1. Tidak mampu berpikir dengan baik
Hal ini perlu dimaklumi di mana banyak penganut aliran ini percaya kepada Tuhan tanpa pengenalan apapun tentang Tuhan yang disembahnya, bahkan ada yang percaya kepada Tuhan sebagai suatu pelarian. Sikap demikian itu pernah dikritik oleh S. Freud dalam bukunya The Future of an Illusion': "Agama hanya neurosis paksaan yang kolektif atau suatu ilusi ciptaan manusia sendiri supaya dapat hidup tenang."
Sebenarnya harus dibedakan antara hal-hal yang melampaui rasio (Locke menyebutnya dengan istilah Supra ratio) dan hal-hal yang diizinkan Allah untuk dapat dan boleh diselidiki dan diselesaikan rasio.
Dalam II Tim. 1:12 Paulus berkata: "Aku tahu kepada siapa aku percaya." Dengan ini bukan dimaksudkan bahwa sebelumnya Paulus tidak tahu apa-apa (seperti pertumbuhan pengetahuan kanak-kanak), karena sebelum menjadi orang Kristen Paulus adalah seorang ahli Taurat, penganut agama Yahudi yang fanatik dan karenanya ia mempunyai konsep tertentu tentang kekristenan - walaupun keliru. Setelah ia bertemu dengan Tuhan Yesus dan Roh Kudus menerangi hati dan pikirannya, barulah Paulus memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah, Tuhan Yesus, dll.
Walaupun pengetahuan Paulus didapat karena adanya karya Roh Kudus tapi di lain pihak hal itu juga menyangkut proses belajar Paulus sendiri, di mana dengan sendirinya meliputi proses berpikir, memakai rasio. Hal ini dapat dilihat melalui konteks yang sama (ayat 11) Paulus menyebut dirinya sebagai 'guru yang ditetapkan Allah'. Guru adalah seorang yang mengajar orang lain melalui proses berpikir. Karena pengetahuan material yang diperoleh melalui karya Roh Kudus dan studi formal yang dilakukannya, Paulus dipilih Allah menjadi guru. Di sini iman berhubungan dengan rasio. Iman yang benar selalu harus disertai pengenalan (pengetahuan) yang benar pula tentang siapa dan bagaimana Allah yang dipercayainya, karena penyembahan tanpa pengenalan adalah suatu kebodohan (bandingkan Kisah 17:16-34). Jadi kekristenan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan rasio secara sehat dan benar.
2. Konsep Kristen yang Keliru
Aliran ini berpandangan bahwa penafsiran orang-orang tentang Injil - termasuk hal-hal mengenai Allah, Roh Kudus dan karyaNya, manusia, dll. - amatlah subjektif. Tambahan pula di dalam diri manusia terdapat pergumulan, seperti yang dikemukakan Paulus dalam Roma 7:15, 18-19, 24, yaitu kecenderungan untuk berpikir jahat entah ketika dikuasai Roh Kudus maupun tidak. Karena itu jalan yang terbaik di dalam menyelami kehidupan sebagai orang percaya adalah tak mau berpikir sama sekali. Lebih tragis lagi ada di antara mereka yang mengutuk pikirannya bila pikiran tersebut terus berkembang.
Sebenarnya konsep Kristen yang demikian dipengaruhi faham dualisme dari Gnostik, sehingga mereka tak berani memakai pikirannya untuk memperkembangkan pengenalannya terhadap Allah. Hal ini membuat mereka tidak bisa menganalisa konsep pengenalan Allah dengan kenyataan hidup yang terjadi. Kekristenan yang demikian dapat dikatakan sebagai suatu pelarian saja, sebagaimana kritik yang dilancarkan Freud di mana ia melihat kebergantungan seorang manusia kepada Allah sebenarnya disebabkan oleh ketidakberdayaannya dan rasa takutnya kepada kekejaman alam dan ketidakperikemanusiaan sesamanya yang lain.
Dalam Alkitab Paulus dengan jelas mengemukakan pentingnya meninggalkan masa kanak-kanak dalam iman. Louis Leahy juga mengatakan: "Kebapaan Allah terhadap manusia sebagai umatNya bukan bertujuan menciptakan anak-anak yang patuh semata-mata ... melainkan memberikan eksistensi dan hadiah kasih kepada orang-orang yang mampu menerima yang mutlak". Maksudnya mereka yang dapat dengan sadar menghadapi segala kenyataan berdasarkan pikiran yang sehat.
Dalam buku 'Doa menurut Kitab Suci' Jean Laplace menyatakan bahwa orang yang bertemu Tuhan di dalam doanya adalah orang yang memikirkan dan membuka diri di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, Roh Kudus sebenarnya tidak mematikan rasio manusia, malah sebaliknya membukanya (bandingkan Kolose 2:20-23).
3. Adanya Rasa Takut yang Dalam Bila Berpikir
Pada butir 2 di atas pengabaian rasio disebabkan oleh anggapan bahwa rasio itu cenderung keliru/jahat. Di sini penyebabnya adalah rasa takut untuk jujur terhadap diri sendiri, karena fungsi dan sifat rasio adalah menyelidiki, menganalisa. Dalam hal ini Bergson mengatakan bahwa fungsi otak manusia bukan sekedar menampung data, melainkan mengadakan seleksi yang berkenaan dengan hal koreksi diri. Menemukan kekeliruan yang ada pada diri sendiri untuk dikoreksi memang menyakitkan dan itulah sebabnya karena segan menghadapi fakta, para penganut aliran ini tanpa sadar telah bersikap memusuhi rasio dengan dalih bergantung pada pimpinan Roh Kudus. Banyak pengalaman yang secara akal sehat harus dijalankan sekalipun itu tidak enak; tetapi oleh mereka hal tersebut diubah jadi pengalaman enak/tetap tidak enak, namun tidak perlu dijalankan dengan alasan adanya perintah Roh Kudus yang tidak bisa diselidiki rasio.
Alkitab tidak pernah menutupi kelemahan/kesalahan manusia, dengan maksud manusia menyadari keadaan dirinya yang berdosa dengan jujur dan kemudian bertobat, mengalami pembaharuan dan, koreksi dari Allah secara kontinyu.8 Alkitab juga menyaksikan dengan gamblang salah satu karya Roh Kudus yang penting adalah menyadarkan manusia akan dosanya serta mengerjakan pembaharuan dan pertumbuhan di dalam diri orang percaya (Yoh. 16:7-11, 14:26, Gal. 5:16-26), yang mana termasuk aspek emosi dan rasio.
4. Reaksi Terhadap Aliran Modernisme dan Rasionalisme
Di dalam sejarah gereja ada sebuah siklus yang hampir selalu sama terulang, yaitu aksi dan reaksi antara mereka yang menekankan fakta rasio dan mereka yang menentang hal tersebut dengan menekankan faktor perasaan, pengalaman, penghayatan, dll. Misalnya, setelah zaman Skolastik yang menekankan dogma-dogma yang kaku, muncul zaman Pencerahan yang mengagungkan rasio, setelah itu muncul zaman Pietisme dari orang-orang yang mengemukakan pentingnya kebutuhan jiwa/rohani di samping kebutuhan mengisi dan mengasah otak. Pada abad ke-20 ini pengaruh Modernisme dan Rasionalisme dapat dikatakan amat kuat, sehingga menimbulkan reaksi dari mereka yang anti rasio dan mengutamakan perasaan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Rasionalisme dan Modernisme makin ke luar dari rel yang seharusnya dijalankan, di mana mereka demikian mengagungkan rasio manusia bahkan mendewakannya (khususnya mulai zaman Descartes pada abad 16). Pada titik ini manusia telah menganggap dirinya pusat segala kehidupan dan keberadaan, sehingga Allah seolah-olah disingkirkan bahkan 'dibunuh'. Namun sebenarnya dalam keadaan demikian manusia telah kehilangan hak otonominya dan jatuh ke dalam sistem, demikian pendapat Horkheiner. Maksudnya, karena peninggian rasio yang berlebihan manusia jatuh dalam akal budi instrumentalis, di mana ia menjadi budak dari sistem yang diciptakannya sendiri.
Reaksi yang timbul akibat adanya aliran yang demikian meninggikan rasio sampai kelewat batas adalah munculnya kelompok orang yang menamakan diri aliran Non-Rasional, yang mengabaikan rasio. Mereka menilai manusia sudah amat kurang ajar jikalau berani memikirkan tentang Allah di dalam keterbatasan dirinya. Hal inilah yang menyebabkan mereka mematikan rasio sama sekali. Penulis berpendapat kedua-duanya keliru, karena yang benar adalah justru karena manusia terbatas, maka ia harus dengan bertanggung jawab menggunakan seluruh keberadaannya - termasuk pikirannya - untuk mempelajari segala sesuatu termasuk Allah dan karyaNya.
Selain itu kalau Alkitab diakui sebagai karya Roh Kudus yang diilhamkan dan dikanonkan melalui manusia sebagaimana mereka ada, maka itu dilakukan tidak dengan memperlakukan manusia sebagai robot, melainkan sebagai satu pribadi yang hidup dengan segala keunikan latar belakang dan kepribadian masing-masing penulis sifat pengilhaman yang organis. Rasio para penulis Alkitab berperan sepenuhnya di bawah pimpinan Roh Kudus, sehingga mampu menghasilkan karya yang tidak mengandung kesalahan. Jikalau Allah memakai rasio manusia dalam pengilhaman Alkitab, maka tentu Ia juga memperkenankan manusia untuk memakai rasio di dalam menafsirkan Alkitab.
Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus memerintahkan murid-muridNya - untuk mengasihi Allah dengan segenap keberadaan mereka, termasuk dengan akal budi mereka. Jika rasio dikesampingkan, maka akan ada kekosongan atau kekuranglengkapan pernyataan kasih mereka kepada Allah.
Jikalau penganut aliran Non-Rasional dikuasai ketakutan memanfaatkan rasio sehingga mengesampingkannya, maka pada saat yang sama mereka berada pada rel yang juga tetap keliru, yakni keliru menafsirkan fungsi dan manfaat rasio.