Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 >  MISI GEREJA: SUMBER KONFLIK > 
A. PENJERNIHAN KESALAHPAHAMAN 

1. Amanat Agung

Seperti yang telah saya tuliskan di atas, inti pokok Amanat Agung adalah memuridkan dunia, dalam artian menjadikan semua orang melakukan yang Yesus telah ajarkan. Tema kemuridan memang merupakan hal sentral bagi Injil Matius dan pemahaman Matius mengenai gereja dan misi. "Para murid" adalah konsep eklesiologis yang paling khas dari penulis Injil" ini. Namun, baiklah kita pertama-tama berpaling pada kata kerjanya, matheteuein, 'menjadikan murid'. Kata kerja ini hanya muncul empat kali di dalam Perjanjian Baru, tiga di antaranya di dalam Matius (Mat 13:52; 27:57; 28:19) dan sekali di dalam Kis 14:21.

Mat 28:19 merupakan satu-satunya kesempatan ketika kata tersebut digunakan dalam bentuk perintah: matheteusate, "jadikanlah murid!". Lebih dari itu, kata ini adalah kata kerja utama dalam "Amanat Agung" dan inti dari pengutusan tersebut. Kedua kata partisipatifnya, "membaptiskan" dan "mengajar", jelas berada di bawah "menjadikan murid" dan menggambarkan bentuk "pemuridan" yang harus terjadi. Dengan pengertian ini dan bertentangan dengan unsur-unsur entusias dan antinominian dalam komunitasnya, Matius menggunakan perintah yang mendesak.

Konsep "murid" jauh lebih sentral di dalam Matius daripada dalam Injil-injil Sinoptik lainnya. Istilah ini muncul 73 kali di dalam Matius, dibandingkan dengan Markus (46 kali) dan Lukas (37). Bagi Matius, ungkapan "murid-murid" tidak mengacu pada keduabelas murid saja (seperti yang terjadi di dalam Markus dan Lukas). Kata ini digunakan dalam cara yang tidak begitu sempit meskipun keduabelas murid selalu dipradugakan bila kata ini digunakan. Secara lebih positif, bagi Matius, para murid yang pertama itu adalah prototipe bagi gereja. Dengan demikian, istilah tersebut meluas hingga mencakup para "murid" Matius sendiri pada zamannya.

Kaitan antara zaman Yesus dan zaman paguyuban Matius pada kenyataannya diberikan dalam perintah "Jadikanlah murid!" (Mat 28:19). Dengan kata lain, para pengikut Yesus yang hidup di bumi harus menjadikan orang lain apa yang telah terjadi pada diri mereka murid-murid. Jadi, para "murid" pada zaman Matius meneladani murid-murid Yesus yang pertama, seperti halnya para murid yang pertama itu meneladani Yesus sendiri. Jadi, bagi Matius, para murid yang pertama adalah model bagi paguyubannya sendiri, sebagai tokoh ideal yang harus diteladani; dan ia menganjurkan paguyubannya untuk "menjadikan murid" yang selayaknya mirip dengan para murid yang pertama.

Matius, dalam Injilnya, cenderung menekankan ortopraksis Ia memilih, dari tradisi Yesus, kisah-kisah dan ucapan-ucapan tentang perbuatan-perbuatan (khususnya "pekerjaan Kristus", Mat 11:21 tentang menghasilkan buah, tentang melakukan kehendak Allah, tentang ketaatan pada Torah, tentang kesempurnaan, juga tentang praktik keadilan. Semuanya ini jelas menunjuk pada suatu pemahaman yang sangat spesifik tentang misi. Baik penekanan yang legalitas terhadap doktrin yang benar maupun klaim yang entusiastik bahwa seseorang dipimpin oleh Roh tidak ada gunanya apabila hal tersebut tidak didukung oleh buah-buah yang dihasilkan "yang sesuai dengan pertobatan" (Mat 3:8). Sebuah pohon yang baik dikenali hanya melalui buah-buahnya (Mat 7:19-20).

Jadi, bagi Matius. menjadi murid berarti melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, yang telah dicatat oleh si penulis Injil secara terinci di dalam Injilnya. Misi tidak dipersempit pada kegiatan yang membuat seseorang suatu ciptaan yang baru, dengan memberikan mereka "janji yang pasti", sehingga apa pun yang terjadi, mereka akan "diselamatkan untuk selama-lamanya". Misi melibatkan, dari permulaan dan sebagai sesuatu yang sudah dipahami, usaha untuk membuat orang-orang percaya yang baru itu peka terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, membuka mata dan hati mereka untuk mengenali ketidakadilan, penderitaan, penindasan, dan kemalangan mereka yang tergeletak di tepi jalan. Tidak ada pembenaran untuk menganggap bahwa "Amanat Agung" melulu berurusan dengan "penginjilan" dan bahwa "Perintah yang Agung" (Mat 22:37-40) mengacu pada "keterlibatan sosial". Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacques Matthey.

Menurut "Amanat Agung" Matius, tidaklah mungkin melakukan pemuridan tanpa menyuruh mereka mempraktikkan panggilan Allah untuk melakukan keadilan bagi yang miskin. Perintah mengasihi yang merupakan dasar satu-satunya bagi keterlibatan gereja di dalam politik, adalah bagian yang integral dari perintah misi.

Apabila Matius mengidentifikasikan misi sebagai "menjadikan murid", ia tidak berpikir tentang menambahkan anggota-anggota baru ke dalam "jemaat" atau "mendominasi" yang sudah ada. Menjadi murid tidaklah sama dengan menjadi anggota sebuah "gereja setempat" dan "menjadikan murid" tidak semata-mata berarti perluasan jumlah gereja secara angka. Yang ideal, setiap anggota gereja harus menjadi murid sejati, tetapi jelas tidak demikian yang terjadi dengan paguyuban-paguyuban Kristen yang dikenal Matius; karena itu ia memperingatkan mereka akan perumpamaan tentang lalang di antara gandum (Mat 13:24-30) dan akan kenyataan bahwa ikan yang tidak berharga kadang-kadang ditangkap dalam pukat kerajaan (Mat 13:47-50).

Soalnya kini adalah: Apakah yang telah diajarkan oleh Yesus untuk dilakukan itu? David J. Bosch dalam salah satu bukunya, Transformasi Misi, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (yang juga telah menjadi dasar utama dalam uraian di atas), menegaskan bahwa hal ini berhubungan dengan Khotbah di Bukit yang terdapat dalam Mat 5-7. Saya ingin mengutip beberapa bagian dari ayat-ayat tersebut untuk memberi penegasan bahwa perintah menjadikan murid itu tidak sama dengan kristenisasi, dan karena itu tidak perlu menjadi sumber konflik. Lebih jauh, saya ingin menegaskan bahwa menjadikan murid itu justru memberi sumbangan dalam usaha mewujudkan kedamaian dan keserasian hubungan antar agama di Indonesia, bahkan bagi persatuan bangsa.

- Mat 5:9 "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah".

Nas ini hendak mengatakan bahwa seseorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus harus mengusahakan perdamaian atau membawa damai (bukan hanya cinta damai). Perdamaian di sini bukan berarti menghindarkan diri dari persoalan-persoalan, melainkan menghadapinya secara baik, meskipun jalan ke arah itu merupakan jalan yang berat.

- Mat 5:13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang".

Nas ini hendak mengatakan bahwa seseorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus harus menjadi alat untuk mencegah terjadinya pembusukan dan sekaligus mendatangkan kenikmatan bagi sesama.

- Mat 5:22

"Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala".

Nas ini, terutama bagian terakhir, memberi peringatan yang sangat keras kepada murid Kristus agar tidak pernah memandang orang lain sebagai kafir, tidak mempunyai Tuhan, tidak memiliki keselamatan. Dengan perkataan lain seorang yang disebut atau menyebut diri sebagai murid Kristus, tidak boleh menempatkan keabsolutan keyakinannya sebagai alat untuk menilai, apalagi menghakimi keyakinan sesama yang berbeda keyakinan.

- Mat 7:1

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi".

- Mat 7:12

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Kalau kita menghendaki orang lain menghormati keyakinan agama kita, maka hormatilah keyakinan agamanya terlebih dahulu. Kalau kita tidak menghendaki orang lain menjelek-jelekkan agama kita atau menarik anggota kita, maka jangan juga melakukan hal itu kepada orang lain.

Itulah antara lain yang harus dilakukan atau diperlihatkan oleh pengikut Kristus dalam rangka memuridkan dunia. Dan ini jugalah yang harus mereka ajarkan kepada orang lain agar orang lain lakukan. Dengan melakukan hal ini dan membuat orang lain melakukannya, maka para pengikut Kristus telah memenuhi perintah untuk menjadikan semua bangsa menjadi murid Yesus. Dan kalau ini bisa terjadi, bukankah konflik akan segera menjadi "fosil"? Bukankah kedamaian dan persatuan akan serta terwujud?

Mengenai "baptiskan" dapat dikatakan bahwa bagi Matius baptisan adalah pintu melalui mana orang dipanggil untuk menjadi murid Yesus. Baptisan bukankah suatu tindakan ataupun keputusan manusia, melainkan suatu pemberian kasih karunia. Melalui baptisan orang yang dibaptiskan itu dijadikan peserta dalam keseluruhan kesempurnaan janji ilahi dan realitas pengampunan dosa. Jadi, baptisan disini adalah akta simbolis dari pengampunan dosa. Itulah sebabnya dalam Amanat Agung tidak tercantum kata pengampunan dosa. Sebab bila dicantumkan itu akan menjadi berlebihan. Bagi Matius, hal ini sudah dengan sendirinya tercantum dalam rumusan baptisan: "Seseorang menjadi murid melalui baptisan karena di situ dosa-dosanya diampuni". Seperti yang juga dikatakan oleh Paulus (justru dalam konteks sebuah teks baptisan!), "bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus" (Rm 6:11), dengan kata lain, terimalah sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh apa yang telah Allah lakukan, dan bertindaklah sesuai dengan hal itu! Apa yang telah dilakukan Allah di dalam Kristus -- pengampunan dosa -- adalah sebuah titik tolak dalam kehidupan baru sang murid dan dimeteraikan dalam akta baptisan.

Dari apa yang telah kita lihat di atas, perintah "ajarlah mereka" bersama-sama dengan perintah "baptislah mereka", tampaknya merupakan isi yang sesungguhnya dari upaya pemuridan. Dan karena itu pula, merupakan misi di dalam pemahaman Matius. Lebih jauh tampak bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda dengan misi dalam ayat-ayat paralel dalam Injil-injil yang lain dan di dalam Kisah Para Rasul. Dalam Luk 24:47 pesan yang diberitakan kepada bangsa-bangsa adalah pesan pertobatan dan pengampunan dosa di dalam nama Yesus. Dalam Kis 1:8, kepada murid diberitahukan bahwa mereka akan menjadi saksi peristiwa Paskah, yang dikuatkan oleh Roh Kudus. Dalam Yoh 20:21-23, para murid pun dijanjikan Roh Kudus dan diutus ke dalam dunia oleh Kristus yang bangkit dengan kuasa untuk mengampuni dosa. Matius, tampaknya sedikitpun tidak mempunyai pemahaman hal ini. Yesus, menurut Matius, kedengaran sangat didaktis dan legalistis dan sangat memalukan, khususnya bagi kaum Protestan, yang lebih suka mendengar tentang pemberitaan daripada pengajaran, tentang pengampunan dosa dan kuasa Roh Kudus daripada menjalankan perintah-perintah.

Markus menggunakan kata "memberitakan" (keruso) dan "mengajar" (didasko) sebagai sinonim. Matius secara konsisten membedakan kedua aktifitas tersebut. Dalam Matius, "berkhotbah" dan "memberitakan" selalu mengacu pada pesan yang ditujukan kepada orang luar. Kata ini sering kali digunakan bersama-sama dengan "Injil kerajaan". Ungkapan "memberitakan Injil (kerajaan)" kadang-kadang digunakan dengan acuan khusus pada suatu misi (kepada bukan Yahudi) di masa depan (Mat 24:14; 26:13; bdk. 10:7). Yesus tidak pernah "berkhotbah" kepada murid-muridNya: Ia "mengajar" mereka. Demikian pula di rumah-rumah ibadah dan di bait Allah (artinya di antara "orang-orang percaya") Yesus tidak pernah "berkhotbah". tetapi selalu "mengajar". Jadi, mengapa Ia membuang istilah yang sangat misioner di dalam 'Amanat Agung'-Nya? Mengapa tidak ada satu kata pun tentang "berkhotbah" (sembilan kali dalam Matius), "memberitakan Injil" (empat kali), "menginjili" (sekali)? Inilah jenis istilah yang digunakan Yesus dalam kisah pengutusan dalam Mat 10. Jadi, mengapa kata ini tidak muncul di sini, dalam suatu pengutusan yang melibatkan upaya menjangkau dunia?

Di balik pemilihan kata-kata ini terdapat pertimbangan-pertimbangan teologis dan misiologis yang penting. Sebab, bagi Matius, mengajar bukanlah semata-mata suatu upaya intelektual. Pengajaran Yesus adalah suatu himbauan kepada kehendak para pendengarnya bukan terutama kepada intelek: ini merupakan panggilan untuk suatu keputusan yang konkrit untuk mengikut Dia dan untuk taat pada kehendak Allah. Apa yang harus "diajarkan" oleh para rasul kepada murid-murid yang baru menurut Mat 28:20 adalah taat pada kehendak Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam pelayanan dan pengajaran Yesus. Tidak ada Injil yang dalam suatu entusiasme Roh dapat menjauhkan dirinya dari Yesus yang pernah hidup di dunia. Perintah-perintahNya tetap berlaku dan berkuasa, juga untuk masa depan. Kesinambungan harus dipertahankan antara Yesus, yang pernah hidup di dunia dan Kristus yang dimuliakan. Mereka yang dijadikan murid-murid dan dibaptiskan oleh utusan-utusan Kristus harus mengikuti Yesus sebagaimana yang dilakukan oleh kesebelas murid. Jadi, kemuridan ditentukan oleh hubungan dengan Kristus sendiri bukan oleh ketaatan pada perintah-perintah yang tidak pribadi. Konteksnya bukanlah ruangan kelas (dimana "pengajaran" biasanya berlangsung untuk kita), bahkan bukan pula gereja, melainkan dunia.

Namun, kita harus berbicara lebih jauh dengan jalan mewujudkan pengajaran ini, "perintah-perintah" Yesus ini. Istilah yang digunakan Matius yang segera muncul dalam pikiran kita ketika kita berusaha melakukan ini adalah "kehendak Bapa-Ku". Lebih daripada para penulis Injil lainnya, Matius menyoroti sentralitas kehendak Allah bagi Yesus dan murid-murid. Dalam Mat 7:21 acuan pada kehendak Bapa muncul dalam suatu konteks eskatologis dengan latar belakang penghakiman terakhir, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." Dalam nada yang sama "Bapamu yang di sorga tidak menghendaki" ada salah seorang dari anak-anak ini hilang (Mat 18:14).

Dengan demikian, kasih kepada sesama dapat dianggap sebagai tolok ukur untuk kasih kepada Allah. Hal yang sama pun berlaku bagi perbuatan. Perbuatan pun merupakan ujian bagi otentisitas dari kata-kata. "Percaya", "mengikut Yesus", "mengerti", semuanya mengandung unsur komitmen aktif yang mengalir ke dalam perbuatan.

Secara khusus keprihatinan ini muncul di dalam Khotbah di Bukit, bagian pertama dari lima komposisi besar Matius tentang pengajaran Yesus, khususnya dalam bagian yang terakhir (bdk. Mat 7:21) "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku; Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga," dan Mat 7:24, "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya ...." Matius sendiri menyarikan keseluruhan pelayanan Yesus dengan kata-kata "pekerjaan Kristus" (ta erga tou Christou - Mat 11:2. Ringkasan ini muncul dalam bagian utama yang penting dari Injilnya setelah dua percakapan pertama dan sebelum tiga percakapan yang terakhir). Ungkapan "Pekerjaan Kristus" dapat dianggap sebagai judul dari seluruh paroan pertama dari Injil ini dan jelas mempunyai konotasi misioner; sesungguhnya, bagian ini adalah suatu konsep misioner kunci dan yang memberikan capnya dan pemahaman dasar Matius tentang misi.

Dalam konteks inilah kita harus menghargai pemahaman Matius tentang dosa atau kegagalan, atau yang lebih khas adalah kemunafikan. Konteksnya mengungkapkan bahwa hal ini berarti tiadanya perbuatan yang baik, buah-buah, meskipun misalnya seseorang mempunyai kata-kata yang benar. Sebuah kata yang hampir mirip dengan kemunafikan adalah anomia ("kejahatan"). Matius, satu-satunya penginjil yang menggunakan kata ini. Dia menggunakannya empat kali. Hal ini memperlihatkan bahwa, bagi Matius, kemunafikan itu lebih dari sekadar berpura-pura atau sok suci. Kemunafikan adalah kejahatan; kegagalan untuk bertindak dalam hubungan dengan sesama dan Allah.

2. Pertanyaan tentang Keselamatan

Seperti telah saya katakan di atas, pertanyaan "Apa yang akan terjadi pada jiwa manusia setelah kematian" adalah pertanyaan yang salah. Ada tiga alasannya (di sini saya mengikuti argumen Lesslie Newbigin), yaitu pertama, pertanyaan itu adalah salah; karena untuk pertanyaan itu hanyalah Allah sendiri yang mempunyai hak untuk menjawabnya. Setiap teolog yang benar-benar serius harus belajar untuk mengerti kemungkinan yang tidak mungkin akan keselamatan. Paulus, yang begitu yakin bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat memisahkan ia dari kasih Allah dalam Yesus Kristus, juga mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia harus melatih dirinya dengan disiplin "supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain jangan aku ditolak." (1 Kor 9:27). Kedua, pertanyaan seperti ini didasarkan atas suatu abstraksi. Dengan mengkonsentrasikan perhatian ke atas nasib jiwa individu sesudah kematian, pertanyaan ini mengabstraksikan jiwa dari kenyataan yang penuh dari pribadi manusia sebagai seorang pelaku dan penanggung jawab derita di dalam sejarah dunia yang berjalan terus ini. Ini sebenarnya bagian dari gerakan reduksionis yang menyesatkan. Kalau kita menolak bentuk reduksionisme ini, maka pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah, "Apa yang akan terjadi atas jiwa orang ini setelah kematian?" tetapi, "Apa akhir yang memberikan makna kepada riwayat orang ini sebagai bagian dari keseluruhan cerita Allah?". Maka dari itu dialog kita dengan orang-orang yang mempunyai iman yang lain haruslah mengenai apa yang sedang terjadi di dunia ini sekarang dan mengenai bagaimana kita memahaminya dan mengambil bagian di dalamnya. Ketiga, pertanyaan itu mulai dengan individu dan kebutuhannya untuk yakin tentang kebahagiaan yang paling akhir dan bukan dengan Allah dan kemuliaan-Nya. Pertanyaan "bagaimana saya diselamatkan" adalah pertanyaan yang egoistik dan bertentangan dengan Injil. Sebab siapa pun yang telah mengerti apa yang telah diperbuat Allah bagi semua orang di dalam Yesus Kristus, pasti akan bertanya: "Bagaimanakah Allah akan dimuliakan? Bagaimana anugerah-Nya yang mengherankan itu akan dikenal, dirayakan dan dipuja?" Seluruh diskusi tentang peranan dari agama-agama dunia dan ideologi-ideologi sekuler dari sudut pandang iman Kristen adalah berat sebelah bila mulai dengan pertanyaan, "Siapakah yang pada akhirnya akan diselamatkan?" Itu adalah pertanyaan yang hanya Allah sendiri yang akan menjawabnya; dan adalah praanggapan yang angkuh pada teolog-teolog untuk menganggap bahwa pekerjaan merekalah untuk menjawabnya.

Apakah konsekuensi praktis dari pendekatan ini bila dimanfaatkan sebagai titik berangkat hubungan kita dengan orang-orang dari iman yang lain?

Pertama, setiap orang yang mengaku atau disebut sebagai pengikut Kristus harus mencari dan menyambut semua tanda anugerah Allah yang ada, di dalam kehidupan orang-orang yang tidak mengenal Yesus sebagai Tuhan. Ini adalah bagian dad semangat memuridkan dunia, yaitu mengikuti teladan dari Yesus, yang sedemikian bergairah menyambut bukti-bukti iman dalam orang-orang yang berada di luar rumah tangga Israel.

Kedua, setiap orang yang mengaku dan disebut sebagai pengikut Kristus harus bersemangat untuk bekerja sama dengan orang-orang dari semua iman dan ideologi dalam semua proyek yang sejalan dengan pemahaman Kristen tentang tujuan Allah di dalam sejarah.

Ketiga, komitmen bersama untuk pekerjaan dunia semacam ini, memberi konteks untuk dialog yang benar. Di sinilah tempat dialog yang nyata dapat mulai. Dialog yang nyata mengenai isu-isu yang nyata. Itu bukan hanya berbagi pengalaman-pengalaman keagamaan, meskipun dialog itu dapat mencakup hal ini juga.



created in 0.03 seconds
powered by YLSA