Topik : Rasa Bersalah

3 November 2005

Bersembunyi dari Allah

Nats : Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu, “Apakah yang telah kauperbuat ini?” (Kejadian 3:13)
Bacaan : Kejadian 3:7-13

Ada dua anak laki-laki kakak beradik yang sangat nakal sampai-sampai orangtua mereka kehabisan akal mengatasinya. Maka mereka meminta pendeta untuk berbicara dengan keduanya.

Pertama, pendeta itu menyuruh duduk anak yang lebih muda. Karena ia ingin anak itu berpikir tentang Allah, ia memulai percakapan dengan bertanya, “Di manakah Allah?” Anak itu tidak menjawab, sehingga ia mengulangi pertanyaan itu dengan nada tegas. Ia tetap diam. Dengan putus asa, pendeta itu menunjukkan jarinya ke wajah anak itu dan berteriak, “Di manakah Allah?!”

Anak lelaki itu langsung keluar ruangan, berlari pulang, dan bersembunyi dalam lemari pakaiannya. Kakaknya mengikuti dan bertanya, “Apa yang terjadi?” Si adik menjawab, “Kita dalam masalah besar sekarang. Allah hilang, dan mereka berpikir kita yang menyembunyikannya!”

Hal itu kedengarannya seperti Adam dan Hawa, yang merasa bersalah dan mencoba bersembunyi dari hadapan Allah (Kejadian 3:10). Mereka telah mengenal persekutuan Tuhan yang erat, tetapi kini mereka takut bertemu muka dengan-Nya. Namun, Allah mencari mereka dan bertanya, “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Bukannya bertobat, Adam justru menyalahkan Allah dan Hawa, dan Hawa menuduh ular.

Bagaimana respons kita ketika kita telah berdosa terhadap Allah? Apakah kita bersembunyi, dan berharap Dia tak akan mengetahuinya? Jika kita milik-Nya, Dia akan mencari kita. Pilihan yang paling bijaksana adalah keluar dari tempat persembunyian, mengakui dosa, dan memulihkan persekutuan kita -AMC

7 Maret 2006

Tangan yang Kotor

Nats : Bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat ... mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat ... dan suara hati mereka turut bersaksi (Roma 2:14,15)
Bacaan : Roma 2:12-16

Salah satu tokoh yang paling mengesankan dalam karya William Shakespeare adalah Lady MacBeth. Setelah mendengar ramalan bahwa suaminya akan menjadi raja, maka ia meyakinkan suaminya untuk membunuh raja yang pada saat itu sedang berkuasa. Ketika pembunuhan berdarah itu benar-benar telah dilakukan, MacBeth pun dikejar-kejar rasa bersalah. Namun sang istri malah mengomeli ketakutan MacBeth dan ia membantu suaminya untuk menutupi kejahatan itu. Sampai akhirnya, Macbeth pun dilantik menjadi raja. Namun, itu bukanlah akhir dari cerita ini.

Ketetapan hati Lady Macbeth akhirnya berubah menjadi penyesalan. Ia pun menjadi tidak stabil secara mental, dan tidak dapat berhenti mencuci tangannya. "Apakah tangan ini akan kotor selamanya?" tanyanya. Akhirnya, rasa bersalah membuat Lady Macbeth bunuh diri.

Rasa bersalah adalah perasaan yang dapat melemahkan setiap kali kita melanggar batas moral. Kita semua dapat mengalami rasa bersalah saat melanggar hukum Allah yang tertulis dalam hati kita (Roma 2:14,15). Jika kita terus berbuat dosa secara sadar, sebenarnya kita sedang menumpulkan hati nurani kita.

Kisah tentang Lady MacBeth tersebut mengingatkan kita akan prinsip alkitabiah: Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Galatia 6:7,8). Pada saat kita merasakan adanya suatu godaan, kita perlu mendengarkan hati nurani kita -- jangan mengabaikannya. Jauh lebih baik menghindari tindakan yang akan membuat kita menyesal daripada hidup dalam konsekuensi pelanggaran kita tersebut --HDF

21 Oktober 2006

Perbarui Nurani Anda

Nats : Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup de-ngan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manu-sia (Kisah Para Rasul 24:16)
Bacaan : Kisah Para Rasul 24:10-21

Ada sebuah sistem hukum internal di dalam diri kita, yaitu hati nurani, yang memuji pada saat kita berbuat benar dan menghukum pada saat kita berbuat salah. Akan tetapi, alat pemantau moralitas yang sangat penting ini tidak sama satu dengan yang lain. Dalam beberapa kebudayaan, membunuh karena dendam dinilai sebagai suatu kehormatan. Sedangkan di kebudayaan lain, seseorang masih dianggap baik walaupun ia telah mengkhianati temannya.

Kisah yang didapat dari Badan Penyelidik Philadelphia dapat menggambarkan hal tersebut. Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun tertangkap karena mencuri sebuah jam tangan. Ia bercerita kepada polisi bahwa ia pernah mengutil barang yang akan dihadiahkan untuk ibunya. Dan kini ia melakukan hal yang sama untuk ayahnya. Walaupun karena perbuatannya itu ia tidak jadi menghadiahi sang ayah, ia tidak menyesal karena telah mencuri.

Karena dosa, hati nurani tidak lagi bisa diandalkan dan perlu diperbarui secara rutin. Hal ini dimulai dari hubungan yang baik dengan Allah melalui iman kepada Yesus Kristus. Dia telah membayar lunas dosa-dosa kita, dan sekarang hati kita "telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat" (Ibrani 10:22). Namun, hal ini tidak membuat hati nurani kita menjadi kuno. Apabila kita menelaah Kitab Suci, Roh Kudus akan menjadikan hati nurani kita sesuai dengan firman, perbuatan, dan sikap Tuhan Yesus.

"Biarlah hati nurani memandu Anda" adalah pernyataan yang tepat apabila firman Allah menjadi pemandu bagi hati nurani Anda -DJD

22 Maret 2007

Pendeteksi Rasa Sakit

Nats : Aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia (Kis. 24:16)
Bacaan : Kisah 24:16

Dokter Paul Bran, misionaris medis di India, berbicara tentang penderita lepra yang mengalami perubahan bentuk tubuh karena ujung-ujung syaraf mereka tak dapat merasakan sakit. Mereka tak akan kesakitan bila melangkah di atas api atau bila jari mereka terluka oleh pisau. Akibatnya, mereka tak sadar jika luka itu terbuka. Ini penyebab terjadinya infeksi dan cacat tubuh.

Dokter Brand menciptakan alat yang akan berbunyi jika terkena api atau benda tajam. Alat itu memperingatkan bila terdapat luka pada orang yang tak dapat merasakan sakit. Segera mesin itu ditempelkan pada jari dan kaki pasien. Alat itu bekerja dengan baik sampai saat mereka hendak bermain bola basket. Mereka akan mencopot alat itu sehingga mereka kerap terluka lagi tanpa menyadarinya.

Seperti fungsi rasa sakit bagi tubuh kita, hati nurani berguna mengingatkan kita akan kerusakan rohani. Namun, dosa yang menjadi kebiasaan dan belum dipertobatkan dapat membuat hati nurani mati rasa (1Tim. 4:1-3). Untuk menjaga kemurnian hati nurani, kita perlu menanggapi rasa sakit akibat kesalahan kita dengan mengaku dosa (1Yoh. 1:9), bertobat (Kis. 26: 20), dan menebus kerugian yang ditanggung sesama akibat perbuatan kita (Luk. 19:8). Dengan yakin Paulus berkata, "Aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia" (Kis. 24:16). Seperti Paulus, kita seharusnya tidak mati rasa pada peringatan Allah yang menyakitkan tentang dosa, tetapi justru mengizinkan peringatan itu menghasilkan karakter saleh dalam diri kita --HDF

Suara hatiku jelas mengerti
Ketetapan firman-Nya yang suci,
Namun dapat tak terkendali
Kalau kutolak perintah ini. --Fraser

23 Juli 2007

Hatiku Menuduhku

Nats : Bilamana hati kita menuduh kita ... Allah lebih besar daripada hati kita serta mengetahui segala sesuatu (1Yohanes 3:20)
Bacaan : 1Timotius 1:12-17

Apakah Anda kadang-kadang merasa bersalah dan tidak layak karena sesuatu yang Anda lakukan bertahun-tahun lalu? Anda sudah mengakuinya dan memohon supaya Allah mengampuni Anda, tetapi ingatan itu masih saja menghantui Anda.

Saya berempati dengan Anda. Saya juga masih diliputi perasaan bersalah jika saya teringat kembali bagaimana saya gagal menolong seorang perempuan tua yang tak mempunyai anak ketika saya masih belajar menjadi penginjil. Ia adalah pengunjung tetap toko tempat saya bekerja paruh waktu. Setelah beberapa waktu, saya menjadi sahabat dan penasihat rohani bagi wanita itu dan suaminya. Saya bahkan memimpin pemakaman suaminya.

Ketika saya pindah ke kota lain untuk kuliah teologi, saya kehilangan kontak dengannya. Sebenarnya saya berniat menghubunginya, tetapi saya terus menundanya. Sampai akhirnya, suatu hari saya membaca berita kematiannya. Saya diliputi kesedihan dan mengakui dosa saya kepada Allah.

Lebih dari 30 tahun setelah Paulus bertobat, ia berbicara tentang saat ketika ia menjadi "seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang yang ganas" (1Timotius 1:13). Ia bahkan menyatakan dirinya sendiri sebagai orang yang paling berdosa (ayat 15). Namun, ia berkali-kali bersukacita dalam kepastian bahwa ia adalah pendosa yang diampuni.

Allah, yang lebih besar daripada hati kita dan yang sungguh-sungguh mengenal kita (1Yohanes 3:20), telah mengampuni kita untuk dosa-dosa yang sudah kita akui (1:9). Kita dapat memercayai-Nya! --HVL

31 Agustus 2008

Bagai Bumerang

Nats : Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana (Amsal 22:8)
Bacaan : Esther 7

Seorang bapak membawa anaknya ke sebuah lembah. "Nak, coba kamu teriakkan sebuah kata," ujarnya. "Untuk apa, Pak?" tanya sang anak. "Coba saja," kata bapak itu lagi. Sang anak menurut. Ia beranjak ke ujung lembah. "Hai!" teriaknya. Sejenak sepi. Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gema dari arah lembah, "Hai... hai... hai..." Begitu pula dengan setiap kata yang diteriakkannya setelah itu. Kembali dengan kata yang sama. Bapak itu pun membukakan hikmah yang hendak ia ajarkan. "Nak, seperti itulah hidup kita. Apa yang kita tabur, itu juga yang akan kita tuai," katanya.

Bacaan hari ini mencatat kejadian yang membuktikan tentang hukum tabur tuai tersebut. Haman-seorang pejabat tinggi negara, sangat membenci Mordekhai-seorang pria Yahudi (Ester 3:5). Ia pun mendirikan tiang untuk menggantung Mordekhai. Lalu menyarankan kepada raja supaya mengadakan upacara penghormatan bagi orang yang telah berjasa kepada raja (ayat 7-9). Sangka Haman, dirinyalah yang akan dianugerahi kehormatan itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Raja memberikan kehormatan kepada Mordekhai (ayat 10). Sedang tiang yang Haman dirikan, akhirnya justru digunakan untuk menggantung dirinya (Ester 7:10).

Menabur dan menuai adalah dua hal yang saling terkait. Tidak saja dalam dunia pertanian, tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Ketika kita menanam benih padi yang baik, biasanya kita pun akan menuai padi yang baik. Bila kita menabur kebaikan, pada saatnya kita akan menuai kebaikan. Sebaliknya bila kita menabur keburukan, maka pada saatnya juga kita akan menuai keburukan. Seperti Haman. Dan semoga bukan seperti kita -AYA



TIP #05: Coba klik dua kali sembarang kata untuk melakukan pencarian instan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA