Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 >  ETIKA KEUTAMAAN: YANG DILUPAKAN DAN YANG DIABAIKAN > 
KEUTAMAAN POKOK 

Apa saja yang termasuk keutamaan pokok, tidak ada kebulatan pendapat. Namun kepentingannya diakui oleh semua orang yang beradab. Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860), misalnya, berpendapat ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati (benevolence) dan keadilan (justice). Kendati demikian, dunia Barat pada umumnya mengenal empat keutamaan pokok sebagai warisan dari tradisi Yunani kuno, yaitu: kearifan (prudence), pengendalian diri (temperance), keadilan, dan keberanian (fortitude). Pada Abad Pertengahan teolog Thomas Aquinas (1225-1274) menambahkan lagi tiga keutamaan teologis pada keempat keutamaan pokok. Sejak itu, dunia Kristiani di Barat mengenal apa yang disebut dengan "Tujuh Keutamaan Moral" yang terdiri atas empat keutamaan pokok dan tiga keutamaan teologis. Untuk mendapat sedikit gambaran tentang apa itu yang dimaksud dengan semua keutamaan ini, sekarang kita akan melihatnya satu per satu secara singkat.

A. Kearifan

Kearifan adalah akal sehat yang diterapkan dalam kehidupan praktis. Orang yang baik belum tentu arif. Bisa saja ia baik tetapi bodoh, sering berbuat salah, dan membuat orang lain susah, meskipun tidak ada unsur kesengajaan atau motivasi jahat di dalam dirinya. Ketika Yesus memuji bahwa orang yang seperti anak-anak akan memiliki Kerajaan Surga (Mat 19:14), maksud-Nya adalah supaya orang memiliki hati seorang anak kecil, sederhana tidak berbelat-belit, rela diajar, penuh kasih sayang, tapi bukan meniru kebodohan dan kenaifan seorang anak. Kebodohan tidak pernah dibenarkan. Dalam mengasihi Allah, sekalipun dituntut ketulusan cara-cara mengasihi yang bodoh dan naif tidak dibenarkan. Maka, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu" (Mat 22:37).

Namun demikian, sikap arif tidak identik dengan pendidikan tinggi. Untuk menjadi arif orang tidak harus berpendidikan tinggi. C.S. Lewis (Mere Christianity, 72), yang tadinya ateis berkata. "Siapapun yang dengan jujur berusaha menjadi Kristen akan segera mendapati bahwa intelegensinya dipertajam: salah satu alasan kenapa tidak perlu pendidikan khusus untuk menjadi seorang Kristen, agama Kristen adalah pendidikan itu sendiri. Itu sebabnya seorang percaya yang tidak terpelajar seperti Bunyan mampu menulis sebuah buku yang mencengangkan seluruh dunia."

B. Penguasaan Diri

Penguasaan diri artinya tidak terlalu jauh melangkah dalam menikmati sesuatu, bisa menahan diri dan masih bisa menarik kaki mundur dari suatu keterlibatan. Sesuatu di sini sifatnya bukan yang dilarang karena melakukan sesuatu yang dilarang selalu salah dan tidak boleh melakukannya. Sesuatu di sini pada dirinya sendiri tidak jelek seperti misalnya makanan enak, pernikahan, pakaian bagus, film, hobi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu. Semua ini tidak apa-apa pada dirinya sendiri, namun tidak boleh menjadi pusat hidup seseorang. Apabila ia diminta untuk menarik diri darinya, ia masih mampu melakukannya. Barangkali Rasul Paulus memaksudkan hal ini ketika ia menganjurkan jemaat hidup dalam antisipasi kedatangan Yesus yang kedua dengan sikap seperti tidak memiliki (1 Kor 7:29-31).

C. Keadilan

Keadilan mencakup fairness dalam memberi dan menerima atau dalam menepati janji. Adil berarti memberi perlakuan yang sama kepada orang yang layak menerimanya. Keadilan terlihat dalam pemberian upah dalam jumlah yang layak tanpa terpengaruh rasa suka atau tidak suka, suku atau agama. Allah adalah adil dalam pengertian ini (e.g. Mzm 103:6; Yes 9:2-7; 11:1-5).

D. Keberanian

Keberanian sebagai keutamaan moral tidak hanya menyangkut ketegaran ketika menghadapi bahaya, sakit, atau penderitaan, tetapi juga berani jujur kepada diri sendiri maupun orang lain. Jujur kepada orang lain berarti bahwa orang lain boleh tahu siapa kita sebenarnya, apa yang kita sebenarnya yakini, pikirkan, dan rasakan. Tentunya, ini dengan catatan kita harus memperhatikan dengan siapa kita berhadapan. Dengan orang yang jelas berniat buruk terhadap kita, kita tidak dituntut untuk membuka diri seperti itu.

Jujur kepada diri sendiri berarti berani melihat dan mengakui diri sebagaimana adanya. Dan ini nantinya akan berkaitan dengan kerendahan hati. Ada persepsi yang keliru tentang kerendahan hati dalam hal mengaitkannya dengan sikap cepat mengalah bila berhadapan dengan orang lain yang lebih kuat, sikap tidak berpendirian, atau sikap gentar. Yang benar adalah kerendahan hati menyangkut kemampuan untuk melihat secara obyektif batas-batas kelemahan dan kekuatan, kekurangan dan kelebihan pribadi. Dengan keutamaan ini, orang realistis memandang kekuatan dan kelebihannya, kelemahan dan kekurangannya. Ia tidak gugup menjadi manusia yang tidak serba bisa; ia tidak bereaksi berlebihan ketika kelemahannya ketahuan: ia mau memperhatikan pendapat orang lain; ia mau dikoreksi dan ditegur tanpa menjadi minder kalau memang keyakinan atau tindakannya salah; kalau ia kurang atau salah, ia tidak sulit mengakuinya tanpa berusaha membenarkan diri; ia siap menerima konsekwensi yang harus dipikulnya; ia tidak sembarangan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain dan mencari kambing hitam; sebagai atasan ia akan siap memikul akibat kesalahan yang dibuat bawahannya; pokoknya, ia tidak akan pura-pura menjadi orang hebat. Dalam berdialog ia tidak mudah memutlakkan pendapatnya sendiri. Rupanya tidak semua orang berani menghadapi dirinya sendiri dengan jujur, melihat dan menerima diri seadanya. Berhadapan dengan kelemahan dan kekurangan sendiri, orang cenderung berusaha untuk tidak mengakui diri sebagaimana adanya. Dengan berbagai macam cara dan alasan, dari yang biasa sampai yang rohani orang berusaha memberi kesan-kesan palsu tentang dirinya kepada orang-orang di sekitarnya. Keutamaan jujur akan mendorong orang untuk berhenti membohongi diri sendiri. Kalaupun ia sedang melakukan suatu kewajiban, itu dilakukannya karena memang itu wajib, bukan untuk mencari muka, bukan supaya dihormati dan bukan pula sekadar mau menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan. Orang yang memiliki keberanian moral akan bertanggung jawab dan melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri (band. kategori imperatif dari Kant). Tidak dilihat orangpun, ia tetap akan melakukannya. Tidak dipujipun, ia tetap akan melakukan yang terbaik. Ancaman, celaan, rasa tidak aman, tidak akan menyelewengkan niat hatinya untuk menjalankan suatu kewajiban. Sebaliknya, kalau ia diminta untuk melakukan sesuatu yang menyeleweng dari yang seharusnya, dengan tenang ia akan menolak permintaan itu. Ia tidak akan berpihak pada mayoritas, kalau hal itu berarti kompromi dengan kebenaran dan keadilan. Suaranya tidak bisa dibeli oleh mayoritas dan ketidakbenaran. Ia berani mengatakan sesuatu yang keliru sebagai keliru tanpa perlu mencari dukungan dari sana sini dan tanpa perlu menggalang sikap antipati. Demi kebenaran dan keadilan ia mau membela orang lain yang lemah, sekalipun tidak diminta dan sekalipun untuk itu mungkin ia akan berhadapan dengan kekuatan mayoritas. Demikianlah, kejujuran sebagai keberanian moral merupakan sikap otentik, berani menjadi diri sendiri dalam kebenaran, tidak menjadi jiplakan dari orang lain. tidak asal membeo, dan tidak ikut saja ke mana angin bertiup. Orang seperti ini hatinya bening, kuat, dan mandiri. Dan kita yang ada di dekatnya akan merasa aman; yang lemah dikuatkan yang gundah menjadi tenang. Jujur kepada diri sendiri ini sebenarnya diperlukan terutama bagi seorang rohaniwan yang dalam menunaikan kewajibannya yang luhur melayani sesama, pengabdiannya itu seharusnya otentik dan tidak karena ikut-ikutan.

Jujur kepada diri sendiri adalah jalan menuju kepada integritas pribadi. Dalam Perjanjian Lama kata kerja cn ("sempurna," kata benda en) memiliki arti integritas yang terdiri dari empat komponen: sepenuh hati, siap melakukan segala perintah Allah, tidak munafik, dan tidak berbohong.1461 Maka, dalam Alkitab, integritas pribadi selain jujur kepada diri sendiri, tercakup juga kesediaan untuk melakukan perintah Allah. Inilah kesempurnaan ideal dari insan ciptaan Tuhan.

Untuk menutup pembahasan ini, perlu diingatkan bahwa jalan untuk memupuk keberanian dan kemandirian moral ini pertama-tama orang harus berani melihat dan mengakui seandainya ia memiliki kepalsuan-kepalsuan yang, harus dibuang. Kemudian, ia harus berlatih untuk jujur kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, kendati tidak enak.

E. Iman

Sebagai keutamaan, iman tidak cuma soal menerima dan percaya akan kebenaran ajaran-ajaran Kristiani. Setan-setan juga percaya bahwa Allah hanya satu, namun kepercayaan itu tidak menyelamatkan malahan membuat gemetar (Yak 2:19). Percaya akan kebenaran dan kebaikan sesuatu tidak menentukan baiknya moralitas seseorang. Iman merupakan keadaan pikiran dan hati yang konstan sehubungan dengan Allah. Orang mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah untuk menolongnya. Sebagaimana mempercayai seseorang berarti memperhatikan nasehat-nasehatnya, demikian juga mempercayai Kristus berarti memperhatikan segala perintah dan saranNya.

Adalah benar bahwa ketika kita serius menjadi pengikut Kristus, kita semakin diperlihatkan kebobrokan kita. Berhadapan dengan tuntutan-tuntutan moral, ketahuanlah betapa susahnya kita melakukan sesuatu yang berkenan kepada Allah. Ketika kita mencoba dan gagal, mencoba lagi dan gagal lagi, semakin sadarlah kita betapa rusaknya perangkat moral kita. Sampai pada suatu titik, kita putus asa dan berkata kepada Allah, "Engkau harus melakukan ini aku sudah tidak sanggup lagi!" Titik putus asa ini tidak pernah kita alami, seandainya sikap kita adalah "Sebenarnya aku bisa, asal mau dan serius." Sikap seperti itu tidak akan pernah menghantar kita kepada mengenal kehebatan yang sebenarnya dari dosa. Kita juga baru merasakan kekuatan angin yang sebenarnya kalau kita berjalan menentangnya dan bukan dengan berbaring. Begitu pula kita tidak akan pernah mengetahui kekuatan sebenarnya dari pencobaan dan dosa sampai kita berusaha semaksimal mungkin menentangnya. Lewis berkata "No man know how bad he is till he has tried very hard to be good" (Mere Christianity, 123). Itu sebabnya orang yang biasa berbuat buruk hanya tahu sedikit keburukan dosa, karena ia belum melawan nafsu buruknya dengan maksimal. Dalam hal ini, karena Yesus adalah satu-satunya yang tak pernah menyerah ke dalam pencobaan, maka Dia pula yang satu-satunya tahu betul beratnya pencobaan, "the only complete realist" kata Lewis (Mere Christianity, 123). Ketika kita berada dalam pencobaan, Yesuslah Imam Besar teladan kita karena Dia "dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita ... sama dengan kita Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" dan "kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibr 4:15). Maka janganlah pernah berpikir bahwa berdosa itu manusiawi dan jangan pernah menyerah melawan pencobaan dan dosa.

F. Harapan

Bertolak belakang dari tuduhan bahwa agama cuma memberi harapan-harapan kosong, pengharapan Kristiani akan surga bukan angan-angan atau sikap melarikan diri dari kenyataan hidup (eskapisme). Lewis (Mere Christianity, 123) yang asalnya adalah ateis menyatakan bahwa dalam sejarah terbukti bahwa orang yang paling banyak memikirkan dunia akherat justru orang yang paling banyak berbuat di dalam dunia. Maka, dunia akherat dan dunia fana sebenarnya tidak perlu dipertentangkan.

Jika orang hanya terarah pada dunia fana dan tidak mengumpulkan bekal untuk dunia baka, dunia fana berikut kemegahannya pada suatu hari pasti berlalu. Dan di dunia yang akan datang ia tidak akan mempunyai bagian apa-apa. Dua kali kehilangan! Tapi kalau orang kehilangan dunia ini (dan bukankah setiap orang tidak akan mampu mendekap dunia selama-lamanya?), ia masih memiliki dunia lain. Memang idealnya, dunia fana dan dunia akherat keduanya diperoleh.

Realitas dunia baka diperkuat dengan fakta bahwa hati kita tidak pernah benar-benar dipuaskan dengan hal-hal duniawi dan ini memberi peluang kepada masa datang di mana Allah yang Mahakuasa akan menggenapi segala kekurangan yang terjadi pada masa sekarang. Dan harapan ini tidak kosong. "Harapan orang benar akan menjadi sukacita, tetapi harapan orang fasik menjadi sia-sia" (Ams 10:28). Dari mana kita boleh yakin bahwa harapan-harapan kita akan hal-hal rohani bakal dipenuhi? Kita boleh membandingkan dengan kenyataan lain di dunia sekarang bahwa hasrat di dalam diri manusia mengarah untuk dipenuhi. Tangis bayi oleh kelaparan dikarenakan memang ada makanan yang bisa mengenyangkannya. Bebek ingin berenang karena memang ada air yang di dalamnya ia bisa berenang. Manusia memiliki hasrat seksual karena memang ada pemenuhannya. Kalau untuk hasrat-hasrat jasmani ini saja ada pemenuhan-pemenuhannya, cukup masuk akal kalau kita berharap pemenuhan untuk hasrat-hasrat yang bersifat rohani di dalam diri kita.

Setiap hasrat yang baik, suci, dan luhur mestinya akan dipenuhi. Kalau di dalam dunia hasrat rohani ini tidak dipenuhi, penjelasan yang paling mungkin adalah kita memang dijadikan bukan untuk dunia ini. Kita dijadikan untuk dunia lain, sebuah dunia rohani. Maka pemenuhan hasrat rohani harus dicari di dunia rohani. Bapa Gereja Agustinus menyadari hal ini ketika dalam permenungannya tentang manusia ia berkata kepada Allah, "Engkau mendorongnya untuk merasa nikmat dalam memujiMu, karena Engkau telah menjadikan kami bagi diriMu sendiri dan hati kami gelisah sampai mendapatkan perhentian di dalamMu" (Pengakuan 1:1).

Berangkat dari harapan yang tidak kosong ini, seorang Kristen bisa menikmati hidup dan kesenangan di dunia secara proporsional. Ia tetap ingat bahwa kesenangan-kesenangan duniawi ini memang tidak untuk memuaskan hasratnya dengan sempurna, melainkan untuk membangkitkan dan selalu mengingatkannya bahwa ada hal-hal yang jauh lebih sempurna. Maka ia tidak perlu menganggap nista kesenangan di dunia atau memperlakukan dunia dengan tidak serius asal lewat sap Sebaliknya, ia bisa mensyukurinya sebagai berkat Tuhan dan memandang serius kejadian-kejadian dunia, sambil merindukan pemenuhannya yang terjamin di sorga, "suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu" (1 Pet 1:4). Harapan umat Kristiani memang bersifat pasti karena Allah yang dipercaya adalah Yang Mahakuasa untuk mewujudkan apa yang telah dijanjikan-Nya.

G. Kasih

Kasih sebagai keutamaan tidak sama dengan rasa sayang. Kasih selalu bersifat konkret dan melampaui perasaan. Coba ingat ketika kita mengasihi diri sendiri. Kita tidak akan berhenti pada rasa menyukai diri, melainkan kita akan mengusahakan kebaikan-kebaikan untuk diri kita. Oleh karena itu, kasih tidak sama dengan rasa suka atau rasa sayang, walau yang terakhir ini bisa mempermudah kita untuk mengasihi. Barangkali istilah bahasa Inggris affection untuk rasa sayang dan love untuk kasih dapat menolong pemahaman kita.

Rasa suka, misalnya dengan obyek makanan, bersifat netral. Rasa sayang juga begitu dan karenanya tidak sama dengan kasih. Netral artinya bisa menjadi baik namun juga bisa menjadi jelek. Dan untuk menjadi baik. rasa sayang masih harus diarahkan. Maka. rasa sayang yang tidak terkontrol (memanjakan) bisa merusak yang disayangi. Kasih akan selalu mengusahakan kebaikan seseorang Karena kasih, orang bisa tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban demi orang lain. Maka kasih dipupuk bukan dengan jalan duduk diam sampai rasa sayang muncul, melainkan melakukan sesuatu yang kita tahu baik untuk seseorang. Perhatikan betapa praktisnya prinsip mengasihi yang diletakkan oleh Yesus (Mat 5:43-48): mengasihi musuh kita adalah dengan jalan mendoakannya bukan menunggu sampai muncul rasa sayang terhadapnya. Sebagai perbandingan, Yesus menggambarkan bagaimana Bapa di surga membuat matahari terbit sama bagi orang jahat maupun orang baik menurunkan hujan juga bagi kedua macam orang itu, tanpa berbicara mengenai apakah afeksi Allah terhadap orang yang mengasihi-Nya dan yang tidak mempedulikanNya akan sama. Dan disitu pula letak kesempurnaan kasih Bapa dan kita juga harus sempurna seperti itu. Sebuah kesempurnaan yang realistis.

Prinsip yang sama juga berlaku dalam mengasihi Allah. Kita tidak diharapkan untuk bersandar pada emosi kasih kita, melainkan kasih kita kepada Allah harus nyata dalam tindakan yang kita tahu sesuai dengan kehendak-Nya. "Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku .... Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku .... Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku" (Yoh 14:21, 23-24). Maka ketimbang memfokuskan diri pada rasa afektif kita kepada Allah. sebaiknya pikiran kita dipusatkan pada kasih Allah kepada kita. Rasa kasih kita kepada Allah bisa datang dan pergi. namun Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Dan kalau Allah berkenan mengaruniakan rasa afektif yang sangat istimewa di dalam diri kita sehingga kita seperti tenggelam di dalam rasa sayang yang luar biasa kepada Allah, kita akan memilikinya. Namun kita tidak berhak menuntutnya. Kewajiban kita adalah mengasihi-Nya dan ini harus dinyatakan dengan tindakan-tindakan nyata.



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA