Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 > 
WAWANCARA DENGAN CHARLES CHRISTANO 
 APA KOMENTAR/TANGGAPAN ANDA TERHADAP ORASI ILMIAH CHRISTIANTO WIBISONO?

Saya tidak tahu apakah yang disampaikan Chris bisa dipahami secara baik oleh hadirin mengingat spektrumnya yang begitu luas. Dia berbicara tentang analisis Huntington dan Fukuyama yang memang kontras. Bagi orang awam -- saya tidak bicara tentang civitas academica -- orasi itu mungkin sulit dimengerti. Namun, saya pikir masukan dia sangat penting agar wisudawan dan mahasiswa teologi memiliki wawasan yang luas bahwa sosial politik, ekonomi mempunyai matriks yang penting dan erat kaitannya dengan lahan pelayanan. Tanpa menyadari keterkaitan itu, pelayanan kita cenderung hanya berdimensi spiritual tanpa pemahaman yang utuh bahwa manusia masih perlu hidup di dunia secara konkret. Bagaimanapun juga faktor ekonomi sangat relevan untuk menunjang kehidupan bergereja dan bermasyarakat.

Kita melihat acapkali gereja berpandangan negatif terhadap uang dan sistem ekonomi pada umumnya. Itulah sebabnya bahasa yang dipakai Chris sangat penting dan relevan. Kita jangan mengukur kemajuan pembangunan spiritual dari tempat ibadah yang penuh sesak. Pembangunan spiritual tidak boleh diidentikkan dengan pembangunan sarana fisik. Tersirat dalam apa yang dia katakan bahwa meskipun pembangunan tempat ibadah menggebu-gebu, tetapi apakah itu seiring dengan pembinaan mental spiritual. Indikatornya? Lihat saja korupsi, pungli masih merajalela. Jadi, itu tantangan bagi masyarakat agama yang dia maksudkan -- karena dia juga mengambil sikap. Pada akhirnya kalau bicara soal etis, semua agama pada dasarnya mempunyai benang merah yang sama. Jadi dia addressing religion secara generik, tidak secara khusus Kristen. Saya prihatin melihat sesuatu yang sungguh-sungguh hilang dalam pembangunan spiritual kita. Kalau kehidupan agama di Indonesia seperti apa yang kelihatan, mengapa ada hal-hal yang enggak betul. Itu merupakan beban atau panggilan bagi semua lembaga agama, khususnya Kristen, bagaimana memberikan bekal kepada para teolog atau calon teolog supaya betul-betul dapat membina kehidupan moral spiritual. Jadi bukan hanya sloganistis.

 BERKAITAN DENGAN ERA GLOBALISASI YANG DISOROT CHRISTIANTO. BAGAIMANA ANDA MELIHAT TANTANGAN GEREJA KHUSUSNYA DI ERA PERDAGANGAN BEBAS NANTI?

Saya melihat bahwa banyak negara belum siap. Walaupun itu tidak disinggung oleh Chris. negara adi daya seperti Amerika sendiri keteter. Ia perlu mengadakan percakapan dengan Uni Lropa yang makin galak, khususnya Perancis yang tidak senang dengan sikap Amerika yang mau jadi polisi dunia, main gebrak dalam subsidi pertanian. Amerika sudah membentuk NAFTA (North Atlantic Free Trade Association) untuk memperkuat diri. Namun menghadapi Eropa yang sudah bersatu, ia tetap merasa terancam Untuk itu Amerika beraliansi dengan Asia Pasifik membentuk APEC, dengan harapan bahwa apa yang menjadi ramalan Naisbit dan Toffler bahwa pacific rim akan menjadi the fiNure (Jepang, Korea. Hongkong, Taiwan. RRC. Singapura. Malaysia. Indonesia). Amerika saja merasa perlu mempersiapkan diri. Tetapi saya khawatir kita (Indonesia dan Asia Tenggara) menjadi bulan-bulanan. Yang dikambinghitamkan Soros terus.

Apa yang implisit dikatakan Chris bahwa kalau kita tidak mau mengaku dan membenahi penyakit kita sendiri kita tidak akan ketolongan. Yang tidak sempat ia ucapkan secara eksplisit yaitu analisis saya -- apakah kondisi sine qua non supaya orang sembuh? Orang mengatakan ke dokter, beli obat. dsb. Saya katakan, bukan! Kondisi sine qua non adalah mengaku sakit. Karena orang yang sakit tetapi tidak mengaku sakit disediakan 200 spesialis pun tidak akan sembuh. Yang dikhawatirkan yaitu arogansi nasionalisme yang berlebihan. Reaksi Mahathir (ia secara halus menggunakan Alatas) itu bukan mewakili ASEAN tetapi tanpa disadari sepenuhnya adalah bentuk arogansi nasionalisme. Itu wajar. Kalau orang sudah tidak punya jiwa nasionalisme juga payah. Namun di era globalisasi sekarang. kita harus makin terbuka, siap tidak siap. Kita dipaksa untuk bersaing dengan dunia. Nah, dengan negara jiran saja kita kedodoran. Pendapatan per kapita dengan Malaysia kita jauh tertinggal, belum lagi Singapura lebih lagi. Taiwan saja menolak dianggap negara yang sudah maju karena implikasinya ia akan menjadi non favored nation. Tetapi Indonesia bicaranya, "Kami sudah hebat, maju." Ini berbahaya. Ini juga yang menimbulkan sikap bank sentral membuat kurs lepas mengambang Akibatnya fluktuasi naik turun, pengusaha jantungan.

 KEMBALI PADA PENGARUH TERHADAP GEREJA SECARA KHUSUS, BAGAIMANA PREDIKSINYA?

Saya mengatakan ini dulu, karena kalau lingkungan tidak siap, lebih-lebih masyarakat Kristen. Kita harus mengadakan otokritik, refleksi, mau tidak mau kita harus menyadari bahwa walaupun kita bukan berasal dari dunia, kita masih ada dalam dunia. Sampai batas tertentu kita jangan sombong. Kita adalah produk kehidupan ini. Buktinya, ya itu, kita boleh khotbah penginjilan, pertobatan, tetapi kekristenan kurang komitmen (Christianity lack of commitment). Akibatnya kesaksian di luar kebaktian brengsek, padahal anggota jemaat kita hidupnya di sana, di luar gereja. Kalau dunia luar saja belum siap, apalagi gereja, makin kurang siap. Lebih-lebih gereja-gereja Injili yang menganggap hal-hal yang begini bukan urusan kita. Politik itu kotor. Ekonomi itu kotor. Saya pikir sikap begitu malah pongah..

 JADI BAGAIMANA GEREJA SEHARUSNYA MENGANTISIPASI PERUBAHAN PARADIGMA ITU?

Gereja mau tidak mau harus mulai dengan kejujuran, kita sekarang posisinya di mana? Sumber daya manusia (SDM) kita kurang. Tolong cari teolog-teolog mana yang menguasai semua bidang (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb.) Tidak ada `kan? Saya tidak takut karena kita punya resource person, semacam Chris, Kwik, Parapak, Sahetapy dll (Christianto Wibisono, Kwik Kian Gie, Jonathan Parapak, J.E. Sahetapy-red). Persoalannya, apakah gereja mau membuka diri untuk memanfaatkan orang-orang itu? Atau gereja menganggap, jangan dipanggil, nanti gereja dirusak. Buat saya, SDM kita sangat minimal. Saya malah sering menggunakan bahasa yang ngeledek. Salah satu hasil pembangunan yang tampak sekali adalah kemacetan lalu lintas di mana-mana. Di jalan tol saja bisa macet. Coba perhatikan! Yang bikin macet itu kendaraan ekonomi: Kijang, Suzuki Carry, Daihatsu. Jarang BMW, Mercy, Volvo atau nanti Audi karena itu mobil mewah. Jumlahnya sedikit.

Saya mau lihat begini, orang Kristen sering dilihat sebagai kelompok minoritas. Kita tidak perlu tersinggung. Itu kenyataan. Brengseknya, kita sudah minoritas, kualitas kita -- maaf -- kedodoran. Itu sama saja berhimpit di perlombaan jalan bebas hambatan, open market, dengan modal kelas ekonomi. Sementara yang lain berkualitas bagus. Dalam konteks ini, kelompok lain jauh lebih siap. Lihat saja kongres salah satu ormas pemuda beberapa waktu lalu: perebutan kekuasaan. Hanya yang terbaik yang bisa memimpin. Sementara dalam gereja juga terjadi persaingan kuasa -- HKBP misalnya -- ini `kan memalukan. Gereja Injili juga tidak lebih baik, terjadi power struggle, perpecahan. Dalam keadaan begini, kita sudah jumlahnya minoritas; kualitas kita Kijang atau kelas ekonomi, sedangkan mereka mendapat dukungan orsospol tertentu -- sehingga muncul kritik bahwa independensi dikorbankan demi kursi. Yang saya maksud adalah lembaga agama banyak tergoda untuk main mata dan kurang independensi. Anda lihat, gereja sudah minoritas, kualitas kurang, ditambah lagi kurang tahu dan barangkali enggak mau tabu soal begini. Bagaimana mau mengantisipasi?

 APAKAH ITU BERARTI GEREJA HARUS MERUMUSKAN ULANG PEMAHAMAN TEOLOGINYA KHUSUSNYA BERKAITAN DENGAN TRITUGAS PANGGILAN GEREJA?

Betul, visi gereja memang tidak pernah berubah. Tritugas tidak berubah. Namun karena sikon berubah, visi harus diperjelas, dipertajam supaya bisa menjawab tantangan zaman secara mengena. Dalam hal ini erat kaitannya dengan misi. Oswald Sanders mantan ketua OMF (Overseas Missionary Fellowship-red) mengatakan dalam Christian Leadership bahwa vision without mission makes visionary. Saya menerjemahkan begini: Visi tanpa misi menjadikan kita tukang mimpi. Lebih lanjut, Mission without vision makes a drudgery. Saya menerjemahkan bebas: Misi tanpa visi menjadikan kita kuli. Kerja menggerutu enggak karuan. Kalau dilihat bos baru senyum. Yang kita perlukan adalah sebelum punya misi harus punya visi. Saya mengatakan, vision with mission disertai komitmen yang jelas.

Banyak orang Kristen bukan kurang pandai tetapi kurang komitmen, kurang kesetiaan, keuletan. Kita harus refleksi ulang. Saya kuatir gereja dalam meningkatkan SDM jadi one sided. Artinya yang terus ditingkatkan adalah teolog-teolognya (S1 ke S2, S2 ke S3 tetapi lupa bahwa orang boleh sangat pandai, tetapi sepandai-pandainya ia terbodoh di bidang yang tidak dikuasainya. Saya kuatir kalau teolog terus di pacu jadi pintar, masyarakat gereja yang jutaan ini cuma jadi raksasa tidur. Padahal mereka harus dikerahkan. Saya ngomong ini melihat kejadian anggota gereja yang pindah ke gereja lain. Itu bukan masalah rumput hijau tetapi karena potensi besar tidak disalurkan. Gereja ham; jadi pentas permainan profesional.

 BUKANKAH ITU BENTUK PROFESIONALISME?

Saya senang profesionalisme, tetapi kecenderungan sekarang profesionalisasi dalam hal profesi. Misalnya kita membentuk panitia fund raising. Mengapa pendeta yang harus memimpin? Loh, kita punya banyak ahli ekonomi. Pada waktu mereka membicarakan. pendeta bukan memimpin, tetapi mendampingi supaya jalannya benar, teologi benar, jangan asal dapat banyak.. Contoh lain, tentang pengkaderan manajemen. Sekarang malah aneh, pendeta mengambil studi Magister Manajemen atau MBA. Saya tidak anti, tetapi apakah kita tidak bisa memanfaatkan ahli ekonomi dalam gereja. Kita undang mereka untuk memberikan seminar tentang manajemen nir laba. Tugas teolog mendampingi, mengisi apa yang berbahaya kalau diterapkan begitu saja. Tujuan saya ngomong ini adalah gereja harus melek dan memanfaatkan potensi yang ada dalam Tubuh Kristus: Ya, para ekonom, pedagog, sarjana hukum, para manajer.

 KITA MELIHAT KECENDERUNGAN DUA EKSTREM DALAM GEREJA. DI SATU SISI ADA GEREJA YANG TERLALU MENEKANKAN ASPEK HORISONTAL. GEREJA LAIN DI POSISI SEBALIKNYA TERLALU MENEKANKAN ASPEK VERTIKAL. BAGAIMANA KEA

Kalau ditanya itu Salah siapa saya mau lebih ekstrem dalam peribahasa Inggris yang mengatakan: To error is human, to forgive is divine. Orang Indonesia lebih pintar: Bersalah itu manusia, tetapi lebih manusiawi tidak mengaku bersalah (biasanya para pemimpin). Bagi pemimpin yang vested interest dan mau bertahan terus. yang paling manusiawi yaitu cari kambing hitam. Di tengah masyarakat kita banyak kambing hitam berkaki dua. termasuk dalam gereja. Pendeta can do no wrong, pendeta beyond criticism. Ini enggak benar, ini kultus individu. Kita jangan melupakan imamat rajawi. Orang-orang awam pun berhak ikut menggembalakan, menegur dan mengoreksi. Kalau itu terjadi, ketimpangan yang tadi akan di eliminir. Pendeta yang Injili mengatakan itu sekuler, bukan bidang kita namun jemaat yang peduli terhadap pendidikan, keadilan, hak buruh. mau ngomong tidak diberi tempat, malah dipecat. "Luh tahu apa, saya pendeta." Nah orang-orang macam ini enggak bakalan betah di gereja Injili. Ia akan pindah. Kalau mereka pindah, gereja Injili akan makin vertikalis. Gereja yang horisontalis akan makin horisontalis karena diisi orang-orang begitu.

Bagaimana mengatasi itu? Saran saya hubungan antara gereja harus mengalami liberalisasi. Kalau ada pasar bebas, komunikasi makin bebas, kenapa gereja status quo? Implikasi omongan saya ini macam-macam. Saya berani mengatakan bahwa jemaat awam lebih siap beroikumene daripada pemimpin gereja. Kalau lembaga Injili termasuk STT membiarkan jurang itu terus menganga, makin lama jurang keterpisahan kelompok vertikalis dan horisontalis akan bertambah lebar. Dalam dunia pasar terbuka, mereka bergadengan tangan tetapi gereja makin one sided. Itu dunia rohani yang hanya dinikmati minggu pagi. Beranikah gereja Injili addressing themselves tentang dunia riil di mana kita yang beriman harus bergumul menghadapi tantangan? Untuk itu kita harus tahu politik, perbankan, pasar modal, valas. Bukan berarti pendeta harus tahu semua tetapi manfaatkan dong para pakar.

Tetapi itu tentu tetap berpegang pada teologi yang benar dan tidak meninggalkan ortodoksi seperti yang gejalanya mulai terlihat dalam gereja yang oikumenikal.

Jelas. tidak bisa tidak. Kita tidak bisa tidak harus siap dalam menghadapi banjir informasi. Generasi sekarang menjadi well informed Gereja boleh bilang kamu jangan ini itu, tetapi anak-anak terus kebanjiran informasi. Saya mau tegaskan bahwa well informed tidak sama dengan siap menghadapi tantangan karena well informed belum tentu bisa mengintegrasikan semua informasi yang diterima. Orang bisa jadi bingung, terlalu banyak filsafat masuk. Kalau anak muda tidak dipersiapkan untuk mempunyai filter firman Tuhan yang benar, kacamata yang benar untuk melihat apa yang terjadi di sekitar kita, habislah. Maka fungsi STT Injili jadi penting. Harus in touch with the world tetapi bukan worldly. Apa yang dikatakan Paulus, biarlah kita memandang kepada Kristus yang ada di atas. Saya mau menambahkan -- tidak ada dalam firman Tuhan -- bahwa "kaki harus menjejak di bumi" supaya kita jangan terbang di awang-awang. Kadang-kadang terjadi hal yang ironis. Ada gereja yang sangat menekankan karunia Roh kudus dan karunia rohani. Seringkali mereka lebih Injili daripada main line denominations. Mereka mengatakan di dunia hanya mampir minum, tetapi kenyataannya makin materialistis dengan teologi suksesnya. Ini 'kan aneh. Tidak sinkron.

 KEMBALI KE SOAL PERDAGANGAN BEBAS, APAKAH IMBAS ATAU PENGARUH LANGSUNGNYA TERHADAP GEREJA?

Gereja mau tidak mau makin dilanda sekularisasi yang kencang. Karena itu masalah moral etis menjadi benteng yang perlu diperkokoh. Dan itu tidak cukup secara verbal saja. Yang saya maksud moral tidak hanya satu bidang, tetapi mencakup segala bidang: bisnis, pendidikan. pergaulan, dsb. Sebagai contoh, jabatan di gereja. Maaf, banyak hamba Tuhan yang tidak bermoral. Sumpah wisudawan mengatakan ini itu yang muluk-muluk. Namun, seringkali kalau dipanggil melayani, pertanyaannya: fasilitas apa yang saya terima? Tentu saja hamba Tuhan butuh rumah, kendaraan, dsb. Namun yang benar dong. Kalau jemaat saya yang punya mobil Kijang saja bisa dihitung, mengapa saya minta Mercy. Itu 'kan aneh. Sopir yang menjemput dan mengantar saya minta maaf karena mobilnya tanpa AC. Saya bilang tidak apa-apa. Kalau orang lain bisa tanpa AC, kenapa saya tidak. Ini 'kan masalah moralitas. Masalah moralitas jangan dipersempit dalam hal ekonomi saja. Politik lebih lagi. Lah Wong gereja Saja main politik.

 MAKSUD SAYA, GEREJA-GEREJA YANG SEKARANG TERLIBAT "BISNIS" SEPERTI SEKOLAH, RUMAH SAKIT, DLL. KALAU TIDAK HATI-HATI, APAKAH AKAN KENA IMBAS?

Bukan saja akan tetapi sudah. Dengan mendirikan sekolah-sekolah plus, alasannya selalu SDM. Akibatnya apa? Itu hanya untuk orang kaya. Aspek diakonia menipis. Bahkan ada orang yang menyarankan begini: Sebagai orang Kristen penginjilan harus, tetapi tidak usah mendirikan gereja. Alasannya aneh. Namun saya tahu apa alasan dibalik yang diungkapkan: faktor ekonomi. Sebab jika yang diInjili adalah orang miskin, kemudian mereka dikumpulkan bergereja, kapan bisa mandiri? Maaf kalau saya katakan statement itu tidak bermoral. Adalah tidak Injili kalau kita mengatakan kita Injili tetapi tidak mau mendirikan gereja. Orang yang lahir baru 'kan bayi rohani yang butuh pemeliharaan. Pernyataan seperti itu kelihatannya rohani tetapi tidak etis, tidak bermoral. Kembali ke soal sekolah. Saya tidak tahu siapa yang bisa bertahan. Dengan program KB yang berhasil, sekolah negeri saja banyak ditutup. Sekolah swasta makin mahal. Pemasok kurang karena jumlah yang berpunya kurang. Yang berlebihan adalah yang melarat, bagaimana mungkin mereka bisa masuk sekolah/universitas Kristen favorit yang mahal. Sebaliknya saya juga melihat bahwa dosen-dosen juga perlu nafkah yang layak. Ini 'kan sukar? Inilah yang saya maksud terlalu kompleks untuk diselesaikan seorang teolog. Diperlukan kerjasama untuk memikirkan pemerataan keadilan justru dari kacamata Injili sebab berbicara keadilan tidak mungkin lepas dari Alkitab. Saya menemukan dalam Perjanjian Lama, banyak nabi bicara tentang keadilan. Yesus sendiri menegur Ahli Taurat dengan keras, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan (Mat 23:23).

Kita tidak mau diidentikkan dengan Ahli Taurat tetapi bukankah kita sering seperti mereka? Teguran Yesus bukankah teguran yang Injili? Gereja Injili punya tugas mempertahankan evangelical-nya tetapi jangan sampai lupa aspek lainnya. Apalagi umur manusia Indonesia sekarang makin panjang. Walaupun di dunia hanya mampir minum, ada 70-80 tahun tinggal di dunia, tidak langsung pulang ke sorga kok. Ini `kan harus ditangani.

 YANG TERAKHIR, APA HARAPAN ANDA TERHADAP GEREJA DI INDONESIA?

Permohonan saya kepada gereja Injili khususnya: Jangan alergi terhadap berbagai macam tulisan dan pendapat! Jangan a priori dan langsung ganyang. Dengar dulu. Lah Wong dunia pengadilan saja menganut asas praduga tak bersalah. Jangan sampai kita begitu alergi terhadap tulisan orang lain yang bukan golongan kita. Sebaliknya saya juga mohon kepada kelompok oikumenis jangan melecehkan evangelical scholarship dong! Mari kita saling menghargai. Saya berterima kasih karena mata saya dicelikkan lebar-lebar oleh penulis lain termasuk Islam bahkan komunis. Apa yang menjadikan mereka demikian sebenarnya utang gereja yang belum terbayar. Itu Baja permintaan saya. In the school of Christ there is no graduation.

Pewawancara: Bong San Bun, Yonky Karman, Yusak Jore Pamei.



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA