Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 9 No. 2 Tahun 1994 > 
GEREJA DI TENGAH PERKEMBANGAN KOTA-KOTA BESAR DI INDONESIA 
Penulis: Herlianto481
 PENDAHULUAN

Perkembangan penduduk dan khususnya penduduk perkotaan yang melanda dunia sesudah perang dunia kedua yang dampaknya juga terasa di Indonesia telah mengubah banyak tatanan sosial termasuk tatanan kehidupan berjemaat, khususnya jemaat perkotaan (urban parish). Di tengah-tengah perubahan cepat demikian yang menimbulkan dampak luar biasa, mau tidak mau gereja juga diperhadapkan dengan perubahan strategi dan misi pelayanannya yang membutuhkan penyesuaian dan juga antisipasi menghadapi hal itu.

Masalah perkotaan yang timbul belakangan ini seperti soal kejahatan kerah putih (white collar crime) semacam kasus Bapindo, masalah jurang kaya miskin di kota besar, Lingkungan Hidup, PHK, demonstrasi-demonstrasi perburuhan, bahkan pengrusakan pabrik semacam yang banyak terjadi di Tangerang dan Medan, telah menjadi topik liputan utama surat-surat kabar dan majalah maupun mass media lainnya, tetapi sayang sekali perhatian dan tanggapan gereja pada umumnya sepi kalau tidak mau dibilang sebagai tidak ada sama sekali.

Apakah masalah itu bukan masalah gereja? Ataukah gereja yang belum peka akan lingkungannya? Topik inilah yang menjadi salah satu bahasan dalam "Minister Convention 1994" yang menantang para Hamba Tuhan maupun Pengerja Kristen agar mulai menggumuli nisbah antara Gereja, Teologi dan Masyarakat.

 PERKEMBANGAN PERKOTAAN

Pada tahun 1990 PBB mengeluarkan laporan kegiatannya selama 45 tahun (1945-1990), laporan mana menonjolkan masalah-masalah global yang cukup serius yang menantang umat manusia. Di antaranya tantangan-tantangan yang menonjol disebut masalah Urbanisasi sebagai tantangan yang berjalan sama cepatnya dengan kemajuan Era Informasi di akhir abad ke-20 ini, di mana disebutkan:

"Ledakan Perkotaan": Lebih dari 40 persen penduduk dunia bertempat tinggal di kota-kota - sebelumnya tak pernah sebesar ini. Begitu penduduk berduyun-duyun mengalir ke kota-kota untuk mencari pekerjaan, tempat tinggal dan pelayanan sosial yang lebih baik, maka lingkungan pedesaan dan perkotaan berubah secara drastis. Di akhir abad ini, lebih separuh dari penduduk dunia berada di kota-kota. Sebagian besar dari penduduk kota yang baru ini akan berada di negara-negara yang sedang berkembang. Akibat urbanisasi yang berlangsung dengan cepat sudah terasa dalam bentuk kota yang penuh sesak, persediaan air dan sanitasi yang tidak memadai, pencemaran lingkungan, pengangguran, kemiskinan yang endemis dan keputusasaan yang bertambah luas.483

Ledakan penduduk perkotaan merupakan tantangan serius di seluruh dunia baik di negara-negara maju dan terutama di negara-negara yang berkembang, bahkan dalam laporan PBB berjudul "Prospect of World Urbanization" (1987) disebutkan bahwa pada tahun 2000 akan terdapat 23 kota-kota Metropolis dengan penduduk di atas 10 juta orang di mana Jakarta termasuk sebagai kota terpadat ke sebelas dengan penduduk 14 juta orang, dan di antaranya, 6 kota berada di atas 15 juta penduduk di mana 4 kota di antaranya berada di negara-negara sedang berkembang! Sekarang ini dunia menghadapi perkembangan kota-kota yang bukan lagi jutaan penduduknya tetapi belasan juta bahkan puluhan juta penduduknya!

Memang masalah perkotaan merupakan topik hangat di akhir abad ini, bahkan dalam Kongres Metropolis Sedunia484 terakhir, dibahas 6 masalah pokok yang dihadapi kota-kota besar dunia yang cukup memusingkan para penata dan pengelola kota pada umumnya yaitu masalah-masalah berikut:

1. Masalah Pertumbuhan Penduduk Perkotaan yang tidak terkendali

2. Masalah Perumahan Rakyat dan Sarana Fisik dan Sosial yang makin tidak memadai

3. Masalah Lingkungan Hidup dan Kesehatan yang makin merosot

4. Masalah Lalu lintas dan Transportasi yang makin langka

5. Masalah Organisasi dan Manajemen Perkotaan yang makin tidak mampu

Masalah-masalah mana memang makin sulit diatasi dalam kehidupan kota-kota modern karena pertumbuhan penyediaan prasarana dan sarana lebih lambat dari tuntutan kebutuhan, hal mana mengakibatkan dampak-dampak negatif perkotaan yang makin sulit ditanggulangi dan akan berdampak berat bagi penduduk perkotaan.

Memang harus diakui bahwa kota-kota besar merupakan simbol kemajuan ekonomi, tetapi harga apakah yang harus dibayar darinya? Asian Business, dalam artikelnya menyebutkan bahwa:

"This is what Asian countries are learning as their major urban centres suffer the symptons of their economics success: Traffic congestion, air pollution, inadequate sanitation and infrastructure that has been stretched to breaking point by rapid urban growth ... Many of Asia's cities are degrading faster than the region's robust economies are growing."485

Sudah jelas bahwa gejala-gejala fisik itu berpengaruh pada perilaku penghuninya seperti apa yang pernah diucapkan oleh Winston Churchill bahwa, "We build our cities and it will build our way of life." Mengenai kesan masyarakat kota terhadap kotanya, majalah Newsweek dalam artikelnya mengemukakan hasil penelitiannya di kota-kota di Amerika Serikat dan menghasilkan kesimpulan berikut:

Tiga puluh dua persen Amerika tinggal di kota-kota -- tetapi hanya 13 persen yang menganggap kota sebagai tempat hunian yang paling diingini. Tiga puluh tujuh persen orang-orang Amerika menganggap kota-kota besar di Amerika sebagai "sakit parah" atau "kritis" ... Penduduk perkotaan menyalahkan situasi ekonomi dan birokrasi sama-sama menjadi penyebab timbulnya masalah-masalah perkotaan.486

 MASALAH PERKOTAAN DI INDONESIA

Indonesia juga menghadapi masalah perkotaan yang cukup menekan khususnya sejak Pemerintahan Orde Baru tahun 1970-an di mana keamanan hidup di perkotaan makin meningkat dan pembangunan di kota-kota makin menggebu-gebu, ini merangsang urbanisasi berjalan dengan pesat dan tidak terkendali.

Dalam sensus tahun 1961 tercatat bahwa dari 97 juta penduduk Indonesia, 14 juta tinggal di kota (=15 persen). Angka ini meningkat dalam sensus tahun 1971 di mana terlihat bahwa dari 119 juta penduduk, 21 juta tinggal di kota (=18 persen), dan dalam sensus tahun 1980 tercatat dari 148 juta penduduk Indonesia, 33 juta tinggal di kota (=22 persen). Dalam sensus terakhir tahun 1990 diketahui bahwa penduduk Indonesia sudah mencapai 180 juta orang di mana 56 juta di antaranya tinggal di kota-kota (=31 persen) dan diperkirakan pada tahun 2000, 40 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota-kota.

Bayangkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (1961-1990) kenaikan jumlah penduduk Indonesia hanya meningkat menjadi kurang dari 2 kali, tetapi kenaikan jumlah penduduk kotanya meningkat menjadi 4 kali lipat! Hal ini memang sesuai dengan hasil sensus 1990 di mana ditemukan fakta bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sekarang telah bisa ditekan menjadi 1,9 persen pertahun tetapi angka urbanisasi perkotaan pertahun mencapai 5,7 persen! Kota Bandung sebagai kota terbesar di Jawa Barat sekarang dihuni lebih dari 2 juta penduduk dan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara telah berpenduduk 9 juta lebih.

Persentase penduduk kota yang meningkat itu menghasilkan kepadatan bangunan dan hunian yang makin tinggi di kota-kota yang berdampak serius terhadap penduduk perkotaan itu sendiri. Perumahan kelompok berpenghasilan rendah di kampung-kampung kota makin tinggi kepadatannya bahkan bisa mencapai 1000 orang per hektar tingkat huniannya, kenyataan mana menimbulkan masalah kemerosotan lingkungan perumahan menjadi kumuh, yang benar-benar makin tidak layak huni karena kepadatan bangunan dan kepadatan hunian. Banyak rumah-rumah di kampung-kampung kota dihuni lebih dari satu keluarga bahkan sering pula dihuni beberapa keluarga.

Di Indonesia masalah perumahan makin sulit dijangkau oleh penduduk berpenghasilan rendah. Gejala makin langkanya perumahan di kota mengakibatkan makin banyaknya para gepeng (gelandangan pengemis) yang berkeliaran di kota-kota termasuk anak-anak jalanan (street children). Makin padatnya penduduk perkotaan makin menyulitkan penyediaan prasarana dan sarana fisik dan sosial dan kondisi lingkungan hidup makin merosot. Days dukung lingkungan bukan saja makin tidak memadai tetapi rusak akibat adanya polusi yang sekarang mengotori sungai-sungai di kota, dan udara kota penuh dengan polusi udara karena asap pabrik dan kendaraan. Kenyataan ini mendatangkan kerawanan kesehatan di kota-kota.

Masalah polusi pabrik bukan hanya soal kesehatan dan lingkungan hidup saja, tetapi masalah moral mengenai ketidakadilan dan hak azasi penduduk dalam menuntut kehidupan yang asri, demikian juga kotornya sungai-sungai karena zat buangan pabrik-pabrik industri mematikan banyak ikan dan tidak memberi kesempatan banyak orang bergantung dari pengusahaan ikan sungai, bahkan penggunaan lain untuk air minum, mandi, atau mencuci makin tidak mungkin.

Perkembangan kota dan industrinya memang menumbuhkan ekonomi kota, hal ini terlihat dengan lajunya pembangunan fisik gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat pertokoan, dan pabrik-pabrik, tetapi sejalan dengan ini masalah lowongan pekerjaan, PHK, dan pengangguran makin menekan. Sekarang makin banyak kasus-kasus kita baca mengenai pemogokan buruh industri karena upah buruh di bawah standar dan perlakuan majikan yang tidak adil terhadap buruhnya, masalah PHK karena rasionalisasi dan otomatisasi perusahaan menjadi peristiwa yang makin sering terjadi di pabrik-pabrik dalam kota.

Tidak dapat disangkal bahwa pengangguran makin meningkat yang akan berdampak luas terhadap kenaikan angka kejahatan atau kriminalitas. Kasus-kasus demonstrasi dan pemogokan buruh sudah menjadi agenda rutin di Tangerang dan bahkan di Medan belum lama ini telah menjurus kepada SARA yang mendatangkan korban jiwa!

Jurang kaya miskin di kota antara mereka yang memperoleh kesempatan dan yang tidak makin menganga, dan kesenjangan sosial antara konglomerat dan yang melarat makin mustahil dijembatani. Di kota-kota besar kita melihat makin banyak villa-villa eksklusif dengan taman dan kolamnya yang lebar, tetapi kawasan kumuh tanpa air minum juga makin meluas. Makin banyak penduduk kota naik mobil mewah bahkan di kawasan elit satu rumah sering mempunyai mobil lebih dari dua, sedangkan masyarakat umum makin berhimpit-himpitan di bis-bis kota.

Dibandingkan dengan situasi sosial di pedesaan (rural), kemelut sosial di perkotaan makin menghantui masyarakat kota, sebab kriminalitas menjadi berita sehari-hari pos kota, perkelahian antar pelajar makin menjadi hobi anak-anak sekolah, penyalahgunaan alkohol dan narkotika sudah menjadi masalah serius yang berdampak negatif terhadap masa depan generasi muda, dari masalah anak-anak jalanan dan pelacuran yang juga menimpa anak-anak makin menjadi isu sehari-hari di kota-kota yang membutuhkan uluran tangan mendesak.

 BAGAIMANA SIKAP GEREJA?

Secara psikis dan spiritual kita melihat bahwa masyarakat perkotaan makin individualistis dan kepeduliannya kepada tetangga makin menipis, rumah tangga banyak yang berantakan dan kurangnya ikatan kasih antar orang tua dan anak menimbulkan banyak korban. Pelayanan rohani makin kurang dirasakan menggigit karena tekanan karir menimbulkan kurangnya perhatian manusia pada agama, tetapi stress karir dan kejenuhan hidup modern cenderung menghasilkan masyarakat kota yang kosong rohani yang menjadi sasaran empuk ibadat-ibadat emosional dan yang bersifat eskapis tanpa dampak, berarti bagi kehidupan spiritual.

Di samping banyak "gereja", yang makin suam dan kosong, memang banyak "persekutuan" menjamur di kota-kota besar termasuk di kantor-kantor, restoran-restoran, dan gedung-gedung umum lainnya, dan banyak pengusaha dan orang modern menghadirinya, tetapi apakah kegairahan spiritual perkotaan itu menghasilkan kehidupan yang bertobat? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab sekalipun banyak orang hadir dalam persekutuan-persekutuan demikian kelihatannya para pengusaha itu umumnya tetap tidak menunjukkan perubahan dalam cara dagangnya sekalipun ia mulai rajin memberikan persembahan atau persepuluhan.

Kasus-kasus PHK dan pemogokan masih banyak terjadi di perusahaan yang manajernya aktif di "praise center" atau menjadi "majelis gereja", bahkan banyak perusahaan masih menjalankan cara-cara dagang yang "mengabdi mamon" padahal banyak eksekutifnya yang rajin menghadiri pertemuan-pertemuan demikian. Banyak direktur bank dikatakan bertobat melalui persekutuan-persekutuan doa, tetapi kenyataannya tidak ada perubahan terjadi dalam praktik bank itu yang menunjukkan sifat Kristianinya. Sistem hadiah undian bank yang tidak mendidik tidak juga berubah sekalipun direkturnya dikatakan sebagai bertobat.

Banyak konglomerat sekarang dielu-elukan sebagai "orang yang diberkati Tuhan" karena sumbangannya kepada gereja dan persekutuan tetapi orang lupa bahwa pengusaha demikian perlu diajak bertobat dan mentaati Firman Tuhan agar tidak dikritik masyarakat umum karena ulahnya yang entah merusak hutan tropis, pabriknya mencemari lingkungan, atau menjadi mafia tanah yang ikut mempersulit penduduk miskin di kota.

Moralitas kota makin merosot tajam, hukum rimba makin menjadi etika kota dan etika bisnis makin menjadi nostalgia, dan manusia kota akan makin menjadi alat produksi dan makin kehilangan identitas diri dan sadar hukumnya lemah. Gejala demikian menunjukkan fakta spiritualitas perkotaan yang semu di mana agama memang dicari dan bermanfaat secara "emosional" tetapi tidak berdaya men"transformasi"kan manusia modern di kota. Agama bertumbuh secara kuantitatif tetapi secara kualitatif masih dipertanyakan.

Jim Rohwer dalam tulisannya berjudul "What's in a nationality?" mengatakan mengenai gejala dunia di tahun 1993 antara lain sebagai berikut:

The growing integration of the world economy is pushing human society into a borderless future... capital first, then goods and at last services will be ever inclined to flow to places where they earn the best returns, not necessarilly where governments would like them to go; the companies and people who provide all these things are increasingly following suit... But not so fast. The attachments of blood, race, religion and language will be lessened hardly a jot by all these developments. Indeed, they mill continue to weigh more heavily in the worlds emotional scaleshan economic cosmopolitanism does; and they will be the root cause of most of 1993's rows.489

Komentar di atas senafas dengan analisis John Naisbitt dalam bukunya mengenai dilema "High Tech-High Touch"490 di mana kehidupan modern dikatakan sering mengalami dua kecenderungan komplementer yang saling bertentangan. Kenyataannya kecenderungan yang diamati para pakar tersebut kelihatannya berlaku pula di kehidupan perkotaan dan dalam kaitannya dengan agama.

Penduduk kota modern makin sekular, individualistis dan materialistis tetapi mereka cenderung mencari kelompok-kelompok "primordial" semula seperti SARA, itulah sebabnya di kota-kota besar kecenderungan untuk berkelompok secara kesukuan atau sekampung menjadi lebih kuat sebagai rem pengaman kecenderungan modernisasi yang makin menghilangkan identitas diri manusia.

Dalam kehidupan kegerejaan kita melihat gejala yang sama di mana banyak umat mencari kembali primodialisme agama dalam bentuk kehidupan bergereja di samping mencari pelarian emosional sebagai kompensasi kejenuhan kehidupan modern. Di satu segi kelihatannya gereja ada manfaatnya untuk mengisi kehausan emosional dan kebutuhan primordialisme, tetapi sebagai "Hamba Allah" jelas gereja demikian tidak menjadi "berkat" bagi masyarakat bila ia tidak mempunyai kepekaan lingkungan dan kepedulian sosial.

 LALU BAGAIMANA?

Dapat di kata menghadapi tantangan permasalahan yang ditimbulkan perkembangan kota-kota besar, gereja kelihatannya masih mandul dan nyaris tidak berbuat apa-apa!

Melihat perkembangan pembangunan gereja-gereja di kota-kota besar, sepintas lalu kita dapat melihat adanya pertambahan kuantitatif, baik dalam jumlah gedung gereja baru yang dibangun maupun dalam biaya pembangunan yang berlomba-lomba, tetapi di balik itu kita melihat bahwa umumnya jemaat perkotaan lebih bersifat individualistis, di mana sekalipun banyak gereja-gereja besar dibangun dengan mahal dan mewah, ternyata kepedulian gereja-gereja besar kepada gereja-gereja miskin boleh di kata hampir tidak ada. Harta gereja umumnya lebih diprioritaskan untuk keperluan sendiri dalam bentuk gedung maupun mobil, dan sangat sedikit diarahkan sebagai buah-buah kasih ke luar.

Di balik mercu-mercu gedung gereja yang bergemerlapan, kota-kota besar juga menyimpan ribuan gedung-gedung gereja di kampung-kampung yang miskin dan bahkan reyot. Di sini kita melihat bahwa dampak kepedulian misi gereja-gereja kota kepada sesama gerejanya saja masih kecil, lebih-lebih kepeduliannya kepada orang-orang di luar gereja. Kenyataan ini dapat dilihat dari hasil penelitian STT Jakarta (1985), di mana dijumpai fakta bahwa dari 226 gereja responden, hanya 15 gereja yang mempunyai program pelayanan sosial yang bisa disebut sebagai "pelayanan perkotaan" (urban ministry), ini jumlahnya hanya 6 persen saja!

Dari hasil penelitian itu, termasuk penelitian yang dilakukan oleh World Vision International bekerja sama dengan yayasan-yayasan Kristen di Jakarta, Semarang dan Surabaya, juga ditemukan fakta bahwa setidaknya ada tiga sikap gereja dalam kepeduliannya pada masyarakat penyandang masalah di perkotaan, yaitu:

1. Sikap yang menganggap bahwa tugas gereja atau persekutuan hanya untuk mengabarkan "Injil", sedang urusan sosial adalah tanggung jawab pemerintah.

2. Sikap yang menganggap bahwa pelayanan diakonia hanya perlu diberikan kepada anggota jemaat sendiri saja yang kebetulan membutuhkan.

3. Sikap yang mulai menyadari bahwa pelayanan sosial termasuk tugas gereja atau persekutuan Kristen dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pemberitaan Injil.

Dari gambaran di atas kita dapat melihat bahwa kesadaran Gereja atau persekutuan Kristen di kota-kota besar masih bervariasi, sehingga "misi" yang mereka lakukan juga diwarnai oleh konsep pengertian tentang "Injil" yang belum seragam. Sebenarnya, apakah Injil yang sebenarnya?

Tuhan Yesus pada waktu mengutus murid-muridnya yang ditulis Matius 28 mengatakan:

19 "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,

20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu."

Bukanlah kita cenderung hanya menyempitkan Injil sekedar menjadi tugas Mat 28:19 dan mengabaikan Mat 28:20? Bukankah "kasih" yang vertikal (kepada Allah) dan yang horisontal (kepada sesama manusia) merupakan perintah Allah? Kasih kepada sesama yang diumpamakan dengan "orang Samaria yang baik hati secara sosial?" (Lukas 10:25-37).

Ketika memulai pekerjaannya setelah berpuasa 40 hari lamanya, Yesus meneguhkan kitab Yesaya dan mengatakan:

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18-19)

Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa Yesus sendiri mengabarkan Injil yang mendatangkan Shalom bagi manusia, baik secara spiritual, fisis, psikis, maupun sosial. Karena itu patut dipertanyakan sampai di mana kesetiaan dan iman yang sudah ditunjukkan oleh gereja atau persekutuan di kota-kota besar mengenai kepeduliannya menjalankan misi kemasyarakatan yang disuruh Tuhan itu, bahkan pada saat kedatangannya kelak, kelihatannya pelayanan sosial mendapat bobot yang besar pula:

Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lalaikan untuk salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25:34-40)

Rasul Yohanes (I Yohanes 3) dengan jelas menulis tentang sifat anak-anak Allah yang sepatutnya sebagai berikut:

16 Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita."

17 Barang siapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?

18 Anak-anakKu, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.

Kelihatannya dari terang beberapa ayat-ayat di atas saja kita dapat berintrospeksi sampai di manakah kita sudah "melakukan kehendak Allah" dalam hidup kita?

Berbicara mengenai "Gereja, Teologi dan Masyarakat" kita harus sadar bahwa gereja tidak terlepaskan dari teologi yang benar yang alkitabiah, tetapi lebih lagi perlu disadari bahwa teologi yang alkitabiah itu justru teologi yang mengakar ke bawah, yang memasyarakat. Teologi bukanlah "obat bius" yang membuai kita pada pemikiran-pemikiran yang melambung di angkasa berupa perdebatan doktrin-doktrin rumit yang tidak mendarat, dan teologi juga bukan ekstatisme "kompensasi keresahan jiwa", tetapi teologi sepatutnya merupakan sesuatu yang hidup yang mengakar ke bawah sekaligus memasyarakat.

Menghadapi PJP-II (1994-2019) yang sudah kita masuki ini, kita ditantang untuk menyiapkan insan-insan yang sadar dan mampu mengantisipasi "Iptekti" (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tinggi) tetapi sekaligus insan-insan yang berwawasan iman, iman yang vertikal dan sekaligus yang horisontal, dengan demikian kita dapat berperan dengan benar dalam kancah perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang makin kehilangan orientasi kemanusiaan dan Ilahinya itu, kota yang perlu dientaskan kemiskinan rohani dan materinya.

Kita perlu juga sadar bahwa selama PJP I di samping proses "pembiusan" yang cenderung dilakukan gereja, umat Kristen telah melakukan "pemborosan" yang lebih banyak mengalokasikan harta titipan Tuhan pada bangunan gedung dan sangat kecil digunakan untuk menyiapkan SDM dan melayani sesama kita. Sudah tiba saatnya kita bangkit untuk benar-benar mengisi pelayanan kita bersandarkan kasih Kristus yang menumbuhkan Gereja dengan Teologinya yang memasyarakat.

 MENYIAPKAN SDM KRISTEN

Penyiapan SDM yang peka akan lingkungan perkotaan dan punya kepedulian sosial perlu dimulai sedini mungkin di sekolah-sekolah Teologia. Perlu digali kembali teologia alkitabiah yang seutuhnya yang tidak hanya bersifat vertikalis tetapi juga tidak hanya bersifat horisontalis, tetapi yang sekaligus bersifat vertikalis dan horisontalis.

Mata kuliah-mata kuliah yang menunjang termasuk Sosiologi, Pelayanan Perkotaan (Urban Ministry), maupun studi mengenai Yayasan-Yayasan Sosial Kristen perlu dikembangkan dan dipelajari agar dapat ditemukan pelayanan seutuhnya mencakup pelayanan sosial yang merupakan buah-buah kasih Kristiani.

Mata kuliah Konseling Kristen selama ini hanya dibatasi pada konseling dan bimbingan psikologi saja, padahal masalah manusia yang perlu dibimbing, bukan sekedar bimbingan kejiwaan, tetapi termasuk juga bimbingan sosial, ekonomi, bahkan hukum. Konseling Kristen perlu dikembangkan mencakup apa yang disebut dengan "advocacy" termasuk bantuan hukum. Bimbingan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga, mencari pekerjaan, masalah PHK dan masalah pengadilan perlu diantisipasi dalam pelayanan Konseling.

Pelayanan gereja perlu diperluas bukan hanya terbatas pada pelayanan diakonia untuk lingkungan sendiri saja, tetapi perlu mencakup pelayan kasih kepada sesama manusia, termasuk kepada non jemaat. Pelayanan-pelayanan Kasih dapat berbentuk:

1. Pelayanan "karitatif", yang memberikan pertolongan pertama dan darurat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Berikan ikan pada yang lapar.

2. Pelayanan "pengembangan", yang memberikan ketrampilan dan bekal agar seseorang dibekali dengan kemampuan untuk memperoleh hasil. Berikan kail agar ia dapat mengail ikan.

3. Pelayanan "pembebasan", yang membantu melepaskan seseorang dari penindasan dan keterikatan yang berada di luar kemampuan mereka. Seseorang bisa mempunyai kail tetapi tidak dapat mengail karena air sungai sudah dikotori polusi pabrik industri.

Gereja-gereja dapat membuka klinik pelayanan, lembaga-lembaga bantuan maupun yayasan-yayasan sosial Kristen sebagai perpanjangan gereja. Dengan demikian gereja melayani bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan perbuatan. Khotbah-khotbah harus berani membicarakan secara terus terang isu-isu kontemporer yang dihadapi masyarakat perkotaan secara umum dan anggota jemaat secara khusus, dengan demikian isi khotbah tidak hanya melayang-layang di udara, tetapi mendarat di bumi yang nyata. Ada kalanya masalah ekonomi sosial justru ditimbulkan oleh pelaku yang adalah anggota gereja, dalam hal ini gereja perlu berani ikut berbicara menegakkan kebenaran dan mengingatkan yang salah.

Berita Injil perlu diterjemahkan dalam konteks kontemporer, sehingga Injil bahkan merupakan "kabar baik" yang hanya bersifat puitis, tetapi juga perlu bersifat "aksi". Dalam sidang Dewan Gereja Dunia di Upsala (1968) ada demonstran membawa poster berbunyi "No Tracts but Tractor". Traktat tanpa traktor itu ibarat roh tanpa tubuh, sedang traktor tanpa traktat itu ibarat tubuh tanpa roh (Yakobus 2), tetapi manusia membutuhkan baik traktat berisi kabar baik sekaligus traktor untuk mengisi perutnya. Benar bahwa Yesus mengatakan bahwa "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Matius 4:4), tetapi ingat bahwa Yesus tidak mengatakan bahwa kita "tidak membutuhkan roti", artinya roti juga dibutuhkan!

Sudah saatnya gereja tidak hanya membentuk "kerajaan dunia dengan segala isinya" (gedung dan aset gereja, mobil, sekolah dan lain-lain), tetapi perlu menyisihkan sebagian harta miliknya untuk pelayanan kepada sesama kita, dan menyisihkan dana yang cukup untuk pengembangan Sumber Daya Manusia yang justru sangat diperlukan dalam PJP-II. Cara-cara pengelolaan, keuangan gereja di masa lalu; perlu disesuaikan dengan tuntutan PJP-II



TIP #23: Gunakan Studi Kamus dengan menggunakan indeks kata atau kotak pencarian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA