Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 >  INJIL DAN KONTEKSTUALISASI > 
PENILAIAN THE C1-C6 SPECTRUM 

Ada dua bahaya yang pokok dalam model ini. Yang pertama, sebuah model sebaiknya diciptakan oleh orang-orang setempat supaya dapat memperhitungkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kehidupan orang yang diinjili. Misalnya, The C1-C6 Spectrum tidak mengingat akan keadaan politik di Indonesia di mana seseorang perlu memeluk salah satu agama yang resmi. Tidak dapat diharapkan bahwa seorang petobat yang menyadari hal itu akan masuk pada perangkap seperti C-5. Jikalau betul C-5 berada di perbatasan agama, hal itu berarti bahwa kelompok C-5 dapat dianggap sebuah bidat atau aliran sesat dari salah satu agama.

Di Indonesia, status agama semacam itu belum ada yang dihargai. Jika kita mau melayani dengan baik, kita harus bertanggung jawab memenuhi harapan-harapan orang yang kita layani. Kurang bagus jika kita memimpin mereka kepada sesuatu yang merugikan mereka. Pada pola C-4, ada bahaya lain lagi, yaitu bahaya teologia.

Para ahli setuju bahwa sebuah model kontekstualisasi harus mempunyai gospel core. Mana intisari itu dalam model ini? Bahaya tersebut dapat merugikan kedua belah pihak, baik agama Kristen maupun agama lain. Dalam pola ini, pelayanan gereja diperbolehkan menggunakan istilah-istilah bahasa agama lain sebagai jembatan untuk menarik perhatian penganutnya. Umpamanya, menurut peraturan pola C-4, kita boleh menggunakan istilah Isa Al-Masih untuk menjelaskan identitas Yesus Kristus. Hal itu tidak akan menjadi masalah jikalau maksud kita sekadar menerangkan siapa Yesus itu. Akan tetapi. jika kita bermaksud membuat Yesus menjadi seorang Juruselamat yang dinantikan oleh orang Islam, mereka tidak akan setuju. Sebab menurut teologia mereka tidak perlu kita menantikan seorang juruselamat. Bahkan mereka tidak percaya bahwa Yesus itu Anak Allah. Ia tidak mati di kayu salib, tidak bangkit pula. Maka Ia tidak berkuasa mengampuni dosa dan bukan Juruselamat dunia, hanya juruselamat orang Yahudi saja.

Cara hermeneutik semacam ini menjadi timbal balik. Kontekstualisasi Injil seharusnya mulai dengan teks bukan konteks. Ada teks (yaitu Firman Tuhan) dan ada konteks (budaya manusia). Hermeneutik kita harus mulai dengan teks sebab dasar kontekstualisasi kita adalah intisari Injil. Shoki Coe, seorang teolog dari Taiwan, memberi petunjuk agar kita "setia pada teks, relevan pada konteks."969 Kita tidak boleh mengubah begitu saja intisari Injil agar manusia senang mengikuti pelajaran Alkitab. Intisari Injil harus jelas dan tetap. Kegagalan dalam hal ini membuat Injil menjadi alat ideologis yang cocok dengan agama lain. Akibatnya fatal: makna Injil hilang.

Ada masalah lain yang berkaitan. Istilah-istilah agama lain mempunyai arti tertentu yang tidak sesuai dengan teologia Kristen yang alkitabiah. Jika kita belum menjadi ahli dalam bidang istilah-istilah agama lain, bahaya sekali apabila kita begitu saja menggunakannya. Sebagai contoh, Seyyed Hossein Nasr, salah satu pakar agama Islam, menerangkan dalam buku-bukunya bahwa istilah-istilah AI-Quran adalah rumus-rumus yang suci yang menyiakan seluruh maksud dan tujuan agama. Rumus-rumus seperti Shahadah, Bismillah al-rahman al-rahim, Allahu Akbar, dan juga Alhamdulillah adalah simbol-simbol yang menjelmakan manusia yang mengucapkannya menjadi seorang baru. "Jiwa seorang Muslim bagaikan mosaik yang dibuat dari rumus-rumus Quran di mana orang itu bernafas dan hidup."970 Maksud Professor Nasr, untuk orang Islam Quran itu sama nilainya dengan Yesus dalam agama Kristen. Dengan memakai rumus-rumus itu, kita mempertentangkan dua pegangan yang berbeda.

Kontekstualisasi yang menggantikan istilah-istilah Alkitab dengan rumus-rumus agama lain bukanlah kontekstualisasi yang bersifat alkitabiah. Contohnya, pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Bisa jadi dalam bahasa orang, nama Yesus diganti dengan terjemahan mereka. Tapi makna dari nama itu tidak boleh diubah. Banyak orang barangkali kurang setuju bahwa Yesus adalah Anak Allah. Namun pengakuan itu tidak boleh dihilangkan, bahkan dikurangi sedikit pun tidak boleh. Kita harus mengucapkan kata yang sama dengan firman Tuhan. Apa yang dikatakan Tuhan? Tuhan berkata bahwa Yesus adalah Anaknya. "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan." (Matius 3:17) Yang difirmankan oleh Tuhan harus dikatakan oleh kita. Ada Bapa, ada Anak. Mereka adalah satu.

Ada orang yang mengikuti perumusan The C1-C6 Spectrum itu yang membuka peluang untuk banyak hal aneh. Misalnya, ada yang menasihati orang agar tetap berdoa menurut kebiasaan lama. Bahkan ada yang menciptakan doa Kristen lima kali sehari untuk menggantikan doa lama. Meskipun ada orang yang tidak pernah mengikuti doa agama lama, namun ia terdorong untuk menerapkannya. Alasannya, agar dapat menjangkau teman-teman lain yang belum mendengar Injil. Janggal, bukan? Orang yang mengikuti Yesus supaya lepas dari perbudakan rohani seakan-akan dibelenggu kembali oleh para penginjil. Ada teman saya yang memakai The C1-C6 Spectrum yang pernah memberitahukan saya bahwa mereka tidak mengajar orang tentang Yesus sebagai Anak Allah sebelum mereka dibaptis. Setelah mereka dibaptis baru saja mereka dibimbing sungguh-sungguh bahwa Yesus adalah Anak Allah. Tetapi, pertanyaan saya begini. Berdasarkan apa orang itu dibaptis? Siapa berkuasa mengampuni dosa-dosanya? Kuasa apa yang dapat menjadikan dia baru secara rohani? Cara pelayanan itu sungguh membingungkan.

Untuk mereka yang memegang cara kontekstualisasi The C1-C6 Spectrum ini, nama Yesus suka dihilangkan. Usul mereka agar nama Yesus tidak dipakai saja baik dalam penginjilan maupun dalam ibadah gereja. Mereka ingin menggantikan nama Yesus dengan nama yang lebih cocok dengan selera agama lain. Saya dapat menerima usul agar sekali-sekali kita memakai nama lain untuk menerangkan makna Anak Allah itu. Akan tetapi, tidak bermanfaat untuk kesatuan gereja di Indonesia jika nama Yesus harus hilang sama sekali. Di Indonesia kekristenan sudah menjadi kontekstual dengan memakai nama Yesus. Jika nama itu dihilangkan tentu gereja-gereja tidak akan setuju. Mungkin juga petobat-petobat baru tidak akan disambut oleh kalangan Kristen. Sayang bukan? Banyak usul yang belum matang dalam The C1-C6 Spectrum membuat kita cemas.

Kesimpulan saya yaitu The C1-C6 Spectrum adalah perumusan yang bukan saja belum matang tapi menyimpang dari teologia Alkitab. Jika dipandang dari aspek misiologi, perumusan ini sempit dan kurang berbobot sebagai rumus kontekstualisasi. Perhatian perumusan ini ada pada salah satu pokok saja, yaitu soal agama. Sebuah model kontekstualisasi harus bersifat utuh untuk mencakup seluruh kepentingan masyarakat.



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA