Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 4 No. 1 Tahun 1989 > 
KEUNIKAN PERANAN ORANG TUA DIDALAM PENDIDIKAN KRISTEN 
Penulis: DR. Jonathan A. Trisna

Dari Ulangan 6:4-9 kita mendapatkan secara jelas. perintah Allah pada orang tua untuk mendidik dan mengajarkan pada anak mereka prinsip-prinsip hidup beriman. Dalam keadaan yang wajar, tidak ada orang lain yang mempunyai keintiman hubungan dengan seorang anak seperti orang tuanya. Juga tidak ada orang lain yang mempunyai banyak kesempatan dan waktu untuk berhubungan dengan anak seperti orang tuanya. Kedua hal ini menyebabkan peranan unik orang tua dalam pendidikan Kristen di keluarga.

Karena adanya keunikan seperti ini, maka perintah Allah untuk "mengajar berulang-ulang", membicarakan firman Allah "apabila duduk di rumahmu, apabila berbaring dan apabila engkau bangun", dapat dilakukan. Guru pendidikan umum (misalnya S.D.), yang bertemu 5 jam sehari dengan seorang anak, tidak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi anak itu sebanyak orang tuanya, apalagi guru Sekolah Minggunya (hanya sejam atau dua jam seminggu).

Pengaruh iman Kristen ini bukan saja diberikan dalam bentuk kata-kata, nasihat atau wejangan. Di samping melalui mulut, orang tua juga harus mengajarkan firman Allah melalui tingkah laku, sikap hidup, nilai-nilai dan cara berpikirnya (yang dikiaskan dengan "tanda pada tanganmu" dan "lambang di dahimu"). Rumah (dan bahkan kalau mungkin kota/negara) kita haruslah disaturasi (saturated) dengan Firman Allah itu.

Artikel ini membahas peranan orang tua dalam pendidikan Kristen dari tiga segi, yaitu (I) Pembentukan Kepribadian Anak, (II) Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus, dan (III) Family Altar.

 I. PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK

Dalam keadaan wajar (misalnya anak bukan yatim piatu, anak tidak dipelihara kakek nenek atau di"serahkan" pada pembantu rumah tangga), orang tua merupakan orang yang paling penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pembentukan dan penularan kepribadian terjadi pada seorang terutama pada masa mudanya. Yang dimaksudkan masa muda di sini bukan saja pada masa kanak-kanak, tetapi juga pada waktu seorang masih balita, bayi, bahkan pada waktu ia masih janin di dalam kandungan.

Beberapa minggu sebelum seorang dilahirkan pun proses pembentukan kepribadiannya sudah dimulai. Obat-obatan yang dimakan si ibu; rokok yang dihisapnya, dan keadaan emosinya, akan mempengaruhi kepribadian anaknya meskipun ia masih janin (ibu yang perokok berat, ibu yang pemarah dan suka berteriak-teriak pada bulan-bulan akhir kandungannya - misalnya karena suaminya menyeleweng pada waktu itu - akan memberikan pengaruh yang negatif pada kepribadian anaknya). Jadi terdapat pengaruh psikis di samping tentunya pengaruh fisik.

Setelah anak itu lahir dan mulai dibesarkan, sikap, tingkah laku dan pendapat orang tuanya padanya membentuk kepribadian dasarnya. Untuk ini kita sangat diingatkan pada Amsal 22:6. Gereja Roma Katolik sadar akan pentingnya pendidikan pada masa muda ini hingga mereka menginvestasikan banyak dana dan usaha dalam pendidikan anak. Psikologi juga sadar akan masa kritis pembentukan kepribadian seorang sebelum ia mencapai umur kira-kira delapan tahun. Bila setelah meninggalkan masa kanak-kanak seorang berkepribadian tidak sehat, sangat sukar mengubahnya menjadi berkepribadian sehat kelak.

Faktor-faktor apakah yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kepribadian sehat itu?

A. Agape sebagai dasar

Dalam mendidik anak, kita mencontoh Kristus yang mengubahkan dan mendewasakan kepribadian kita. Kasih Allah (Agape) yang tanpa syarat (lihat Unconditional Love ini dalam Roma 5:6, 8, 10) seperti diperintahkan dalam Yoh. 13:34 menjadi dasar perlakuan kita pada anak kita. Dalam hubungan kita dengan anak kita, kita juga ingat dan berusaha terus menerapkan definisi Agape - "menghendaki, merencanakan, dan melakukan yang baik bagi kekasih kita (dalam hal ini anak kita)."

Kasih Agape inilah yang dapat menyebabkan basic trust (rasa aman dasar) tumbuh dengan subur dalam diri anak kita. Agape yang menumbuhkan basic trust ini mengharuskan kita hangat pada anak kita, banyak menjamah dan memeluknya pada masa kanak-kanaknya, memperhatikannya, serta selalu menghargai dan respek terhadap ciptaan dan peta Allah ini. Tanpa adanya dan berkembangnya basic trust yang memadai pada masa pembentukan kepribadiannya, seorang akan mengalami banyak problema dalam hidupnya. Kepribadiannya akan menjadi parah.

Seorang anak balita yang selalu dipukul, dimaki-maki, diacuhkan, dan dihina, tidak akan mempunyai basic trust yang memadai. Ia tidak akan "kerasan" hidup dalam dunia ini, ia akan memusuhi dan memandang manusia lainnya dengan curiga atau takut, ia akan "melukai" orang lain agar tidak "dilukai" lebih dulu, ia akan merasa tidak berharga (dengan segala macam problema yang mengikuti "minder" ini) dan menjadi musuh bagi dirinya sendiri, ia akan mempunyai kecemasan yang tinggi, ia tidak tahan dan takut pada stress yang wajar hingga tidak dapat sungguh-sungguh hidup efektif dan berprestasi. Bila ini terjadi pada seorang, hanyalah Kristus yang dapat memperbaiki hidup dan kepribadiannya.

B. Disiplin dan Tanggung Jawab

Seorang harus hidup berdisiplin dan bertanggung jawab agar berbahagia. Disiplin ini paling mudah ditanamkan dan melekat pada masa kanak-kanak. Dalam menanamkan disiplin dan tanggung jawab pada anak, kita ingat bahwa Alkitab mengajarkan dan memerintahkan kita untuk juga menggunakan hajaran (bukan ajaran saja) bila seorang kanak-kanak memerlukannya (Amsal 13:24; 22:15; 23:13, 14; 29:15; Ibrani 12:5-10). Banyak ahli pendidik tidak menyetujui sama sekali penggunaan pukulan, tetapi kehendak Allah jelas dalam hal ini. Tentunya kita harus bijaksana dalam menggunakan hajaran (misalnya, tidak bila anak kita "nakal" kreatif tetapi bila ia nakal memberontak dan pemalas).

Ada juga batasan ketika menggunakan hajaran untuk mendidik. Kasih agape secara mutlak harus tetap ada dan aktif; misalnya tidak menghajar sebagai pelampiasan emosi karena kita sedang frustrasi atau marah. Kita tidak boleh menginginkan kecelakaan dan "kerusakan" anak kita itu (Amsal 19:18) tetapi selalu menghendaki dan bertindak demi kebaikan anak kita itu (lihat definisi agape di atas).

Dalam menghukum anak kita, yang kita benci dan serang adalah tindakan dan sikapnya yang berdosa, bukan anak kita itu (kits tidak berkata: "Anak, brengsek, pendusta; mati saja kau!" tetapi "Papa tidak senang Andi berbohong seperti itu.") Sama seperti Allah membenci dosa kita tetapi mengasihi kita orang berdosa, kita tetap mengasihi anak kita apapun sikap dan. perbuatan dosanya. Segera setelah kita menghukumnya, kita memeluknya. Kita selalu menerimanya penuh dan tanpa syarat. Agape ini akan menghindarkan sakit hati dalam diri anak pada waktu kita menghajarnya (Kolose 3:21; Efesus 6:4).

Tanpa hajaran dalam agape pada masa kanak-kanak, seorang tidak akan "yakin" bahwa nyontek - dan kelak korupsi - tidak boleh dilakukan, bahwa menghadapi lampu merah ia harus berhenti, bahwa PR harus dikerjakan, bahwa hutang harus dibayar, dan bahwa meja atasan tidak boleh di gebrak balik. Hati nuraninya juga tidak akan terbentuk secara peka dan lengkap.

 II. HIDUP DALAM SUASANA KEHADIRAN KRISTUS

Kepribadian orang tua ditularkan pada anak melalui penyerapan lebih daripada melalui kata-kata. Seorang anak menyerap nilai, sikap dan pandangan orang tuanya dan menjadikannya miliknya. Sering penularan ini terjadi tanpa disadari orang tuanya karena banyak aspek kepribadian orang tua dipancarkan tanpa mereka sadari. Kalau mereka tidak jujur, sifat pembohong ini akan diserap anak mereka; mereka tidak perlu berkata, "Jadilah seorang pembohong."

Karena hal itulah, sebagai orang tua kita sendiri harus mempunyai kepribadian yang sehat dan dewasa. Perubahan kepribadian kita untuk menjadi dewasa seperti Kristus juga kita peroleh dengan "menyerap" sifat-sifat Kristus waktu kita bersekutu dengan-Nya. Persekutuan ini terjadi baik di gereja bila kita berbakti, waktu kita berdoa, membaca Alkitab dan bersaat teduh, tetapi juga - dan yang terutama - dalam hidup sehari-hari kita.

Entah kita merasakan hadirat-Nya atau tidak, kehadiran Kristus dalam hidup kita adalah suatu fakta (Matius 1:23; 28:20). Suatu pertanyaan penting yang akan mengubah kepribadian dan sikap kita sehari-hari ialah: Apakah kita memperlakukan Kristus serta bertindak, bersikap, berbicara dan berpikir dengan kesadaran (awareness) bahwa Ia, Yang Mahakudus, ada di samping kita setiap saat; ataukah kita menganggap-Nya sebagai angin saja, dan mengacuhkanNya. Hidup dengan kesadaran kuat bahwa Kristus berdiri di camping kita tiap saat ini saga sebut HIDUP DALAM SUASANA KEHADIRAN KRISTUS.

Jikalau kita menerapkan secara konsisten dan terus menerus Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus, keadaan ini akan mendarah daging dan menjadi bagian dari kepribadian kita. Kita sendiri akan diubahkan menjadi seperti Kristus (Roma 8:29; Filipi 2:5; Efesus 4:13). Sama seperti rasul Paulus kemudian kita berkata pada anak kita "Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus" (I Kor. 11: 1).

Di samping melalui pengajaran "formal" (di Sekolah Minggu, pada waktu kita bersaat teduh dengannya dan waktu menceritakan cerita-cerita Alkitab padanya), anak kita makin hari makin dibentuk kepribadiannya menjadi seperti Kristus melalui penyerapan juga. Anak kita menyerapnya dari kita sementara kita menyerapnya dari Kristus. Anak kita perlu merasakan kehadiran Kristus di mana-mana dalam hidupnya sehari-hari melalui orang tuanya.

Dalam memperkenalkan siapa Kristus itu kepada anak kita, dengan sangat efektif kita dapat mengajarkan sifat-sifat Allah, nilai-nilai Kristus, sikap, perasaan dan pandangan-Nya, serta respons kita seharusnya pada-Nya, bila kita Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus. Contoh

(a). Kemahahadiran Allah kita ajarkan pada anak kita bila kita sering berbicara dengan Allah di segala tempat (bukan hanya dalam doa yang disertai tekuk lutut dan kata-kata indah, tetapi dalam segala situasi dan posisi dengan kata-kata sederhana. Kita berbicara dengan Allah seperti kita berbicara dengan isteri yang berdiri di samping kita.)

(b). Kemahakuasaan Allah serta Allah sebagai sumber pertolongan kita ajarkan bila kita membiasakan diri sering memohon pertolongan Allah seperti kita minta tolong suami kita melakukan sesuatu.

(c). Hati yang bersyukur akan menjadi bagian dalam hidup anak kita bila ia tahu sehari-harinya kita sering berterima kasih pada Kristus. Sekali lagi yang saya maksudkan bukan saja waktu kita berdoa dengan bertekuk lutut dan melipat tangan, tetapi dalam suasana biasa kita berkata: "Terima kasih, Yesus." Bukankah kita juga mengajar anak-anak kita untuk berterima kasih bila diberi sesuatu?

(d). Kepasrahan pada Allah kita ajarkan pada anak kita dengan sikap iman dan keteguhan (bukan kecemasan dan ketakutan) pada masa krisis dan kritis.

(e). Kepekaan terhadap kebenaran kita tularkan pada anak kita jika kita sendiri sangat sensitif terhadap dusta dan bohong, menghindari segala macam dusta (termasuk dusta-dusta kecil atau dosa-dosa putih). Dalam hal ini tentunya perlu diterapkan terus "kebenaran di dalam kasih" (Ef. 4:15), agar kita tidak menularkan ke"parisi"an kepada anak kita.

Dalam buku terkenal "In His Steps," penduduk suatu tempat, bertekad untuk selalu bertindak seperti Kristus. Mereka selalu bertanya "Apa yang akan dilakukan Kristus bila Ia ada di tempatku?" apabila harus bertindak atau memutuskan sesuatu. Hidup dalam suasana kehadiran Kristus ini lebih dari hanya menanyakan pertanyaan itu. Kita bukan saja bertindak seperti Kristus tetapi juga merasakan pengharapan, iman, damai Kristus (yang menyebabkanNya dapat tidur lelap di buritan perahu di tengah badai) karena sadar (aware) akan kehadiran Kristus di sisi kita. Lenyaplah ketakutan, kecemasan, putus asa yang banyak merongrong kepribadian kita. Jadi kita tidak hanya mengarah pada pembentukan tingkah laku tetapi seluruh kepribadian (perbuatan, perasaan, sikap, nilai-nilai, pikiran dan iman) diri dan anak kita; dan bila diperlukan perubahan, bukan saja perubahan tingkah laku tetapi juga perubahan kepribadian.

Di sini letak salah satu perbedaan antara theologi dan psikologi. Psikologi tidak terlalu optimis terhadap kemungkinan perubahan kepribadian seorang (bahkan ada psikolog-psikolog yang berpendapat bahwa setelah kepribadian terbentuk, tidak akan dapat diubah lagi). Tesis Alkitab justru menyatakan bahwa di dalam Kristus ada perubahan. Kristuslah yang merubah hidup kita. Di tiap buku Alkitab diminta dan diperintahkan perubahan kelakuan, iman, pandangan, sikap. Perubahan total terjadi pada waktu lahir baru dan setelah itu tiap hari kita harus berubah, bertambah lama bertambah dewasa seperti Kristus. Tentunya perubahan ini adalah karya dan anugerah Allah dalam hidup manusia, bukan usaha manusia itu sendiri.

 III. FAMILY ALTAR

Di samping hidup dalam suasana kehadiran Kristus, perlu ada saat-saat tertentu kita bersekutu dengan Allah sebagai satu keluarga. Perlu ada Family Altar.

Tujuan utama Family Altar bukan mengajarkan isi Alkitab, bukannya suatu kebaktian dan penyembahan yang "dalam," bukannya sebagai suatu keharusan karena yang lain melakukannya, bukan untuk menenangkan rasa bersalah pada orang tua, bukannya suatu ritus yang harus tiap hari dilakukan. Secara sederhana, tujuan utama Family Altar ialah persekutuan keluarga dengan Kristus. Pengetahuan Alkitab yang bertambah, dan kadang-kadang adanya penyembahan yang dalam, adalah hasil sampingan.

Suatu syarat penting demi berhasilnya Family Altar ialah adanya suasana yang rileks, hangat dan menyenangkan. Kita tidak perlu secara ketat mengikuti suatu program saat teduh yang sering menyebabkan ketegangan dan kekakuan. Family Altar sebaiknya merupakan saat yang menyenangkan bagi tiap anggota keluarga hingga tidak akan menyebabkan suatu beban. Format Family Altar harus fleksibel, tidak boleh kaku. Perubahan harus dapat terjadi disesuaikan dengan perubahan jadwal, usia, interest anggota keluarga.

Perlu juga diusahakan agar waktu untuk Family Altar tidak terdesak oleh kesibukan-kesibukan lain. Ada keluarga yang senang berkumpul bersama setiap pagi setelah membersihkan diri, ada yang pada waktu makan pagi atau malam, ada yang sore hari ataupun sebelum tidur.

Program yang dipakai

Ada tiga unsur utama dalam Family Altar. Unsur-unsur ini bukan suatu yang mutlak harus ada pada tiap Family Altar tetapi hanya sebagai patokan:

(1) Ajaran. Di sini dapat dipakai cerita Alkitab bagi kanak-kanak, buku penuntun saat teduh, buku-buku rohani lainnya, ataupun langsung dari Alkitab. Tentang sulitnya bahan atau materi yang dipakai tentunya harus disesuaikan dengan keadaan anak.

(2) Pujian. Satu atau dua lagu dapat dinyanyikan pada waktu Family Altar.

(3) Doa. Dalam doa, dinaikkan ucapan syukur keluarga, syafaat keluarga dan permohonan bagi orang lain. Tambah dewasa anak kita, doa yang dinaikkan lebih bersifat komunikasi terbuka (tidak doa-doa yang terstruktur saja). Kejujuran dan ketulusan adalah sangat penting. Anggota keluarga'kita sangat tahu akan keadaan kita sehari-hari. Kita tidak dapat berpura-pura di hadapan mereka. Kemunafikan akan menyebabkan mereka segan berpartisipasi dalam Family Altar. Bahasa yang digunakan juga tidak perlu muluk-muluk.

Tiap anggota keluarga harus ikut mengambil bagian dalam Family Altar ini, termasuk yang masih kanak-kanak. Anak kecil mungkin belum dapat memimpin doa, tetapi ia dapat memilih nomor lagu. Perlu diusahakan agar tiap anggota merasa bahwa ia ikut memiliki Family Altar ini.

Pada waktu anak kita masih kecil, fakta dari pelajaran yang dibaca dapat ditanyakan, setelah mulai dewasa sekali-kali dapat diadakan diskusi sederhana di mana ia dapat mulai menyatakan pendapatnya. Pendapat ini harus dihargai dan tidak boleh diremehkan. Anak tidak boleh ditertawakan waktu menyatakan pendapatnya, betapa pun sepele rasanya pendapat itu bagi orang dewasa. Arti dari materi ajaran juga dapat ditanyakan. Evaluasi dari ajaran yang dibaca waktu Family Altar tambah lama tambah dapat dibahas. Kelak aplikasi juga diminta untuk diterapkan keluarga.

Kita juga mengharapkan adanya pembentukan kepribadian yang sehat melalui Family Altar tetapi kita harus berhati-hati agar tidak timbul kesan adanya "pesan sponsor" (etika) yang harus jelas dan harus ada tiap kali. Tidak boleh ada kesan bahwa Family Altar adalah kesempatan dan alat orang tua mengkhotbahi anak mereka tiap hari. Persekutuan dengan Kristus harus selalu menjadi tujuan utama. Kita puas bila melalui Family Altar tiap anggota tiap hari, betapapun sedikitnya, datang pada Kristus dalam doa, pujian dan ucapan syukur.

Dr. Jonathan A. Trisna (D. Min., Philips University; M. Div., Nazarene Theological Seminary; M.A., Bethany Nazarene College; B.A., Oklahoma City Southwestern College) adalah seorang konselor dan Pendeta Gereja Bethel Indonesia. Beliau juga mengajar di Lembaga Pendidikan Theologia Bethel Jakarta. Dengan istrinya, Harjanti, beliau mempunyai seorang putra dan seorang putri.

Buku-buku oleh Dr. Jonathan A. Trisna:

- Pernikahan Kristen suatu usaha dalam Kristus

- Berpacaran dan Memilih Teman Hidup

- Konseling Pra Nikah



TIP #23: Gunakan Studi Kamus dengan menggunakan indeks kata atau kotak pencarian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA