Topik : Suara Hati

17 November 2002

Mana Suara Piccolo?

Nats : Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini? (Yohanes 6:9)
Bacaan : Yohanes 6:1-14

Pada waktu-waktu tertentu kita mungkin merasa bahwa kita tidak berarti dan tidak berguna. Karena dikelilingi orang-orang yang memiliki talenta yang lebih besar dari kita, maka saat kita merasa lemah, kita cenderung menarik diri dan membiarkan orang lain mengerjakan suatu pekerjaan. Kita berpikir bahwa apa yang kita berikan tak akan banyak artinya.

Kita lupa pada kebenaran yang dinyatakan Tuhan saat Dia memanfaatkan lima roti dan dua ikan kecil untuk memberi makan begitu banyak orang (Yohanes 6:1-14). Kita masing-masing punya sesuatu yang penting yang dapat dipersembahkan kepada-Nya.

Sir Michael Costa sedang memimpin sebuah latihan orkestra yang memainkan berbagai macam alat musik secara serempak. Di tengah- tengah latihan, bersamaan dengan suara terompet yang nyaring, drum yang berdentum-dentum, dan biola yang mengalunkan melodi yang indah, si pemain piccolo [sejenis suling kecil] menggerutu pada dirinya sendiri, "Apa gunanya saya? Lebih baik saya berhenti bermain saja. Toh tak ada orang yang bisa mendengarkan saya." Begitulah, ia tetap menaruh piccolonya di sela mulutnya, tetapi ia tidak meniupnya. Sesaat kemudian, sang konduktor berteriak, "Berhenti! Berhenti! Suara piccolonya mana?" Ternyata suara piccolo tidak terdengar oleh orang terpenting dalam orkestra itu.

Sama halnya saat kita menggunakan segenap talenta kita bagi Tuhan. Entah talenta kita besar atau kecil, pertunjukan belumlah lengkap sebelum kita melakukan yang terbaik dengan apa yang kita miliki –Richard De Haan

20 September 2004

Jika Ragu, Jangan!

Nats : Tetapi barang siapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa (Roma 14:23)
Bacaan : Roma 14:14-23

Dalam bukunya Illustrations of Bible Truth, H.A. Ironside bercerita tentang seorang pria yang hendak menghadiri jamuan makan. Ia ingin mengenakan kemeja putih yang telah dipakainya pada acara sebelumnya. Lalu ia mengamati kemeja itu dengan cermat apakah kemeja itu terlalu kotor untuk dipakai. Istrinya memerhatikan apa yang dilakukan suaminya, lalu berkata, "Ingat, Sayang, jika kamu ragu, jangan dipakai." Masalah selesai. Pria itu lalu melemparkan kemejanya ke keranjang cucian.

Nasihat sang istri mengingatkan saya pada ayat dalam bacaan Alkitab hari ini. Prinsip itu dapat diterapkan untuk hal-hal yang menimbulkan pertanyaan di dalam hati nurani. Jika ragu, jangan.

Hal-hal meragukan yang ditulis oleh Rasul Paulus di dalam Roma 14 itu berkenaan dengan daging dan anggur yang dianggap "najis" oleh sebagian orang, tetapi tidak bagi yang lain (ayat 14,21). Ia menunjukkan bahwa apabila kita ragu apakah tindakan kita benar atau salah, tetapi tetap melakukannya, maka tindakan kita itu tidak berdasarkan iman, sehingga merupakan suatu dosa (ayat 23). Ia juga menjelaskan bahwa tidaklah benar melakukan sesuatu yang membuat saudara kita di dalam Kristus tersandung, tersinggung, atau menjadi lemah imannya (ayat 21). Kita tidak boleh memberikan dalih kepada orang-orang kristiani untuk melanggar hati nurani mereka.

Saat dihadapkan pada berbagai tindakan yang menimbulkan pertanyaan dan masalah di dalam hati nurani, kita dapat menghadapinya dengan baik dengan menerapkan petunjuk ini: Jika ragu, jangan! --Richard De Haan

18 Oktober 2005

Keberanian di Tengah Krisis

Nats : Kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu (Daniel 3:18)
Bacaan : Daniel 3:8-18

Selama berabad-abad, beberapa hamba Allah menghadapi kemungkinan kematian yang menyiksa, kecuali mereka mau menyangkal iman. Mereka tahu bahwa Allah sanggup membebaskan mereka. Tetapi mereka juga tahu bahwa untuk menggenapi rencana-Nya, mungkin Dia tidak menjawab permintaan mereka untuk memberikan bantuan yang ajaib.

Dalam kitab Daniel, tiga pemuda Ibrani yang menjadi tawanan di Babel menghadapi pilihan hidup-dan-mati: Memuja patung emas raja atau dilempar ke dapur api. Mereka menjawab dengan tegas, “Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu.” Mereka menambahkan, “Tetapi seandainya tidak, . . . kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17,18).

Tetapi jika tidak! Kata-kata itu menantang kesetiaan kita. Seandainya kita menghadapi penyakit yang melumpuhkan. Andaikan kita menghadapi aib yang memalukan. Andaikan kita menghadapi kehilangan yang menyakitkan. Kita memohon campur tangan Allah, namun dalam setiap situasi yang mengancam, permohonan kita seharusnya juga menyertakan syarat, “Tetapi jika tidak!”

Apakah kita bersikap seperti Yesus di Getsemani? “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Apakah kita sanggup untuk menahan siksaan apa pun yang akan memuliakan Allah dan menggenapi rencana-Nya yang kudus? -VCG

13 Juni 2008

Sukses Plus Bahagia

Nats : TUHAN, karena kuasa-Mulah raja bersukacita; betapa besar kegirangannya karena kemenangan yang dari pada-Mu! (Mazmur 21:2)
Bacaan : Mazmur 21

Semua orang ingin sukses. Ironisnya, banyak orang tidak bahagia justru setelah mereka meraih sukses. Sebut saja Kurt Cobain, penyanyi dari grup Nirvana yang bunuh diri ketika sedang tenar-tenarnya di tahun 1990-an. Atau, para rohaniwan yang citranya runtuh karena keblinger oleh kesuksesan mereka. Belum lagi para pengusaha yang setelah sukses, justru keluarganya berantakan. Dan, masih banyak kisah tragis lain tentang kesuksesan. Ini menunjukkan pentingnya menjaga sikap hati saat meraih kesuksesan.

Bacaan hari ini berbicara tentang kemenangan Raja Daud. Berbagai kejayaan dan kesuksesan ia peroleh, sehingga ia menjadi raja yang besar dalam sejarah bangsa Israel. Namun, ia sangat sadar bahwa kemenangannya datang dari Tuhan (ayat 2). Oleh karena itu, ia mengembalikan semua kemuliaan hanya bagi Tuhan. Hasilnya, ia bersukacita. Bukan karena kemenangannya, melainkan karena kesadaran yang ia miliki tentang siapa yang memberi kesuksesan tersebut, yakni Tuhan.

Dari mazmur ini kita belajar tentang cara menyikapi kesuksesan. Pertama, kita harus selalu menyadari bahwa kita sukses bukan melulu karena kita hebat, tetapi lebih utama karena anugerah Tuhan. Dalam rencana-Nya, Allah memercayakan berkat yang lebih kepada kita. Karena itu kita tidak boleh menjadi sombong. Kedua, kesuksesan bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk disalurkan kepada sesama. Sama seperti segala berkat yang lain, Tuhan ingin kesuksesan kita dipakai untuk memberkati orang lain dan memuliakan nama-Nya. Dengan demikian, kita akan menjadi orang sukses yang bahagia —ALS



TIP #12: Klik ikon untuk membuka halaman teks alkitab saja. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA