesak, tetapi tak jarang juga hanya keserakahan, kenikmatan dan kemudahan yang berlebihan.

Negeri kita tengah mengalami bencana alam yang katastrofal bagi masa depan seluruh Asia Tenggara, yakni kebakaran dan penggundulan masal hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan lain pulau. Ini bukan permainan alam, tetapi ulah manusia yang haus akan lahan, entah untuk mencari nafkah hidup yang sangat perlu atau untuk mengeruk kekayaan maksimal. Asapnya akan segera terbawa angin tetapi akibatnya akan menjadi beban masa depan.

Sejak tahun 70-an beberapa Earth Summits tentang lingkungan hidup, pembangunan berdaya lanjut, perubahan iklim, dan lain-lain berusaha untuk membangkitkan keprihatinan mondial dan menjadikannya politik global. Usaha-usaha itu - betapapun menggembirakan - sampai sekarang belum menghasilkan banyak tindakan nyata. Keprihatinan sesaat untuk lingkungan hidup lekas kendor karena keprihatinan sosio ekonomis yang terasa lebih mendesak. Kurang diinsyafi bahwa seruan bumi jugalah seruan orang miskin.

Apa sebabnya pelestarian lingkungan hidup begitu mudah diabaikan manusia modern? Dalam sebuah diskusi Paramadina tahun lalu, seorang penganut aliran kepercayaan melontarkan pertanyaan kepada para penganut agama-agama monoteis universal yang hadir: bagaimana mereka mau mempertanggungjawabkan kerusakan besar yang telah diakibatkan oleh agama-agama monoteis kepada lingkungan hidup? Pertanyaan ini yang sudah sering dilontarkan selama beberapa puluh tahun terakhir, ingin kami tanggapi dari sudut ilmu tafsir Alkitab Yahudi Kristen, khususnya Perjanjian Lama, selanjutnya disebut Alkitab Ibrani.1333

Seorang yang tidak akrab dengan diskusi ekologi, mungkin heran bahwa agama-agama monoteis universal dapat dipandang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup. Karena itu kami akan mulai tulisan ini dengan menjelaskan kedudukan masalah tersebut. Sesudah itu akan dibahas sebuah ayat Alkitab yang lazimnya dipandang sebagai biang keladi masalah ekologi, yakni "taklukkanlah bumi dan berkuasalah..." (Kej. 1:28). Selanjutnya akan dilihat secara lebih luas apakah Alkitab Ibrani mampu memberi sumbangan yang, positif dalam menghadapi masalah lingkungan hidup sekarang ini.

 A. KEDUDUKAN MASALAH

Waktu saya mahasiswa teologi (tabun 60-an), salah satu karya pembaharuan teologi yang sangat digemari adalah Harvey Cox's Secular City. Sekularisasi oleh Cox dikaitkan dengan paham Ibrani akan penciptaan. Paham tersebut "memisahkan alam dari Allah dan membedakan manusia dari alam." Dengan demikian alam dilepaskan dari pesona ilahinya dan dapat dilihat sebagai barang biasa. Hilangnya pesona ilahi dari dunia alam itu "merupakan kondisi mutlak bagi perkembangan ilmu-ilmu alam" dan "membuat alam tersedia bagi manusia untuk digunakan."1334

Cox dan para teolog lain yang berpandangan serupa,1335 cenderung untuk mempertentangkan paham Ibrani akan Pencipta yang transenden dengan paham Yunani atau agama-agama tetangga Israel. Yang terakhir memandang yang ilahi sebagai unsur imanen di dalam dunia, dengan akibat - katanya - bahwa bumi yang sakral tidak begitu saja dapat digunakan manusia.1336 Entah bagaimana, demitologisasi alam umumnya dinilai sebagai sisi positif dari tradisi Yahudi Kristen, dari kepercayaan biblis terhadap Allah pencipta.

1. Krisis lingkungan hidup disebabkan iman penciptaan Yahudi Kristen?

Sementara beberapa teolog membanggakan hubungan antara iman penciptaan Alkitab dan perkembangan ilmu-ilmu dan teknik modern, terbitlah karangan seorang sejarawan di Los Angelos, namanya Lynn White Jr., yang pada dasarnya memiliki pemikiran yang sama namun menilainya secara terbalik. Ia pun berpandangan bahwa ilmu dan teknologi modern berakar dalam ajaran Yahudi - Kristen tentang penciptaan, yang pada gilirannya berakar dalam cerita-cerita penciptaan Alkitab. Dengan mendukung pemikiran itu, Lynn White sekaligus membebankan seluruh masalah kerusakan lingkungan hidup, akibat ilmu dan teknologi modern, kepada iman kepercayaan Kristen itu.

Sambil meringkas cerita-cerita penciptaan, White menulis, "Allah merencanakan semuanya secara eksplisit untuk kepentingan dan kuasa manusia: apa pun dalam dunia ciptaan fisik tidak mempunyai maksud lain daripada melayani keinginan manusia. Dan kendatipun tubuh manusia dibuat dari tanah, ia bukan bagian alam saja: ia dibuat menurut gambar Allah. Khususnya dalam bentuknya yang barat, kekristenan adalah agama yang paling antroposentris yang pernah muncul di dunia...Manusia sedikit banyak berbagi dalam transendensi Allah terhadap alam. Kekristenan, dalam kontras mutlak dengan agama kafir kuno dan agama-agama Asia, tak hanya menciptakan dualisme manusia dan alam tetapi juga menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Allah, manusia mengeruk (exploits) alam untuk tujuan manusia sendiri."1337

Perkembangan ilmu dan teknologi yang tadinya oleh beberapa teolog dibanggakan sebagai buah positif dari ajaran penciptaan biblis, tiba-tiba mulai dinilai sebagai buah yang sangat problematis. Perubahan penilaian itu tentu terjadi karena dampak negatif, bahkan katastrofal, dari teknologi modern terhadap lingkungan hidup semakin terasa.

2. Menanggapi tantangan Lynn White

Karangan White yang secara tegas mengaitkan eksploitasi alam dengan warisan Alkitab, cepat tersebar lewat reprints dalam sejumlah Reader dan majalah, dan menjadi bahan diskusi pro dan kontra yang sengit dan berkepanjangan. Misalnya Arnold Toynbee, tanpa acuan eksplisit, menggemakan pandangan White bahwa Kej. 1:28 ("penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut," dst.) memberi izin kepada Adam dan Hawa untuk berbuat semaunya terhadap bumi, dan bersama Kej. 3:19 ("dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu") akhirnya mendorong mekanisasi dan polusi.1338 Bagi Toynbee krisis lingkungan hidup disebabkan oleh agama-agama monoteis yang telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang ilahi, sehingga tak ada lagi yang dapat menahan ketamakan manusia. Maka menurutnya krisis itu hanya dapat diobati dengan berbalik kembali dari pandangan monoteis ke pandangan panteis yang lebih tua dan pernah juga lebih universal.

Bersama Toynbee dan banyak pakar lain, White pun berkeyakinan bahwa krisis ekologi tak dapat diatasi tanpa perubahan pandangan hidup. Tak cukup menerapkan lebih banyak lagi ilmu dan teknologi. Seandainya benar bahwa ilmu dan teknologi yang mengakibatkan bencana lingkungan hidup, berakar dalam sebuah pandangan Kristen tentang hubungan manusia dengan alam,1339 maka juga pemecahan masalah lingkungan hidup tak dapat lepas dari suatu pandangan hidup yang alternatif tentang hubungan manusia dengan alam. Pada masa White menulis karangannya, para beatniks dalam negara bagian Kalifornia menemukan pandangan alternatif itu dalam Zen Buddhisme atau aliran-aliran agama Asia Timur lainnya. Namun White sendiri meragukan apakah Buddhisme dapat memberi visi yang alternatif itu, khususnya untuk dunia barat. White sendiri mengusulkan suatu visi Kristen yang alternatif, yakni sikap Fransiskus Asisi yang dengan rendah hati melepaskan hegemoni manusia atas segala makhluk dan mendekati mereka sebagai saudara-saudaranya.1340

Justru pilihan White ini mendorong kami untuk bertanya apakah toh tidak ada peluang-peluang istimewa dalam tradisi Yahudi - Kristen yang terekam dalam Alkitab, sebab sikap Fransiskus Asisi - digelari "manusia injili"- justru bertumbuh dari dalam tradisi biblis tersebut. Tradisi Yahudi Kristen ternyata mampu membuahkan pandangan dan sikap lain daripada mendegradasikan alam menjadi materi yang di geladah dan dikeruk secara tak terbatas oleh ilmu dan teknologi manusia. Karangan White sudah menunjuk juga kepada Kekristenan Timur/Yunani yang tetap mampu menghargai alam sebagai sistem simbolis.1341 Melalui alam Allah berbicara kepada manusia.

Namun demikian, kita tidak dapat apriori menolak kemungkinan bahwa tradisi Yahudi - Kristen terkuno, yakni cerita-cerita penciptaan Alkitab, turut menyumbang kepada krisis ekologi modern. Kita tidak boleh menutup mata terhadap interpretasi Alkitab yang harus dipandang kritis dan mungkin harus ditolak. Maka baiklah kita beralih kepada penelitian Alkitab Ibrani, pertama-tama cerita penciptaan dan terutama salah satu ayatnya yang telah menjadi sasaran serangan.

 B. KUASA MANUSIA ATAS BUMI (KEJ. 1:28)

Ayat yang menjadi fokus diskusi adalah Kej. 1:28 dalam madah penciptaan Priest.1342 Konteks ceritanya adalah sebagai berikut: Setelah Allah menciptakan langit dan bumi dan mengisinya dengan segala makhluk yang bergerak di cakrawala, dalam air, di udara dan di atas muka bumi, pada hari keenam direncanakanNya membuat manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri, agar manusia 'berkuasa' atas makhluk-makhluk yang lain itu. Dan demikian terjadi. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, laki-laki dan perempuan, lalu diberkati Allah dengan kata-kata ini:

"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu ({yunani}, kibsylrha, dari kata kerja kabbasy), berkuasalah (a r, redu, dari kata kerja raddah) atas ikan-ikan di taut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:28b).

Tuhan digambarkan menyuruh manusia untuk "menaklukkan bumi dan berkuasa atas" semua makhluk hidup. Sejak Lynn White dkk. mengaitkan kerusakan lingkungan hidup justru dengan perintah Allah ini, dimulai suatu penelitian intensif tentang ay. 28 ini. Penelitian terbaru itu menyangkut dua segi: penafsirannya yang tepat, dan sejarah penafsirannya. Pertama-tama diselidiki ulang, bagaimana ayat ini seharusnya diartikan, khususnya kedua kata kerjanya yang keras, "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Dan kedua, bagaimana ayat ini de fakto telah dimengerti oleh tradisi Yahudi dan Kristen sepanjang abad. Kita mulai dengan yang pertama.

1. Penafsiran Kej. 1:28 selama beberapa puluh tahun terakhir

Sebagai akibat tuduhan bahwa ayat 28 ini telah membuka jalan untuk eksploitasi bumi oleh ilmu dan teknologi modern, segera terbentuk konsensus baru tentang arti ayat 28 yang lebih positif, yang tidak mengizinkan manusia untuk memakai alam ciptaan secara tak terbatas untuk kepentingannya sendiri. Diambil jarak dari tafsiran yang keras dan negatif dalam buku-buku tafsir sebelumnya.1343 Kuasa atas bumi dan binatang mulai diartikan sebagai tugas positif Sang Pencipta yang juga Pemelihara; maka diartikan sebagai tanggung jawab seorang pengurus rumah tangga (stewardship). Akan tetapi pergeseran dalam eksegese itu tidak berjalan tanpa tantangan. Baiklah kita mengikuti perkembangan diskusi ini dalam tiga fase.

(1) Pada awal tahun 70-an James Barr dan Norbert Lohfink, tampak secara independen, mengusulkan pengartian yang lebih lunak tentang kata-kata kerja "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Arti kedua kata kerja itu sebelumnya lazim ditentukan secara etimologis sebagai "menjejak-jejak" dan "menginjak-injak" (seperti dalam Yoel 3:13, dalam konteks memeras anggur).1344

James Barr yang menolak tafsiran yang terikat pada etimologi kata, berpandangan bahwa makna dua kata kerja tersebut harus diterangkan dengan memperhatikan konteks Kej. 1. Konteks dekat berbicara tentang berkat (ay. 28a)1345, dan pembagian makanan vegetaris antara manusia dan binatang (ay. 29-30, tanpa adanya pembunuhan untuk makan daging, hal mana baru diizinkan setelah terjadinya kemerosotan dan air bah, dalam Kej. 9:3).1346 Seluruh madah' penciptaan Kej. 1 ini berbicara tentang suatu dunia yang ditata secara harmonis dan dinilai baik, bahkan amat baik.1347 Dalam konteks positif Kej. 1 ini hal "berkuasa" (raddah) atas binatang tak mungkin diartikan sebagai perlakuan keras (seperti dalam Yoel 3:13), melainkan oleh Barr dimengerti - menurut gambaran ideal Raja Gembala di Timur Tengah Kuno - sebagai kegiatan manusia yang mengurusi binatang dengan baik-baik, sama seperti pemerintahan seorang raja gembala yang baik akan melindungi warganya dan memelihara wilayahnya.1348 Kuasa manusia atas ikan, burung dan binatang, menurut Barr, dijalankan dalam relasi damai yang serupa dengan keadaan damai firdaus yang digambarkan dalam Yes. 11:6-9. Juga kata "menaklukkan" (kabbasy) bumi dalam konteks Kej. 1 tidak dapat dimengerti menurut maknanya yang keras (menginjaki), tetapi diartikan Barr sebagai 'mengerjakan' bumi atau 'mengolah' tanah (tilling), sejajar dengan "mengusahakan dan memelihara" taman dalam Kej. 2:15-18.1349

Norbert Lohfink pun memberi arti positif kepada kedua kata kerja: yakni "mendiami" bumi (in Besitz nehmen) dan "menggembalakan" binatang (weiden). Ia menemukan dasar etimologis kata kerja `berkuasa'

(raddah) bukannya dalam Yoel 3:13, tetapi dalam kata bahasa Akkad redu(m), mendampingi, mengantar; lalu mengartikan Kej. 1:28 sebagai perintah untuk menggembalakan binatang di padang rumput.1350

Berdasarkan penjelasan Barr dan Lohfink ini banyak pengarang akan berbicara tentang manusia sebagai steward, pengurus yang diserahi tanggung jawab atas makhluk-makhluk lain di bumi.1351 Peranan manusia sebagai pengurus didukung juga oleh mereka yang mengaitkan kuasa manusia dengan gagasan manusia sebagai gambar dan rupa Allah,1352 hal mana diartikan sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah. Sang wakil tentu diandaikan menjalankan tanggung jawabnya atas bumi dan segala makhluknya dengan keprihatinan yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah sendiri.1353

Tujuan bersama dari pelbagai interpretasi yang searah ini adalah menegaskan bahwa Kej. 1:28 sesungguhnya sama sekali tidak memberi peluang untuk tindakan ataupun teknologi yang mengeksploitasi bumi dan mengancam makhluk hidup. Kalau dipahami secara tepat, sesuai dengan konteks Kej. 1 dan konteks ideologi raja di Timur Tengah Kuno, ayat ini sebaliknya mengungkapkan hubungan harmonis manusia dengan alam.

(2) Interpretasi lunak Kej. 1:28 yang menggambarkan manusia sebagai pengurus bumi dan segala makhluk dan menekankan relasi damai, akhir-akhir ini mendapat tantangan. Ideologi Raja Timur Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendukung gambaran harmonis itu, sesungguhnya ambivalen. Ada juga segi despotisme, kesewenang-wenangannya. Maka ay. 28 ini dianggap berbicara tentang "kenyataan ambivalen" manusia sebagai "pelindung yang agresif militan" atau "pemelihara yang juga harus membendung kekacauan", seperti juga Allah Pencipta terus menerus membendung ancaman khaos; berbicara tentang manusia yang "sebagai umbar Allah diberi kewenangan untuk melindungi maupun menaklukkan."1354

(3) Penafsiran dialektis Kej. 1:28 di atas, yang memindahkan tekanan antara dominion dan stewardship, oleh pihak ketiga dinilai sebagai varian-varian saja dari sebuah perspektif antroposentris yang tetap sama.1355 Bagaimana penafsiran dapat melepaskan diri dari konsentrasi pada kekuasaan manusia, entah itu sewenang-wenang atau bersifat kepengurusan yang prihatin.1356 Sebuah perspektif alternatif diusulkan dengan lebih memperhatikan Sabat yang mengakhiri cerita penciptaan pertama (Kej. 2:1-3). Sabbat berarti `berhenti', `menahan'. Pelbagai keterangan tentang kuasa manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme manusia. Justru paham kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada perkembangan sebuah teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat, `menahan', termasuk kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja Allah, juga mampu mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya', mengambil jarak dari aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia dengan cara yang lebih kontemplatif?1357

2. Sejarah Penafsiran Kej. 1:28

Usaha penafsiran Kej. 1:28 di atas penting untuk kita sekarang, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan apakah ayat ini telah membuka peluang untuk perkembangan ilmu dan teknologi yang mengeksploitasi bumi. Pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan mengkaji kembali sejarah kebudayaan dan penafsiran mulai dari zaman kuno (konteks asli ayat tersebut) sampai kepada zaman modern (zaman ilmu, teknologi dan krisis ekologi).1358 Penelitian seluas itu melampaui bidang dan wewenang seorang penafsir Alkitab. Yang boleh diharapkan darinya adalah perhatian untuk sejarah interpretasi ayat tersebut. Bagaimana umat Yahudi dan Kristen dari abad ke abad mengartikan cerita-cerita penciptaan dan khususnya ayat 28 tersebut?

Beberapa pakar sejarah gereja dan teologi telah meneliti bagian-bagian dari sejarah interpretasi itu. Berdasarkan penelitian mereka, Heike Baranzke dan Hedwig Lamberty-Zeilinski1359 menarik beberapa kesimpulan mengenai pemahaman dan peran ayat ini pada masa kuno dan abad pertengahan. Di sin kami hanya dapat mencatat beberapa hal saja.

- Tafsir pada zaman kuno dan abad pertengahan yang cenderung tematis dan bukan tekstual, tidak biasa menghubungkan kuasa manusia dalam Kej. 1:28 dengan konteksnya, misalnya tema gambaran Allah (1:26-27), pembagian makanan vegetaris (1:29-30), atau hari Sabat (2:1-3), berbeda dengan tafsir modern. Kej. 1:28 biasanya dibahas bersama dengan Mzm. 8:6-9, yang lebih tegas lagi berbicara tentang kuasa manusia atas makhluk lain. Namun demikian, pemberian kekuasaan itu dikontraskan dengan pengalaman kekecilan dan ketidakberartian manusia di tengah dunia ciptaan Tuhan yang dahsyat (8:3,5), dan dengan demikian direlativir.

- Tafsir Kristen kuno atas Kej. 1:28 ada kalanya tampak antroposentris karena dilandasi keyakinan bahwa segalanya di dunia ini dipersiapkan Allah untuk manusia (sesuai dengan prinsip Stoa bahwa yang lebih rendah ada demi yang lebih tinggi). Bukan hanya binatang jinak dan tanaman yang dibudidayakan tetapi juga binatang liar dan yang berbisapun, bahkan bintang-bintang ada untuk melayani manusia.

- Namun efek kekuasaan manusia atas ciptaan itu dibatasi oleh dua hal: Pertama-tama, oleh kuasa Allah di atas segalanya. Manusia dilihat sebagai wakil Allah yang berada di bawah kedaulatan-Nya. Kedua, oleh paham dunia yang statis. Alam dipandang sudah lengkap dan tidak memberi peluang untuk teknik yang inovatif. Teknik-teknik yang menurut anggapan kuno sudah ditemukan di zaman purba (bdk. misalnya Kej. 4:20-22), tidak dilihat sebagai sarana untuk mengubah tata alam.

- Maka para penafsir kuno hampir tak menguraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia untuk menaklukkan bumi. Posisi kekuasaan manusia, yang dibahas dalam konteks antropologi (yang membicarakan kelebihan manusia, gambar Allah, sebagai makhluk yang dapat berpikir, berbicara, berjalan tegak, dll.), jarang dijelaskan ke arah aktivitas teknis atau kultural. Antropologi Yahudi - Kristen yang di satu sisi memperhatikan kuasa sebagai ciri hakiki manusia, di lain sisi kurang menunjukkan daya dorong ke arah pengubahan dunia (hal mana justru diandaikan oleh dakwaan Lynn White). Pembahasan kuasa manusia jarang disertai penggambaran konkrit bagaimana manusia mengurus dan mengerjakan dunia ciptaan. Pengubahan alam oleh manusia, penyempurnaannya oleh kebudayaan manusia, tidak dilihat sebagai implikasi dari kuasa manusia dalam Kej. 1:28, melainkan - secara ironis - dikaitkan dengan sebuah ayat yang sekarang ini sering dikemukakan sebagai koreksi terhadap Kej. 1:28, yakni Kej 2:15, "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." Dengan bertolak dari ayat ini para rahib gereja barat mengembangkan etos kerja mereka. Perkembangan ini dimungkinkan karena dari perspektif Yahudi - Kristen yang eskatologis mereka menimba suatu konsep alam yang lebih dinamis, terbuka untuk perubahan. Manusia sebagai rekan kerja Allah (cooperator Dei) turut bekerja untuk membuat alam ciptaan menjadi lebih sempurna.1360

- Dalam perubahan masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan 13, etos kerja para rahib dan konsep alam mereka yang dinamis mulai tersebar di masyarakat kota. Penyebaran itu bertepatan waktu dengan pandangan Hugo St. Victor, pemikir yang memasukkan mekanika ke dalam studi artes, dan yang meminta agar semua pekerjaan mengabdikan diri kepada pemulihan dunia yang keadaannya dirusak oleh kedosaan manusia. Dengan usaha yang demikian kuasa manusia atas bumi, yang telah hilang karena kejatuhan dalam dosa, akan diperoleh kembali.1361 Perkembangan ini akan kemudian membawa kepada perubahan dunia dengan bantuan teknik. Namun perlu manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme manusia. Justru paham kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada perkembangan sebuah teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat, `menahan', termasuk kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja Allah, juga mampu mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya', mengambil jarak dari aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia dengan cara yang lebih kontemplatif?1357

Singkatnya, para peneliti sejarah interpretasi Kej. 1:28 tidak menemukan hubungan sebab menyebab yang jelas antara ajaran penciptaan Yahudi - Kristen serta visinya tentang kuasa manusia dengan perkembangan ilmu dan teknik modern.1362 Masalahnya barangkali tidak sesederhana seperti dibayangkan Lynn White. Banyak faktor lain perlu diselidiki. Misalnya, apakah kebudayaan Yunani yang dikatakan lebih menyegani pesona alam yang ilahi, sesungguhnya tidak menyumbang jauh lebih banyak kepada perkembangan ilmu-ilmu daripada kebudayaan Yahudi?1363

Kalau perkembangan ilmu dan teknik yang merusak Lingkungan hidup toh masih mau dikaitkan dengan visi Kristen, kiranya perlu diselidiki apakah cara visi Kristen dikembangkan pada zaman kemudian di Eropa, misalnya dalam teologi alam sejak akhir abad pertengahan, mungkin menjadi sumber perkembangan teknik yang merusakkan alam?1364 Tetapi hal itu jelas tidak dapat dibebankan kepada tradisi Yahudi atau Kristen awal.

 C. SUMBANGAN ALKITAB IBRANI UNTUK REFLEKSI EKOLOGIS

Tafsir mutakhir tentang Kej. 1 cenderung menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam, juga dalam ay. 28. Tafsiran pasif itu cenderung melihat cerita awal (protologi) sebagai ungkapan dari apa yang dinantikan di masa depan atau zaman akhir (eskatologi). Namun tetap ada tafsiran Kej. 1 yang menyebut dirinya lebih realistis, yang mempertahankan ketegangan antara mengerjakan bumi dan memelihara binatang secara baik-baik di satu pihak, dan membendung serta menaklukkan kekuatan alam yang khaotik di lain pihak.

Namun diskusi apakah relasi manusia dengan alam dalam Kej. 1 harus diartikan sebagai kepengurusan yang pasif atau dominasi yang ada kalanya dapat keras juga, dianggap terlalu terfokus kepada manusia saja, terlalu antroposentris. Padahal cerita penciptaan mencapai puncaknya bukan pada hari penciptaan manusia, melainkan pada hari Sabat, pada hari Allah berhenti dari segala pekerjaan-Nya, pada hari yang diberkati dan dikuduskan oleh-Nya. Perspektif Sabat yang berfokus pada Allah atau teosentris itu sangat penting untuk memberi kembali kepada manusia tempatnya bukan hanya sebagai pengurus di atas tetapi juga sebagai sesama makhluk di tengah makhluk-makhluk lainnya.

Di bawah ini ingin diselidiki bagaimana visi tentang hubungan manusia dengan lingkungannya di dalam Alkitab Ibrani selebihnya. Perhatian diberikan kepada beberapa bagian pokok Alkitab yang secara khusus menyoroti relasi manusia dengan alam ciptaan, dan yang menyingkapkan sesuatu tentang sifat relasi itu.

1. Cerita Firdaus (Kejadian 2-3)

Sangat disukai dalam eko-teologi sekarang ini adalah cerita tentang penciptaan manusia dalam taman Eden atau firdaus (Kej. 2). Adam dan Hawa dalam taman dipandang sebagai lambang oikos (rumah), simbol ekosistem dengan eco-balance. Manusia pertama digambarkan hidup dalam keadaan simbiosis harmonis dengan semua makhluk.1365 Namun ada juga yang mengingatkan bahwa cerita firdaus ini dapat memberi kesan yang antroposentris. Manusia dibentuk sebagai yang pertama, dan semua yang lain disusun di sekitarnya.1366

Makna eko-teologis yang sesungguhnya dari cerita firdaus (Kej. 2) hanya dapat di tanggap kalau Kej. 2 dilihat bersamaan dengan cerita tentang pemberontakan manusia dalam Kej. 3. Seluruh cerita Kej. 2-3 merupakan suatu kritik terhadap situasi bumi yang nyata. Pertama-tama, diungkapkan bahwa kenyataan di bumi bertentangan dengan maksud Sang Pencipta. Antara lain dikatakan bahwa bumi seharusnya menghasilkan buah yang baik selagi dipelihara dan dikerjakan manusia dengan baik, akan tetapi ternyata bumi menghasilkan semak duri dan rumput sementara manusia bersusah payah dan berpeluh (Kej. 2:9,15, 3:17-19). Manusia dan binatang diciptakan sebagai makhluk yang sama-sama dibuat dari debu tanah untuk hidup berdamai, tetapi ternyata mereka malahan saling mencurangi, mengancam dan membunuh (2:18-20, 3:1,14-15).1367

Kedua, keadaan buruk itu disadari sebagai akibat sikap manusia yang tidak tahu tempatnya, tidak lagi mengakui Allah sebagai Tuhannya tetapi mau menjadi seperti Dia. Nasib bumi dikaitkan dengan terganggunya hubungan manusia dengan Tuhan. Maka cerita penciptaan dalam Kej. 2-3 tidak mengangkat manusia ke dalam posisi yang tinggi atas makhluk lainnya, tetapi sebaliknya memberi kesadaran bahwa manusia dalam arogansinya telah membawa akibat buruk juga untuk Lingkungan hidupnya.1368

Ketiga, kendatipun demikian, Kej. 2-3 juga memberi pengharapan: manusia yang terkutuk bersama dunianya, tetap dipertahankan dan diperhatikan Tuhan (3:20). Dunia ciptaan Tuhan mempunyai masa depan! Berkaitan dengan perspektif masa depan ini, sejumlah penafsir membaca cerita firdaus (Kej. 2) sebagai nubuat masa depan.1369 Protologi dimaksudkan sebagai 'eskatologi'. Cerita firdaus tidak berbicara tentang suatu keadaan harmonis di masa lampau yang kemudian hilang, tetapi tentang suatu kemungkinan yang dibuka Tuhan untuk masa depan: hasil tanah yang baik, anugerah kerja, dan simbiosis semua makhluk hidup, dll. Manusia dapat menumbuhkan relasi harmonis dengan alam dan segala makhluk, kalau tidak lagi mengangkat dirinya sebagai yang tertinggi tetapi mematuhi Tuhan. Cerita firdaus ternyata sama sekali tidak antroposentris tetapi sebaliknya sangat teosentris.

2. Cerita Air bah (Kejadian 6-9)

Kedua cerita penciptaan (Kej. 1 dan Kej. 2-3) dilanjutkan dalam cerita tentang air bah (Kej. 6-9)1370 Cerita tentang Allah yang juga Pemusnah ini sering dikesampingkan sebagai mitos yang agak asing dalam tradisi iman Israel. Tetapi akhir-akhir ini cerita Nuh mendapat perhatian baru; bahkan dijunjung sebagai "teks penuntun"1371 dalam menghadapi krisis ekologi. Dalam cerita ini telah ditemukan sejumlah unsur yang mampu mendorong refleksi ekologis yang sekaligus serius dan optimis.

Pertama, cerita ini berbicara tentang suatu malapetaka untuk seluruh bumi, suatu peristiwa katastrofal, hal mana dapat membantu pembaca modern untuk menumbuhkan kesadaran akan seriusnya krisis yang kini sedang dihadapi bumi. Belum pernah dalam sejarah, kehidupan di bumi terancam secara begitu serius, seperti sekarang ini.

Kedua, cerita air bah pun mengaitkan malapetaka katastrofal tersebut dengan kegagalan manusia untuk mengambil tempatnya yang wajar sebagai salah satu makhluk di bumi. Kesombongan manusia yang sudah ditampilkan dalam Kej. 3:4-6, diangkat kembali dalam bentuk mitos tentang manusia yang membanggakan diri sebagai keturunan ilahi (6:1-4). Sikap angkuh ini membuahkan "kejahatan semata-mata" dan "kekerasan" yang merusak kehidupan di bumi (6:5-12). Kaitan antara "tindakan kekerasan" dan kerusakan lingkungan hidup kentara dimana-mana, khususnya juga di Indonesia sekarang ini.

Ketiga, cerita air bah ini menyajikan suatu simbol kuat untuk tindakan pelestarian lingkungan hidup, yakni dalam figur Nuh. Bahtera yang dibuatnya ibarat rumah (oikos) yang menyediakan tempat untuk semua spesies. Nuh bertindak untuk memelihara segala yang hidupnya terancam, dalam kepercayaan bahwa Sang Pencipta mau memelihara karya-Nya yang terancam itu.

Keempat, keyakinan terakhir itu mendapat konfirmasi dalam kesimpulan cerita. Tuhan memberi jaminan, "takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam." (8:21-22). Tuhan menggantungkan senjata pemusnahan (busur) menjadi tanda Perjanjian (pelangi). Ia mengikat Perjanjian itu bukan hanya dengan manusia tetapi dengan semua makhluk yang hidup, dengan seluruh bumi (9:8-17).1372

Di tengah jaminan dan Perjanjian tersebut,1373 terdapat beberapa aturan Tuhan yang selalu sudah menarik perhatian pembaca yang karnifor: mengingat kemerosotan dunia, Tuhan melindungi nyawa manusia tetapi mengizinkan manusia membunuh binatang, burung dan ikan untuk dijadikan makanannya. "Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau. Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan" (Kej. 9:2-4). Penting dilihat bagaimana konsesi Tuhan ini sekarang mulai dibaca dengan mata lain, dengan lebih memperhatikan tujuan terbatas (untuk tujuan makanan saja; lagi terkecuali darah), yang membedakan konsesi Tuhan ini dari kesewenangan dan kekejaman manusia terhadap hewan dan binatang lain pada masa produksi masal dan eksperimen kejam sekarang ini. Lagi pula, Kej. 9:2-4 dalam konteks Kej. 1-11 mau mengatakan bahwa teror manusia terhadap dunia binatang itu tidak merupakan kehendak Allah yang asli (bdk. 1:29-30), maka juga tidak termasuk ideal simbiosis yang diharapkan di masa depan.1374

3. Kitab Mazmur

Kitab Mazmur menarik perhatian eko-teologi bukan hanya karena adanya beberapa "mazmur penciptaan",1375 tetapi terutama karena koleksi doa ini memperlihatkan bahwa tradisi Ibrani lebih kompleks daripada yang sering disangka. Di sini kita menemukan sejumlah doa yang jelas menyimpang dari tafsir Alkitab yang cenderung memberi tekanan pada transendensi Allah atau sentralitas manusia. Beberapa mazmur sepenuhnya tenggelam dalam kenikmatan dunia alam dan menemukan Allah justru hadir di situ. "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya" (Mzm 19:1).1376 Biarpun kehadiran Allah dalam alam ini sering dikatakan 'asing' bagi alam pikiran Ibrani, namun unsur-unsur yang di bilang 'asing' ini ternyata sempat bertahan dalam ibadat dan Alkitab Ibrani dan memperlunak coraknya yang trasenden dan antroposentris yang biasanya dikatakan mewarnai arus utama alam pikiran Ibrani.1377

Cukuplah membaca kedua mazmur penciptaan yang paling populer, Mzm. 8 dan 104, untuk melihat pula perbedaan pandangan yang mungkin dalam satu umat beragama. Mzm. 8 tampak terkesima dengan manusia yang berkuasa atas segala makhluk yang "diletakkan di bawah kakinya", sedangkan Mzm. 104 memberi manusia suatu tempat yang sepenuhnya terintegrasi di tengah makhluk-makhluk lainnya.

"Engkau [Tuhan] telah membuatnya [manusia] hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan..." (8:6-9). Di sini manusia, sebagai wakil Allah, diberi posisi kekayaan di atas semua ciptaan lainnya. Namun keyakinan diri manusia ini hanya dapat dimengerti secara tepat kalau diperhatikan juga kontrasnya dengan ayat-ayat sebelumnya. Kedudukan tinggi yang diberikan Tuhan kepada insan ini diimbangi dengan kesadaran diri manusia sebagai yang teramat kecil dan tidak berarti sama sekali di tengah jagad raya, karya agung tangan Tuhan (ay. 3-5). Manusia yang diberi posisi tinggi adalah sekaligus manusia yang kecil di tengah langit dan bumi yang memukau; lalu bersama seluruh alam raya manusia ini memuji kuasa dan kemuliaan Allah (bingkai doa dalam ay. 2 dan 10).

Keikutsertaan manusia bersama semua makhluk lain dalam pujian kepada Allah Pencipta juga menjadi perspektif Mzm. 104. Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu" (ay. 24). Namun demikian, relasi manusia dengan makhluk-makhluk lain digambarkan sangat berbeda, dibandingkan dengan Mzm. 8; tidak ditandai oleh kontras antara rasa diri kecil dan kesadaran akan tanggung jawab besar sebagai yang berkuasa atas yang lain. Sebaliknya, manusia diberi ruang hidup di samping yang lain: aliran sungai untuk keledai, hutan dan pohon-pohonnya untuk burung-burung, padang untuk hewan, ladang untuk manusia, gunung-gunung tinggi bagi kambing-kambing hutan, bukit-bukit batu bagi pelanduk (Mzm 104:18); malam hari untuk binatang liar, dan siang hari untuk manusia (Mzm 104:19-23). Bagi semua makhluk terjaminlah habitatnya oleh Tuhan, tanpa satu pun menjadi objek manusia atau curna melayani kepentingan manusia. Bahkan samudera raya dibagi adil antara manusia pelayar dan ikan kecil dan besar, termasuk Leviatan (Mzm 104:25-26). Semua makhluk sama-sama menantikan makanannya dari Tuhan; dan keberadaan semua ciptaan sama-sama tergantung dari perkenanan roh Tuhan (Mzm 104:27-30).1378 Manusia sepenuhnya terintegrasi dalam dunia ciptaan.

Model simbiosis yang harmonis dalam Mzm. 104 ini jelas tidak mencerminkan kenyataan perjuangan hidup sehari-hari yang keras dan mengancam, tetapi mengungkapkan rancangan Allah Pencipta yang didambakan akan terwujud di masa depan (seperti Yes. 11). Dalam baris terakhir pemazmur sadar bahwa ideal itu belum terwujud sekarang, sebab masih ada faktor pengganggu: "Biarlah habis orang-orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang-orang fasik tidak ada lagi!" (Mzm 104:35). Sama seperti dalam cerita firdaus dan air bah, di sini pun Israel sekali lagi mengaku bahwa kejahatannya adalah ancaman yang paling berat bagi lingkungan hidup yang sudah dirancang Allah dengan baik dan bijaksana.1379

4. Hikmat Kebijaksanaan Israel

Mzm. 104 sudah membawa kita ke dalam dunia kebijaksanaan Israel. Sastra kebijaksanaan tidak menyibukkan diri dengan sejarah khas umat Allah, tetapi menampung pengalaman hidup yang lebih umum dan kosmopolitan. Sama seperti kaum bijak di Mesir dan Arab, orang bijak di Israel mencari keteraturan atau irama yang berlaku di dunia. Untuk menemukannya mereka mengamati - selain kehidupan manusia - juga alam yang berbicara kepada mereka tentang irama tersebut. Bagi orang bijak di Israel alam ciptaan itu berbicara tentang kebijaksanaan Allah (Mzm. 104:24). Sang Khalik telah menciptakan semuanya dengan didampingi hikmat yang sejak awal ada pada-Nya (Ams. 3:19, 8:22-36, Ayb. 28). Alam dan segala macam makhluk dihargai sebagai sumber hikmat yang diteliti kaum bijak (1Raj. 4:32-33).1380 Di lain pihak kaum bijak di Israel juga sadar akan keterbatasan untuk dapat menemukan hikmat di situ. Banyak hal yang tinggal misterius (bdk. Ams. 30:15-28). Memang Allah "membuat segala sesuatu dengan indah pada waktunya, ...Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir" (Pkh. 3:11).1381

Keterbatasan pengertian manusia itu diungkapkan paling tajam dalam kitab Ayub. Tetapi justru di situ pula - dalam jawaban akhir Allah kepada Ayub - ditemukan ekspresi terindah tentang rahasia mendalam dan nilai tersendiri segala makhluk. Dengan pertanyaan-pertanyaan retoris Allah membangkitkan rasa kagum akan karya-karya ciptaan-Nya yang melampaui pengertian manusia: kekaguman untuk rahasia dasar bumi, Taut, bintang-bintang, fajar, topan, dst. Ayub ditanya pula:

"Siapakah yang menggali saluran bagi hujan deras dan jalan bagi kilat guruh, untuk memberi hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang, ke atas padang tandus yang tidak didiami manusia; untuk mengenyangkan gurun dan belantara, dan menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda? (Ayb. 38:25-27).

Dalam rentetan pertanyaan Allah ini manusia tidak lagi menjadi tokoh sentral dunia ciptaan. Tidak segalanya di dunia perlu dikaitkan dengan manusia atau ada di situ untuk melayani kebutuhannya.1382

James Barr mengakhiri perdebatannya dengan Lynn White dengan mencatat bahwa perhatian Israel untuk `teknologi' tidak pertama-tama ditemukan dalam cerita-cerita penciptaan atau sejarah, melainkan dalam sastra kebijaksanaan yang kosmopolitan (penggalian kekayaan bumi, pertambangan batu-batu permata). Kegiatan itu digambarkan sebagai sesuatu yang mereka lakukan dengan rasa nikmat, hormat dan kekaguman terhadap bumi yang tetap diakui sebagai dunia Allah yang tak dapat mereka tembusi.1383

5. Kitab-kitab Sejarah dan Para Nabi

Bagian sastra Israel yang paling khas dan yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan sekitarnya, tentulah kisah-kisah tentang sejarah yang ditempuh Israel bersama Yahweh, dan sastra kenabian yang menafsirkan sejarah itu. Kendatipun fokusnya adalah sejarah bangsa, namun demikian, pembacaan ulang dengan kepekaan untuk masalah lingkungan alam selama beberapa puluh tahun terakhir ini telah menemukan banyak bahan yang menarik untuk refleksi ekologis.1384

Sebagai contoh dalam tulisan-tulisan 'sejarah' kami hanya menyebut kitab Ulangan dan lanjutannya dalam kitab Yosua s/d Raja-Raja ("Karya Sejarah Deuteronomistik") yang sangat menekankan tema tanah, dan kaitan antara keadaan tanah dan mutu hidup orang Israel.1385 Pasang surutnya kesuburan tanah Israel dan ramahnya alam berjalan sejajar dengan ke(tidak)setiaan Israel terhadap Perjanjian dan kehendak Tuhan. Sebaliknya, segala usaha untuk memanipulasikan alam dengan upacara-upacara bagi dewa-dewi kesuburan malahan mengakibatkan kegersangan dan kesunyisepian (Ul. 4:21-29, 8:7-18; 29:22-29; 1Raj. 9:6-9, 17:1-18:46).1386

Menyangkut sastra para Nabi, menarik dilihat bahwa kitab Yoel yang lazimnya dianaktirikan sebagai nubuat yang agak `kabur' dan kemudian, sekarang menikmati perhatian baru, misalnya sebagai "sebuah ritual untuk memulihkan aturan kosmis."1387 Kitab Yoel digunakan sebagai program untuk membangkitkan kesadaran akan krisis lingkungan hidup (tulah belalang), memberi peringatan akan malapetaka yang mengancam bumi, mendorong perubahan gaya hidup (seruan tobat), menggerakkan orang dalam keprihatinan ekologis, dan menyajikan harapan baru akan pemulihan lingkungan hidup dan masyarakat, dengan melibatkan orang.1388

Selain perhatian baru untuk kitab atau pasal tertentu, patut dicatat suatu ciri umum dalam bahasa para Nabi, bahkan dalam seluruh bahasa puitis Alkitab, yakni penggunaan kiasan-kiasan alam. Kendatipun ada demitologisasi alam dalam kepercayaan Israel, namun alam ciptaan yang bukan ilahi itu ternyata tetap memiliki pesona religius, sehingga suka digunakan sebagai lambang yang menyingkapkan misteri ilahi yang tidak dapat diungkapkan demikian kuat dan intens dengan kata-kata langsung. Desakan dahsyat Allah atas dirinya seorang nabi diungkapkan dengan menggelegar "Singa telah mengaum!" (Am. 3:8). Ketekunan Tuhan dalam memelihara umat-Nya dan ketidaktentuan jawaban mereka ditangkap secara tajam dalam kiasan kebun anggur (Yes. 5:1-7). Kebutuhan umat akan tuntunan Tuhan dilukiskan secara mengena dalam gambaran kawanan domba yang tak dapat bertahan tanpa gembala yang bertanggung jawab (Yeh. 34).1389

Bukti yang terpenting betapa para Nabi menghargai alam secara positif, adalah hal yang berikut. Apabila mereka berbicara tentang ancaman atau keselamatan masa depan atau akhir zaman1390, mereka sering tidak menemukan kata yang lebih ekspresif daripada membiarkan alam berbicara: padang gurun menjadi daerah aliran sungai yang hijau, subur dan menyehatkan (Yeh. 47:1-12; Yes. 35:1-7 dan lawannya Yes. 34:11-15, 41:18-19; 43:19-20, 5:5-6); binatang-binatang buas mencari makanan bersama, berbaring bersama, atau bermain dengan anak-anak manusia (Yes. 11:6-9, 65:25). Gambaran masa depan serupa ini baru dapat dimengerti secara tetap kalau disadari bahwa para Nabi tidak berbicara secara kiasan tentang keselamatan di surga, tetapi tentang suatu pembaruan bangsa dan negerinya di bumi ini. Setelah masa pembuangan, ketika pembaruan negeri itu tampak tak tercapai, nubuat "apokaliptik awal" bahkan berbicara tentang suatu pembaruan kosmis total yang akan dikerjakan Tuhan, pengadaan langit yang baru dan bumi yang baru, yang a.l. mencakup kesuburan dan berkat tanah, dan kedamaian segala makhluk (misalnya Yes. 65:17-25).1391 Gambaran-gambaran ini menunjukkan bahwa seluruh alam ciptaan mengambil bagian dalam keselamatan yang akan dikerjakan Tuhan. Harapan akan keselamatan manusia bersama seluruh dunia ciptaan cocok dengan dambaan akan dunia harmonis yang diretroyeksikan dalam cerita-cerita penciptaan Israel atau diproyeksikan dalam Mzm. 104. Keselamatan manusia tidak terwujud di sebuah dunia di seberang dengan meninggalkan alam ciptaan, bukanlah pembebasan manusia/jiwa dari kekangan badan dan bumi, melainkan akan terwujud di tengah dunia yang turut diperbarui. Harapan masa depan yang mencakup dunia ciptaan ini serasi juga dengan iman Israel yang memandang penciptaan dan penyelamatan tidak sebagai dua pokok kepercayaan tersendiri melainkan mengaitkannya.1392

Di samping itu, pada hemat kami Nabi-Nabi Israel dapat memberikan sumbangan tersendiri kepada perkembangan eko-teologi sekarang ini. Salah satu fokus perhatian para Nabi yang terpenting adalah keadilan. Mereka diilhami untuk menjadi suara kaum lemah dan memberi harapan kepada yang tertindas. Segi itu menjadi semakin penting dalam gerakan lingkungan hidup, sebab kini lebih disadari bahwa masalah lingkungan hidup dan masalah keadilan sangat berkaitan. Sudah larva dilihat bahwa hidup mewah mencemarkan dan mengeruk bumi, udara dan air. Tetapi sebagian kerusakan lingkungan juga berkaitan dengan kemiskinan; disebabkan oleh sistem ketidakadilan yang terus menerus memaksakan orang lemah untuk bergeser ke tempat-tempat kediaman, pertanian dan pencaharian hidup lain yang keadaannya sudah buruk dan akan menghancurkannya lebih jauh lagi, namun bagi mereka tak ada pilihan lain.1393 Kesadaran ini menyebabkan bahwa semakin kuatlah tendensi ke arah "ekologi sosial"1394 Seruan bumi tak dapat dipisahkan dari seruan orang miskin! Para Nabi Israel memberi suara kepada kedua-duanya.

 D. BEBERAPA KESIMPULAN

Eksplorasi Alkitab Ibrani dalam kaitan dengan masalah lingkungan hidup dapat dengan mudah diperluas, sebagaimana tampak dari banyaknya buku, karangan dan esaiilmiah dan populer tentang Alkitab dan lingkungan hidup selama tiga dasawarsa terakhir ini yang beratusan judul. Baru sedikit saja diperhatikan di atas ini, namun kiranya cukup untuk menarik beberapa kesimpulan umum yang menunjukkan bahwa Alkitab Ibrani merupakan sumber daya penting bagi manusia masa kini guna merenungkan dan menemukan kembali relasinya yang harmonis dengan lingkungan hidupnya, sebagai sesama makhluk Allah.

1. Tuduhan Lynn White dkk. bahwa ajaran penciptaan Alkitab telah mengakibatkan perkembangan ilmu dan teknologi yang merusakkan lingkungan hidup, tersebar luas di kalangan ekologi tetapi tidak mempunyai dasar kuat apabila diperiksa ulang. Kendatipun pesan Allah Pencipta kepada manusia "taklukkanlah bumi dan berkuasalah" (Kej 1:28) terbuka bagi pelbagai nuansa interpretasi, namun konteks cerita penciptaan sendiri secara jelas mencegah suatu interpretasi yang mengizinkan manusia untuk bertindak sewenang-wenang terhadap alam dan makhluk-makhluk lain. Interpretasi eksploitatif serupa itu juga tidak muncul dalam sejarah interpretasi.

2. Bukannya mendorong eksploitasi alam, cerita penciptaan (Kej. 3) dan pasal-pasal lain Alkitab Ibrani (Kej. 6-9, Ulangan, Mzm. 104:35) sebaliknya menyadarkan manusia bahwa hidup tanpa menghiraukan kehendak dan hikmat Allah membawa akibat buruk bukan hanya untuk manusia tetapi juga bagi bumi. Bukannya biang keladi krisis lingkungan hidup, Alkitab Ibrani sebaliknya merupakan sarana yang menyadarkan manusia akan tanggung jawabnya atas krisis lingkungan hidup dan tanggung jawabnya untuk turut mengatasinya.

3. Malapetaka lingkungan hidup disebabkan oleh manusia berilmu dan berteknologi yang menempatkan diri manusia sebagai pusat dunia dan sebagai tujuan segalanya; yakni antroposentrisme modern. Perlu dihindarkan bahwa juga Alkitab dibaca dan diartikan dengan mata antroposentris itu. Bukannya mendukung antroposentrisme, Alkitab Ibrani berbicara tentang manusia dan makhluk-makhluk lain, tentang bangsa bersama tanahnya, dalam suatu perspektif teosentris.1395 Umat Allah yang memang cenderung menjadikan dirinya pusat dunia, terus menerus dipanggil kembali kepada Perjanjian Allah, dan kepada tugasnya untuk bersama seluruh dunia ciptaan memuji dan mengabdi kepada Allah. Hidup sebagai insan yang bersama makhluk lain berorientasi kepada Allah yang Esa itu mungkin sesuatu yang cukup asing tetapi kiranya yang paling berharga yang dapat ditimba manusia modern dari Alkitab Ibrani, guna membantunya menemukan tempatnya yang lebih harmonis di tengah makhluk-makhluk lain.

4. Tetapi di sini timbul pula suatu masalah. Dalam tafsir Alkitab dan juga ilmu teologi, Allah yang adalah asal, dasar dan tujuan dunia, sering dipikirkan semata-mata transenden terhadapnya. Bumi seakan-akan dijernihkan dari misteriNya, dengan akibat bahwa rasa terpesona, hormat dan segan terhadap misteri dunia ciptaan melemah dan menghilang. Itu bukan alam pikiran Alkitab Ibrani sendiri, tetapi suatu interpretasi kemudian yang berat sebelah. Kita ditantang untuk membaca ulang Alkitab Ibrani dengan mata yang lebih terbuka juga untuk imanensi1396 Allah, kehadirannya dalam pelbagai manifestasi: bukan hanya dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang besar dalam sejarah Israel, atau dalam nama-Nya di Bait Allah, tetapi juga untuk kehadiran-Nya yang sering disebut kabod/kemuliaan-Nya, yang kerap kali berkaitan dengan fenomena-fenomena alam. Kendatipun bukan ilahi, namun alam tetap berkekuatan simbolis dan mampu menyingkapkan segi-segi rahasia Allah. Alkitab Ibrani dapat membantu manusia sekarang untuk memperoleh kembali kepekaan akan imanensi Allah yang transenden, akan kehadiran-Nya bukan hanya di dalam umat-Nya, tetapi juga dalam alam ciptaan.1397 Maka tak perlu bersama Toynbee kembali ke panteisme untuk dapat menyegani rahasia ilahi dalam semua makhluk.

5. Cerita dan wejangan Alkitab Ibrani sering berupa cetusan pengharapan dalam situasi kegelapan. Pengharapan itu tidak hanya menyangkut manusia dan bangsa tetapi juga tanah, binatang buas, bahkan langit dan bumi. Harapan kosmis yang berakar dalam tindakan Allah merupakan warisan Israel yang sangat penting dalam menghadapi masalah lingkungan hidup sekarang. Sebab keadaannya sudah sangat parah, kesadarannya masih amat minim, dan langkah-langkah perbaikannya masih panjang. Seruan bumi gampang dinomorduakan. Orang yang dibekali dengan pengharapan bagi bumi seperti yang terdapat dalam cerita-cerita penciptaan dan Nuh dan dalam nubuat keselamatan para Nabi, akan mampu bertahan dalam keprihatinan dan keterlibatan tekun yang dibutuhkan untuk turut memecahkan masalah bumi ini.

Tidak membuka mata bagi unsur-unsur dalam Alkitab yang dapat menumbuhkan kembali relasi yang lebih harmonis antara manusia dari lingkungan hidupnya, berarti menyalahgambarkan tradisi kita sendiri dan mengabaikan sumber daya yang tersedia.

Uraian tentang Ekologi dan Alkitab ini masih perlu dilanjuti dengan meneliti juga Perjanjian Baru. Bagaimana visi Perjanjian Baru terhadap alam? Apakah diteruskan sejumlah unsur positif yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani? Apakah orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan diselamatkan bersama dunia ciptaan, atau benarkah anggapan bahwa manusia akan diangkat dari alam ciptaan? Yang penting untuk diperhatikan adalah imanensi Allah secara baru, penjelmaan Firman Allah yang tinggal di tengah dunia secara jasmani (Yoh. 1); juga bahasa Yesus, penggunaan bahasa alam dalam pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah (Mat. 13, dll.), dan segi kosmis dalam visiNya tentang penyelesaian Kerajaan; juga perspektif keselamatan untuk seluruh dunia ciptaan yang menurut Paulus tidak hanya turut menderita bersama manusia tetapi juga akan mengambil bagian dalam kemerdekaan anak-anak Allah (Rom. 8); lagi Kristus sebagai Tuhan atas umat dan atas segala sesuatu (1Kor. 15:22-28, 8:6, Kol. 1:15-20, Ef. 1:10, 4:10).

Tinjauan biblis ini tidak hanya penting untuk pembaruan teologi dan praktek umat Kristen berkenaan dengan ciptaan dan lingkungan hidup, tetapi juga untuk masuk dalam dialog dan kerja sama dengan agama-agama lain, terutama agama Islam1398 dan agama-agama Asia Timur dan Selatan.1399



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA