Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 > 
STAGNASI DALAM PELAYANAN 
Penulis: Eddy Paimoen822
 PENDAHULUAN

Stagnasi dapat terjadi dalam semua bentuk organisasi baik yang bersifat sekuler maupun yang bersifat spiritual. Melalui pemberitaan di surat kabar, majalah, buletin gereja dan sarana komunikasi lainnya dapat dibaca tentang stagnasi-stagnasi yang telah atau sedang terjadi di perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi sosial, institusi-institusi politik, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga agama. Meskipun telah diberikan alasan yang sangat rasional tentang terjadinya stagnasi tersebut, namun sangat disayangkan bahwa hal ini justru terjadi dalam era modernisasi, globalisasi dan teknologi. Seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang atau tingkat pendidikan yang dimiliki oleh suatu masyarakat umum akan dapat menghindarkan terjadinya stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menjamurnya lembaga-lembaga managemen, berlipatgandanya jumlah tenaga-tenaga profesional dalam bidang komunikasi, dialog dan pemecah masalah (problem solver), seharusnya stagnasi tidak perlu lagi terjadi. Namun yang menjadi kenyataan sekarang ini hampir di semua bidang kehidupan manusia telah atau sedang terjadi kemacetan-kemacetan bahkan tidak sedikit yang telah mengalami kemacetan total.

Kalau dilihat dari sudut perkembangan situasi lalu lintas di dunia, yang sering mengalami kemacetan lalu lintas justru terjadi di kota-kota besar. Kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, kota-kota besar adalah tempat berkumpulnya golongan intelektual, para ahli dalam semua bidang disiplin ilmu, pusatnya komputerisasi, diterapkannya pengetahuan teknologi canggih, tempat bertemunya para ahli komunikasi dan dialog, namun ironisnya tempat-tempat tersebut menjadi tempat yang rawan dengan stagnasi lalu lintas. Secara sepintas, dari peristiwa-peristiwa yang dapat disaksikan dengan mata telanjang dan bila dibandingkan dengan kemacetan lalu lintas yang terjadi hampir pada setiap waktu di kota-kota besar, dapat disimpulkan bahwa modernisasi dan teknologi bukanlah jaminan untuk dapat menghindarkan terjadinya stagnasi. Pada umumnya jalan-jalan yang macet sudah memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap, dan telah dijaga oleh tenaga polisi yang terdidik dan diperlengkapi dengan perlengkapan elektronik yang canggih. Namun masih harus diakui, bahwa keahlian dan perlengkapan modern bukanlah satu-satunya jaminan untuk tidak terjadinya suatu kemacetan, apabila tidak disertai dengan ketaatan lalu lintas dan didukung dengan disiplin nasional yang tinggi. Hal itulah yang menyebabkan sering kalinya terdengar ucapan ironis yang menyedihkan, "Ternyata semakin canggih perlengkapannya semakin canggih pula kemacetannya." Ucapan ini mengandung muatan 'sindiran' yang ditimbulkan oleh situasi jenuh yang berkepanjangan tanpa alternatif jalan keluarnya yang pasti. Secara psikologis memang dapat dirasakan oleh semua orang ketika sedang berada di jalan-jalan yang sedang mengalami kemacetan lalu lintas secara total. Seringkali yang tampak pada wajah seseorang adalah kelelahan dan kekecewaan yang disebabkan oleh: 1. Terhambatnya mencapai tempat tujuan sesuai dengan jadwal waktu; 2. terbuangnya waktu yang berharga; 3. kurang efisien dalam bidang keuangan; 4. merasa jenuh dan gerah; dan akan berakibat: 1. munculnya penyakit psikologis -- tegang dan emosional; 2. mudah menyalahkan orang lain atau mencari kambing hitam; 3. kehilangan kestabilan jiwa dan semangat bekerja; dan 4. menurunnya percaya diri. Pada umumnya stagnasi selalu berakibat fatal. Pengalaman ini pun juga dirasakan oleh golongan cendikiawan, politikus, budayawan, karyawan, dan tokok-tokoh agama apabila mereka sedang berada dalam kondisi stagnasi. Baik secara nyata atau abstrak, stagnasi telah menimbulkan depresi dan ketegangan jiwa bagi semua pihak yang terlibat. Contohnya, stagnasi yang terjadi di PDI Jatim tidak hanya membebani kelompok PDI di tingkat daerah atau di tingkat pusat, tetapi hal tersebut telah berakibat buruk untuk semua golongan, seperti pemerintah, masyarakat umum secara lokal, regional, nasional dan internasional. Hal yang sama juga sedang terjadi pada tokoh NU, Universitas Satyawacana, HKBP dan beberapa lembaga lain. Akibat yang mencolok dari stagnasi adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para pemimpin lembaga tersebut dan juga pemimpin lembaga-lembaga yang terkait. Akibat lainnya adalah munculnya tafsiran-tafsiran atau praduga-praduga dari semua pihak yang merasa dirugikan, bertambah memperuncing masalah dan memperburuk situasi, yang menjadi penghambat penyelesaian masalah yang sebenarnya, telah menjadi kabur karena komentar dan pandangan khalayak ramai. Pada umumnya hal seperti ini akan mengundang perhatian orang banyak dan akan melibatkan banyak orang yang mempunyai interes pribadi, yang akan lebih memperburuk situasi dan mengakibatkan tingkat kemacetan yang sifatnya lebih total dari sebelumnya. Tidak dapat disangkal lagi, memang banyak orang yang sedang menantikan kesempatan untuk dapat memancing di air keruh. Banyak orang mempunyai kesenangan kesempatan di dalam kesempitan. Tidak sedikit organisasi yang tenggelam dalam kesulitan yang semakin kompleks setelah masuknya orang-orang yang kelihatannya beretiket baik memberikan pertolongan. Dengan demikian benarlah peribahasa Indonesia yang mengatakan, "Dalamnya laut dapat diduga tetapi dalamnya hati siapa tahu. Hal ini menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian atau hati yang bijaksana. Meskipun sulit, diakui atau tidak, dilaksanakan dalam keadaan sadar atau tidak oleh seseorang, dapat dibenarkan bahwa 'kebudayaan rekayasa' sudah terjadi di mana-mana, baik dalam dunia yang sifatnya sekuler atau religius. Rupanya 'hukum laut' dan 'hukum rimba' telah bangkit kembali dalam kehidupan dunia modern ini, yang realitanya dapat dilihat dalam praktek hidup masyarakat yang menggunakan falsafah hidup "siapa yang besar dan kuat ialah pasti yang akan memang. Disadari atau tidak, baik di dalam dunia gereja atau di dunia sekuler, telah terjadi usaha rekayasa dari kelompok-kelompok tertentu secara terus-menerus yang telah mengakibatkan terjadinya 'stagnasi total' atau 'kemacetan total' dalam bidang komunikasi dan dialog pada umumnya disebabkan oleh suatu tekad atau kemauan yang salah dari suatu kelompok yang mendahulukan kepentingan pribadi lebih dari kepentingan organisasi. Niat jahat ini telah merangsang dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan manipulasi, korupsi, eksploitasi yang menyebabkan tidak efisien dalam penggunaan waktu, sumber dana, dan sumber daya manusia, karena ketidakmampuan dalam bidang kepemimpinan dan managemen yang seringkali berakhir dengan 'macet total' dalam suatu organisasi.

Pertanyaan sentral yang harus dijawab ialah: 1. apakah yang menjadi penyebab stagnasi? dan 2. bagaimana cara menyelesaikannya? Dua pertanyaan ini akan dijawab secara komprehensif dan kondusif melalui uraian di bawah ini, yang akan dibagi dalam tiga kategori: a. terjadi stagnasi dalam pelayanan; b. penyebab-penyebab stagnasi dalam pelayanan; c. cara-cara mengatasi stagnasi dalam pelayanan.

 ADANYA STAGNASI DALAM PELAYANAN

Setelah diadakan pengkajian dan penelitian melalui suatu riset di perpustakaan dan juga melalui diskusi dengan pelayan-pelayan gereja yang terdiri dari: para hamba Tuhan, majelis gereja dan cendikiawan Kristen, dapat diperoleh pengertian yang jelas dan sifatnya agak menyeluruh tentang terjadinya 'stagnasi' dalam pelayanan, secara jujur harus diakui bahwa tidak seorang pun yang menyukai 'stagnasi.' dengan demikian telah menjadi jelas bahwa 'stagnasi' dalam pelayanan bukan merupakan masalah 'like' atau 'dislike' dari seseorang atau kelompok, tetapi 'stagnasi' adalah merupakan akibat dari kegagalan para pemimpin Kristen yang disebabkan oleh kekurangan atau ketidaksiapan seseorang dalam menunaikan tugas kepemimpinannya. Masalah krusial ini harus diungkap dan didekati dari semua aspek kehidupan manusia, seperti: I. aspek teologis; 2. aspek psikologis; 2. aspek filosofis; 4. aspek dogmatis; 5. aspek organisatoris yang meliputi pengetahuan managerial -- perencanaan, pengorganisasian, pelayanan dan pengawasan; 6. aspek partisipatif; 7. aspek komunikatif; 8. aspek dialogis praktis; 9. aspek interaktif, 10. aspek apresiatif; 11. aspek berpikir kritis, analitis dan realistis; 12. aspek pastoral yang kondusif, 13. aspek moral etis; dan 14. aspek loyalitas. Alkitab mengarisbawahi tentang pentingnya semua aspek tersebut dalam hidup bergereja dan bermasyarakat melalui tri tugas panggilan bergereja -- persekutuan, bersaksi dan melayani. Perjanjian Lama secara menyeluruh dan mendasar memberikan informasi yang sangat lengkap dan komprehensif tentang semua aspek tersebut. Dalam Perjanjian Baru, melalui kehidupan Yesus Kristus sendiri, juga Petrus, Paulus dan Yohanes telah memberikan gambaran yang lengkap dan terpadu tentang perlunya semua aspek tersebut di atas untuk menjalankan tugas pelayanan agar tidak mengalami stagnasi. Petrus secara terpisah, dalam keterbatasannya telah menyumbangkan suatu konsep pelayanan yang sangat ideal, yang secara terus-menerus dapat dikembangkan, dimodifikasi dan diaplikasikan secara tepat guna menurut waktu dan konteksnya. Dalam 2Pet 1:5-8, Petrus memberikan bimbingan yang jelas tentang sifat dan sistem pelayanan terpadu. Ternyata tugas melayani itu tidak sederhana dan otomatis, tetapi membutuhkan suatu persiapan yang kompleks, membutuhkan waktu dan kematangan dalam hal iman, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kasih terhadap semua saudara dan semua orang. Tanpa dukungan elemen-elemen tersebut seseorang itu tidak akan mampu mengeluarkan buah kebajikan atau perbuatan baik (virtue). Iman kepada Yesus Kristus harus dilengkapi dengan pengetahuan (knowlegde dan science) dengan disertai sistem kontrol yang kuat baik yang timbul dari dalam dan dari luar, dengan disiplin yang tinggi dan disertai hati yang tulus (mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi), dengan prinsip pelayanan kepada semua orang (sesama saudara seiman dan lainnya) untuk melakukan tindakan kebajikan secara murni. Sejak dari awal, Petrus telah melandasi falsafah hidup pelayanannya dengan pengetahuan baik yang bersifat keterampilan yang dapat diperoleh melalui studi nonformal maupun ilmu pengetahuan yang bersifat akademis. Dalam hal ini Petrus secara implisit telah berbicara tentang teks (iman) dan konteks (di mana iman dijabarkan dan diaplikasikan). Hal yang paling lemah dalam kehidupan manusia untuk sepanjang zaman -- penguasaan diri atau pengawasan diri, disoroti secara tajam. Untuk hal yang sama ini, rasul Paulus memerintahkan secara eksplisit kepada anak rohaninya Timotius untuk melakukan tindakan kontrol yang ketat terhadap dirinya sendiri sebagai tindakan preventif, "Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu!" (1Tim 4:16). Kalau disimak secara serius dan teliti, ternyata hal inilah yang menyebabkan timbulnya "stagnasi total" dalam semua bentuk organisasi. Kedisiplinan dan ketulusan juga merupakan bagian yang integral dari sistem pengawasan yang melekat -- suatu istilah yang berkembang dalam masyarakat luas, menjadi populer belakangan ini, dan dijadikan alat kontrol untuk pemberantasan sistem korupsi yang sedang melanda kehidupan masyarakat, baik di dalam maupun di luar gereja. Kata 'kebajikan' dapat dikaitkan dengan pembangunan manusia secara utuh, seharusnya dipadukan dengan kata 'kasih' atau 'agape' yang dipergunakan oleh rasul Paulus dalam 1 Kor 13:13. Apapun yang dilakukan oleh seseorang apabila tidak dilandaskan atas 'agape' atau 'kasih Allah' hasilnya hanya akan bersifat filantropis, yang kemungkinan besar hanya untuk kepentingan pribadi dan kebanggaan diri sendiri atau yang lebih bersifat negatif yaitu untuk kemuliaan diri sendiri yang lebih menjurus kepada 'vested interest.' Kalau hal ini sudah melanda kehidupan berorganisasi, maka tindakan-tindakan seseorang akan lebih bersifat manipulatif, eksploitasi dan dominatif. Dalam konteks ini, kedudukan merupakan hal yang lebih penting dari tujuan organisasi. Akibat fatal yang akan dialami oleh organisasi adalah stagnasi total, meskipun bukan itu sesungguhnya yang mereka harapkan, namun hal itu telah menjadi kenyataan karena para pemimpin tidak dapat menahan diri di atas landasan kasih. Tujuan yang indah hanya menjadi slogan yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Mengenai hal ini, Petrus mengungkapkan dengan jelas, apabila seseorang memiliki semua aspek itu, baru akan dapat mencapai hasil yang telah digariskan. Tetapi sebaliknya, apabila tidak memiliki kesemuanya itu, dapat dikategorikan sebagai orang buta yang tidak mengenal lingkungannya dan yang sangat ironis kepicikannya akan membuat seseorang menjadi kerdil dan jiwa penggembaraannya akan berakhir pada jalan buntu, akibat dari kesalahannya sendiri. Melihat dengan seksama dan juga dengan mata kritis, dapat disimpulkan bahwa kemacetan-kemacetan yang terjadi dalam gereja dan lembaga-lembaga kristiani lainnya, pada umumnya karena sebab yang sama.

Memang harus diakui, pada akhir abad kedua puluh ini, gereja-gereja dan lembaga-lembaga kristiani telah dikelola oleh orang-orang yang profesional dalam bidangnya. Semua disiplin ilmu teologia -- bidang biblika, sistematika, historika dan praktika, sudah dikuasai dan diamalkan dalam masyarakat gereja. Namun yang menjadi kenyataan yang dapat dilihat oleh masyarakat umum adalah terjadinya kemacetan-kemacetan hampir pada semua aras organisasi, baik yang menjadi pelaku yang menyebabkan kemacetan dan para penonton yang menjadi suporter sama-sama merasa sedih dan kehilangan, karena telah disadari oleh semua pihak yang terlibat, untuk mencairkan kebekuan ini dibutuhkan waktu lama, dan dalam proses yang tidak menentu ini akan menghambat semua organisasi untuk berpacu dengan kemajuan. Yang dicapai bukan kemajuan dan keberhasilan, tetapi sebaliknya yaitu kemunduran dan keputusasaan. Bagaimanapun harus diakui, bahwa yang menciptakan 'benang ruwet' ini bukanlah Allah tetapi adalah manusia yang menamakan diri para pemimpin yang didukung oleh situasi dan kondisi yang telah di renda oleh golongan tertentu yang memang menginginkan hal itu terjadi.

Hal-hal yang secara potensial dapat menyebabkan stagnasi total dalam organisasi akan dikelompokkan sesuai dengan golongannya, dengan tujuan untuk memudahkan, mencari jalan pemecahannya, dan hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Aspek teologis

- Masuknya sekularisme di dalam gereja.

- Banyaknya pemimpin gereja yang belum lahir baru.

- Kurang berperannya Roh Kudus dalam kehidupan bergereja.

- Kurang mengerti dan mendalami pengajaran Alkitab secara benar.

- Merohanikan hal-hal yang sebenarnya tidak rohani.

- Hilangnya visi dan misi pada pemimpin gereja.

- Bergesernya pedoman bergereja -- dari Alkitab kepada pengetahuan manusia.

2. Aspek psikologis

- Terlalu lamanya hamba Tuhan dalam satu jemaat ketergantungan kepada kepandaian dan pengalaman.

- Perasaan puas dan bangga dengan apa yang ada.

- Sulit mengampuni dan melupakan kesalahan orang lain.

- Kurang menyadari akan kelemahan yang dimiliki.

- Memiliki perasaan sensitif yang berlebih-lebihan.

- Selalu berputar-putar dengan masalah kecil.

- Sudah terlalu jenuh dengan masalah sehingga menjadi apatis.

3. Aspek filosofis

- Tertutup atau tidak mau terbuka dengan hal-hal baru.

4. Aspek dogmatis

- Kurangnya bergantung kepada Tuhan dan tidak hidup dalam doa.

- Membuka diri dalam sinkretisme dan kompromi dengan kuasa kegelapan.

5. Aspek organisatoris

- Belum adanya manageman gereja yang mantap.

- Terlalu manusia sentris, penekanan kepada managemen manusia.

- Tidak mempunyai perencanaan yang matang, bergantung kepada intuisi, yang mengakibatkan tindakan rekayasa.

- Peraturan-peraturan berfungsi sebagai hiasan, sedangkan kehidupan berorganisasi lebih cenderung berdasarkan intuisi.

6. Aspek partisipatif

- Belum adanya kerja sama di antara pemimpin.

- Tertumpunya pekerjaan pelayanan pada pundak seseorang.

- Para pemimpin belum menyadari tugas dan tanggung jawabnya.

- Kurangnya dana untuk pelaksanaan program.

7. Aspek komunikatif

- Terjadinya ketegangan antara para pemimpin gereja.

- Terlalu menekankan kepada primordialisme, sehingga tidak mampu hidup yang bersifat lintas budaya.

8. Aspek dialogis praktis

- Tidak adanya kesatuan dan persekutuan antara para pemimpin gereja.

- Tidak tahan menerima kritik dari orang lain.

- Kurang adanya keterbukaan, yang menimbulkan asas praduga dan tafsiran yang kurang tepat.

9. Aspek interaktif

- Karunia-karunia rohani dalam jemaat tidak dikembangkan.

10. Aspek apresiatif

- Merasa lebih rohani dari orang lain.

- Tidak menempatkan orang sesuai potensinya.

- Mau menang sendiri dan selalu menganggap orang lain yang salah.

- Kurang menghargai orang lain, karena merasa diri lebih hebat.

11. Aspek berpikir kritis, analitis dan realistis

- Kurangnya pemimpin yang berjiwa besar dan berpikir positif.

- Terlalu banyak berorientasi ke dalam atau kurang melihat keluar.

- Kurang peka dan kritis dengan tanda-tanda zaman.

- Tidak mampu bersaing dengan sesama yang berhasil.

12. Aspek pastoral kondusif

- Penyelesaian suatu masalah yang tidak tuntas.

- Kesalahan seorang pendeta yang tidak diselesaikan dengan baik.

13. Aspek moral etis

- Terlalu mudah mengikuti arus, sehingga kurang konsisten dengan iman Kristen.

- Terlalu santai sehingga tidak mempunyai kedisiplinan.

- Terlalu ambisius yang tidak didukung oleh kemampuan yang dimiliki, sehingga mudah mengorbankan prinsip.

14. Aspek loyalitas

- Terlalu murah terhadap diri sendiri sehingga begitu mudah memaafkan diri sendiri

- Tidak mengikuti peraturan yang berlaku.

 PENYEBAB UTAMA STAGNASI TOTAL DALAM PELAYANAN

Kisah Para Rasul mencoba mengetengahkan dan menerjemahkan stagnasi dalam pelayanan menurut konsep dan pemikiran Lukas. Kisah Para Rasul 9:11-13 mengisahkan indah persahabatan Barnabas dan Paulus. Barnabas adalah seorang yang penuh Roh Kudus dan mempunyai karunia khusus 'mengajar' telah membina dan memberikan kesempatan kepada Paulus untuk menjadi seorang pahlawan besar rohani untuk segala zaman. Barnabas adalah seorang berhati mulia, juga seorang yang berpikir positif telah menjadikan Paulus seorang rasul besar yang dipakai oleh Tuhan Yesus dalam abad permulaan. Ia merekomendasikan kepada Paulus agar diterima oleh jemaat Yerusalem dan ia juga menghargai karunia dan panggilan Paulus. Ketika gereja Antiokhia berkembang dan membutuhkan seorang hamba Tuhan yang melayani, ia memilih Paulus karena mengerti dan menghargai panggilan Paulus. Untuk kepentingan itu Barnabas tak segan-segan pergi ke Tarsus dan membawa Barnabas ke Antiokhia. Ia berusaha seobjektif mungkin dan ingin menerapkan sistem 'the right man in the right place' di bawah terang pimpinan Roh Kudus. Dalam perjalanan misi mereka yang pertama. Barnabas dan Paulus telah mengukir Keberhasilan besar -- mendirikan banyak jemaat dan memilih para pemimpin Kristen melalui bimbingan Roh Kudus dan hal ini merupakan awal sejarah perkembangan kekristenan di dunia kafir. Tetapi siapakah yang mampu menghindarkan kegagalan dari tengah-tengah keberhasilan? Hal ini dapat dilihat dari tim Paulus dan Barnabas, betapapun hebatnya seseorang pasti pernah mengalami kegagalan, satu atau dua kali. Barnabas dan Paulus telah mendirikan banyak gereja dan melahirkan banyak pemimpin Kristen pada perjalanan misi mereka yang pertama. Jemaat pengutusnya, Antiokhia sangat bersukacita mendengar laporan mereka yang telah dipilih oleh Roh Kudus, dan yang mereka ulas melalui doa yang diadakan oleh jemaat. Mereka telah pulang kembali kepada jemaat dengan penuh tanggung jawab.

Tidak dapat disangkali dan ditutup-tutupi oleh siapapun, bahwa mereka telah mengalami suatu kegagalan yang akhirnya memisahkan persahabatan mereka. Hal ini terkuak pada permulaan perjalanan misi mereka yang kedua. Pertengkaran Paulus dan Barnabas memang tidak sedap didengar, karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh Kristen yang menjadi contoh bagi orang Kristen lainnya. Namun kejadian tersebut harus dilihat dari sudut sejarah keselamatan dunia. Pada perjalanan misi mereka yang kedua. Barnabas mengusulkan Yohanes Markus yang pernah mengikut mereka di Salamis menjadi tim mereka kembali. Barnabas menyadari bahwa Yohanes Markus pernah meninggalkan mereka di Perga dan kembali ke Yerusalem. Yang menjadi alasan memang tidak disebutkan secara jelas, tetapi dapat diperkirakan bahwa yang menjadi masalah utama adalah Markus telah meninggalkan tim mereka, karena masih terlalu mudah dan belum siap mental menjadi seorang misionaris di dunia orang kafir. Barnabas ingin memberikan kesempatan yang kedua kepada Markus. Hal ini justru menjadi masalah besar yang menimbulkan bukan hanya 'stagnasi' dalam berkomunikasi, tetapi pertengkaran yang seru dan tajam dan berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan. Peristiwa sedih ini kemungkinan besar disebabkan karena kurang bersandarnya mereka kepada pimpinan Tuhan.

Dalam hal ini Paulus dilihat sebagai seorang yang menekankan dan menerapkan disiplin keras dalam mencapai suatu tujuan akhir dari perjalanan misinya, sedangkan Barnabas adalah seorang tokoh pendidik yang sabar, yang siap memberikan kesempatan yang kedua bagi orang lain seperti Yohanes Markus yang pernah berbuat kesalahan. Selanjutnya, Kisah Rasul mengisahkan keberhasilan Paulus menjelajah propinsi Galatia, Asia, Makedonia, Akhaya dan akhirnya sebagai seorang tawanan ia sampai di pusat dunia, kota Roma. Injil telah diberitakan dari Yerusalem sampai ke kota Roma.

Sedangkan Barnabas bersama Yohanes Markus berlayar menuju Siprus dan kehidupan mereka seterusnya tidak diceritakan lagi oleh Lukas dalam buku sejarahnya. Namun karena kesabaran Barnabas telah menjadi Markus penulis Injil Sinoptik Pertama yang kemungkinan besar menjadi buku acuan Matius dan Lukas dalam menulis Injil. Dapat dipastikan, meskipun tidak diungkapkan oleh Lukas, bahwa Barnabas telah memperkenalkan Yohanes kepada murid-murid Yesus lainnya. Dari merekalah Yohanes Markus mendapatkan sumber sejarah dari para saksi mata tentang hidup dan kegiatan Yesus, yang kemudian ditulis di dalam Injilnya. Nama Barnabas memang tidak begitu populer dalam Kisah Para Rasul, tetapi harus diakui ialah seorang yang telah menjadikan Paulus dan Markus hamba-hamba Tuhan besar yang mengawali penulisan sejarah keselamatan dalam Perjanjian Baru. Meskipun Paulus telah menolak Markus dengan keras, tetapi ketika menulis surat kepada Filemon, ia menyampaikan salam dari Markus yang disebut sebagai teman sekerja (Fil 24), dan juga dalam suratnya kepada jemaat Kolose ia menyampaikan salam Markus yang adalah kemenakan Barnabas (Kol 4:10). Paulus adalah orang yang sangat objektif, siap rekonsiliasi dan melupakan segala peristiwa dan membangun kembali persahabatan dan kerjasama baru, seperti yang dilakukan kepada Yohanes Markus. Sampai akhir hidupnya ia tetap menghormati Barnabas sebagai seorang yang pernah berjasa dalam hidup dan pelayanannya. Walaupun tidak ada uraian yang jelas tentang jalannya rekonsiliasi antara Paulus dan Barnabas beserta Yohanes Markus, namun kalau diteliti dari surat-surat Paulus secara keseluruhan, pasti ia adalah seorang yang terbuka untuk minta maaf kepada orang lain atau menerima maaf dari orang lain, karena itulah yang menjadi inti dalam pengajarannya. Paulus, Barnabas dan Markus adalah hamba-hamba Tuhan yang berjiwa besar dan berpikir positif, berani berbeda pendapat tetapi tetap memelihara kualitas persahabatan mereka, dan hal itulah yang mendorong untuk rekonsiliasi dan bekerjasama kembali seperti semula. Kalau Paulus telah menerima Yohanes Markus pasti ia juga telah menerima Barnabas. Penyebab utama dari stagnasi adalah ketertutupan dan sikap arogansi seseorang serta penyakit vested interest.

 CARA-CARA MENGATASI STAGNASI DALAM PELAYANAN

Banyak orang berkomentar bahwa sebenarnya tidak perlu terjadi stagnasi apabila para pemimpin Kristen itu dewasa, berjiwa besar, berpikir positif dan saling menghargai seorang terhadap yang lain. Mungkin ungkapan ini dapat dikatakan sebagai suatu yang terlalu ekstrim, namun kalau mau mengerti maksud yang sesungguhnya, ungkapan itu mengandung kebenaran yang sejati. Kalau dilihat dari sederet daftar panjang masalah yang dianggap sangat potensial menyebabkan stagnasi baik di dalam gereja maupun di dalam organisasi sekuler, dapat dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utama dari 'stagnasi' adalah manusianya dan bukan sistemnya. Sudah jelas dari awal, bahwa modernisasi, arus globalisasi, penerapan teknologi canggih, dan profesionalisme tidak dapat dijadikan jaminan mutlak untuk tidak terjadinya 'deadlock' atau 'stagnasi total' atau 'kemacetan total' dalam suatu organisasi. Segala ilmu pengetahuan hanyalah merupakan alat bagi manusia. Manusialah yang akan menentukan macet atau tidaknya suatu organisasi. Dipandang dari sudut perkembangan sejarah manusia, bahwa perbedaan pendapat justru akan memperkaya kepustakaan hidup manusia. Dari analisa secara praksis 'stagnasi' yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat ternyata jumlah sangat kecil sekali. Perbedaan pendapat dapat diperkecil melalui dialog, interaksi, komunikasi dan apresiasi. Perbedaan pendapat justru menjadi sarana untuk mematangkan suatu ide dan apabila dikembangkan melalui dialog akan menghasilkan suatu program yang dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Yang seringkali menimbulkan 'kemacetan total' dalam kehidupan bergereja atau pelayanan pada umumnya adalah masalah-masalah teologis yang berbau dogmatis, yang diwarnai oleh jiwa advonturir dan didorong oleh suatu gerakan untuk pemenuhan kepentingan pribadi serta ambisi pribadi. Bila diadakan analisis secara kritis terhadap stagnasi-stagnasi yang sedang terjadi sekarang ini dan dibandingkan dengan konsep Petrus dalam 2 Petrus 2:5-8, dapat disimpulkan bahwa kemacetan-kemacetan tersebut justru oleh karena dangkalnya iman seseorang kepada Yesus Kristus, kurangnya kedisiplinan dan ketulusan yang dilandaskan di atas dasar kasih, yang telah menyebabkan menurunnya jiwa berpikir positif, sehingga mengaburnya nilai dari suatu kebajikan. Dampak luas yang dirasakan oleh masyarakat adalah jalan buntu dalam pengambilan keputusan, yang disebabkan oleh macetnya komunikasi, dialog dan interaksi dari pihak-pihak yang terkait. Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan pemimpin-pemimpin yang dewasa, berjiwa besar, berlapang dada, berpikir positif, tidak berjiwa advonturir, bersedia mendengar, mengakui kelebihan dan kebenaran orang lain. serta mendahulukan kepentingan organisasi lebih dari kepentingan pribadi. Bagi gereja dan lembaga kristiani seharusnya meletakkan prinsip-prinsip hidup bergereja dan bermasyarakat di bawah terang firman Tuhan dan menurut pimpinan Roh Kudus, di atas landasan teologia yang sesuai dengan Alkitab dan mampu berinteraksi dengan semua golongan melalui sistem komunikasi dan dialog yang jelas serta menekankan kepada kepemimpinan yang partisipatif. Perlunya berpikir kritis, analitis dan realistis, namun masih bersifat lentur dengan situasi lingkungan (konteksnya). Untuk mencegah timbulnya stagnasi dalam lingkungan bergereja diperlukan loyalitas yang tinggi terhadap sistem dan disiplin organisasi dan memperhatikan nilai-nilai moral etis dalam melaksanakan aktivitas hidup bergereja dan berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.

Sistem yang rapi dan terbuka dapat menghindarkan terjadinya stagnasi di semua aras organisasi. Dengan sistem yang terbuka akan membangkitkan rasa saling menghargai, menghormati dan saling mendukung sesama teman. Hal ini harus dijadikan filosofi hidup bergereja yang didukung dengan etos kerja yang tinggi, berdasarkan konsep yang jelas dengan menekankan kepada perencanaan terpadu dan kontrol yang memadai, dengan sistem 'the right man in the right place' serta memberikan kesempatan kepada semua orang yang terlibat dalam organisasi untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan. Melalui proses yang wajar dengan sistem yang jelas akan dapat menghilangkan kompetisi yang kurang sehat, oleh karena setiap orang yang menjadi bagian yang bersifat integral dalam organisasi pasti akan memiliki kesempatan yang besar melalui peningkatan ketrampilan yang sesuai dengan kemampuannya. Perlunya pelayanan pastoral yang kondusif bagi setiap orang yang terlibat dalam pelayanan. Dengan demikian semua hal yang sangat potensial mendukung terjadinya stagnasi, melalui suatu sistem kepemimpinan yang partisipatif dapat diubah menjadi sarana yang dapat memperkaya dan memperkuat kehidupan organisasi. Ancaman yang dapat menghancurkan dapat diubah menjadi suatu kesempatan untuk kemajuan dalam perkembangan suatu organisasi.

 KESIMPULAN

Stagnasi dapat terjadi kalau penyebabnya dibiarkan hidup terus dan tidak dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai murid-murid Yesus, yang telah dibekali dengan ketrampilan dan pengetahuan, seharusnya berusaha dengan pimpinan Roh Kudus menghindarkan terjadinya suatu stagnasi dalam organisasi yang dipimpinnya. Banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tetapi ada satu cara yang terbaik adalah menjadi pelayan Tuhan yang memiliki loyalitas yang tinggi kepada Kristus dan firman-Nya, berjiwa besar, berpikir positif dan terus berusaha memperkecil masalah dan tidak membuat sebaliknya membesar-besarkan masalah, yang akan menyebabkan stagnasi total. Menempatkan seseorang sesuai karunia dan kemampuannya akan menghindarkan terjadinya stagnasi dalam suatu organisasi.

Bagaimanapun, bergantung kepada Tuhan adalah inti dari segala-galanya, karena modernisasi, globalisasi dan teknologi bukanlah merupakan jaminan untuk tidak terjadinya suatu stagnasi. Bagi pemimpin Kristen rekonsiliasi adalah merupakan kebutuhan yang terutama agar tidak berbenturan antar sesama pemimpin secara terus-menerus, dan yang hanya akan berakhir pada stagnasi total serta perpisahan. Tentu, hal ini bukan yang diharapkan oleh semua pihak. Dengan demikian, Barnabas, Paulus dan Markus adalah suatu ilustrasi yang sangat cocok bagi para pemimpin Kristen dalam melaksanakan rekonsiliasi untuk dapat mencairkan kebekuan dalam organisasi atau stagnasi dalam pelayanan.



TIP #09: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab dan catatan hanya seukuran layar atau memanjang. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA