Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 >  ETIKA LINGKUNGAN HIDUP DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN > 
II. DASAR TEOLOGIS ETIKA LINGKUNGAN 

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

1. Kesatuan manusia dengan alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin manusia disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan humus, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej 2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung - sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan manusia atas alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej 1:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej 2:15). Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemulian dan hormat (Maz 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Dan karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan care taker. Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang. Artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata mengelola dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani abudah, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (abudah) dan memelihara (samar) lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan manusia memelihara alam

Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan" tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik materialistik). Manusia hanya memperhatikan tugas menguasai tetapi tidak memperhatikan tugas memelihara. Dengan demikian manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja" dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa "kuatir" akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat 6:19-25 par.). Secara teologis dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhannya tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakekatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy baing". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

4. Hubungan baru manusia - alam

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru mencatat bahwa Allah yang Maha kasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anakNya yang tunggal ke dalam dunia yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan (Kol 1:15-17; Yoh 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol 1:19-20; 2 Kor 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.

Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos 2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristen hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan dominio (menguasai) tetapi juga hubungan comunio (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam yaitu "air, anggur dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA