Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 4 No. 1 Tahun 1989 >  KEUNIKAN PERANAN ORANG TUA DIDALAM PENDIDIKAN KRISTEN > 
I. PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK 

Dalam keadaan wajar (misalnya anak bukan yatim piatu, anak tidak dipelihara kakek nenek atau di"serahkan" pada pembantu rumah tangga), orang tua merupakan orang yang paling penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pembentukan dan penularan kepribadian terjadi pada seorang terutama pada masa mudanya. Yang dimaksudkan masa muda di sini bukan saja pada masa kanak-kanak, tetapi juga pada waktu seorang masih balita, bayi, bahkan pada waktu ia masih janin di dalam kandungan.

Beberapa minggu sebelum seorang dilahirkan pun proses pembentukan kepribadiannya sudah dimulai. Obat-obatan yang dimakan si ibu; rokok yang dihisapnya, dan keadaan emosinya, akan mempengaruhi kepribadian anaknya meskipun ia masih janin (ibu yang perokok berat, ibu yang pemarah dan suka berteriak-teriak pada bulan-bulan akhir kandungannya - misalnya karena suaminya menyeleweng pada waktu itu - akan memberikan pengaruh yang negatif pada kepribadian anaknya). Jadi terdapat pengaruh psikis di samping tentunya pengaruh fisik.

Setelah anak itu lahir dan mulai dibesarkan, sikap, tingkah laku dan pendapat orang tuanya padanya membentuk kepribadian dasarnya. Untuk ini kita sangat diingatkan pada Amsal 22:6. Gereja Roma Katolik sadar akan pentingnya pendidikan pada masa muda ini hingga mereka menginvestasikan banyak dana dan usaha dalam pendidikan anak. Psikologi juga sadar akan masa kritis pembentukan kepribadian seorang sebelum ia mencapai umur kira-kira delapan tahun. Bila setelah meninggalkan masa kanak-kanak seorang berkepribadian tidak sehat, sangat sukar mengubahnya menjadi berkepribadian sehat kelak.

Faktor-faktor apakah yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kepribadian sehat itu?

A. Agape sebagai dasar

Dalam mendidik anak, kita mencontoh Kristus yang mengubahkan dan mendewasakan kepribadian kita. Kasih Allah (Agape) yang tanpa syarat (lihat Unconditional Love ini dalam Roma 5:6, 8, 10) seperti diperintahkan dalam Yoh. 13:34 menjadi dasar perlakuan kita pada anak kita. Dalam hubungan kita dengan anak kita, kita juga ingat dan berusaha terus menerapkan definisi Agape - "menghendaki, merencanakan, dan melakukan yang baik bagi kekasih kita (dalam hal ini anak kita)."

Kasih Agape inilah yang dapat menyebabkan basic trust (rasa aman dasar) tumbuh dengan subur dalam diri anak kita. Agape yang menumbuhkan basic trust ini mengharuskan kita hangat pada anak kita, banyak menjamah dan memeluknya pada masa kanak-kanaknya, memperhatikannya, serta selalu menghargai dan respek terhadap ciptaan dan peta Allah ini. Tanpa adanya dan berkembangnya basic trust yang memadai pada masa pembentukan kepribadiannya, seorang akan mengalami banyak problema dalam hidupnya. Kepribadiannya akan menjadi parah.

Seorang anak balita yang selalu dipukul, dimaki-maki, diacuhkan, dan dihina, tidak akan mempunyai basic trust yang memadai. Ia tidak akan "kerasan" hidup dalam dunia ini, ia akan memusuhi dan memandang manusia lainnya dengan curiga atau takut, ia akan "melukai" orang lain agar tidak "dilukai" lebih dulu, ia akan merasa tidak berharga (dengan segala macam problema yang mengikuti "minder" ini) dan menjadi musuh bagi dirinya sendiri, ia akan mempunyai kecemasan yang tinggi, ia tidak tahan dan takut pada stress yang wajar hingga tidak dapat sungguh-sungguh hidup efektif dan berprestasi. Bila ini terjadi pada seorang, hanyalah Kristus yang dapat memperbaiki hidup dan kepribadiannya.

B. Disiplin dan Tanggung Jawab

Seorang harus hidup berdisiplin dan bertanggung jawab agar berbahagia. Disiplin ini paling mudah ditanamkan dan melekat pada masa kanak-kanak. Dalam menanamkan disiplin dan tanggung jawab pada anak, kita ingat bahwa Alkitab mengajarkan dan memerintahkan kita untuk juga menggunakan hajaran (bukan ajaran saja) bila seorang kanak-kanak memerlukannya (Amsal 13:24; 22:15; 23:13, 14; 29:15; Ibrani 12:5-10). Banyak ahli pendidik tidak menyetujui sama sekali penggunaan pukulan, tetapi kehendak Allah jelas dalam hal ini. Tentunya kita harus bijaksana dalam menggunakan hajaran (misalnya, tidak bila anak kita "nakal" kreatif tetapi bila ia nakal memberontak dan pemalas).

Ada juga batasan ketika menggunakan hajaran untuk mendidik. Kasih agape secara mutlak harus tetap ada dan aktif; misalnya tidak menghajar sebagai pelampiasan emosi karena kita sedang frustrasi atau marah. Kita tidak boleh menginginkan kecelakaan dan "kerusakan" anak kita itu (Amsal 19:18) tetapi selalu menghendaki dan bertindak demi kebaikan anak kita itu (lihat definisi agape di atas).

Dalam menghukum anak kita, yang kita benci dan serang adalah tindakan dan sikapnya yang berdosa, bukan anak kita itu (kits tidak berkata: "Anak, brengsek, pendusta; mati saja kau!" tetapi "Papa tidak senang Andi berbohong seperti itu.") Sama seperti Allah membenci dosa kita tetapi mengasihi kita orang berdosa, kita tetap mengasihi anak kita apapun sikap dan. perbuatan dosanya. Segera setelah kita menghukumnya, kita memeluknya. Kita selalu menerimanya penuh dan tanpa syarat. Agape ini akan menghindarkan sakit hati dalam diri anak pada waktu kita menghajarnya (Kolose 3:21; Efesus 6:4).

Tanpa hajaran dalam agape pada masa kanak-kanak, seorang tidak akan "yakin" bahwa nyontek - dan kelak korupsi - tidak boleh dilakukan, bahwa menghadapi lampu merah ia harus berhenti, bahwa PR harus dikerjakan, bahwa hutang harus dibayar, dan bahwa meja atasan tidak boleh di gebrak balik. Hati nuraninya juga tidak akan terbentuk secara peka dan lengkap.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA