"Yesus mati pada usia sekitar 33 tahun". Kelihatannya tidak ada yang istimewa dengan pernyataan ini selain bahwa Yesus mati muda. Ia hanya mencapai setengah umur manusia rata-rata sekarang ini. Selain itu pernyataan ini adalah pernyataan rutin karena kematian merupakan pengalaman yang semua manusia akan alami. Dan kematian mengakhiri segalanya, sehingga tak ada apa-apa lagi yang bisa dibicarakan.
Sesungguhnya kenyataan ini menjadi berbeda jika yang kita bicarakan adalah kematian Yesus Kristus. Injil memuat sekitar sepertiga bagiannya untuk membicarakan kematian Yesus. W. Griffith Thomas menulis:
If we read the Gospels just as they stand, it is clear that the death of Jesus Christ was really in view almost from the outset of His earthly appearance.177
Rasul Paulus, yang menulis bagian terbesar PB, mempunyai penekanan yang serupa. Setelah beberapa waktu pelayanannya di Korintus ia meringkaskan pelayanannya dengan perkataan, "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan" (1Kor 1:23), serta mengingatkan rekan-rekannya di sana, "Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan" (1Kor 2:2). Di tempat lain ia menulis, "Tetapi aku sekali-kali tidak man bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus" (Gal 6:14).
Bahkan terlebih penting dari semua yang telah disebutkan di atas, Yesus sendiri juga menekankan kesentralan penyalibanNya. Dari waktu ke waktu Ia terus memperingatkan murid-muridNya tentang apa yang akan terjadi padaNya. Segera setelah peristiwa di Kaisarea Filipi di mana Petrus menyatakan Yesus adalah Mesias, Yesus mulai memberitakan kematianNya. Matius menulis, "Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga" (Mat 16:21). Penekanan pada "sejak waktu itu" (apotote) dibandingkan dengan frase serupa yang digunakan pada awal pelayanan Yesus (Mat 4:17) tampak menunjukkan kepada kita pentingnya bagian ini. Kematian sebagai tujuanNya semakin jelas ketika Petrus mencegahNya, Petrus malah ditengking Yesus. Pada peristiwa selanjutnya di mana Yesus dimuliakan, kita melihat sebuah peristiwa maha penting karena melibatkan dua tokoh besar PL. Inti di balik peristiwa ini adalah mengenai kematian Yesus. Tentang hal ini Yesus kemudian kembali memberitakan kepada murid-muridNya (Mat 17:22-23). Pada Matius 20 dalam perjalanan ke Yerusalem, dicatat di situ bahwa misi perjalanan itu adalah kematian (ay. 17-19). Dalam Lukas 13:32-33, dalam perjalananNya ke Yerusalem, orang Farisi mencoba mencegahNya karena Herodes akan membunuhNya. Yesus memberi jawaban bahwa memang itulah yang harus dialamiNya Ia harus mati di Yerusalem.
Penekanan yang sama kita dapati dalam Injil Yohanes di mana Yesus berulang kali membicarakan masalah "waktunya". Pada awal pelayananNya, Ia berkata, "SaatKu belum tiba" (2:4). Pada dua kesempatan terpisah (yang terjadi beberapa tahun kemudian di mana ancaman terhadapNya makin menggawat, tetapi belum menghasilkan apa-apa), Ia mengatakan, "sebab saatNya belum tiba" (7:30; 8:20). Tetapi beberapa hari sebelum kematianNya, kata-kata yang umum mewarnai Injil Yohanes ini berubah drastis. Ketika beberapa orang pengunjung Yunani ingin menjumpaiNya, Yesus berkata, "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan". Kemudian ditambahkan, "Sekarang jiwaKu terharu dan apakah yang akan kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini" (12:23, 27). Kemudian pada malam Ia ditangkap, Ia berdoa, "Bapa, telah tiba saatnya" (17:1). Segala yang lampau berubah menjadi pendahuluan. Dalam beberapa jam mendatang Ia akan dibunuh, tetapi kematianNya tidak mengakhiri karyaNya di dunia ini, melainkan menjadi puncak karyaNya.
Dengan demikian jika seseorang membaca Injil dan tidak menangkap topik tentang salib yang dibicarakan secara menonjol di dalamnya, hal itu berarti pembacaan kita terlalu dangkal. J. Stalker sendiri menyatakan dalam The Christology of Jesus bahwa:
The impression that Jesus referred but little to His own death is due to a superficial reading of the Gospels. A closer acquaintance with then reveals the fact that at no period of His ministry was the thought of His death foreign to Him, and that during the last year of His life it was an ever present and absorbing preoccupation.178
Hal senada juga dikemukakan oleh Griffith:
No one can even glance at the New Testament without realising that for all its writers the death of Christ had a profound and far-reaching significance.179
Maka tidaklah berlebihan bila Leon Morris menyatakan bahwa "Salib mendominasi Perjanjian Baru."180 Karenanya tidak seorangpun dapat luput melihat salib dalam PB.
Kenyataan di atas akan sangat terasakan sebagai sesuatu yang menonjol luar biasa jika kita pahami bahwa tidak satu budayapun di masa itu yang mempunyai pandangan yang positif terhadap salib. Salib merupakan kejijikan, kengerian, kerendahan, dan kebencian dalam kebudayaan Yunani, Romawi, maupun Yahudi.
Bagi kita yang sudah terbiasa memandang agung kisah kematian Yesus di atas kayu salib, akan sulit menyadari betapa kejam dan kerasnya kisah tersebut. Bagi pendengar dan pembaca abad pertama, kekejaman tersebut akan menjadi sangat jelas. Bagi dunia Hellenis, penyaliban merupakan kematian yang sangat hina dan mengerikan. Kita sebenarnya hanya sedikit saja mempunyai deskripsi rinci tentang aksi penyaliban pada masa Romawi. Kisah penyaliban dalam Injil merupakan kisah yang paling detail dari semua deskripsi yang ada di masa itu. Tak ada penulis kuno yang ingin berlama-lama dengan prosedur penyaliban yang mengerikan itu. Bahkan kata salib diperlakukan dengan rasa muak oleh penduduk Roma.181
Tidak ada referensi positif untuk penyaliban yang muncul dalam literatur-literatur zaman itu, bahkan sebagai kiasan sekalipun tidak ada. Kemungkinan satu-satunya yang merupakan kekecualian terhadap pernyataan di atas adalah salah satu bagian tulisan dari Republiknya Plato. Sejauh pengetahuan kita, penulis-penulis Kristenlah yang pertama kali yang menjadikan penyaliban sebagai tema tulisannya. Di dalam roman kuno yang populer, ketika para pahlawan dihukum mati dengan cara disalib, biasanya diakhiri dengan pembebasan pada detik-detik terakhir, atau diturunkan sebelum mereka mati. Salib dalam arti final hanya diperuntukkan bagi penjahat. Banyak cerita mengerikan dan penuh dengan kekejaman dengan mudah kita temukan dalam kisah-kisah kepahlawanan kuno, misalnya dalam Iliad atau dalam drama-drama seperti Agamemnon atau Oedipus. Tetapi kematian yang begitu tidak terhormat seperti penyaliban tidak pernah dianggap sebagai kematian yang pantas bagi figur pahlawan. Kebanyakan hanya diperuntukkan untuk kelas rendah dan budak. Penyaliban dipandang sebagai sebuah hukuman yang terlalu inhumane untuk warga Roma, tak peduli apapun tindak kriminal yang dilakukannya.
Bagi para cendekiawan kafir, proklamasi Kristus yang tersalib akan sangat mengganggu mereka karena bertentangan sekali dengan apa yang menjadi gambaran mereka tentang kepahlawanan. Kristus akan mereka tempatkan sebagai orang yang tidak penting oleh karena cara mati yang Ia alami. Bagi orang Roma, salib begitu rendahnya sehingga Cicero menulis, "Bahkan kata 'salib' harus tinggal jauh tidak hanya dari bibir mulut warga Roma, tetapi juga dari pikiran, mata dan telinga mereka."
Bagi orang Yunani yang mementingkan hikmat, salib adalah "kebodohan" (1Kor 1:23). Sedangkan, bagi orang Yahudi, Cara pandang mereka terhadap salib tentu berbeda. Apa yang membuat mereka bersikap ofensif terhadap salib tidaklah sama dengan alasan yang umum berlaku di dunia Hellenis. Bagi orang Yahudi yang sudah terbiasa sebagai bangsa terjajah, mengalami kebrutalan penjajah, dan banyak pahlawan mereka yang telah mati sebagai "penjahat", kesulitan yang utama terhadap salib adalah bahwa Yesus yang tersalib itu menyamakan diriNya dengan Mesias. Padahal, bagi mereka, Mesias dipahami sebagai tokoh yang membawa kemenangan atas musuh mereka dan bukan sebaliknya kalah dan dihina. Dari sudut pandang mereka ini, klaim messianik yang ditunjukkan melalui penyaliban justru menunjukkan bahwa Ia bukan mesias yang sesungguhnya. Apalagi bagi mereka penyaliban sama dengan kategori mati digantung, dan PL menyatakan, "...sebab seorang yang digantung [adalah] terkutuk oleh Allah" (Ul 21:23).
Melihat latar belakang ini tentu menjadi jelas bagi kita betapa anehnya apa yang Yesus bicarakan tentang salibNya, yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul-rasul dan para pengikutNya. Jika tanpa sesuatu yang luar biasa maka tidak mungkin kematian Kristus di salib berani dijadikan tema utama pada zaman di mana semuanya membenci salib. Apakah yang luar biasa dengan salib Kristus?
Mengherankan sekali, jika umat manusia umumnya berpikir bahwa tujuan kehidupan ini adalah mencapai prestasi, Alkitab sebaliknya menyatakan bahwa apa yang menjadi tujuan dan prestasi tertinggi serta karya terpenting yang dicapai Yesus Kristus adalah mati.
Two thousand years later the universally recognized symbol of the movement he began is not a reminder of his unique conception, his sinless character, his matchless teaching or his remarkable miracles, but across -the cruellest instrument of execution known to the ancient world, and one which was banned nearly 1,500 years ago.182