Ada hal-hal positif dan juga kekurangan dari sistem etika situasi.
1. Positif
Ada dua hal positif dari etika situasi.616 Pertama, karena cuma ada satu norma yang mutlak yaitu kasih, norma-norma konkret lain harus mengalah bila bertentangan dengan hukum kasih. Maka tidak ada konflik norma yang tidak bisa diselesaikan. Kalau di dalam sebuah situasi terjadi konflik norma, hal itu diselesaikan dengan jalan memakai ukuran kasih sebagai norma tertinggi. Di dalam etika peraturan konflik antar norma sering terjadi.
Etika situasi tidak membutuhkan norma-norma konkret. Cukup kasih akan mengarahkan kita untuk bertindak tepat. Sikap terhadap norma yang seperti ini merupakan reaksi balik yang keras atas sikap di dalam etika peraturan yang cenderung tidak memprioritaskan kasih. Menurut etika peraturan, norma-norma bila dijalankan dengan baik dengan sendirinya sudah merupakan perwujudan kasih. Orang bisa kejam dengan membiarkan kemalangan menimpa orang lain melalui norma yang dijalankan. Tetapi menurut etika situasi, kenyataannya tidak begitu. Norma-norma bisa dilakukan tanpa kasih (bdk. 1Kor 13:1-3). Dengan norma kasih, obyek dari tindakan selalu diperlakukan sebagai tujuan. Kita akan selalu memikirkan apa yang baik bagi obyek tindakan kita.
Kedua, pertimbangan atas situasi mendapat tempat yang amat penting dalam pengambilan sebuah keputusan. Benar salahnya sebuah tindakan tidak dinilai dari apakah itu sesuai dengan norma-norma konkret yang berlaku, melainkan apa konteks situasinya. Berbeda dari etika peraturan yang tidak mau tahu bagaimana situasi dari setiap keadaan, etika situasi mengajak kita untuk memperhitungkan situasi dari pengambil keputusan. Dietrich Bonhoeffer dalam contoh mengenai berbicara jujur menegaskan bahwa ada situasi-situasi dan aras-aras hubungan dengan siapa kita sedang berbicara, di mana sebuah ucapan bisa tetap benar walaupun sepintas kelihatan ia sedang berdusta.617 Dalam hal Rahab berbohong demi menyelamatkan kedua orang Israel pengintai (Yos 2), tindakan itu dibenarkan oleh Yakobus (Yak 2:25).
Dari sini kita diingatkan bahwa kita perlu mengerti permasalahan dengan baik dan seobyektif mungkin, supaya kita bisa menerapkan norma-norma secara pas.618 Kita tidak perlu segan untuk mencari tahu tentang suatu keadaan lebih banyak sebelum kita mengambil sebuah keputusan etis. Dengan demikian, kita menyadari sebelumnya rintangan-rintangan yang mungkin akan dihadapi, konsekuensi dari tindakan itu baik bagi kita maupun bagi orang lain.619
Jalan untuk mengerti sebuah situasi etis tidak selalu mudah. Selain kompleksitas sebuah situasi, pengetahuan dan pengalaman kita tentang suatu situasi sering amat terbatas. Disadari atau tidak, kita sering dipenuhi dengan subyektivitas seperti prasangka, minat dan kepentingan pribadi.620
2. Negatif
a. Kecurigaan yang Terlalu Besar untuk Posisi Banyak Norma
Fletcher terlalu memasang sikap negatif terhadap etika yang mempertimbangkan banyak norma. Padahal kalau kita menyimak kehidupan Yesus sebagaimana dicatat di dalam PB, kita mendapati bahwa meskipun Yesus penuh dengan kasih namun Ia bebas dari pelanggaran norma-norma moral. Di dalam pengadilan Romawi Pilatus sendiri sampai menegaskan ketidakbersalahan Yesus (Yoh 18:38b). Begitu juga Yesus dicobai dalam segala hal seperti kita namun tetap tidak berbuat dosa (Ibr 4:15). Yesus setia melakukan perintah-perintah Allah, namun Ia tidak bisa di bilang legalistik. Jadi, legalistik atau tidaknya seseorang tidak bergantung pada apakah norma yang diterimanya banyak atau cuma satu, melainkan pada bagaimana norma-norma itu diterapkan dalam kehidupan.621 Lagi, Yesus tidak mencela orang-orang Farisi karena ketaatan mereka terhadap hukum Taurat (Mat 23:23-24). MaksudNya adalah bahwa hukum Taurat harus dilakukan bersama dengan jiwanya seperti keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan, namun yang lain jangan diabaikan.622
b. Tanpa Pembuktian yang Memadai
Dalam menetapkan norma kasih sebagai yang tertinggi di atas norma-norma lainnya, Fletcher belum membuktikan kenapa norma tunggal itu harus kasih. Bagaimana dengan norma seperti keadilan atau kebenaran? Selain itu, apa tidak bisa ada dua atau lebih norma sekaligus memiliki kedudukan yang sama tinggi?623 Bandingkan dengan terang yang berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran (Ef 5:9)
c. Norma Kasih Juga Relatif
Etika situasi mengambil hanya satu norma sebagai yang mutlak. Supaya bisa relevan bagi setiap masalah, norma ini harus luas dan bisa mencakup berbagai situasi. Namun di dalam kelebihan ini sekaligus menjadi kelemahannya. Akibat terlalu luasnya aplikasi norma tunggal ini, norma kasih ini tidak boleh konkret. Ia harus terbuka untuk diisi dengan apa saja. Isi kasih tidak bisa didefinisikan sebelumnya. Kasih tidak secara otomatis memberitahukan apa yang harus dilakukan seseorang. Kalau begitu, akhirnya arti kasih menjadi relatif tergantung situasi.624
d. Teralu Antroposentris
Etika situasi dalam reaksi ekstrimnya terhadap etika peraturan terlalu menekankan manusia sebagai pusat tindakan. Alkitab tidak menempatkan kebahagiaan dan kebaikan manusia sebagai yang segala-galanya, karena manusia dijadikan menurut citra Allah. Tujuan terluhur dari manusia adalah Allah.625 Alkitab menekankan, yang utama adalah mengasihi Allah dengan segenap keberadaan kita, baru sesudah itu demi Allah kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Bdk. Mat 22:36-39). Idealnya, mengasihi orang lain harus sebagai akibat dari mengasihi Allah.
Keunikan kasih Kristen adalah dalam hal sumbernya adalah Allah.626 Kasih merupakan hasil dari hidup yang telah diperbaharui di dalam Kristus dan sebagai tanggapan atas kasih Allah (bdk. 1Yoh 4:11). Kasih dinyatakan sebagai suatu kewajiban demi meneladani Allah Bapa yang telah melakukan hal yang sama. Seperti Allah memberikan matahari atau hujan tanpa membeda-bedakan antara orang baik atau jahat, demikian juga kita tidak hanya didorong untuk berbuat baik kepada orang yang kita suka saja (bdk. Mat 5:43-48).
e. Terlalu Menekankan Keunikan Setiap Situasi
Etika situasi terlalu menekankan keunikan setiap situasi. Padahal setiap situasi obyektif memiliki struktur-struktur obyektif yang menuntut pelaksanaan kaidah-kaidah moral yang sama dan berlaku umum.627 Di dalam kehidupan sosial setiap anggota masyarakat melakukan kaidah-kaidah moral sesuai dengan posisi dan tanggung jawabnya. Dan hal ini sudah secara spontan disepakati. Misalnya, jika saya seorang karyawan saya memiliki kewajiban moral untuk tidak merugikan perusahaan tempat di mana saya bekerja, tidak soal apakah majikannya Kristen atau bukan. Membolos dari kerja jelas tidak bisa dibenarkan. Inilah yang dimaksud dengan kewajiban moral yang umum karena peran sosial. Namun kalau pada suatu hari isteri saya sakit mendadak dan membutuhkan saya mengantarnya ke dokter, saya perlu membolos walaupun dengan konsekuensi gaji saya dipotong, dimarahi atau lainnya. Tindakan bolos itu dalam situasi ini secara moral masih bisa dibenarkan, walaupun majikan belum tentu bisa menerima. Tidak perlu setiap kali menunaikan kewajiban moral, kita harus mempertimbangkan sebegitu rupa seolah-olah setiap kasus selalu menanti jawaban yang baru. Maka di sinilah hukum-hukum seperti dasa titah tetap mempunyai tempat yang tak tergantikan dalam pertimbangan keputusan etis kita.
Fletcher membenarkan etika situasi melalui kasus-kasus ambang batas. Padahal sehari-hari kita lebih banyak diperhadapkan dengan situasi-situasi umum yang cukup diputuskan sesuai dengan norma-norma yang ada. Maka tanpa mengingkari keunikan situasi, kita tetap membutuhkan norma-norma konkret untuk panduan tindakan kita.