BERHALA, PENYEMBAHAN
BERHALA, PENYEMBAHAN [browning]
Pemujaan di sekeliling patung dewa atau dewi. Dalam agama Timur Dekat kuno patung-patung seperti itu merupakan hal yang lazim, namun tidak jelas apakah para penyembahnya menganggap patung itu sendiri sebagai ilah, atau apakah ilah yang dimaksud mengejawantah melalui patung tersebut sedemikian rupa, sehingga para penyembahnya menjumpai ilah mereka melalui patung tersebut. Tampaknya, pada waktu *pembuangan, ketika para penyembah Yahweh berjumpa dengan pemujaan asing dari *Babel, *nabi percaya bahwa bangsa tetangganya memang menyembah sepotong batu atau kayu (Yes. 46).
Dalam Kitab Keluaran larangan melawan penyembahan berhala sangat ditekankan, dan beribadah kepada Allah yang telah membebaskan mereka dari *Mesir merupakan bagian dari *perjanjian. Namun, sering kali bangsa ini tergoda untuk menyatukan ibadah kepada Yahweh dengan agama kesuburan bangsa *Kanaan. Pertandingan dramatis yang diadakan *Elia di Gunung *Karmel (1Raj. 18) antara Yahweh dengan *Baal menunjukkan beratnya tantangan (860 sM). Upaya *Yerobeam I sebelumnya (930 sM) untuk mencegah rakyatnya agar tidak pergi ke Selatan, ke Yerusalem, dengan mendirikan *patung anak lembu di *Betel, dan di *Dan (1Raj. 12:29) digambarkan sebagai kemurtadan yang menjijikkan, meskipun pada kenyataannya patung anak lembu itu mungkin dianggap sebagai takhta atau singgasana dewa yang tidak kelihatan, yang oleh sementara pemujanya mungkin dianggap Yahweh sendiri (Kel. 32:5).
Setelah pembuangan, celaan terhadap penyembahan berhala kurang nyaring (Za. 10:2), *monoteisme terjamin.
Paulus memperingatkan umat Kristen di *Korintus mengenai sejenis penyembahan berhala (1Kor. 10:14) yang mungkin memiliki beberapa bentuk ritus umum. Pada kasus daging yang telah dipersembahkan kepada berhala, nasihatnya adalah bahwa daging tersebut tidak berbahaya, karena apa yang disebut ilah-ilah itu adalah ketiadaan (1Kor. 8:4). Namun, akan merupakan *kemurahan hati bagi orang-orang Kristen yang masih lemah jika tidak memakan daging seperti itu (1Kor. 8:13). Penyembahan berhala juga digunakan secara metaforis untuk nafsu jahat (Kol. 3:5).
Penyembahan kaisar Romawi dan kewajiban ikut serta dalam upacara penyembahan berhala kemudian hari membuktikan adanya ujian berat bagi umat Kristen yang setia.
BERHALA, PENYEMBAHAN [ensiklopedia]
Sejarah agama PL menunjukkan, bahwa bagian terbesar sejarah itu mencatat ketegangan antara pengertian rohani konsep Ilahi dan ibadat, yaitu ciri khas kepercayaan sejati Israel, di satu pihak. Pada pihak lain, bermacam-macam perlawanan seperti keberhalaan, yg berusaha merendahkan nilai dan mematerikan kesadaran dan praktik agama nasional itu. Dalam PL tidak terdapat kejutan dari keberhalaan kepada ibadat yg murni kepada Allah, melainkan satu bangsa yg memiliki ibadat yg mumi dan teologi yg rohani, yg terus-menerus bergumul di bawah pimpinan pemimpin rohani yg dibangkitkan oleh Allah, untuk memerangi cobaan-cobaan dan kemelut-kemelut agamawi. Kendati semua ganjalan itu, mereka sering berhasil mempengaruhi bangsa itu. Keberhalaan adalah keruntuhan daripada norma, bukan tahapan awal yg diatasi secara berangsur-angsur dan dengan penuh kesulitan.
Mengamati bukti-bukti agama leluhur Israel, akan mendapati suatu agama mezbah dan doa, bukan keberhalaan. Harus diakui, ada peristiwa-peristiwa tertentu yg hanya berkaitan dengan Yakub, yg nampaknya seperti penyembahan berhala. Misalnya, Rahel mencuri terafim ayahnya (Kej 31:19). Peristiwa ini seperti melulu membuktikan, bahwa istri Yakub itu telah gagal melepaskan diri dari matra agama Mesopotamianya (bnd Yos 24:15). Namun keterangan arkeologi perlu dipertimbangkan, bahwa terafim itu disamping mempunyai makna agamawi juga mempunyai makna hukum, yakni yg memilikinya memegang hak waris atas harta kekayaan keluarga (*TERAFIM).
Hal ini sesuai sekali dengan kegelisahan Laban, yg nampak bukanlah orang beragama, untuk memperoleh terafim itu kembali. Keprihatinan Laban sesudah gagal menemui terafim itu kembali, menyisihkan Yakub dari Mesopotamia dengan perjanjian yg rumusannya disusun sangat hati-hati (Kej 31:45 dab). Misal yg lain ialah tugu Yakub (Kej 28:18; 31:13,45; 35:14, 20); sementara ahli berkata tugu-tugu itu adalah sama dengan batu-batu musyrik yg dikenal Kanaan. Penafsirannya bukan tidak dapat dielakkan. Tugu di Betel dihubungkan dengan janji Yakub (lih Kej 31:13), dan mungkin sekali termasuk dalam golongan tugu peringatan (ump Kej 35:20; Yos 24:27; 1 Sam 7:12; 2 Sam 18:18). Akhirnya, Kej 35:4, yg sering dianggap memperlihatkan keberhalaan Bapak-bapak leluhur, sebenarnya menunjukkan pada ketidaksesuaian yg diakui antara berhala dan Allah dari Betel. Yakub harus membuang benda-benda yg tak dapat diterima itu sebelum dia berdiri di hadapan Allah. Yakub menanamnya di bawah pohon besar sebab benda-benda itu terbuat dari logam, dan mungkin demikianlah cara yg lebih baik membuangnya.
Bobot bukti zaman Musa adalah sama. Cerita mengenai anak lembu emas (Kel 32) mengungkapkan tajamnya dan dalamnya perbedaan agama yg berasal dari G Sinai dari agama yg cocok dengan hati manusia yg belum diperbaharui. Jelas bahwa keduanya sangat bertentangan. Agama Sinai sungguh-sungguh menentang keberhalaan. Musa memperingatkan bangsa itu (Ul 4:12) bahwa penyataan Allah yg diberikan kepada mereka di sana tidak dalam bentuk 'rupa', 'supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung-patung' (ay 16). Inilah posisi Musa yg hakiki, seperti diberitakan dalam Dasa Titah (Kel 20:4) dan dalam apa yg disebut Dasa Titah 'ritual' (34:17), keduanya secara meluas diakui sebagai berasal dari zaman Musa oleh mereka yg mempersoalkan penanggalan Kitab Ul. Titah kedua adalah khas pada masa itu, dan kegagalan arkeologi menemukan satu pun patung Yahweh (padahal berlimpah-limpah patung berhala pada agama-agama lain) memperlihatkan betapa asasi dan pentingnya titah itu dalam agama Israel sejak zaman Musa.
Catatan historis dalam Hak, Sam dan Raj menyajikan cerita yg sama mengenai kemerosotan bangsa itu dari sifat-sifat rohaniah agama mereka. Kitab Hak, setidak-tidaknya mulai ps 17 dst, dengan jitu menggambarkan suatu masa pelanggaran hukum yg umum (bnd 17:6; 18:1; 19:1; 21:25). Kejadian-kejadian dalam ps 19 itu pasti bukanlah norma dari moralitas Israel. Inilah suatu kisah yg terus terang tentang suatu bangsa yg menurun martabatnya. Tidak ada alasan untuk menganggap cerita Mikha (Hak 17-18) seakan-akan menonjolkan suatu tahapan taat hukum tapi sekaligus tahapan primitif dalam agama Israel. Ini juga kemerosotan. Bukanlah tanpa arti bahwa penulis menyebut-nyebut masa itu sebagai masa pelanggaran hukum, apabila dia menceritakan kebaktian keberhalaan Mikha (17:5,6) dan 'penahbisan' secara takhayul seorang Lewi sebagai imamnya (17:13 = 18:1).
Tidak diberitakan dalam bentuk apa patung-patung Mikha dibuat. Ada pendapat mengatakan berbentuk anak lembu atau sapi jantan. Alasannya, di kemudian hari ditemukan di tempat kudus utara di daerah Dan. Pendapat ini mungkin, sebab adalah hal penting, bahwa apabila Israel berpaling kepada keberhalaan, mereka harus meminjam sarana-sarana lahiriah dari wilayah kafir. Itu memberikan kesan, bahwa dalam Yahwehisme pada hakikatnya ada sesuatu yg menghalangi, pertumbuhan bentuk-bentuk alami keberhalaan. Anak lembu jantan emas yg dibuat oleh Yerobeam (1 Raj 12:28) adalah lambang Kanaan yg terkenal; dan dengan cara yg sama, kapan saja raja Israel dan Yehuda jatuh ke keberhalaan, hal itu terlaksana dengan cara meminjam dan cara sinkretisme.
H. H Rowley (Faith of Israel, hlm 77 dst) menyarankan, supaya bukti keberhalaan seperti yg terjadi sesudah Musa hendaknya diterangkan, baik karena gerak hati pada sinkretisme, maupun oleh kecenderungan adat istiadat yg dihapuskan pada masa generasi yg satu, untuk timbul kembali pada generasi berikutnya (bnd Yer 44). Mungkin dapat ditambahkan pada hal-hal tadi kecenderungan menyalahgunakan sesuatu yg pada dirinya adalah sah, ump: pemakaian efod secara takhayul (Hak 8:27) dan penyembahan ular (2 Raj 18:4).
Bentuk utama keberhalaan ke dalam mana Israel jatuh, adalah pemakaian patung ukiran dan patung tuangan, asyera dan terafim (*PATUNG, *ASYERA dan *TERAFIM). massekha, atau patung tuangan, dibuat dengan melemparkan logam ke dalam tuangan dan membentuknya dengan suatu alat (Kel 32:4, 24). Disangsikan apakah patung itu demikian juga patung anak lembu emas buatan Yerobeam, dimaksudkan untuk mencitrakan Yahweh, ataukah dimaksudkan sebagai alas di atas mana Dia ditakhtakan. Analogi dari kerubim (bnd 2 Sam 6:2) menyarankan yg terakhir, yg juga diperkuat oleh arkeologi (bnd G. E Wright, Biblical Archaeology, hlm 148, untuk suatu gambaran dari dewa Hadad menunggang sapi jantan). Tapi kerubim itu tersembunyi di dalam Bait, padahal mungkin sekali patung anak-anak lembu kelihatan dengan jelas dan disamakan dengan Yahweh oleh umat.
Tugu-tugu dan asyera keduanya terlarang bagi Israel (bnd Ul 12:3; 16:21, 22). Di kuil Baal, tugu berhala Baal (bnd 2 Raj 10:27) dan tiang asyera berdiri di samping mezbah. Tugu itu dianggap sebagai mewakili kehadiran dewa dalam kuil, dan adalah obyek pemujaan akbar. Ada juga tugu yg diberi lubang (bercekung) untuk menerima (menampung) darah korban persembahan, dan kadang-kadang, seperti kelihatan dari permukaannya yg kena gosok, dictum oleh pemujanya. Asyera ada yg terbuat dari kayu, ini diketahui dari cara menghancurkannya dengan pembakaran (Ul 12:3; 2 Raj. 23:6), dan mungkin sekali kayu itu berasal dari pohon yg dianggap keramat dan yg senantiasa berdaun hijau, lambang dari kehidupan. Kaitannya dengan kesuburan wanita Kanaan membuatnya sangat memuakkan bagi Yahweh.
Polemik PL menentang keberhalaan, kebanyakannya dilancarkan oleh para nabi dan para pemazmur. Dalam rangka penentangan itu di kemudian hari Paulus menegaskan: berhala adalah omong kosong, namun demikian punya daya rusak rohani dari setan-setan yg harus diperhitungkan, justru berhala adalah ancaman rohani yg sangat berbahaya (1 Kor 8:4; 10:19, 20). Jelas, berhala pada dirinya adalah lompong hampa -- buatan tangan manusia (Yes 2:8); susunan dan tampangnya menyatakan kesia-siaannya (Yes 40:18-20; 41:6,7; 44:9-20); kebesarannya yg tanpa daya mengundang cemoohan (Yes 46:1, 2); hanya mempunyai penampilan luar kehidupan (Mzm 115:4-7). Para nabi menyebut mereka secara mengolok-olok gillulim (Yeh 6:4, dan sekurang-kurangnya 38 kali dlm Yeh. Kamus Koehler memberikan arti aslinya 'butir-butir tahi', dan 'elilim, dewa-dewa cilik).
Tapi dan kendati segala sesuatu takluk kepada Yahweh (ump Mzm 95:3), toh ada daya rusak roh jahat, dan praktik keberhalaan menjerumuskan manusia ke dalam hubungan maut dengan 'dewa-dewa'. Yesaya, yg terkenal paling keras mencaci habis-habisan keberhalaan, sadar akan kejahatan rohani ini. Dia tahu pasti bahwa hanya satu Allah (44:8) dan berhala adalah lompong hampa, namun tidak satu orang pun yg mengindahkan keberhalaan akan tanpa cedera rohani. Hubungan dengan dewa apa pun akan membutakan orang yg menghubunginya dengan kebutaan rohani yg mematikan hati dan akalnya (44:18-20). Dewa atau ilah apa pun yg disembah -- sekalipun hanya 'abu', toh itu penuh dengan bisa penipuan rohani (44:20). Siapa menyembah berhala ia akan sia-sia seperti berhala (Mzm 115:8; Yer 2:5; Hos 9:10). Oleh realita kuasa kejahatan di belakang berhala itu, maka dia adalah kekejian (to`eva) bagi Yahweh (Ul 7:25), suatu hal yg menjijikkan (syiqquts) (Ul 29:17), dan adalah dosa paling berat, yaitu perzinahan rohani, mengikuti berhala-berhala (Ul 31:16; Hak 2:17; Hos 1:2).
Namun demikian, hanya ada satu Allah, dan perbedaan yg tajam antara Yahweh dan berhala-berhala haruslah di nalar berkaitan dengan hidup, aktivitas, dan pemerintahan. Berhala mustahil meramalkan dan membuatnya menjadi kenyataan. Tapi Yahweh dapat (Yes 41:26,27; 44:7). Berhala seperti dongeng-dongeng tercecer dalam perjalanan sejarah, yg hanya bergaung dan sirna (Yes 41:5-7; 46:1, 2), tapi Yahweh adalah Tuhan dan pengawas sejarah (Yes 40: 22-25; 41:1, 2, 25; 43:14, 15 dab).
PB mempertegas dan memperjelas ajaran PL. Penalaran PB bahwa berhala-berhala adalah tidak berarti dan adalah bisa rohani yg berbahaya, telah dikemukakan tadi. Sebagai tambahan, Rm 1 mengulangi pandangan PL, bahwa keberhalaan adalah kemunduran dari spiritualitas sejati, bukanlah suatu tahapan menuju pengetahuan sejati akan Allah. Dan PB mengakui, bahwa bahaya keberhalaan betul-betul ada, sekalipun berhala itu bukan dalam wujud benda nyata: gabungan keberhalaan dengan dosa-dosa seks dalam Gal 5:19, 20 hendaknya dikaitkan pada kesejajarannya dengan keserakahan (1 Kor 5:11; Ef 5:5; Kol 3:5). Dalam rangka kutipan itu Paulus tentu memasukkan dan menekankan ketamakan seks (bnd Ef 4:19; 5:3; 1 Tes 4:6; 1 Kor 10:7,14). Yohanes, yg menekankan kegenapan akhir dan kesempurnaan penyataan dalam Kristus, mengingatkan bahwa setiap penyimpangan adalah pemberhalaan (1 Yoh 5:19-21). Berhala adalah segala sesuatu yg merampas kesetiaan manusia, padahal kesetiaan itu adalah mutlak untuk Allah.
Pentingnya sorotan Alkitab atas penyembahan berhala, menandaskan ajarannya tentang Allah Yg Esa (monoteisme), haruslah diperhatikan. PL dalam laporannya bahwa penyembahan berhala mengikat orang Israel, termasuk juga pengakuannya bahwa ada allah lain (mis Mzm 95:3), membuktikan bukan keberadaan nyata dari dewa-dewi, melainkan hal bahwa agama Israel benar-benar terancam oleh agama dan tuntutan agama lain itu. Baik PL maupun PB berpegang pada monoteisme di tengah-tengah agama dan kebudayaan agamawi umat Allah pada zamannya.
KEPUSTAKAAN. H. H Rowley, Faith of Israel, 1956, hlm 74 dst; A Lods, 'Images and Idols, Hebrew and Canaanite', ERE; 'Idol' dim J-J von Allmen, Vocabulary of the Bible, 1958; J Pedersen, Israel III-IV, 1926, hlm 220 dst, passim; J. B Payne, The Theology of the Older Testament, 1962, passim; G. E Wright, Biblical Archaeology, 1957, hlm 44, 115 dst, 147 dst; Y Kaufmann, The Religion of Israel, 1961, passim; 'Image', NIDNTT 2 hlm 284-293; J. M Sasson, The Worship of the Golden Calf, Ancient Occident, 1973, hlm 151 dst. JAM/AL