Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 > 
SEKILAS TENTANG PENAFSIRAN KITAB WAHYU 
Penulis: Hasan Sutanto87

Kitab Wahyu memang bukan sebuah kitab yang mudah ditafsirkan. Dalam sejarah penafsiran kitab itu menimbulkan banyak perdebatan.86 Jadi untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih objektif akan penafsiran kitab ini, pembahasan di sini akan dimulai dari pengenalan akan jenis sastra kitab ini, disusul dengan pembicaraan beberapa macam pendekatan yang sering ditemukan, dan diakhiri dengan pendaftaran beberapa prinsip penafsiran yang perlu diperhatikan.

 I. JENIS SASTRA: LITERATUR APOKALIPTIK

Literatur apokaliptik adalah sejenis literatur yang tumbuh subur di daerah yang berhubungan dengan Alkitab, yang kebanyakan terdapat mulai abad kedua SM sampai abad pertama. Boleh dikatakan apokalipsisme pada mulanya populer di tengah-tengah orang Yahudi, kemudian baru masuk ke komunitas orang Kristen. Selain buku apokaliptik yang sudah umum diketahui,88 dikatakan bahwa sebagian tulisan Qumran pun mempunyai ciri apokaliptik. Adakalanya isi tulisan-tulisan kuno ini tidak semua berbentuk apokaliptik (contoh yang baik adalah kitab Daniel, kitab kanonik orang Kristen). Dari kitab-kitab apokrifa juga terdapat kitab yang bersifat apokaliptik, misalnya II Esdras. Hanya sayang, dunia penafsiran belum memiliki kesepakatan tentang definisi istilah ini. Jadi sampai kini pun belum ada kesepakatan tentang jumlah buku jenis ini maupun banyak hal yang berhubungan dengannya. Kita mulai dengan literatur apokaliptik umum.

Ciri-ciri Literatur Apokaliptik Umum

(1) Eskatologis

Sama seperti para nabi, penulis-penulis apokaliptik juga menubuatkan hal-hal yang akan datang. Tetapi berlainan dengan nabi, mereka tidak menaruh harapan kepada dunia atau masa kini, melainkan mengharapkan kehadiran eskatologi yang mendadak.

(2) Dualistis

Pikiran ini bukan saja terbaca dari dua kekuatan yang beroposisi, Allah versus Setan, tetapi juga terbaca dari dua dunia atau masa yang sama sekali berbeda, yakni dunia yang akan datang dan dunia sekarang. Berbeda dengan nubuat, klimaks apokaliptik dijelaskan dalam istilah langit dan dunia baru, bukan dengan istilah dunia kini (walaupun tidak semua demikian). Namun perlu ditegaskan, pikiran mereka masih tetap dalam kerangka monoteisme yang membicarakan Kerajaan Allah akan datang, dan penghakimanNya yang tidak dapat dielakkan.

(3) Deterministis

Suatu ciri lain dari apokaliptik adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan penentuan Allah dan menuju kepada akhir yang juga sudah ditentukan. Jadi sejarah merupakan suatu jadwal yang menuju pada kedatangan hari yang dahsyat itu. Pikiran demikian berlatar belakang pandangan yang pesimis terhadap kesanggupan manusia untuk menang atas kejahatan. Dunia ini jahat adanya. Suatu perubahan besar dalam masyarakat sedang berjalan. Harapan hanya pada Allah, sebab Dia pasti menang. Kesengsaraan sekarang akan membawa datangnya kebahagiaan yang tak terhingga. Untuk menyambut akhir zaman itu, penulis apokaliptik mencoba menguatkan dan menghibur sisa orang-orang benar yang sedang sengsara. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan nabi yang mencoba menegur rakyat yang berdosa dan menghimbau mereka berpaling kepada Allah.

(4) Esoteris

Menurut apokaliptik, wahyu Allah hanya diberikan kepada orang tertentu saja. Cara pemberian wahyu biasanya adalah melalui mimpi atau visi, sedangkan malaikat bertindak sebagai penuntun atau pemberi penjelasan. Wahyu demikian diturunkan turun-temurun dan baru diberikan penjelasan oleh kelompok apokaliptik. Dengan beberapa kekecualian, dalam topik ini apokaliptik berlainan dengan nubuat. Pemberian wahyu dalam apokaliptik lebih bersifat tidak langsung melalui perantara, seperti malaikat. Dengan demikian Sabda Allah menjadi berotoritatif, yang membuat penerimanya gemetar.

(5) Penulisan

Berbeda dengan para nabi yang umumnya baru menuliskan berita yang disampaikannya di kemudian hari, penulisan golongan apokaliptik langsung menuliskan beritanya. Format penulisannya pun tidak sama dengan nabi, yang menyatakan bahwa "demikianlah firman Allah", melainkan memakai format biasa, dan banyak memakai tradisi umum.89

(6) Simbolis

Bahasa simbolis dalam apokaliptik begitu dominan, sehingga bagi pembaca modern ini jelas merupakan suatu hal yang sulit dimengerti. Ciri dari apokaliptik ini berbeda dengan nubuat, yang terdapat pada zaman yang lebih awal, yang biasanya memakai bahasa yang mudah dimengerti. Bahasa simbolis demikian tentu berhubungan dengan topik, pengalaman (visi) dan karakter penulis apokaliptik. Simbol ini ada kalanya dijelaskan, tetapi lebih sering tidak. Ini mungkin karena pembaca yang simpati kepada apokaliptik tidak mengalami kesulitan untuk mengerti tulisan jenis ini. Cara penulisan demikian juga lebih menjamin keselamatan orang yang bersangkutan dalam situasi yang tidak aman.

(7) Nama samaran

Penulis apokaliptik biasanya tidak memakai nama sesungguhnya melainkan meminjam nama orang agung zaman kuno. Alasan berbuat demikian mungkin karena ingin menarik perhatian pendengar, atau demi terjaminnya keamanan si penulis, atau kekagumannya akan tokoh zaman kuno, atau keinginan menunjukkan identitas kelompoknya, ba hwa sebenarnya mereka termasuk kelompok apokaliptik tertentu. Hanya ini tidak berarti bahwa mereka mencoba menipu pembaca mereka. Dalam hal nama samaran ini, kitab nubuat jelas tidak sama dengan literatur apokaliptik umum.

Sebab Timbulnya dan Asal Usul Literatur Apokaliptik Umum

Kini kita perlu melihat sepintas lalu sebab dan asal-usul timbulnya literatur jenis ini. G.E. Ladd dalam tulisannya yang berjudul 'Apocalyptic', yang dimuat dalam Baker's Dictionary of Theology, memberi tiga sebab munculnya literatur jenis ini. Yang pertama, timbulnya kelompok yang melihat diri mereka sebagai orang benar yang tersisa. salah satu golongan dari mereka, misalnya, kelompok Qumran, biasanya menganggap nubuat nabi digenapi atas diri mereka. Paul D. Hanson dalam bukunya The Dawn of Apocalyptic (rev. ed.; Philadelphia: Fortress Press, 1979), melihat pikiran orang benar yang tersisa ini dari sudut sosiologis. Ia berpendapat bahwa golongan ini bukan suatu kelompok tertentu melainkan banyak kelompok yang berciri khas umum, yakni mereka tidak berkuasa lagi. Jadi bagi Hanson (yang dikritik karena kurang memperhatikan ciri khas agama golongan ini), orang benar yang tersisa adalah kelompok yang dikecewakan, dikalahkan dalam pergolakan masyarakat termasuk di dunia agama.

Kedua, persoalan kejahatan. Persoalan ini timbul sebab rupanya Allah tidak lagi menghukum yang jahat dan memberkati yang baik. Apa yang terjadi dalam masyarakat justru sebaliknya. Ini merupakan pertanyaan yang serius bagi orang Israel yang pulang dari pembuangan, terutama setelah mereka berusaha taat kepada hukum Musa. Apa yang terjadi sangat mengecewakan orang Israel. Mereka justru dijajah dari satu negara asing ke negara asing yang lain.

Ketiga, soal tidak adanya nubuat lagi. Selama berabad-abad lamanya orang Israel mendengar suara nabi, tetapi kemudian seolah-olah nabi-nabi telah tertidur. Jadi sekarang adalah saatnya bagi penulis apokaliptik untuk bangun berdiri mengisi kekosongan ini.

Tidak dapat disangkali bahwa literatur apokaliptik pernah tumbuh subur di kalangan orang Yahudi dan orang Kristen. Bahkan menurut sebagian sarjana apokaliptik adalah ibu dari segala teologi Kristiani.90 Tetapi bagaimana dengan asal-usulnya? Kita dapat menjumpai banyak teori dalam topik ini, misalnya, Betz melihatnya sebagai hasil budaya Yunani, sedang Conzelmann percaya literatur jenis ini berasal dari agama orang Iran, dan sebagainya.91 Tetapi rupanya pendapat dari H.H. Rowley, D.S. Russell, S.D. Frost P.D. Hanson Dan R.G. Hamerton-Kelly lebih dapat dipercaya. Di samping melihat pengaruh dari budaya lain, mereka percaya apokaliptik berasal dari nubuat Perjanjian Lama. Sudah tentu penilaian dan Cara menangani apokaliptik mereka berbeda, tetapi pada dasarnya mereka melihat literatur ini sebagai penerusan dari nubuat perjanjian Lama. Bagi P.D. Hanson, apokaliptik adalah sama dengan nubuat, hasil dari kesenjangan antara golongan visi dan realitas. R.G. Hamerton-Kelly maju selangkah menghubungkannya dengan Bait Allah dan persembahan di dalamnya. Bagi dia golongan apokaliptik adalah orang yang bermusuhan dengan Bait Allah di Yerusalem, tetapi tetap memperhatikan maknanya. (Tendensi ini terbaca dalam tulisan Qumran.) Sedangkan bagi von Rad, literatur ini berhubungan dekat dengan literatur Hikmat orang Yahudi. Walaupun kita belum ada kesimpulan terakhir, tetapi hampir boleh kita pastikan nubuat perjanjian Lama berhubungan dengan apokaliptik, walaupun jelas keduanya berbeda.

Perbedaan Antara Literatur Apokaliptik Umum Dan Alkitab92

Sebagaimana diketahui di dalam Alkitab terdapat literatur berciri apokaliptik, misalnya kitab Daniel dan Wahyu. Selain kedua kitab ini, Yes.24-27, Yeh.38-39, nubuat dari Yoel. Zak.9-14, Mrk.13, I Kor. 15, dan II Tes. 2 juga memiliki ciri demikian. Tetapi perlu diperhatikan bahwa adanya perbedaan yang cukup menyolok antara apokaliptik di luar Alkitab dan Alkitab.93

(1) Apokaliptik Alkitab jelas berisi amanat dari para nabi, sedangkan Apokaliptik umum tidak.

(2) Apokaliptik Alkitab menunjukkan nama asli penulis, sedangkan yang umum tidak.

(3) Dibandingkan pandangan pesimis terhadap dunia kini, Apokaliptik Alkitab lebih seimbang.

(4) Apokaliptik umum melihat zaman sekarang jahat dan tanpa makna, tetapi bagi penulis Apokaliptik Alkitab, justru dalam sejarahlah Allah telah memulai lembaran baru dengan pekerjaan penebusanNya.

(5) Apokaliptik Alkitab lebih bersifat nubuat, yang menekankan nasihat moral dan kehidupan, sedangkan apokaliptik umum tidak.

 II. PELBAGAI PENDEKATAN

Menurut Robert H. Mounce, hampir semua penafsiran dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari empat aliran di bawah ini

(1) Aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab.

Golongan ini menafsir kitab Wahyu dari sudut lingkungan dan keadaan abad pertama, saat kitab itu ditulis.

(2) Aliran Sejarahwan.

Tokoh-tokoh aliran ini melihat kitab Wahyu sebagai nubuat tentang sejarah yang berjalan hingga zaman penafsir sendiri.

(3) Aliran Futuris atau Eskatologis.

Menurut aliran ini, kitab terakhir dari Perjanjian Baru ini menekankan kemenangan terakhir dari Allah atas kekuatan jahat. Golongan ini, khususnya yang memegang pandangan Dispensasi, melihat apa yang dicatat setelah Why.4:1 adalah hal-hal yang belum terjadi.

(4) Aliran Idealis atau Simbolis yang tidak dibatasi oleh waktu.

Bagi aliran ini, kitab Wahyu tidak menunjuk kepada suatu peristiwa tertentu, melainkan kepada prinsip dasar yang dipakai Allah dalam segala zaman.94

Apa yang disajikan oleh Mounce di atas, sebetulnya menyangkut dua hal yang amat penting dalam penafsiran kitab Wahyu. Pertama, sikap apa yang harus diambil terhadap jenis literatur apokaliptik kitab Wahyu. Ini penting karena jika kitab Wahyu memakai sejenis literatur yang populer pada zaman itu, lalu seberapa jauh ia berbeda dengan literatur apokaliptik umum.95

Jika tidak banyak berbeda itu berarti sifat nubuatnya mungkin tidak menonjol. Ini berarti penafsiran yang tepat adalah yang diambil oleh aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab, atau boleh sedikit bergeser katakanlah kepada aliran Idealis. Jika kitab Wahyu benar sangat berbeda dengan literatur apokaliptik umum (sesuatu yang sangat mungkin mengingat kreativitas komunitas orang Kristen dan wahyu khusus yang diterima oleh penulis kitab), maka pendapat aliran Sejarahwan atau aliran Eskatologis perlu dipegang. Di sinilah pangkal persoalannya dan inilah yang sulit ditentukan.

Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama adalah seberapa jauh pelukisan dalam kitab Wahyu dapat ditafsir secara kias. Perdebatan sengit tentang Millennium (baca Why. 20:4) sebetulnya berkisar pada persoalan ini. Jika ditafsir hurufiah, berarti penafsir itu akan condong ke Premillennialisme, yang melihat masa seribu tahun itu benar-benar akan terjadi. Jika tidak, ia akhirnya akan bergeser ke Amillennialisme yang menjelaskan masa seribu tahun dengan pengertian simbolis. Kini harus kembali kepada pertanyaan yang mendasar, yakni apakah dapat dibenarkan bahwa kitab Wahyu dengan bentuk sastra literatur apokaliptik ditafsir secara hurufiah? Jawaban ini tidak tuntas jika tidak kembali kepada apakah ada perbedaan yang sangat prinsipil dan mencolok antara literatur apokaliptik umum dan Alkitabiah. Sekali lagi, inilah yang sulit, namun inilah yang menentukan.

Untuk memberi sekilas penjelasan tentang pelbagai pendekatan akan disajikan ringkasan beberapa tafsiran. Ayat yang akan dibahas adalah Wahyu 12:3, "Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota".

Bagi William Barclay, yang terlihat dari tafsirannya, Revelation of John vol.2 (Edinburgh: St. Andrew, 1974), apa yang ditulis oleh Rasul Yohanes ini berhubungan dengan ular merah yang ia lihat di kuil Marduk di Babilon. Sedangkan tujuh kepala dan sepuluh tanduk melambangkan kekuatannya yang besar, dan ekor yang menyeret bintang-bintang di langit berhubungan dengan Daniel 8:10. Barclay juga melihat gambaran ini melambangkan dua kekuatan oposisi dalam sejarah manusia. Ini kebenaran yang kekal. Dari sini boleh terlihat Barclay menggabungkan aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab dan aliran Idealis.96

Menurut John F. Walvoord, dalam bukunya The Revelation of Jesus Christ (Chicago, IL: Moody, 1966), tanda yang terlihat di langit itu berhubungan dengan Wahyu 13:1, dan Daniel 7:7-8, 24, yang menunjuk kepada Kerajaan Romawi. Naga itu juga menunjuk kepada Setan. Warna itu menunjuk karakter pembunuhan. Tujuh kepala dan sepuluh tanduk menunjuk sepuluh negara, yang darinya tiga dicabut oleh tanduk kecil (Daniel 7:8). Tanduk kecil diidentikkan dengan penguasa dunia pada masa kesengsaraan, yang akan menjajah pada saat Kerajaan Romawi bangun kembali. Walvoord jelas mengambil posisi dari golongan aliran Sejarahwan, yang juga dicampur dengan aliran Futuris. Ia juga jelas berpegang pada kepercayaan Premillennialisme, yang berorientasi ke penafsiran hurufiah.97

Dari sebuah tafsiran yang relatif ringkas, Revelation (London: Tyndale, 1973), Leon Morris, seorang penafsir yang ternama, melihat tanda ini menunjuk kepada Setan. Hanya ia percaya ini ada hubungan dengan Mesir, yakni Firaun, dengan memperhatikan ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang berkaitan dengan negara tersebut. Dalam tafsirannya, Morris jelas melihat pelukisan di sini bersifat simbolis dan berhubungan dengan orang Kristen pada abad pertama.

Contoh-contoh yang disajikan di atas sudah tentu belum komplit, dan ringkasan-ringkasan ini dibuat hanya dengan tujuan menjelaskan aliran-aliran besar yang ada dalam penafsiran kitab Wahyu. Dengan demikian, prinsip dan metode penafsiran, teologi dan argumen dari penulis-penulis ini terpaksa tidak dapat di liput dengan teliti. Namun demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh suatu pandangan yang lebih konkret.

 III. PRINSIP PENAFSIRAN: BEBERAPA PEGANGAN

Sama seperti menafsir kitab lain, menafsir kitab Wahyu juga menuntut langkah-langkah penafsiran umum. Langkah-langkah ini pada dasarnya dapat diringkas sebagai berikut:12)

1. analisa teks

2. analisa isi Alkitab (introduksi)

3. analisa sejarah dan latar belakang

4. analisa sastra

5. analisa konteks

6. analisa arti kata

7. analisa tata bahasa

8. analisa integrasi

Selain apa yang di atas, masih terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan:

(1) walaupun terdapat perbedaan antara nubuat dan apokaliptik, tetapi dalam banyak aspek mereka pun sangat dekat. Ditambah lagi, literatur apokaliptik sangat mungkin lahir dari nubuat Perjanjian Lama. Jadi dapat dipertanggungjawabkan jika kita menerapkan prinsip dan metode penafsiran nubuat atas apokaliptik.

(2) apokaliptik sangat menonjol dalam hal eskatologi. Penafsir modern perlu sadar akan dorongan ingin tahu dari sementara orang, dan jangan terlalu spekulatif dalam menafsir apokaliptik. Ingat selalu ajaran Tuhan Yesus di dalam Mat. 24:36; Kis. 1:7.

(3) penafsiran modern perlu memperhatikan ciri khas literatur apokaliptik umum dan juga apokaliptik yang terdapat di dalam Alkitab. Perhatikan selalu topik, nubuat, latar belakang sejarah dan bahasa simbolisnya.

(4) simbol atau bahasa simbolis dalam apokaliptik adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh orang zaman itu. Jadi untuk menafsir semua ini, penafsir perlu memperhatikan penjelasan dari penulis, konteks, bahkan literatur apokaliptik umum zaman itu.

(5) perhatikan selalu dampak dari bahasa simbolis yang jelas sangat emosional.

(6) penafsir modern juga perlu memperhatikan bagian yang paralel dan juga nubuat di dalam perjanjian Lama. Penafsir modern juga perlu selalu menanyakan apakah nubuat apokaliptik telah atau belum digenapi.

(7) Alkitab selalu mengajarkan kebenaran untuk segala zaman. Ini berlaku juga bagi simbol yang dipakai dalam apokaliptik. Penafsir modern perlu memperhatikan aspek ini.

Tulisan pendek ini tidak bermaksud menyajikan suatu rumusan sederhana untuk penafsiran kitab Wahyu. Tetapi adalah harapan penulis, melalui artikel singkat ini, lebih banyak pembaca terdorong menyelidiki firman Allah lebih tekun dan intensif. Kiranya dalam proses dan pengalaman penyelidikan itulah, pembaca sendiri memperoleh banyak berkat dan juga cara penafsiran yang lebih akurat.

 KEPUSTAKAAN

1. Barclay, William, Revelation of John, Vol.2 Edinburgh: St. Andrew, 1974.

2. Clouse, Robert G., The Meaning of the Millennium: Four Views. Downers grove, II: Intervarsity, 1977.

3. Hanson, Paul D., The Dawn of Apocalyptic, rev. ed. Philadelphia, PA: Fortress, 1979.

4. Harrison, Everett. (ed.), Baker's Dictionary of Theology. Grand Rapids, MI: Baker, 1973.

5. Morris, Henry M., The Revelation Record. Wheaton, II: Tyndale, 1985.

6. Morris, Leon, Revelation. Tyndale N.T. Commentaries. London: Tyndale, 1969.

7. Mounce, Robert H., The Book of Revelation. Grand Rapids, MI: Eerdmands, 1977.

8. Walvoord, John F., The Revelation of Jesus Christ. Chicago, IL: Moody, 1966.



TIP #11: Klik ikon untuk membuka halaman ramah cetak. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA