Dengan pelayanan kasih, kita sendiri menjadi manusia dan kita memanusiakan manusia, sesuai dengan teladan yang telah diberikan oleh Yesus Kristus. Apakah artinya menjadi manusia? Siapakah manusia itu?
1. Manusia itu merupakan suatu totalitas, bukan gabungan dari beberapa komponen. Terminologi yang dipakai oleh Alkitab, seperti TUBUH, JIWA dan ROH tidak menunjuk kepada komponen-komponen, tetapi kepada aspek-aspek dari suatu keutuhan.:
Paus Paulus VI menulis dalam ENSIKLIK POPULORUM PRI GRESSIO: "Perkembangan sejati harus menyeluruh, artinya harus menguntungkan manusia seutuhnya dan seluruh umat manusia." Pandangan ini menentang konsep kapitalis yang menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan pembangunan dan konsep Marxis yang mendesak revolusi untuk membebaskan rakyat dari penindasan. Pembangunan sejati adalah pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam Lukas 12:16-21 Tuhan Yesus menceritakan suatu perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Walaupun orang kaya itu berhasil dalam dunia usaha, tetapi ia telah gagal menjadi manusia. Ia menyamakan dirinya dengan seekor binatang. Coba dengar apa yang ia katakan: "Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku" Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya: beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" Ia hanya berkata kepada dan tentang JIWAKU (MY SOUL), dan sama sekali tidak menyinggung soal ROHKU (MY SPIRIT). Dengan kata lain, ia menganggap hidup manusia hanya terdiri dari badan dan jiwa, yang perlu dipuaskan selama hidup di dunia. Ia lupa bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang utuh, yang meliputi badan, jiwa dan roh. Keserakahan sering menjerumuskan manusia sehingga berperilaku seperti binatang. Orang kaya dalam perumpamaan tersebut disebut bodoh, bukan dalam pengertian intelektual, melainkan dalam arti: bebal, yakni orang yang menolak dan melanggar kehendak Allah, yang tidak mau tahu soal keadilan, (Bandingkan dengan Yeremia 17:11 dan Amsal 28:5)
2. Manusia itu makhluk yang relasional, dengan relasi tiga ganda, yaitu: relasi dengan Allah, relasi dengan sesamanya dan relasi dengan alam semesta.
Tentang relasi dengan Allah, POPULORUM PROGRESSION berkata: "Kemanusiaan yang terkungkung, artinya yang tidak terbuka bagi nilai-nilai rohani dan bagi Allah yang menjadi sumbernya, hanya mencapai hasil semu ... Tiada kemanusiaan sejati selain yang terbuka bagi Tuhan dan yang sadar akan panggilan yang memberikan arti yang tulen kepada hidup manusiawi." Tugas memanusiakan masyarakat hanya dapat dimengerti dalam hubungan dengan panggilan Allah kepada kita. Allah memanggil kita untuk berperan-serta dalam pekerjaanNya membangun masyarakat yang lebih manusuawi. Ia memanggil kita untuk hidup sesuai dengan pola kehidupan manusiawi yang dinyatakan oleh Yesus Kristus. "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus." (Filipi 2:5).
Tentang relasi dengan sesama, Alkitab memberi kesaksian bahwa sejak awal Allah bermaksud agar manusia menikmati persekutuan dengan sesamanya: "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18). Masyarakat sejati adalah masyarakat yang diwarnai oleh persekutuan. Tata ekonomi seharusnya tidak menimbulkan persaingan yang merusak relasi antar manusia dan tidak memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4).
Tentang relasi dengan alam semesta, Alkitab mengatakan bahwa manusia mendapat perintah dari Allah untuk memenuhi dan menaklukkan bumi dan berkuasa atas semua makhluk di bumi (lihat Kejadian 1:28). Relasi ini mempunyai tiga dimensi: a. Manusia dapat menggunakan dan menikmati dunia ciptaan Allah. b. Manusia perlu memelihara dunia dan menghargai keseimbangan ekologis lingkungan hidup. c. Manusia meneruskan penciptaan Allah dengan mengolah bahan-bahan yang sudah diciptakan Allah.
3. Manusia diciptakan dengan kebebasan dan tanggung-jawab. Allah menciptakan manusia sebagai orang yang bebas. Ia tidak memaksa manusia untuk mematuhiNya. Ia ingin agar manusia mematuhiNya dengan rela. Allah juga memerdekakan bangsa Israel yang diperbudak dan ditindas di Mesir. Yesus datang untuk membebaskan orang dari dosa dan maut.
Dalam Lukas 4:16-21 dikisahkan tentang Yesus yang datang ke Nazaret. Ketika Ia masuk ke rumah ibadat, Ia diberi kitab nabi Yesaya lalu membaca: "Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Setelah selesai membaca, Yesus mengatakan bahwa pada hari itu genaplah nas tersebut.
Karena itu setiap orang perlu memperoleh kebebasan untuk mengambil keputusan-keputusan fundamental yang mempengaruhi kehidupannya. Tetapi kebebasan manusia harus dipakai dengan penuh tanggung-jawab, agar tidak merugikan atau mengurangi kebebasan sesamanya.
4. Yesus Kristus adalah manusia yang sejati, yang memberlakukan relasi tiga ganda itu dalam kasih. Kasih bukanlah suatu perasaan belaka, melainkan tindakan yang melibatkan seluruh manusia sebagai totalitas. Dalam pengorbanan Yesus di kayu salib kita memperoleh contoh konkrit tentang kasih. "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebebasan" (I Yohanes 3:16-18).