Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 > 
TINJAUAN BUKU 
 RAYMOND A. MOODY, JR., HIDUP SESUDAH MATI. JAKARTA: GRAMEDIA, 1979. 221 HAL.

Pernah dikatakan oleh seorang pendeta: "Yang belum pergi tiada dapat menceritakan, yang sudah pergi pun tidak dapat kembali untuk menceritakan". Apakah yang ia maksudkan? Bagaikan suatu teka-teki misterius ... "KEMATIAN" sungguh merupakan suatu pengalaman yang unik. Bagi yang belum pernah mengalami tak mungkin ia mampu menceritakan kisah tentang kematian, namun bagi yang sudah mengalami ia tidak kembali hidup untuk mengisahkan pengalaman tersebut!

Inilah suatu buku yang membahas masalah kehidupan di balik kematian secara cukup mendetail. Judul asli buku yang langka dalam jenisnya ini adalah LIFE AFTER LIFE. Konotasi kata "Kehidupan" yang disebutkan terdahulu menunjuk pada suatu gejala kelangsungan hidup setelah kematian tiba; sedang pengertian kata sama yang kedua adalah kehidupan yang sedang berlangsung selama hayat dikandung badan di dunia aktual sekarang ini.

Dalam buku ini penulis menitikberatkan ulasannya pada kehidupan mendatang setelah melewati kehidupan di sini pada masa kini. Beliau menyadari sejak semula bahwa menulis buku semacam ini memang mudah disalahtafsirkan, dan tampaknya agak kontroversial. Oleh karena itu sebagai seorang ilmuwan, dokter Raymond A. Moody Jr. berusaha mengemukakan hasil penyelidikannya secara objektif, dengan wawasan yang seluas mungkin namun dikemas dengan bahasa penjelasan yang amat mudah di cerna, sekalipun oleh pembaca kaum awam. Dr. Moody sama sekali tidak bermaksud membuktikan adanya fenomena kehidupan di balik dunia kematian, melainkan ia hanya meneliti, memperbandingkan dengan sejumlah sumber lain yang muncul lebih awal, mempertajam dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan lagi tajam serta membeberkan suatu penjelasan sehubungan tentang kematian dan gejala kehidupan yang menyusul sesudahnya. Cara pemaparan Dr. Moody juga unik. Beliau menyisipkan di sana sini kisah pengalaman nyata dari orang-orang yang pernah menembus tabir atau limit kematian sehingga sedikit demi sedikit penjel asan yang ia berikan sampai batas tertentu menguak rahasia kematian, dan semua ini memberi pandangan baru tentangnya.

Bermula dari uraian mengenai filsafat kematian, penulis selanjutnya dengan panjang lebar menyebutkan berbagai (lebih dari sepuluh) aspek gejala yang biasa mengiringi pengalaman mendekati kematian. Mereka yang sedang memasuki proses pengalaman mati pada umumnya menghadapi rangkaian fenomena yang sulit atau tak terlukiskan. Terkadang mereka mendengar suara percakapan dari orang-orang yang mengerumuni tubuh yang baru terpisah dari roh penghuninya. Mereka bahkan merasakan sensasi damai dan tenang pada tahap awal pengalaman mati, lalu memasuki semacam terowongan gelap dengan kecepatan tinggi. Apabila mereka bertemu dengan orang-orang lain yang lebih dahulu sudah berada di alam maut ataupun berjumpa dengan makhluk cahaya, maka sukar dilupakan peristiwa unik seperti ini. Dan yang paling mengesankan adalah kenyataan bahwa mereka yang telah mati namun kembali hidup memiliki konsep pandangan baru tentang kematian dan hal ini berpengaruh terhadap sikap hidup mereka di kemudian hari. Selain itu penulis mengupas beberapa persamaan antara pengalaman mati dengan rupa-rupa pandangan Alkitab, Plato, buku Tibet mengenai orang mati, Juga disebutkan pengungkapan spiritual Emanuel Swedenborg, seorang ilmuwan abad 17 yang begitu cocok dengan kisah individu-individu masa kini yang telah begitu dekat dengan kematian. Akhirnya Dr. Moody melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh orang yang kerap meragukan dan merasa berat menerima kisah-kisah pengalaman misteri sedemikian. Dengan cermat, sistematis dan lincah beliau memberikan banyak penjelasan ditinjau dari sudut pengalaman gaib, alami ilmiah dan psikologis.

Sebenarnya di kalangan para pakar dalam bidang kedokteran belum dipunyai definisi yang seragam tentang "kematian". Menyinggung perkara ini penulis memberikan tiga batasan yang cukup memadai. Pertama, tidak adanya tanda-tanda kehidupan secara klinis. Kedua, tidak adanya kegiatan gelombang otak. Ketiga, hilangnya fungsi-fungsi penting yang tidak dapat diubah. Agak disayangkan di sini penulis tidak meninjau definisi kematian dari sudut agama. Memang pendekatan yang dipakai adalah dari segi medis, namun sesungguhnya manusia tidak hanya terdiri dari tubuh materi yang berdarah daging. Maka salah satu kunci yang penting adalah mengetahui bahwa manusia juga memiliki unsur rohani yang tak mungkin terlepas dari Sang Penciptanya. Jadi demi untuk memberi pembahasan yang tuntas kita amat memerlukan wahyu dariNya.

Apa yang diupayakan oleh penulis sudah barang tentu menjadi suatu sumbangsih pemikiran yang amat berharga dalam memperlengkapi khazanah literatur yang demikian sedikit di bidang pengalaman mendekati kematian. Hal ini nyata tatkala kita melihat lembar daftar kepustakaan yang hanya berisi delapan buku. Dan lagi jangan lupa mempertimbangkan hal berikut. Jumlah pencetakan ulang buku saku ini sudah enam kali dalam kurun tempo delapan tahun. Ini membuktikan betapa besarnya minat baca terhadap apa yang masih amat langka.

 JOACHIM HUANG

C.S. Song, Sebutkanlah Nama-nama Kami: Teologi Cerita Dari Perspektif Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. xii + 270 hal.

C.S. Song, Allah Yang Turut Menderita: Usaha Berteologi Transposisional. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990. xvi + 380 hal.

Buku Sebutkanlah Nama-nama Kami memang sedikit lebih tebal dari buku aslinya dalam bahasa Inggris (Tell Us Our Names: Story Theology from an Asian Perspective. Maryknoll, NY: Orbis, 1984 xi + 212 pp.), namun jelas harganya jauh lebih rendah daripada yang asli. BPK Gunung Mulia agaknya berbeban memasyarakatkan buku-buku Song untuk konsumsi pembaca di Indonesia, oleh karena itu buku-buku ini perlu mendapat tinjauan khusus.

Seperti karyanya yang lebih awal, Song kali inipun tampil secara menarik dan nyaris orisinil. Kesepuluh esai dalam bukunya dilandaskan atas cerita-cerita rakyat dan dongeng-dongeng dari berbagai bagian dunia. Kisah-kisah tersebut ia padukan dengan eksposisi Alkitab menurut pengertiannya serta ia integrasikan dengan kepercayaan atau agama dari Timur. "Teologia Cerita" inilah yang ia artikulasikan sebagai suatu usaha supaya "orang Kristen memahami kembali iman percaya kepada Yesus Kristue di dalam dunia yang berbeda secara budaya, kepercayaan dan sosial politik" (h.xi). Song yakin bahwa "teologi rakyat" ini sanggup menjadi "kunci emas.... untuk membuka pintu batu agama-agama" (h. 207, 210).

Di dalam buku ini pada intinya, bisa dijumpai bagaimana Song memaparkan pengertian dasarnya tentang teologia kontekstual di Asia, suatu teologia yang menggemakan denyut hati Allah ke dalam hati masyarakat Asia. Di dalamnya sudah tercakup pengertian bahwa teologia ini memanfaatkan sejarah tertentu dari Asia untuk dimasukkan ke dalam rencana Allah. Intinya, konteks dan penyataan/wahyu menjadi menyatu di dalam suatu pendekatan yang Song sebut sebagai teologia yang memakai hati, mulut dan sendi-sendi, bukan teologia saintifik yang melulu mengandalkan kepala/otak.

Maka, kemudian, pengertiannya tentang misi juga berbeda dengan teologia yang tradisional. Baginya, misi Kristen tidak boleh diwarnai dengan gerakan memberi nama, melainkan mempelajari nama. Maksudnya, kebiasaan memberi nama baru kepada orang yang masuk Kristen pada waktu dibaptis merupakan kekeliruan dasar dari misionaris-misionaris Barat. Alasannya, bagi orang Asia, nama memiliki arti tertentu dan diberikan dengan sangat hati-hati. Oleh karena itu, tindakan mengganti nama (karena dianggap tidak kristiani itu) merupakan tindakan yang merebut identitas orang-orang Asia yang menjadi Kristen. Jadi inti daripada sebutkanlah Nama-nama Kami adalah himbauan Song agar orang Kristen di dunia ketiga mengklaim identitas mereka dan itu dimulai dari nama seseorang.

Menurutnya, misi Kristen lebih merupakan perkara kasih (love affair) ketimbang perkara kebenaran (truth affair), dan misi ini dilaksanakan oleh orang Kristen yang tidak "dihias sana sini", melainkan oleh mereka yang telah di tatoo secara memedihkan di dalam bahasa, budaya negara mereka, serta di dalam jeritan dan harapan bangsa mereka. Sebab itu, sebagai landasan dari pandangan itu, Song mengajak pembacanya menelusuri "teologia politik", di mana Yesus Kristus digambarkannya sebagai pribadi yang membawa kita pada pengertian tentang "politik salib". Maksudnya, salib telah menjadi dan akan selalu menjadi inti dari teologia politik, di mana politik demokrasi dan gerakan-gerakan pembebasan lainnya menurutnya merupakan refleksi dari politik Allah di dalam dunia ini melalui Yesus Kristus.

Di dalam Allah Yang Turut Menderita, Song memaparkan studinya tentang teologia transposisional yang ia yakini cocok untuk Asia, serta merupakan prerikuisit (=prasyarat) untuk mengkomunikasikan Injil ke dunia ketiga. Yang pertama-tama dominan ialah penolakannya akan teologia Barat, khususnya "Salvation history theology", yakni teologia yang memetakan sejarah keselamatan Allah dari Israel - Yesus sampai akhir zaman, sehingga Allah seakan-akan hanya bekerja di bagian tertentu dari dunia ini saja. Ini disebutnya sebagai "straight line theology". Menurut Song, yang benar adalah prinsip dispersi (=perserakan), yaitu bahwa karya keselamatan Allah tidak terpaku dan tidak harus mengacu pada sejarah Israel - Kristen di masa lampau.

Maka yang harus terjadi dalam teologia transposisional, menurut Song, adalah adanya: penggeseran dari satu tempat ke tempat lainnya atau satu periode waktu ke periode waktu berikutnya, translasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya, pergantian cara-cara penyampaian, dan inkarnasi ke dalam budaya lain. Yang terakhir tadi maksudnya adalah karena Allah telah menjadi daging (=manusia) di dalam Yesus, maka ia juga akan menyatakan diriNya di dalam setiap budaya. Maka, implikasinya adalah, Kristus yang berhidung mancung dari Barat seharusnya tidak di bawa ke Asia; di Asia sang Kristus harus berhidung pesek. Dengan demikian barulah terlihat bahwa Allah turut serta di dalam kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di luar orbit gereja Kristen.

Dengan lain perkataan, sentrisme Yahudi dan Kristen harus lenyap, karena sentrisme hanya akan membutakan kita dari kenyataan bahwa Allah sedang bekerja di dalam segala kondisi dan lapisan manusia. Maka, ramuan teologia transposisional Song adalah teologia yang direkayasa sepenuhnya dari bahan, pandangan, dan pengalaman orang Timur. Caranya adalah dengan berangkat dari penderitaan (salib) Kristus untuk melihat penderitaan Asia (yang kebanyakan tentu saja bukan orang Kristen). Dengan demikian, tugas daripada teologia di Asia ialah menemukan di mana Allah sedang aktif bekerja atau mengidentifikasikan diriNya melalui orang Asia yang menderita.

Untuk itu Song memulai analisanya dari Tiongkok. Ia melihat adanya persamaan antara nabi-nabi di Perjanjian Lama dengan pujangga-pujangga Tiongkok kuno yang mengeritik penguasa-penguasa yang lalim. Dari sini Song berkesimpulan bahwa Allah, sebenarnya juga berkarya di negara-negara lain di luar lingkup Kekristenan. Baginya, roh yang pernah membuka mata Buddha Gautama untuk melihat penderitaan manusia adalah sama dengan roh yang membuka mata orang Kristen untuk menatap pada Yesus Kristus. Berbarengan dengan itu, sambil mencela langkah-langkah misi Barat, Song menganggap Buddhisme lebih sukses di Tiongkok ketimbang Kekristenan.

Sekali lagi, karya Song kali inipun harus dihargai sebagai visinya yang rindu melihat munculnya suatu masyarakat yang penuh dengan belas kasihan dan yang diwarnai dengan suatu persekutuan kasih tanpa memandang pada perbedaan ras, warna kulit, status sosial, kredo dan seks. Namun sayang, Song, yang pernah menulis dari Asia (yakni Taiwan), sekarang menulis dari California, Amerika Serikat (setelah sebelumnya menetap di Geneva, Swiss). Yang menjadi pertanyaan adalah: berapa lama lagi ia mampu menulis tentang teologia transposisionalnya untuk Asia (atau dunia ketiga) sedangkan ia sendiri tidak hidup di tengah-tengah penderitaan mereka?

Dari kedua karya Song ini, saya mencatat beberapa keberatan yang bersangkut paut dengan sistim pemikiran Song. Pertama, karena Song selalu memulai dari konteks (yakni, keyakinan kepercayaan atau ideologi apa saja), tidak sulit baginya untuk mengadopsi dengan begitu saja keyakinan Buddhisme atau Marxisme selama ideologi atau kepercayaan lain cocok ke dalam kerangka pemikirannya. Yang dilihat dan yang diadopsi oleh Song adalah segi yang baik atau yang positif saja dari kepercayaan atau ideologi lain, sehingga baginya budaya atau agama/ideologi lain itu harus menyodorkan agenda bagi teologi dan bukan sebaliknya. Dengan pendekatan eklektik dan relativistik seperti ini tidaklah heran apabila Song menjurus kepada universalisme. Jadi, apabila Song menganggap budaya dan agama lain itu penting. Itu bukanlah karena ia mempunyai keprihatinan supaya Nil dikomunikasikan kepada segala makhluk. Baginya Injil atau wahyu merupakan bagian dari atau berada di dalam budaya dan agama lain.

Kedua, sebagai konsekuensi dari pandangan di atas, yang terlihat jelas dalam sistim pemikiran Song adalah adanya usaha untuk mengadakan redefinisi atau reformasi menyeluruh dari hampir semua struktur doktrin Kristen (misalnya, doktrin tradisional tentang wahyu, Kristus, keselamatan, gereja, akhir zaman; semuanya dirancang bangun kembali oleh Song). Tidak heran Song juga begitu antipati terhadap segala sesuatu yang berbau misi Kristen yang berpola tradisional. Baginya, misi Kristen harus direkonstruksi secara total supaya aplikasinya lebih humanistis dan pragmatis. Akibatnya, Injil atau kabar baik bagi orang berdosa supaya bertobat melalui percaya kepada Kristus menjadi kabur di dalam sistim Song.

Ketiga, Song mengingatkan bahwa tidak mungkin Tiongkok dapat "dimenangkan" melalui gerakan misi di dalam (yang dilakukan melalui pekabaran Injil). Agaknya ia terlalu meremehkan kesaksian orang-orang Kristen di sana; padahal, justru setelah buku-buku Song ini selesai dicetak (1982,1984), gerakan pekabaran Injil di Tiongkok bukan main pesatnya. (Sekarang bisa saja agak berhenti karena adanya penindasan terhadap mahasiswa-mahasiswa di Tien An Men, 1989). Saya kira terlalu prematur bagi Song untuk menilai "kegagalan' misionaris di Tiongkok yang mengabarkan Injil di sana selama kira-kira satu abad. (Bandingkan dengan agama Budha yang memerlukan tiga sampai empat abad untuk "memenangkan" Tiongkok).

Tetapi, sebenarnya, untuk apa memperbandingkan Buddhisme dengan Kekristenan di Tiongkok? Song agaknya begitu terkesan dengan kemajuan Buddhisme yang pragmatis itu di Tiongkok, Jepang dan beberapa negara Asia Tenggara. Tetapi, bukankah Buddhisme sendiri tidak terlalu berhasil di India (karena kebanyakan akhirnya beragama Hindu), sekalipun Sidharta Gautama sang Buddha dilahirkan di Kapilavastu di perbatasan India dan Nepal? Intinya, kurang berhasilnya Kekristenan di Tiongkok atau Asia tidaklah boleh semata-mata dianggap sebagai kesalahan total dari semua metode tradisional atau usaha-usaha misionaris, karena nyatanya apa yang terjadi di Tiongkok (khususnya sebelum peristiwa Tien An Men) merupakan hasil pekerjaan para misionaris. Bukankah Buddhisme sendiri tidak terlalu berhasil di negara-negara Barat?

Namun, terlepas dari segi setuju atau tidak setujunya pembaca mengenai detail-detail dari pandangan Song, harus diakui bahwa ia telah mempresentasikan suatu corak berteologi kontekstual yang menantang reaksi. Perpaduan yang dibuatnya antara cerita, konteks dan isi Alkitab boleh di kata sangat berani dan kreatif. Isinya jelas berbeda sekali dengan pendekatan teologia Barat yang tradisional yang pernah digambarkannya.sebagai teologia yang telah gagal membebaskan wahyu Ilahi dari "jubah" budayanya. Namun, seharusnya Song juga tidak sampai membiarkan "jubah" itu menutupi secara total wahyu Ilahi, supaya yang terlihat jangan hanya "jubah"nya saja.

 DANIEL LUCAS LUKITO

John N. Oswalt, The Book of Isaiah: Chapters 1-39. NICOT. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1986. xiii + 746 hal.

Meskipun buku tafsiran Yesaya ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan hanya mencakup Yesaya 1-39, buku karya Oswalt ini penting sekali untuk disimak karena buku ini menegaskan kembali bahwa kitab Yesaya itu satu, yaitu ditulis oleh satu orang yang bernama Yesaya dari Yerusalem (abad ke 7 seb.M.). Selain itu buku ini juga tidak terlalu sulit dimengerti oleh orang awam sekalipun karena Oswalt menuliskannya sedemikian rupa seperti halnya sebuah komentar devotional namun yang tetap dapat dipertanggungjawabkan kemahiran pengarang menggunakan bahan-bahan perdebatan yang kontemporer, serta gaya bahasa yang hidup ditambah dengan penggalian bahasa asli yang tidak diragukan lagi ketepatannya.

Tafsiran ini dimulai dengan introduksi yang panjang, yakni yang bersangkutan dengan: judul, latar belakang historis, kesatuan buku Yesaya, tanggal dan pengarangnya, situasi atau konteks kitab tersebut, kanonisitas, teks Ibrani, teologi, problema penafsiran, dan analisa tentang kitab itu. Ini disusul dengan bagian teks dan komentarnya yang mengikuti garis besar yang sudah dibuat oleh Oswalt sendiri. Tiap bagian tersebut dimulainya dengan terjemahannya sendiri dari teks Ibrani.

Menurut Oswalt, Yesaya yang berasal dari Yerusalem menyusun dan mengedit sendiri keseluruhan 66 pasal kitab tersebut. Hal ini tentu saja berlawanan dengan kebanyakan kesimpulan sarjana liberal yang membagi kitab Yesaya menjadi dua atau tiga bagian (sehingga ada istilah Deutero-Yesaya dan Trito-Yesaya). Bagi Oswalt kitab tersebut sendiri memiliki struktur pemikiran yang koheren sehingga kepengarangan tunggal merupakan argumen yang lebih kuat (h. 21, 35). Oswalt juga membuktikan bahwa kesimpulan yang selalu menjadikan perbedaan gaya bahasa antara fatal 1-39 dan Yesaya 40-66 sebagai indikasi kepengarangan yang ganda merupakan kesimpulan yang subyektif dan tidak tepat, karena antara lain disebutkan juga bahwa gaya bahasa seorang pengarang dapat saja berubah dengan berjalannya waktu dan perkembangan bahasa seseorang.

Beberapa bagian yang menarik dari tafsiran Oswalt adalah misalnya yang berkenaan dengan perdebatan Yes 7:14, yaitu soal apakah 'almah berarti "perawan" atau "wanita muda". Perdebatan yang digariskan oleh Oswalt menarik untuk diikuti sebab ini menyangkut masalah kebenaran tentang kelahiran Kristus melalui seorang perawan, Juga mengenai teks-teks mesianis, Oswalt menyimpulkan bahwa Yes 9:1-6 merupakan nubuat ke depan yang berkenaan dengan keilahian Kristus.

Tafsiran ini jelas sangat berguna sebab Oswalt menyertakan bagian yang sangat berguna bagi orang yang melayani pekerjaan Tuhan, yaitu bagian aplikasi. Misalnya, Yes 13:7-8 merupakan contoh aplikasi yang menarik (h. 305). Selain itu metode eksegese Oswalt juga sangat baik. Hanya saja, kadang-kadang ia beralih terlalu cepat ke bagian aplikasi tanpa mengembangkan bagian tertentu secara lebih mendalam. Misalnya, Yes 2:4 dan Yes 5:8-17 merupakan bagian yang bisa dikembangkan lebih baik.

Sekalipun demikian tafsiran ini layak dimiliki serta dapat dijadikan pegangan untuk memperkaya pengenalan kita akan firman Tuhan. Pendeta dan hamba Tuhan yang rindu menggali kitab Yesaya secara mendalam patut melengkapi perpustakaannya dengan tafsiran ini, oleh karena banyak informasi yang berguna serta refleksi yang mendalam terkandung di dalamnya.

Daniel Lucas Lukito



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA