Dunia ciptaan belakangan ini telah menarik perhatian banyak teolog Kristen, karena keseimbangan alam terganggu dan menjadi sebuah ancaman global bagi kelangsungan hidup umat manusia. Di dalam makalah ini ciptaan tidak hanya dibatasi dalam arti alam, tetapi juga meliputi manusia.
Di dalam teologia PL terdapat masalah hangat tentang apakah umat Israel lebih dulu mengalami Allah sebagai penebus atau sebagai pencipta. Teolog PL Gerhard von Rad memelopori prioritas penebusan dari penciptaan.496 Ia membedakan secara tajam antara penebusan yang terjadi di dalam sejarah (sejarah keselamatan) dan penciptaan. Kelahiran Israel sebagai umat Allah dianggap sebagai inti kepercayaan Israel (Ul 6:20-23, 26:5-9). Maka karya Allah di dalam penciptaan subordinasi terhadap karya Allah di dalam sejarah keselamatan, seperti pemilihan bapa leluhur, keluaran dari Mesir dan pemberian tanah Kanaan.
Di dalam subordinasi kisah penciptaan terhadap penebusan Israel, maka ajaran penciptaan hanya dipandang sebagai "pelengkap" dari ajaran penebusan.497 Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tema penciptaan masuk ke dalam iman Israel hanya karena pengaruh mitos-mitos penciptaan yang begitu umum di antara agama-agama Timur Dekat kuno di sekitar Israel. Konsekuensinya, kisah penciptaan merupakan tindakan pertama dari serangkaian tindakan penyelamatan Allah sebagai bagian dari asal mula terjadinya Israel sebagai umat Allah. Kalaupun Allah sebagai pencipta ditekankan, hal itu cuma sebagai latar tindakan penebusan Yahweh (sejarah keselamatan).
Namun demikian dalam dua dasa warsa terakhir ini ada kritik keras terhadap teologi yang menjadikan penciptaan subordinasi terhadap penebusan.498 Kritik pertama, datang dari Claus Westermann. Ia tetap memisahkan antara karya Allah di dalam sejarah dan karya Allah di dalam penciptaan, namun baginya karya Allah di dalam penciptaan tidak subordinasi terhadap sejarah keselamatan.499 Menurutnya, kisah penciptaan, justru memberi konteks untuk tindakan penebusan Allah, sehingga karya Allah di dalam penciptaan sama pentingnya dengan tindakan Allah di dalam sejarah. Dari situ ia menambahkan bahwa setelah penciptaan Allah memberkati kehidupan dalam segala aspeknya, sehingga ciptaan bisa bertumbuh kembang baik dengan subur. Berkat merupakan kelanjutan dari karya Allah yang telah rampung di dalam penciptaan.
Kritik Kedua, penebusan ada karena lebih dulu ada penciptaan. Penebusan dimaksudkan untuk mengembalikan apa yang sudah hilang di dalam kejatuhan.500 Dengan demikian penebusan menjadi semacam penciptaan kembali.501 Apabila penyelamatan begitu ditekankan di dalam Alkitab, hal itu terjadi bukan karena penyelamatan lebih penting dari penciptaan, melainkan yang langsung dialami manusia berdosa adalah penebusan.
Fakta yang dipakai oleh pandangan yang mengsubordinasikan ciptaan bahwa kisah-kisah penciptaan begitu umum terdapat di dalam agama-agama kuno Timur Dekat, malah bisa menjadi petunjuk bahwa adalah wajar kalau tema penciptaan sudah sejak awal terintegrasi di dalam iman Israel kuno dan tidak perlu ditafsir muncul di kemudian hari.502 Brevard S. Childs sendiri sangat mempertanyakan subordinasi tema penciptaan dan ia mengusulkan untuk jangan mendekati kedua tema ini dari sudut subordinasi, tapi melihat kedua tema teologis ini sebagai berinteraksi secara korelatif.503 Kalau begitu, memang terbentuknya umat Israel merupakan sebuah tema penting di dalam PL. Namun prioritas ajaran penebusan atas penciptaan lebih didasarkan pada asumsi teologis ketimbang pada pendekatan PL sebagai kanon.
Pada waktu kita melihat urutan tindakan Allah seperti yang tercantum di dalam PL (canonical approach), kita mendapati bahwa Allah pertama-tama menyatakan diri di dalam sejarah umat-Nya sebagai Pencipta, "Pada mulanya Allah menjadikan langit dan bumi" (Kej 1:1). Dengan ini pembaca PL diajak untuk mengenal dan mengalami dulu Allah sebagai pencipta. Namun karena kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej 3), dibutuhkan lagi pernyataan diri Allah secara khusus seperti yang kemudian nyata di dalam pemanggilan terhadap Abraham (Kej 12). Sejak itu mulailah sejarah penyelamatan di dalam sejarah umat Allah.
Kita tidak diciptakan untuk diselamatkan, melainkan kita diselamatkan agar kembali kepada maksud semula dari penciptaan. Tujuan akhir dari karya Allah adalah ciptaan, bukan keselamatan. Seperti peristiwa pertama dari sejarah menurut Alkitab adalah penciptaan, peristiwa terakhir ialah penciptaan langit dan bumi yang baru (Why 21:1).505 Dengan demikian sejarah sekular dan sejarah keselamatan tidak dimengerti sebagai dua realitas terpisah, melainkan keselamatan berlangsung di dalam sejarah dunia ini. Allah menyatakan diri melalui penciptaan dan di dalam dunia ciptaan (bdk. Mzm 19:2; Rm 1:20). Namun karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, dibutuhkan lagi pernyataan diri Allah secara khusus. Itulah yang terjadi di dalam sejarah penyelamatan. Kisah pemanggilan Abraham (Kej 12), misalnya, ditempatkan di dalam sejarah dunia umum (Kej 1-11). Allah menyelamatkan supaya manusia dan dunia berdosa dipulihkan seperti maksud penciptaan yang semula.
Kisah penciptaan di dalam PL tidak sama dengan kisah-kisah kuno tentang penciptaan. Ada dua keunikan ajaran penciptaan di dalam PL.507
Pertama, Allah menciptakan langit dan bumi melalui kuasa Firman. Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada (Mzm 33:9; bdk. 148:5). Di dalam kisah penciptaan Kej 1:1-2:4a rumusan "berfirmanlah Allah... lalu... jadi" begitu dominan. Firman Allah adalah sarana pewahyuan diri Allah sendiri. Melalui FirmanNya Allah membuka rahasiaNya dan membiarkan diri-Nya dikenal. Maka melalui dunia ciptaan yang merefleksikan kesempurnaan dan kebijaksanaan Tuhan, sedikit banyak manusia boleh sampai pada pengenalan akan Allah.
"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya" (Mzm 19:2). "Betapa banyak perbuatan-Mu, ya Tuhan, sekaliannya Kau jadikan dengar kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu." (Mzm 104:24) "Tuhan lah yang menjadikan bumi dengan kekuatan-Nya, yang menegakkan dunia dengan kebijaksanaan-Nya, dan yang membentangkan langit dengan akal budi-Nya" (Yer 10:12).
Kedua, Allah menciptakan langit dan bumi sebagai tanda kemenangan-Nya atas kuasa-kuasa kekacauan. Umat Israel meyakini dan mengalami bahwa di dunia ini aktif bekerja kuasa-kuasa perusak dan pengacau tatanan hidup yang teratur. Ada padang gurun yang dengan kegersangannya mematikan segala yang hidup. Ada kegelapan malam yang membahayakan. Ada laut dengan gelombangnya yang dahsyat yang di dalam PL dilambangkan dengan kekuatan yang mengacaukan dari tubir raya (Mzm 89:9-10).508 Di dalam tubir raya ini biasanya diam hewan raksasa Rahab (Ayb 26:12; Yes 51:9), Lewiatan atau ular naga (Mzm 74:13-14; Yes 27:1). Ungkapan tohu wabohu juga menandai kekosongan yang dahsyat.509
Yang menarik adalah bahwa kekuatan perusak yang ditakuti orang kuno ini juga diakui eksistensinya oleh orang Israel. Hanya saja hal ini tak pernah menjadi pokok kepercayaan mereka. Mereka lebih meyakini bahwa Allah sudah mengalahkan semuanya pada awal dunia pada saat penciptaan dunia (Ayb 26:12; Mzm 74,89). Allah sudah membendung samudera raya yang tadinya mau meliputi segala yang hidup (Kej 1:2,6-8, 7:11, 8:2).
Maka tidak heran kalau ditegaskan bahwa ciptaan merupakan karya Allah yang baik. Di dalam Kejadian 1 ada tujuh kali penilaian "baik" dari Allah alas ciptaan-Nya dengan klimaks penilaian "sungguh amat baik" ketika Allah selesai menjadikan manusia (ayat 4,10,12,18,21,25,31). "Baik" (tob) di sini berarti tepat, indah, bagus, dan menyenangkan. Allah memberkati binatang-binatang di laut (Kej 1:22), manusia (Kej 1:28), dan hari sabat (Kej 2:3). Dunia yang baik ini mengandung potensi berkat Allah dan siap untuk diaktualisasikan.
Ada dua implikasi dari penciptaan dunia seperti ini.510 Pertama, ciptaan Tuhan pada dasarnya baik. Tidak ada alasan untuk menyepelekan dunia ciptaan atau menganggap bahwa dunia ini jahat, menyusahkan dan fana, sehingga tidak perlu ditanggapi serius dan hanya perlu cepat-cepat dilewati. Malahan dunia ciptaan ini penting artinya, karena menjadi arena untuk segala sesuatu yang terjadi baik di antara Allah dan manusia maupun di antara sesama manusia sendiri.
Kedua, ciptaan adalah milik Allah. Dengan demikian ciptaan harus diperlakukan dengan penuh tanggung jawab tanpa mengilahkannya. Dunia ada batasnya. Tindakan yang semena-mena terhadap manusia dan ciptaan lain hanya mendatangkan murka dari Dia yang Empunya dunia ini beserta dengan segala isinya. Dalam perspektif inilah harus diletakkan peringatan untuk bertindak adil dan murah hati terhadap mereka yang tertindas (Ams 14:31, 22:2).
Kondisi baik dari dunia ciptaan tidak berarti bahwa ciptaan berhenti pada tahap itu dan potensinya tidak lagi bisa berkembang lebih lanjut. Sesungguhnya kemajuan dunia berkaitan erat dengan kebaikan dunia yang berkembang di dalam batas-batas potensi yang ada. Tuhan memang meletakkan potensi kebaikan yang bisa berkembang.
Penciptaan tidak berhenti pada hari ke-7 pada saat Allah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya (Kej 2:2-3). "Allah berhenti" tidak berarti bahwa Ia mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai Sang Pencipta. Allah tidak lepas tangan dari ciptaan-Nya seperti sebuah jam yang dibiarkan terus jalan sampai ia mati atau rusak sendiri (bdk. deisme). Tetapi Allah tetap menciptakan melalui proses-proses kehidupan yang sudah ditanamkanNya di dalam dunia ciptaan, dan dengan itulah Ia masih memelihara kelangsungan eksistensi ciptaan.511 Manusia sampai sekarang ini, misalnya, tetap bisa dikatakan sebagai ciptaan Tuhan (bdk. Mzm 139:13-14). Hanya saja kita diciptakan bukan dalam konteks penciptaan pertama, yang dari tidak ada menjadi ada, melainkan dalam konteks pemeliharaan Allah.
Perlu dicatat bahwa kebaikan dan kesempurnaan dunia ciptaan tidak dimiliki sebagai sifat yang tetap dan berdiri sendiri.512 Kebaikan dunia ciptaan tetap bergantung sepenuhnya pada Allah Sang Pencipta. Dan jalan yang ditempuh Allah untuk melestarikan ciptaannya adalah dengan menempatkan manusia ke dalam posisi sebagai mitra Allah.
Di dalam kisah penciptaan manusia adalah ciptaan satu-satunya yang berupa Allah (Kej 1:26). Metafora yang dipakai untuk jati diri manusia disini adalah "gambar dan rupa" Allah. Metafora ini mempunyai latar budaya yang menarik. Di Timur Dekat Kuno seorang raja penakluk mendirikan panji, tanda, atau gambar dan rupa mereka di daerah taklukannya untuk menandakan bahwa daerah itu adalah milik raja itu. Dengan latar budaya ini jelas kehadiran manusia di dunia ini, pertama sekali untuk memproklamasikan sekali lagi bahwasanya dunia ini adalah milik Allah. Namun lebih lanjut lagi, manusia di dalam kebersamaannya (pria dan wanita) bertujuan untuk mengatur dunia ini. Manusia dengan terhormat diikutsertakan di dalam karya penciptaan Allah yang kini bersifat memelihara sesuai dengan kemampuan yang telah dikaruniakan kepadanya.514
Yang berbeda dari kisah penciptaan Timur Dekat kuno, Mesopotamia misalnya, adalah manusia diciptakan karena para dewa sudah letih bekerja dan mereka membutuhkan manusia untuk melakukan pekerjaan mereka. Dengan demikian di dalam konsep agama Timur Dekat kuno, manusia adalah budak para dewa dan bekerja adalah sebuah beban hidup. Tetapi tidak demikian dengan gambaran manusia di dalam Kej 1-2. Manusia memiliki martabat yang luhur sebagai gambar dan rupa Allah. Ia berdaulat untuk melakukan apa yang baik terhadap ciptaan sesuai dengan maksud penciptaan. Manusia rohani adalah manusia pekerja, yang material namun tidak materialistik!
Karena diciptakan dalam kebersamaan dan bukan secara individualistik, maka dalam mengemban tugas sebagai gambar dan rupa Allah itu tidak boleh ada dominasi seksual (pria terhadap wanita), ras atau golongan (kaya terhadap yang miskin, mayoritas terhadap yang minoritas). Kalau dunia mau ditata dengan baik, tidak boleh ada diskriminasi dalam keikutsertaan membangun dan mengelola dunia ini. Hal ini tidak harus dipahami bahwa semua orang harus berkedudukan dan menikmati hal yang sama. Berdasarkan kapasitas dan tanggung jawab yang berbeda kita masing-masing memiliki posisi dan peran yang berbeda pula. Namun sekali lagi, perbedaan ini tidak membenarkan adanya dominasi dan eksploitasi dari satu orang atau kelompok atas orang atau kelompok lain.
Dalam kedudukan manusia sebagai mitra yang potensial ini manusia, sebagai contoh, ikut menentukan jalannya proses kejadian seorang manusia. Coba kita bayangkan bila setiap sel telur dari seorang wanita menjelma menjadi kehidupan baru, seorang ibu bisa melahirkan puluhan anak. Di sini manusia ikut mengatur dan menentukan setiap kelahiran melalui kontrasepsi yang tidak menggugurkan kandungan.
Contoh lain, berkat kemajuan dalam bioteknologi manusia sekarang sudah berhasil mengantisipasi keadaan bayi yang akan lahir, apakah ia normal atau akan cacat. Ini penting sekali. Menurut penelitian dari 1988-1990 di RSAB "Harapan Kita" kasus cacat bawaan jumlahnya 5 s/d 8 per seribu kelahiran hidup. Umumnya adalah cacat kepala besar yang menyebabkan aliran cairan di otak tersumbat.
Tetapi bila mitra potensial ini menyalahgunakan kepercayaan dan kuasa yang diberikan kepadanya, ada bahaya yang besar. Khususnya ini terjadi apabila manusia menganggap dirinya sebagai "khalik" pencipta dan melupakan kedudukan yang sebenarnya di alam semesta sebagai "makhluk" dari Allah pencipta. Dengan kemampuan manusia sekarang, manusia bisa memproduksi ratusan manusia dari benih orang seperti Hitler. Sungguh sulit dibayangkan apabila pada suatu hari bermunculan pemimpin-pemimpin dunia seperti Hitler. Walau kita tak mau masuk lebih jauh ke dalam diskusi seputar etika biomedis, kiranya berita di dalam PL sudah jelas bahwa manusia tetap manusia, mitra Allah dalam memelihara kelangsungan dunia ciptaan demi kesejahteraan bersama. Kalau begitu, membentuk manusia berkualitas moral lebih penting dari pada potensinya.
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Kontak | Partisipasi | Donasi