Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 10 No. 1 Tahun 1995 > 
ETIKA SITUASI 
Penulis: Yonky Karman

Di dalam etika deontologi apa yang benar adalah apa yang wajib. Di sana tidak dipikirkan apakah pelaksanaan kewajiban bertujuan baik atau tidak. Reaksi terhadap sikap etis ini adalah etika yang menitikberatkan pada tujuan atau akibat baik, yakni etika teleologis (Yunani, teleos, tujuan). Yang dipersoalkan etika ini adalah bahwa apakah sebuah tindakan bertujuan baik, dan apakah tindakan yang bertujuan baik itu berakibat baik pula? Tidak ada sebuah tindakan yang benar atau salah pada dirinya sendiri. Betapapun salahnya suatu perbuatan, tapi kalau akibatnya baik, perbuatan itu dianggap benar. Sebaliknya, betapapun benarnya sebuah tindakan, tapi kalau akibatnya jelek, tindakan itu dianggap salah.

Pada suatu malam dalam perjalanan pulang dengan sepeda, Amin agak tergesa-gesa demi tidak melanggar ketentuan asrama yang tidak boleh pulang lewat pukul 9 malam. Ketika melewati sebuah jalan sepi, ia mendengar erangan seorang bapak yang sepedanya terperosok ke dalam lubang galian yang belum ditutup. Ia tidak mempedulikan dan terus melaju. Menjelang tidur, Amin agak gelisah. Banyak pertanyaan melintas di benaknya. Apakah ada orang lain lagi yang lewat jalan itu? Apakah orang itu menolong atau seperti dia lewat saja? Bagaimana kalau sampai pagi baru ada orang yang lewat di situ? Betapa cemasnya keluarga bapak itu? Dan yang agak mengganggunya adalah bahwa ia agak menyesal karena tidak meluangkan waktu untuk menolong bapak itu. Kalau begitu, berbuat benar saja belum cukup. Amin masih perlu bertindak baik untuk betul-betul merasa puas. Kesimpulan kita untuk sementara, perbuatan benar menurut peraturan belum pasti menjamin pelaksanaan kebaikan.

 SEPUTAR ISTILAH

Salah satu bentuk dari etika teleologis adalah etika situasi yang juga disebut etika kontekstual.587 Belum ada keseragaman pendapat tentang istilah ini. Eka Darmaputera memisahkan etika kontekstual, yang mencakup etika situasi, dari etika teleologis sebagai dua hal yang sama sekali berbeda.588 Lalu etika kontekstual disamakan dengan etika tanggung jawab.589

Sedikit lain lagi, Verne H. Fletcher lebih suka memakai istilah etika kontekstual.590 Menurutnya, ada dua konteks yang harus diperhatikan sekaligus. Konteks pertama berasal dari situasi konkret (konteks situasional). Konteks kedua adalah realitas ciptaan baru di dalam Kristus. Keadaan sebagai orang Kristen menentukan pengambilan suatu keputusan etis, karena suatu perbuatan bisa bertentangan dengan realitas manusia baru di dalam Kristus.

Orang seperti Malcolm Brownlee lebih suka dengan istilah "etika tanggung jawab."5 Menurutnya, sebuah perbuatan baru benar kalau hal itu merupakan sebuah tanggapan yang tepat atas suatu peristiwa atau situasi konkret. Berbeda dari etika situasi, etika tanggung jawab menekankan sekali tangan Allah yang sedang bekerja di dalam kehidupan kita. Penganut etika ini meyakini bahwa Allah tidak hanya bekerja di dalam peristiwa-peristiwa yang dicatat Alkitab, sekarangpun Allah tetap bekerja di dalam kejadian sehari-hari. Itu sebabnya seorang Kristen wajib mencari dan kemudian menanggapi perbuatan Allah di dalam setiap situasi dan peristiwa. Dalam mempertimbangkan sebuah keputusan etis kita tidak cukup hanya mengacu pada hukum yang benar atau tujuan yang baik saja.

Menurut hemat kami, etika kontekstual atau etika tanggung jawab pada intinya memasukkan situasi-situasi obyektif yang ada sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam suatu pengambilan keputusan. Maka demi pertimbangan praktis, kami akan tetap memakai istilah etika situasi yang mencakup pengertian etika kontekstual dan etika tanggung jawab.

 LATAR

Etika situasi merupakan sebuah teori etika yang muncul sesudah perang dunia kedua. Perlu diketahui bahwa kita membatasi dan memfokuskan diri pada etika situasi Kristen dengan penganjurnya yang amat terkenal Joseph Fletcher (1905-?). Ia seorang dosen etika Sosial dan etika medis.591

Etika situasi muncul sebagai reaksi terhadap etika peraturan yang dianggap kurang manusiawi.592 Etika dengan banyak norma dianggap legalistik dan mengabaikan norma kasih dan situasi aktual.593 Sebaliknya, etika situasi memusatkan manusia seutuhnya serta mengupayakan tindakan yang hasilnya terbaik di dalam suatu situasi seperti dapat dilihat dari empat prasuposisinya594 yang mendasari etika situasi.595

Prasuposisi pertama adalah pragmatisme yang menganggap bahwa sesuatu itu benar, kalau menghasilkan sesuatu yang baik.596 Apa yang benar adalah apa yang baik. Dan apa yang baik adalah kasih. Kasih adalah ukuran dari tindakan.

Prasuposisi kedua adalah relativisme. Di dalam relativisme tidak ada sesuatu yang mutlak, pasti dan sempurna di dalam dirinya sendiri. Menurut relativisme kita juga tidak bisa mengatakan kalau sesuatu itu lebih baik dari yang lain. Yang ada adalah bahwa yang ini bukan yang itu. Relatif artinya sesuatu itu diukur dalam acuannya dengan sesuatu, relatif terhadap sesuatu. Dan di dalam etika situasi relatif adalah relatif dalam hubungannya dengan kasih agape. Kasih inilah satu-satunya norma yang tidak berubah dan semua relatif tergantung hubungannya dengan kasih. Yang tetap adalah hanya perintah Allah untuk mengasihi sesama. Soal bagaimana mengasihi itu adalah relatif tergantung pada pertimbangan kita yang bertanggung jawab dari suatu situasi. Relativisme menjadi sebuah metode atau strategi untuk mewujudkan kasih.

Prasuposisi ketiga adalah positivisme (Latin, ponere, menempatkan). Etika situasi mengasumsikan bahwa ada pernyataan-pernyataan iman yang dengan begitu saja harus diiyakan dan diterima oleh kehendak tanpa perlu pembuktian rasional (teologi positif). Proposisi-proposisi itu bukannya tidak rasional (irasional) atau bertentangan dengan rasio, melainkan di luar akal (arasional). Etika situasi mendasari pengambilan keputusan etisnya pada iman kepada Allah yakni bahwa Allah itu ada. Selain itu, Allah juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesamanya (bdk. Ef 5:2; Kol 3:14). Soal mengapa kasih dan bukan norma yang lain atau bersama dengan norma yang lain sebagai norma yang tertinggi, etika situasi tidak menjelaskan lebih lanjut. Menurut etika situasi, iman membenarkan lompatan dari "apa yang ada" (deskriptif) kepada "apa yang harus" (preskriptif).

Prasuposisi keempat adalah personalisme. Etika situasi menjunjung tinggi hubungan dan perlakuan yang manusiawi. Manusia, bukan norma-norma, ditempatkan pada pusat kepedulian. Norma baru baik sejauh kalau pelaksanaannya mendatangkan kebaikan. Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai benda yang bisa diperalat. Personalisme sangat menekankan manusia sebagai makhluk berpribadi yang bernilai pada dirinya sendiri. Manusia bukan sekadar angka dalam kolektif.

Personalisme dekat dengan eksistensialisme.597 Eksistensialisme juga sangat menekankan keunikan setiap orang. Misalnya, ada empat puluh pelajar di dalam sebuah kelas etika. Meskipun guru dan bahan pelajarannya sama, setiap murid menghayati kelas itu secara berbeda. Mereka yang baru lulus SMA terlibat di dalam kelas itu tidak sama dengan mereka yang telah banyak melihat situasi-situasi nyata di dalam masyarakat. Mereka yang sedang mempunyai permasalahan etis tentu akan lebih terlibat di dalam kelas ketimbang mereka yang tidak bermasalah. Setiap orang bukan cuma berbeda dari orang lain, ia juga tidak pernah sama dalam menghayati setiap situasi obyektif yang sama. Akibatnya, dalam pengambilan keputusan etispun setiap orang bisa berbeda dan tidak bisa dipatok ke dalam suatu kerangka norma-norma umum. Seorang eksistensialis tidak memutuskan berdasarkan hukum-hukum yang ada. Ia keluar dari arena hukum dan masuk ke dalam arena terbuka di mana dengan berani ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Setiap orang bisa benar dalam mempertanggungjawabkan keputusan etisnya.

 DASAR

Dasar etika situasi adalah kasih. Baginya kasih saja yang selalu baik.598 Kasih di dalam etika situasi adalah kasih responsif, kasih sebagai respon syukur atas apa yang Allah telah lakukan bagi kita khususnya di dalam hidup dan kematian Yesus Kristus. Kristus menjadi pusat etika. Ketika kita menuruti perintah Allah, itu berarti Kristus sedang mengambil rupa manusia kita.599

Fletcher menguraikan keunggulan kasih di atas segala sesuatu yang lain di dalam enam proposisi. Di dalam ketiga proposisi yang pertama ia menegaskan bahwa hanya ada sate hal yang baik di dalam dirinya sendiri, itulah kasih.600 Kasih adalah fungsi iman secara horisontal, sama seperti doa adalah fungsi iman secara vertikal. Maka kasih berhak menjadi satu-satunya norma yang menentukan keputusan orang Kristen.601 Lalu dengan mengasihi otomatis orang sudah berbuat adil, karena keadilan merupakan kasih yang didistribusikan.602

Fletcher melihat norma-norma dan kasih selalu bertentangan. Demi supremasi kasih atas norma-norma ia berkata,

Kita mau mengikuti prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan asalkan mereka melayani kasih .... bisa saja dan sering terdapat konflik di antara kasih dan norma. Mereka tidak bisa menjadi mitra; paling-paling, kasih hanya memakai norma apabila kelihatannya berguna.603

Jelaslah bahwa meskipun etika situasi mengabaikan kemutlakan semua norma, namun ada sebuah norma mutlak yang tetap dipegang yaitu kasih.604 Maka tidak bisa dikatakan bahwa etika situasi jatuh ke dalam kehidupan tanpa norma sama sekali (antinomianisme). Hanya hukum kasih yang selalu harus berlaku dalam setiap kasus. Norma-norma konkret lain harus mengalah bila bertentangan dengan hukum kasih.605 Tepatnya, etika situasi ada di antara legalisme dan antinomianisme.606

Proposisi keempat, kasih menghendaki kebaikan sesama lepas dari apakah kita menyukai orang itu atau tidak.607 Kasih tidak sama dengan rasa suka, rasa sayang atau simpati. Bagi etika situasi semua itu bukan kasih melainkan perasaan yang berakar pada cinta diri. Lawan dari perasaan-perasaan baik ini adalah rasa benci. Sedangkan lawan dari kasih agape adalah sikap acuh tak acuh, tidak mau tahu dan tidak peduli. Kasih tidak mengharapkan balasan. Dengan kasih kita bisa mengasihi yang tidak menarik dan yang tidak kita sukai.

Proposisi kelima, hanya tujuan yang baik boleh menghalalkan cara apapun (finis sanctificat media). Sesuatu yang baik untuk dilakukan dalam sebuah kasus belum tentu akan selalu baik dalam setiap kasus tergantung pada situasinya dan apakah tindakan itu akan mengerjakan kasih atau tidak. Misalnya membunuh adalah jahat. Namun apabila kita terpaksa membunuh seorang perampok ganas yang sedang menyandera korban, tindakan itu malah bisa baik. Mencuri adalah jahat. Namun mencuri senjata dari seorang pembunuh adalah perbuatan baik.

Proposisi keenam, keputusan-keputusan yang berdasarkan kasih dibuat menurut situasi, bukan menurut rumusan-rumusan normatif baku.608 Maka etika situasi bicara kasus per kasus dan tidak bertolak pada norma-norma dan prinsip-prinsip umum.

Etika Kristiani atau teologi moral bukan sebuah pola hidup menurut peraturan-peraturan melainkan suatu usaha yang terus-menerus untuk mengaitkan kasih dengan sebuah dunia kenisbian melalui sebuah penyelesaian kasus per kasus yang mengacu pada kasih; tugasnya adalah demi Kristus selalu menghasilkan strategi dan cara mengasihi.609

Situasi sebagai fakta selalu relatif. Inilah segi indikatif yang mendasari perintah untuk mengasihi. Perintah mengasihi sesama adalah imperatif. Jadi, rumus etika situasi atau apa yang normatif (apa yang wajib dilakukan) adalah indikatif ditambah dengan imperatif (normatif/kewajiban= indikatif/situasi + imperatif/perintah untuk mengasihi).610

Jika kita melihat etika situasi dari problem etika tampaklah bahwa sistem etika itu hanya merupakan sebuah bentuk dari usaha untuk mendefinisikan apa itu yang secara moral baik. Di dalam etika ada masalah yang sulit dipecahkan yaitu bagaimana menentukan apa yang benar-benar baik. Nominalisme berpendapat bahwa sesuatu itu baik hanya kalau Allah memandangnya baik (Ockham, Scotus, Descartes dll.). Dalam pengertian ini, karena Allah sendiri memerintahkan untuk membunuh seperti dalam beberapa kasus di dalam PL, membunuh bisa dibenarkan walaupun bertentangan dengan perintah eksplisit "jangan membunuh."

Bertentangan dengan ini adalah realisme. Menurut paham yang kedua ini, sesuatu itu baik bukan karena Allah menghendaki hal itu, melainkan karena sesuatu itu memang pada dasarnya baik. Perintah "jangan berzinah," misalnya, adalah baik karena perzinahan akan menggerogoti hubungan loyalitas yang sebenarnya harus ada pada pasangan yang resmi.

Dalam hal ini karena etika situasi tidak mau membatasi diri dengan hukum-hukum normatif yang eksplisit dan hanya memegang prinsip umum "kasih." Di dalam etika situasi tidak ada perbuatan yang baik karena dilakukan sesuai dengan norma-norma tertentu, melainkan itu baik sejauh berakibat baik dan itu buruk sejauh itu berakibat,buruk. Etika situasi tidak mau berada di dalam kesulitan yang mengharuskan kita memilih realisme atau nominalisme. Apakah hubungan seks di luar nikah selalu salah? Etika situasi menjawab, "Tidak tahu." Tergantung situasinya. Maka etika situasi tidak bisa disodorkan dengan pertanyaan apakah sesuatu itu Salah atau benar. Ia selalu minta sebuah kasus konkret.

Etika situasi tidak bersifat kategoris melainkan hipotetis.611 Tidak ada sesuatu yang baik di dalam dirinya. Contoh etika kategoris adalah "menolong orang adalah baik." Titik. Namun etika hipotetis tidak akan berkata begitu. Menolong orang memang baik. Namun itu tidak baik, jika yang ditolong adalah seorang perampok yang sedang melarikan diri.

Bagaimana bila mengasihi orang lain bertabrakan dengan kewajiban mengasihi diri sendiri? Menurut Fletcher, orang tidak boleh membuang diri dan menganggap diri tak berharga. Malahan cinta diri harus dilakukan dengan bertanggung jawab.

 KASUS-KASUS AMBANG BATAS

Salah satu alasan keberpihakan Fletcher pada situasi adalah adanya situasi-situasi sulit di mana norma-norma yang biasa berlaku, dalam situasi-situasi tertentu menjadi sulit diterapkan. Situasi-situasi seperti ini disebut situasi ambang batas (bonderline situation). Fletcher mengemukakan beberapa kasus ambang batas.

Kasus pertama menyangkut perzinahan.612 Pada waktu Perang Dunia II seorang ibu beranak tiga berkebangsaan Jerman tertangkap patroli Soviet dan dipenjarakan. Suami dan ketiga anaknya di Jerman mencari ke mana-mana dengan hasil nihil. Rupanya usaha keluarganya itu terdengar sampai ke penjara melalui komandan penjara yang simpatik. Peraturan penjara memperbolehkan tahanan dibebaskan hanya dengan dua alasan. Pertama, bila tahanan sakit dan rumah sakit penjara tidak bisa menangani sehingga harus diobati di salah satu rumah sakit Soviet yang lain. Kedua, bila tahanan mengandung dan dikembalikan ke negara asal sebagai pertanggungjawaban. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ibu ini minta seorang penjaga penjara yang dikenalnya baik untuk menghamilinya. Setelah ia positif hamil, ia dikembalikan ke Berlin. Keluarganya menyambutnya dengan sukacita. Bahkan anak yang kemudian lahir itu juga disambut dengan amat baik. Mereka tahu bahwa si kecil itu telah berjasa dalam keutuhan keluarga.

Kasus kedua menyangkut pelacuran.613 Seorang wanita Amerika yang cantik diminta untuk menjadi agen kontraspionase dengan cara menyamar menjadi seorang sekretaris di sebuah kota di Eropa Barat. Dalam penyamarannya itu ia harus merayu mata-mata musuh yang telah beristeri supaya akhirnya bisa diperas. Pada mulanya ia protes dan tidak sudi menjual diri seperti itu. Namun orang di departemen pertahanan mengatakan tidak ada jalan lain dan hanya dia yang satu-satunya bisa melakukan tugas itu. Alasan lain, orang itu menganggap pengorbanan itu sama saja seperti pengorbanan saudara laki-lakinya di Korea yang kehilangan kakinya. Persoalannya adalah apakah kesucian seks bisa dikorbankan demi mengemban tugas negara.

Kasus ketiga menyangkut bunuh diri.614 Seorang bapa beranak lima, berusia 40-an, hidupnya di rumah sakit bergantung pada pil. Begitu ia berhenti makan pil, hidupnya hanya akan tinggal enam bulan lagi. Setiap tiga hari ia harus membayar $40. Ia sendiri sudah diasuransikan oleh perusahaan sebesar $100.000. Itulah satu-satunya asuransi yang dimilikinya sekaligus harta satu-satunya yang bisa ditinggalkan bagi anak isterinya. Jika ia makan pil teras, hidupnya akan melewati Oktober. Namun perusahaan asuransi pasti tidak akan memperbaharui polis itu. Selain itu, bila terus makan pil, ia harus berhutang, bahkan bisa jual rumah dan pasti polis asuransinya juga hilang. Namun tidak makan pil sama dengan tindakan bunuh diri.

Kasus keempat menyangkut aborsi.615 Seorang pasien rumah sakit jiwa memperkosa sesama pasien. Namun gadis yang diperkosanya itu menderita schizophrenia yang gawat. Ayah sang gadis menuntut rumah sakit atas kelalaiannya dan meminta supaya dilakukan aborsi. Namun pihak rumah sakit menolak karena hukum hanya memperbolehkan aborsi demi alasan kesehatan ibu yang terganggu.

 EVALUASI

Ada hal-hal positif dan juga kekurangan dari sistem etika situasi.

1. Positif

Ada dua hal positif dari etika situasi.616 Pertama, karena cuma ada satu norma yang mutlak yaitu kasih, norma-norma konkret lain harus mengalah bila bertentangan dengan hukum kasih. Maka tidak ada konflik norma yang tidak bisa diselesaikan. Kalau di dalam sebuah situasi terjadi konflik norma, hal itu diselesaikan dengan jalan memakai ukuran kasih sebagai norma tertinggi. Di dalam etika peraturan konflik antar norma sering terjadi.

Etika situasi tidak membutuhkan norma-norma konkret. Cukup kasih akan mengarahkan kita untuk bertindak tepat. Sikap terhadap norma yang seperti ini merupakan reaksi balik yang keras atas sikap di dalam etika peraturan yang cenderung tidak memprioritaskan kasih. Menurut etika peraturan, norma-norma bila dijalankan dengan baik dengan sendirinya sudah merupakan perwujudan kasih. Orang bisa kejam dengan membiarkan kemalangan menimpa orang lain melalui norma yang dijalankan. Tetapi menurut etika situasi, kenyataannya tidak begitu. Norma-norma bisa dilakukan tanpa kasih (bdk. 1Kor 13:1-3). Dengan norma kasih, obyek dari tindakan selalu diperlakukan sebagai tujuan. Kita akan selalu memikirkan apa yang baik bagi obyek tindakan kita.

Kedua, pertimbangan atas situasi mendapat tempat yang amat penting dalam pengambilan sebuah keputusan. Benar salahnya sebuah tindakan tidak dinilai dari apakah itu sesuai dengan norma-norma konkret yang berlaku, melainkan apa konteks situasinya. Berbeda dari etika peraturan yang tidak mau tahu bagaimana situasi dari setiap keadaan, etika situasi mengajak kita untuk memperhitungkan situasi dari pengambil keputusan. Dietrich Bonhoeffer dalam contoh mengenai berbicara jujur menegaskan bahwa ada situasi-situasi dan aras-aras hubungan dengan siapa kita sedang berbicara, di mana sebuah ucapan bisa tetap benar walaupun sepintas kelihatan ia sedang berdusta.617 Dalam hal Rahab berbohong demi menyelamatkan kedua orang Israel pengintai (Yos 2), tindakan itu dibenarkan oleh Yakobus (Yak 2:25).

Dari sini kita diingatkan bahwa kita perlu mengerti permasalahan dengan baik dan seobyektif mungkin, supaya kita bisa menerapkan norma-norma secara pas.618 Kita tidak perlu segan untuk mencari tahu tentang suatu keadaan lebih banyak sebelum kita mengambil sebuah keputusan etis. Dengan demikian, kita menyadari sebelumnya rintangan-rintangan yang mungkin akan dihadapi, konsekuensi dari tindakan itu baik bagi kita maupun bagi orang lain.619

Jalan untuk mengerti sebuah situasi etis tidak selalu mudah. Selain kompleksitas sebuah situasi, pengetahuan dan pengalaman kita tentang suatu situasi sering amat terbatas. Disadari atau tidak, kita sering dipenuhi dengan subyektivitas seperti prasangka, minat dan kepentingan pribadi.620

2. Negatif

a. Kecurigaan yang Terlalu Besar untuk Posisi Banyak Norma

Fletcher terlalu memasang sikap negatif terhadap etika yang mempertimbangkan banyak norma. Padahal kalau kita menyimak kehidupan Yesus sebagaimana dicatat di dalam PB, kita mendapati bahwa meskipun Yesus penuh dengan kasih namun Ia bebas dari pelanggaran norma-norma moral. Di dalam pengadilan Romawi Pilatus sendiri sampai menegaskan ketidakbersalahan Yesus (Yoh 18:38b). Begitu juga Yesus dicobai dalam segala hal seperti kita namun tetap tidak berbuat dosa (Ibr 4:15). Yesus setia melakukan perintah-perintah Allah, namun Ia tidak bisa di bilang legalistik. Jadi, legalistik atau tidaknya seseorang tidak bergantung pada apakah norma yang diterimanya banyak atau cuma satu, melainkan pada bagaimana norma-norma itu diterapkan dalam kehidupan.621 Lagi, Yesus tidak mencela orang-orang Farisi karena ketaatan mereka terhadap hukum Taurat (Mat 23:23-24). MaksudNya adalah bahwa hukum Taurat harus dilakukan bersama dengan jiwanya seperti keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan, namun yang lain jangan diabaikan.622

b. Tanpa Pembuktian yang Memadai

Dalam menetapkan norma kasih sebagai yang tertinggi di atas norma-norma lainnya, Fletcher belum membuktikan kenapa norma tunggal itu harus kasih. Bagaimana dengan norma seperti keadilan atau kebenaran? Selain itu, apa tidak bisa ada dua atau lebih norma sekaligus memiliki kedudukan yang sama tinggi?623 Bandingkan dengan terang yang berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran (Ef 5:9)

c. Norma Kasih Juga Relatif

Etika situasi mengambil hanya satu norma sebagai yang mutlak. Supaya bisa relevan bagi setiap masalah, norma ini harus luas dan bisa mencakup berbagai situasi. Namun di dalam kelebihan ini sekaligus menjadi kelemahannya. Akibat terlalu luasnya aplikasi norma tunggal ini, norma kasih ini tidak boleh konkret. Ia harus terbuka untuk diisi dengan apa saja. Isi kasih tidak bisa didefinisikan sebelumnya. Kasih tidak secara otomatis memberitahukan apa yang harus dilakukan seseorang. Kalau begitu, akhirnya arti kasih menjadi relatif tergantung situasi.624

d. Teralu Antroposentris

Etika situasi dalam reaksi ekstrimnya terhadap etika peraturan terlalu menekankan manusia sebagai pusat tindakan. Alkitab tidak menempatkan kebahagiaan dan kebaikan manusia sebagai yang segala-galanya, karena manusia dijadikan menurut citra Allah. Tujuan terluhur dari manusia adalah Allah.625 Alkitab menekankan, yang utama adalah mengasihi Allah dengan segenap keberadaan kita, baru sesudah itu demi Allah kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Bdk. Mat 22:36-39). Idealnya, mengasihi orang lain harus sebagai akibat dari mengasihi Allah.

Keunikan kasih Kristen adalah dalam hal sumbernya adalah Allah.626 Kasih merupakan hasil dari hidup yang telah diperbaharui di dalam Kristus dan sebagai tanggapan atas kasih Allah (bdk. 1Yoh 4:11). Kasih dinyatakan sebagai suatu kewajiban demi meneladani Allah Bapa yang telah melakukan hal yang sama. Seperti Allah memberikan matahari atau hujan tanpa membeda-bedakan antara orang baik atau jahat, demikian juga kita tidak hanya didorong untuk berbuat baik kepada orang yang kita suka saja (bdk. Mat 5:43-48).

e. Terlalu Menekankan Keunikan Setiap Situasi

Etika situasi terlalu menekankan keunikan setiap situasi. Padahal setiap situasi obyektif memiliki struktur-struktur obyektif yang menuntut pelaksanaan kaidah-kaidah moral yang sama dan berlaku umum.627 Di dalam kehidupan sosial setiap anggota masyarakat melakukan kaidah-kaidah moral sesuai dengan posisi dan tanggung jawabnya. Dan hal ini sudah secara spontan disepakati. Misalnya, jika saya seorang karyawan saya memiliki kewajiban moral untuk tidak merugikan perusahaan tempat di mana saya bekerja, tidak soal apakah majikannya Kristen atau bukan. Membolos dari kerja jelas tidak bisa dibenarkan. Inilah yang dimaksud dengan kewajiban moral yang umum karena peran sosial. Namun kalau pada suatu hari isteri saya sakit mendadak dan membutuhkan saya mengantarnya ke dokter, saya perlu membolos walaupun dengan konsekuensi gaji saya dipotong, dimarahi atau lainnya. Tindakan bolos itu dalam situasi ini secara moral masih bisa dibenarkan, walaupun majikan belum tentu bisa menerima. Tidak perlu setiap kali menunaikan kewajiban moral, kita harus mempertimbangkan sebegitu rupa seolah-olah setiap kasus selalu menanti jawaban yang baru. Maka di sinilah hukum-hukum seperti dasa titah tetap mempunyai tempat yang tak tergantikan dalam pertimbangan keputusan etis kita.

Fletcher membenarkan etika situasi melalui kasus-kasus ambang batas. Padahal sehari-hari kita lebih banyak diperhadapkan dengan situasi-situasi umum yang cukup diputuskan sesuai dengan norma-norma yang ada. Maka tanpa mengingkari keunikan situasi, kita tetap membutuhkan norma-norma konkret untuk panduan tindakan kita.

 HUBUNGAN ANTARA KASIH DAN NORMA-NORMA

Etika situasi menyoroti unsur kasih dan situasi yang sering diabaikan oleh situasi peraturan. Namun kita juga tidak bisa hidup tanpa norma-norma penuntun. Untuk realisasinya yang terarah, kasih tetap membutuhkan norma-norma. Mempertimbangkan hal ini, kita perlu memikirkan kaitan erat antara kasih dan norma-norma.

Pertama, kasih harus menjadi motivasi perbuatan kita, sehingga kita tidak akan puas hanya dengan melakukan sesuatu sesuai dengan peraturan. Kasih akan mendorong kita untuk peka atas kebutuhan orang lain. Manusia sebagai pribadi menjadi tujuan dalam tindakan kita, seperti Yesus mengatakan bahwa manusia bukan untuk hari Sabat, sebaliknya hari Sabatlah untuk manusia (Mrk 2:27-28). Norma-norma walau dibuat dengan maksud yang baik, namun tetap buta dan lemah, sehingga bisa diselewengkan. Maka kasih harus menjiwai, sehingga bilamana perlu kita bisa melakukan sesuatu yang bahkan melampaui tuntutan norma (bdk. Mat 5:38-42).

Kedua, kasih membutuhkan norma-norma konkret sebagai bentuk perwujudannya. Kasih sebagai kasih adalah abstrak dan buta. Konsep kasih yang abstrak mudah dikacaukan dengan perasaan-perasaan subyektif dan kepentingan pribadi, sehingga kita bisa menipu orang lain maupun diri sendiri. Dengan kehadiran norma-norma, kasih dituntun dan dibatasi sehingga prinsip keadilan dan kebaikan yang menjadi nilai-nilai dasar dari norma-norma, misalnya, tetap terpelihara. Maka masih lebih baik ada norma sekalipun kurang sempurna, ketimbang tanpa norma sama sekali.

Ketiga, di dalam agama Kristen perintah-perintah Allah berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan Allah dengan umat-Nya. Kesetiaan kita terhadap perjanjian ini dinilai dari seberapa jauh kita juga dengan setia melakukan perintah-perintah Allah. Kita tidak mudah mengetahui kehendak Allah yang baik. Namun melalui melakukan firman Allah dengan setia, kita semakin menyadari kebaikan-kebaikan dari norma itu untuk hidup kita di dunia.

Keempat, kita tetap menyadari keterbatasan norma-norma. Apabila norma-norma tidak bisa memberi jawaban yang memadai, hendaklah norma-norma itu diperlakukan seperti sebuah peta daerah. Peta norma itu akan menolong kita mengetahui arah-arah penting yang perlu diketahui untuk sampai ke tempat tujuan kita. Namun peta itu tetap terbatas. Ia tidak memberitahukan kalau sudah ada perubahan tempat belok, gang kecil, bangunan baru, yang kesemuanya bisa membingungkan kita ketika sampai di tempat itu. Kita tidak bisa menyalahkan kenapa peta itu kurang komplit. Kita sendirilah yang harus jeli dan tahu memakainya dengan tepat. Dengan demikian kegunaan peta norma itu akan terasa sekali. Di dalam kehidupan kita harus juga diakui bahwa begitu banyak norma dari dulu sampai sekarang masih belum mampu menolong manusia. Kita masih dituntut untuk bijaksana dan memiliki kepekaan rohani dalam segala situasi, sehingga dalam sebuah situasi kita bisa memutuskan yang terbaik menurut panduan norma-norma yang ada.



TIP #33: Situs ini membutuhkan masukan, ide, dan partisipasi Anda! Klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA