Apa pendapat, penilaian dan kesan Anda tentang Gereja? Saya kira rata-rata kita memiliki kesan dan pendapat yang sama: Di satu pihak kita memegang sikap yang menghargai tinggi arti Gereja, karena kita menerima hakekat Gereja sebagai umat tebusan Allah, bagian dari Kerajaan Allah dan Utusan Allah dalam misi penyelamatan-Nya untuk dunia ini. Tetapi di pihak lain kita juga prihatin. Justru karena kita menerima hakekat dan fungsi Gereja seperti yang dinyatakan dalam Alkitab itulah, maka kita juga prihatin terhadap praktek penataan kehidupan Gereja seperti yang kita jumpai masa kini.
Kita tak dapat dan tak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan menyedihkan yang sering kita temui dalam kehidupan Gereja masa kini. Sebaliknya kita harus berjuang dalam doa dan usaha untuk memperbarui Gereja kita, agar paling tidak dapat mendekati kriteria yang distandarkan Alkitab untuknya.
Bagaimanakah anggapan kebanyakan warga gereja tentang Gereja? Mungkin beberapa ilustrasi berikut lebih mampu membentangkan kepada kita, bagaimana lazimnya perlakuan warga gereja terhadap Gereja.
Pertama, banyak warga gereja memandang Gereja sebagai super market. Mereka memiliki daftar kebutuhan hidup dan rohani yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari Gereja. Mereka mengharapkan bahwa Gereja dapat memberikan layanan yang memuaskan: khotbah-khotbah yang cocok dengan kebutuhan, penataan ibadah yang menarik, suasana yang enak, dsb. Jika unsur-unsur ini tidak terpenuhi masuk akallah bila mereka mengunjungi "super-market" lain yang lebih mampu menyediakan layanan yang memuaskan.
Kedua, ada pula warga gereja yang menganggap Gereja sebagai gedung pertunjukan, tempat mereka menonton berbagai pertunjukan seperti vocal group atau paduan suara, sakramen, kemampuan bicara pengkhotbah dsb. Tidak heran bahwa daftar kebaktian Minggu yang dimuat di sementara surat kabar, diperlakukan mirip dengan daftar pertunjukan bioskop.
Ketiga, ada pula yang memperlakukan Gereja sebagai klub sosial tempat para anggotanya memperluas pergaulan, mencari lubang-lubang kesempatan untuk memperluas jaring-jaring bisnis. Sementara itu, tidak kurang pula para pemimpin gereja yang menata kehidupan gereja seperti seorang direktur menata suatu perusahaan. Decision-making di setir lebih banyak oleh pertimbangan budgeting, program-oriented, efisiensi, dsb.
Terakhir, sebagian warga gereja menganggap Gereja seperti rumah sakit. Mereka pergi ke gereja untuk mendapatkan perhatian, dikunjungi, dirawat, didoakan, ditelateni, dsb. Maka gereja yang memiliki pendeta dan pemimpin yang mampu bertindak seperti perawat dan dokter rohani akan lebih disenangi warga gereja tipe ini.
Mungkin Anda merasa lukisan saya tentang kehidupan Gereja tadi terlalu sinis dan pesimis. Tetapi kalau Anda amati dengan tajam, ternyata memang begitulah sebagian besar penghayatan warga gereja kita masa kini. Dari semua gambaran tadi, tak ada satu pun yang melihat Gereja sebagai "aku" atau "kita". Semua melihat Gereja, entah sebagai tempat (tempat mendengarkan firman, tempat beribadah, tempat beribadah, tempat dilayani) atau sebagai pihak yang melalui siapa "kami" (para warga gereja) mendapatkan faedah rohani. Dengan kata lain, ada kekeliruan konsep tentang arti Gereja dan ada kesenjangan yang lebar antara awam dan pejabat Gereja.
Kalau tadi kita melihat kehidupan gereja dari sudut penghayatan para warga gereja, mari kita tinjau keadaan gereja di Indonesia dari sudut penataan kehidupan gereja.
Pertama, kita melihat kecenderungan sifat tradisionalisme yang sangat kuat terutama di kalangan gereja-gereja yang mapan. Yang saya maksudkan tradisionalisme di sini ialah sikap puas akan tradisi dan sikap kaku mempertahankan tradisi sampai-sampai mengorbankan penghayatan segar yang harus ada dalam kehidupan gereja dan tradisi yang sebetulnya baik dan perlu itu menjadi sesuatu yang mati dan menghambat kehidupan gereja. Dalam sikap ini kita jumpai keengganan untuk menyesuaikan bentuk-bentuk ibadah, tata ibadah dan pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan ciri manusia masa kini. Kita jumpai pula sikap Farisi yaitu mati-matian mempertahankan bentuk-bentuk ibadah walaupun tanpa isi dan semangat, ibadah yang hidup. Tradisi yang baik memang harus dipertahankan tetapi di dalamnya harus hadir kuasa kehadiran Allah yang memperbarui dan menyegarkan itu. Tradisi bagaimana pun baiknya, tetap dipengaruhi oleh bentuk-bentuk pergumulan budaya di suatu konteks tempat dan kurun waktu tertentu. Karena kita hidup dalam zaman yang sedang berubah cepat, kekakuan tradisi akan membuat kita menjadi agama yang tidak relevan dan tidak kontekstual.
Kedua, kecenderungan mengartikan gereja sebagai institusi. Tidak salah dan tidak dapat disangkal bahwa ada aspek kelembagaan dalam kehidupan gereja. Namun demikian segi kelembagaan ini dilihat sebagai unsur sarana dan bukan unsur hakiki. Sedangkan pada masa kini, sepertinya terdapat penyamarataan antara kegiatan dengan kehidupan gereja, antara gedung dengan Gereja. Khususnya di kota-kota besar terdapat kecenderungan untuk mengidentikkan gereja dengan gedung dan bahkan untuk berlomba-lomba membangun gedung yang megah, mewah dan harga yang wah. Bila demikian gedung gereja justru mengikat kita kepada beberapa kelemahan: immobilitas, karena semakin besar dan megah semakin menyedot program ke dalam gereja sendiri, bukan ke luar; kekakuan, karena penataan ruang mengharuskan bentuk komunikasi yang satu arah dan pasif; ketiadaan persekutuan; kesombongan dan kesenjangan antar kelas ekonomi.
Ketiga, kecenderungan menata gereja secara birokratis. Dalam bukunya: "Teologia Kaum Awam", Hendrik Kraemer menelanjangi bentuk keuskupan baru yang menjangkiti gereja-gereja Reformasi, yaitu adanya dualisme antara kaum cleros atau para pejabat gereja, pemimpin gereja, atau mereka yang expert dalam bidang teologia dan kepemimpinan kerohanian dan kaum awam yang menganggap atau dianggap buta teologia, buta Alkitab dan tidak mampu melayani. Secara fakta gereja-gereja reformasi masa kini sebenarnya sudah mundur balik ke keadaan kepausan Roma Katolik yang tadinya ditentang para pendahulu kita, hanya saja sekarang dalam bentuk dan warna lain. Disadari atau tidak, kenyataan ini adalah salah satu penyebab utama kelumpuhan Gereja masa kini. Sebenarnya Gereja adalah kita semua, yaitu semua umat tebusan Allah. Jika para warga gereja yang justru merupakan ujung tombak Kekristenan di tengah dunia ini diperlakukan sebagai awam yang bodoh dan tak mampu, maka praktis gereja tak mungkin lagi membawa dampak dalam dunia ini.
Keempat, adanya kesenjangan yang cukup parah antar generasi dan kelas para warga gereja. Misalnya, program-program gereja kebanyakan disusun menurut usia dan jenis kelamin. Kelas-kelas Sekolah Minggu yang terbatas hanya pada usia anak sampai pemuda, terpisah dari konteks keluarga yang sebenarnya justru lebih diutamakan Alkitab sebagai iklim paling tepat untuk pendidikan rohani. Juga ada kelompok-kelompok kegiatan yang memperkuat kesenjangan antar generasi. Misalnya: kegiatan komisi wanita, komisi pemuda, dlsb. Memang pembagian kegiatan menurut kategori tadi membuat pelayanan mungkin lebih efektif, namun harus dipikirkan wadah-wadah ibadah dan pelayanan yang aktif menghayati sifat heterogen dari gereja. Bila tidak, sukar sekali gereja bersangkutan menghayati hakekat keumatannya.
Terakhir, adanya kecenderungan mengutamakan para profesional dalam kepemimpinan gereja dan menjalankan semangat profesionalisme dalam pelayanan gereja. Memang kita patut mensyukuri potensi yang ada di tengah warga gereja, juga memetik manfaat dari keahlian mereka. Namun kriteria kepemimpinan Alkitabiah tetap mendahulukan dan mensyaratkan kwalitas rohani mengatasi kwalitas pengetahuan, pendidikan, keterampilan atau pun kedudukan dalam masyarakat. Bahaya dari kepemimpinan para profesional yang tidak rohani ialah menerapkan semua prinsip yang mereka pandang berhasil dari dunia mereka ke dunia gerejawi. Padahal sifat gereja sebagai organisme rohani dan bukan terutama organisasi menuntut adanya pendekatan kepemimpinan, penataan dan pemrograman yang khas. Sementara itu menjalankan pelayanan semata-mata karena keahlian akan menghasilkan suatu kegiatan yang mungkin berhasil secara manusiawi tetapi tidak disertai dan diberkati Tuhan.
Rasanya belum lengkap analisa keadaan gereja Indonesia masa kini ini bila kita tidak juga meneropong keadaan dunia masa kini.
Selain kemerosotan moral yang makin menggila, problem-problem hidup yang makin berat (krisis energi, ledakan penduduk, masalah-masalah ekologis yang rumit, peperangan, dlsb), dunia kita kini ditandai terutama oleh perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar. Beberapa perkembangan teknologi memungkinkan manusia bergerak lebih cepat dan lebih sering, mengakibatkan manusia kurang mampu berkonsentrasi dan terancam tidak mampu membina hubungan-hubungan yang menetap dan setia. Di samping itu urbanisasi menciptakan suatu keadaan sosial yang mobil, pergeseran bahkan disintegrasi nilai-nilai tradisional dan konsentrasi ekonomi yang berubah. Keadaan ini menyebabkan semua orang harus sedia untuk berubah dan menjalani proses belajar yang lebih intens agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah-ubah itu. Dengan kata lain, bukan saja gereja harus ditata secara lebih dinamis, gereja pun harus mampu menyediakan wadah persekutuan yang lebih hidup, dinamis dan lebih memungkinkan berlangsungnya proses pembinaan dan proses perubahan di antara warganya.
Pengamatan tiga unsur di atas menyadarkan kita bahwa gereja masa kini sedang berada di persimpangan jalan. Kita perlu pandai memetik pelajaran dari pengalaman gereja-gereja Barat yang kini sudah memasuki zaman pasca Kekristenan atau pasca tradisi dan denominasi. Untuk memperbarui kehidupan Gereja masa kini tidak cukup tambal sulam sana sini, tetapi membutuhkan pemikiran yang lebih Alkitabiah, lebih menampung dinamika kuasa Allah dan lebih menjawab tuntutan zaman, bukan saja dalam pilihan metode tetapi lebih penting lagi dalam penataan struktur dan strategi kehidupan gereja.
Penetapan struktur dan strategi penataan Gereja sebenarnya harus merupakan penjabaran dari pemahaman kita tentang hakekat dan fungsi Gereja. Alkitab menggunakan beberapa istilah dan lukisan yang menolong kita untuk memahami hakekat Gereja yang sebenarnya. Gereja adalah: ekklesia, yaitu Gereja yang kudus dan am yang tidak nampak yang merupakan umat tebusan Allah yang dipanggil keluar dari dunia ini, yang juga melibatkan ke dalamnya sebagian dari gereja yang nampak yaitu gereja-gereja lokal; tubuh Kristus, yang menekankan hubungan organis yang ada antara warga gereja dengan Kristus dan dengan sesama warga dan yang di dalam mana berbagai karunia Kristus dinyatakan dan dipraktekkan; pengantin perempuan Kristus, yang menunjuk kepada kasih Kristus dalam harga tebusan-Nya untuk kita dan tujuan akhir mulia kita dalam kekekalan kelak; bangunan Allah, yang menekankan penghayatan kehadiran Allah dalam ibadah yang aktif menyatakan kasih dan pelayanan; Kerajaan Allah, yang menghubungkan gereja dengan pemerintahan dan rencana Allah atas semesta ini; keluarga Allah, yang melukiskan keakraban hubungan persekutuan dalam keluarga Allah tersebut; kawanan domba Allah, yang menegaskan ketergantungan gereja kepada Sang Gembala dan jaminan Sang Gembala pada gereja; dan kebun anggur Allah, yang menekankan tentang apa yang Allah tunggu dan harapkan dari gereja-Nya.
Dari ungkapan-ungkapan tadi dapat kita simpulkan beberapa karakteristik penting dalam kehidupan gereja: 1) kudus: yaitu umat yang ada di dalam Kristus dan karya-Nya dan karena itu telah dikuduskan dan sedang hidup terus dalam proses pengudusan; 2) am: yaitu sifat universal dari gereja yang merangkul seluruh umat tebusan dari zaman PL, PB sampai kedatangan Kristus kedua kali, tanpa memandang perbedaan-perbedaan kelas; 3) apostolik: dibangun atas Alkitab sendiri dan dipanggil untuk mempertahankan sifat Alkitabiah ini; 4) misioner: bertugas sebagai utusan Kristus yang bersaksi tentang Kristus kepada dunia ini.
Sebenarnya semua hakekat gereja tadi telah ditemukan dan ditekankan ulang oleh perintis-perintis Reformasi, tetapi mengapa pertumbuhan selanjutnya tidak sesuai? Penyebabnya mungkin karena para Reformator terlalu sibuk menekankan pada ajaran yang melawan ajaran Roma Katolik, hingga pada akhirnya gereja-gereja Reformasi sangat ditandai oleh penekanan pada pemberitaan Firman oleh golongan cleros. Akibatnya, umat yang seharusnya dinamis dan interaktif, kurang dikembangkan.
Dasar pertama dapat kita ambil dari pengalaman umat PL. Pada waktu itu ada dua pola yang dipakai sebagai ekspresi ibadah mereka: kemah sembahyang dan bait Allah. Yang satu diperintahkan Allah sendiri, yang lain diusulkan Daud. Yang pertama lebih bersifat dinamis, mobil, fleksibel, adaptatif; yang kedua sebaliknya.
Kalau kita melihat ke PB, ternyata tiga abad pertama gereja dipolakan menurut pola yang mobil, fleksibel dan adaptatif itu. Struktur yang institusional, hirarkial dan tradisional belum lagi mewarnai penataan gereja. Dalam Kisah Rasul kita melihat mereka mendasari kemajuan gereja pada gereja-gereja rumah (Kis. 2:46; lihat juga Rm. 16:3-4; I Kor. 16:19; Kol. 4:15). Dari tahun 64-250, Kristen mengalami masa-masa aniaya yang berat yang praktis tidak memungkinkan mereka menata kehidupan jemaat yang berorientasi pada struktur berorientasi gedung gereja. Mereka mengembangkan diri sebagai gereja-gereja rumah. Tetapi justru dengan pola kehidupan gereja sedemikianlah, sifat-sifat hakiki gereja lebih mampu ditampung. Mutu Kekristenan dan mutu persekutuan mereka menjadi teladan baik buat kita kini, juga dampak misi mereka bukan main. Sampai-sampai di tahun 170 Uskup Alexandria (kota terbesar di Mesir waktu itu) mengingatkan bahwa bila pemerintah ingin memusnahkan Kristen, berarti separuh penduduk kota harus dibunuh. Mutu yang sama kini dapat kita saksikan terulang dalam gereja-gereja teraniaya seperti di RRC dan negara-negara tirai besi dan tirai bambu lainnya. Kuncinya jelas pada struktur dan pola yang fleksibel, mobil dan adaptatif.
Selain alasan sejarah tadi, ada beberapa alasan lain yang sama penting.
1. Kelompok kecil konsekuen menampung pengertian gereja sebagai umat. I Petrus 2:9,10 menegaskan bahwa seluruh warga gereja adalah bangsa terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri. Dari istilah laos yang dipakai di sini, keluar istilah lay dalam bahasa Inggris yang kita terjemahkan dengan awam. Sebenarnya arti laos justru terbalik dari arti awam yang menekankan ketidaktahuan dan kekurangan pendirian. Laos justru menekankan kesamaan hak dan tanggungjawab yang merupakan bagian semua warga gereja. Bila ini kita gabungkan dengan ajaran tentang tubuh Kristus yang menekankan terbagi ratanya karunia-karunia di antara seluruh warga gereja; jelaslah betapa relevan kelompok kecil dalam penstrukturan kehidupan gereja kita.
2. Kelompok kecil mampu mengembangkan ciri koinonia yang merupakan nafas kehidupan bergereja. Di dalam pola ibadah gereja kita kini, tekanan terlalu banyak diberikan pada pemberitaan dan ibadah terpimpin. Akibatnya penataan liturgi dan ruang pun disesuaikan dengan tekanan ini. Di dalam situasi penataan ruang dan liturgi seperti ini, orang tidak mungkin saling melihat, sulit mengadakan komunikasi, kurang ada kebebasan dan spontanitas dan akibatnya kadar persekutuan sangat rendah. Sebaliknya kelompok kecil lebih akrab, terbuka, lebih mungkin mengembangkan partisipasi anggota dan pengenalan yang mendalam.
3. Kelompok kecil sangat menguntungkan untuk dijadikan sarana pendidikan gerejawi. Yang saya maksudkan dengan pendidikan Kristen di sini bukan pendidikan agama di sekolah-sekolah, bukan pula polesi pendidikan di sekolah-sekolah Kristen, melainkan program pembinaan warga jemaat. Pada kebanyakan program pendidikan gereja masa kini, tekanan lebih banyak diberikan pada kelas-kelas sekolah minggu, kelas katekisasi, khotbah Minggu dan penelaahan Alkitab mingguan. Kelemahan utama dari pole ini ialah: pengelompokan warga jemaat menurut usia atau tingkat kerohanian; komunikasi satu arah berpusat pada pengurai firman dan menekankan aspek instruksional dalam pendidikan.
Jika kita membandingkan dengan konsep pendidikan dalam dunia Perjanjian Lama, Tuhan Yesus dan para rasul, kita menemukan hal yang berbeda. Selain menekankan aspek instruksional dan rasional, pendidikan seperti yang dilakukan dalam Alkitab sangat menekankan aspek behavioral dan relational. Ini nampak dengan pilihan kata yang dipakai yaitu mathetes atau murid, yang berarti orang yang magang, mengikuti jejak dan teladan hidup gurunya. Tidak heran bila Tuhan Yesus sendiri menekankan aspek belajar dan taat kepada Bapa untuk selanjutnya menuntut ketaatan, peniruan dan pengikutan yang sama dari para murid-Nya. Yang ditiru bukan saja ajaran, tetapi sampai gaya hidup, moral, cara bergaul, tujuan hidup, kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan tertentu, dlsb. Paulus pun menekankan hal yang sama, halachah yaitu berjalan dalam jejak etik dan moral teladannya yang meneladani Yesus. Inilah yang diartikan Paulus ketika dia memerintahkan jemaat-jemaat untuk berjalan dan hidup dalam Roh, mengikuti teladan Bapa, dsb. (Gal. 5:16,24; Ef. 5:1,2,8).
Dari sini dapat kita mengerti mengapa kelompok kecil pun merupakan strategi pelayanan Tuhan Yesus, Paulus dan para rasul lainnya. Yesus memiliki kelompok tiga (Petrus, Yohanes dan Yakobus), duabelas murid, yang kemudian mempengaruhi dan melayani kelompok 70, kelompok 5000 dst. Paulus selalu menginjili dan melayani dalam tim, bersama dengan orang-orang yang setia dan terbina (II Tim. 2:2) seperti Timotius, Silas, Titus, Epafras, Markus, Epafroditus, dlsb.
Bila kehidupan gereja kita ditata ke dalam strategi kelompok-kelompok kecil, gereja kita berkembang menjadi atmosfir yang mendukung proses ajar mengajar, pengembangan diri dan ketrampilan serta penemuan karunia-karunia yang membangun kehidupan gereja seutuhnya.
4. Kelompok kecil cocok untuk menggalakkan task force. Masa kini kita saksikan meningkatnya kebutuhan akan jenis-jenis pelayanan yang dibutuhkan warga gereja. Kalau dulu cukup pendeta dan majelis menangani masalah dan kebutuhan warga gereja, kini mustahil. Kebutuhan mencakup berbagai jenis pelayanan seperti counseling, masalah kenakalan anak remaja, pernikahan, kesehatan, pendidikan, nasehat hukum, dlsb. Karena itu, gereja sepatutnya menjawab kebutuhan ini dengan mengembangkan tim pelayanan terpadu terdiri dari pendeta, sosiolog, psikolog, pedagog, ekonom, ahli hukum, tenaga medis, dsb. Selain berdampak positif untuk kehidupan warga jemaat, kelompok pelayanan ini pun dapat memberi masukan bagi pendeta dalam upayanya merelevansikan khotbah dan pelayanannya dengan situasi zaman ini.
Dengan kata lain kelompok kecil memiliki beberapa keuntungan berikut:
1. Jumlah anggota yang sedikit (5-12 orang) memungkinkan terciptanya pengenalan lebih dalam, suasana lebih akrab, relac dan terbuka yang merupakan ciri kehidupan umat yang bersekutu.
2. Kelompok kecil memungkinkan terjadinya komunikasi timbal balik ke segala arah. Semua anggota dimungkinkan untuk berperan serta secara bermakna. Atmosfir ini memungkinkan terciptanya berkembangnya kesadaran lebih merata antar warga gereja akan tanggung jawab mereka dan membuka kesempatan terlibat lebih penuh, lebih merata, lebih sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga gereja berkembang dan hidup.
3. Kelompok kecil memungkinkan suasana belajar yang ideal. Peserta bukan saja menerima tetapi menemukan bersama. Materi yang dipelajari tidak saja dibahas secara umum, tetapi bisa didaratkan ke kebutuhan pribadi anggota. Aspek kepribadian yang dilibatkan bukan saja rasio, tetapi seutuhnya.
4. Karena suasana persekutuan yang erat dan intensitas belajar yang tinggi, proses pertumbuhan masing-masing anggota sangat terangsang dan terkontrol. Sebagai kelompok kerja pun bersifat sangat dinamis dan mobil. Sebenarnya kelompok kecil dapat dibentuk untuk berbagai tujuan sesuai kepentingan kehidupan gereja masing-masing. Misalnya:
- kelompok-kelompok pembinaan atau pengkaderan
- kelompok-kelompok persekutuan atau persahabatan
- kelompok-kelompok minat
- kelompok-kelompok diskusi
- kelompok-kelompok terapi masalah - kelompok-kelompok penelaahan Alkitab
- kelompok-kelompok doa
- kelompok-kelompok pertumbuhan rohani atau bimbingan tindak lanjut
- kelompok-kelompok kerja
- kelompok-kelompok penginjilan
- dlsb.
5. Karena sifatnya informal dan mudah dilaksanakan dalam konteks tempat yang luas, kelompok kecil menggiatkan warga gereja untuk menghayati Kekristenan secara berpengaruh dalam masyarakat.
Kelompok kecil bukan resep ajaib. Tanpa persiapan matang, koordinasi baik dan aturan main yang dijalankan secara disiplin, kelompok kecil hanya akan menimbulkan frustrasi.
1. Keputusan:
Tahap ini adalah tahap terpenting. Pemimpin-pemimpin gereja harus menyadari arti dan pentingnya kelompok kecil dan memutuskan untuk mempolakan kehidupan gereja, pembinaan warga gereja serta pelaksanaan tugas-tugas gereja dalam strategi kelompok-kelompok kecil. Tanpa keyakinan dan keputusan yang tegas ini, pola kelompok kecil hanya akan dijalankan setengah-setengah dan tidak membawa hasil yang diharapkan.
2. Persiapan:
Karena kelompok kecil merupakan suatu pola radikal, baru dan melibatkan semua anggota, warga gereja keseluruhan harus dipersiapkan untuk menerima dan melakukannya dengan sepenuh hati. Ambillah waktu sekitar 3-6 bulan, dimana melalui khotbah seri, seminar, dsb., jemaat dipersiapkan untuk menerima. Selama waktu persiapan ini, perlu pula melatih calon-calon pemimpin kelompok, uji coba bahan, penyusunan strategi, dsb. Selain itu, sangat positif akibatnya bila diadakan semacam percontohan kelompok kecil. Rintislah pembentukan beberapa kelompok kecil sebagai uji coba dan percontohan. Kelompok bersangkutan diikuti perkembangannya, dievaluasi hal-hal positif yang dicapai dan diawasi hal-hal negatif yang timbul, agar kemudian bisa dicegah dan diatasi.
3. Pembentukan kelompok-kelompok kecil:
Bila kelompok kecil tidak dijalankan serempak dan hanya dibentuk untuk tujuan pembinaan/pengkaderan, sebaiknya dibentuk suatu koordinasi tersendiri yaitu komisi pembinaan atau komisi kelompok kecil. Tetapi bila pola ini akan dijalankan merata, berarti semua komisi dan kegiatan gereja akan dijalankan serempak dalam pola kelompok kecil. Bila demikian tidak perlu dibuat komisi koordinasi khusus untuk kelompok kecil.
Dalam pembentukan kelompok-kelompok kecil, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1) Jumlah anggota: Sebaiknya jangan kurang dari 5 orang dan jangan lebih dari 12 orang. Ini untuk menjaga agar kelompok cukup dapat menjalankan dinamika kelompok yang baik. Terlalu sedikit akan memboroskan waktu dan tenaga dan menimbulkan kesan dingin, terlalu banyak akan mempersulit pengembangan komunikasi.
2) Pengelompokan:
Selain mempertimbangkan pembentukan kelompok berdasarkan tujuan, perlu juga dipertimbangkan pertimbangan wilayah tempat tinggal anggota (terutama bila pertemuan akan diadakan di rumah anggota sendiri). Juga dapat dibuat pengelompokan menurut kegiatan pelayanan: kelompok sharing guru SM, kelompok pertumbuhan rohani anggota Paduan Suara, kelompok doa majelis, dlsb. Ada baiknya anggota-anggota yang telah menyatakan sedia ikut kelompok kecil, membuat semacam perjanjian agar tercipta suasana tanggung jawab dalam kelompok.
3) Bahan dan kurikulum:
Untuk kepentingan irama penghayatan gereja masing-masing, sebaiknya ditetapkan bahan-bahan yang akan dijadikan kurikulum dalam kelompok-kelompok kecil. Santapan Harian yang diterbitkan PPA mencantumkan 12 bahan PA dari bahan-bahan yang tiap hari digali sebagai bahan bersaat teduh pemakai Santapan Harian. Bila ingin lebih serius, bentuklah komisi kurikulum yang menyusun kurikulum dan bahan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan jenis-jenis maksud kelompok kecil.
Metode yang bervariasi (untuk PA, doa dan diskusi) akan membantu kesegaran suasana kelompok. Informasi tentang macam-macam metode PA dapat dipelajari dari buku "Metode Penelaahan Alkitab" oleh Maitimoe, PPA. Dalam daftar kepustakaan artikel ini pun dapat Anda jumpai buku-buku yang mengupas tentang berbagai macam metode yang dapat dipakai dalam kelompok.
Sebaiknya kurikulum dibagi dalam periode sekitar 3-6 bulan. Buatlah rencana isi pertemuan tiap periode. Misalnya:
April: Mei: Juni: Juli:
Pelajaran 1 Pelajaran 4 Pelajaran 8 Pelajaran 10
Pelajaran 2 Pelajaran 5 Pelajaran 9 Pelajaran 11
Pelajaran 3 Pelajaran 6 Pertemuan Pelajaran 12
Evaluasi Aksi sosial seluruh ke- Evaluasi
Pelajaran 7 lompok. umum dan
rencana lanjut.
4) Acara pertemuan kelompok kecil:
1. Tentukan pertemuan teratur seminggu sekali.
2. Tentukan jam pertemuan sekitar 1-2 jam, mulai dan akhiri tepat pada waktu yang disepakati.
3. Mulailah acara dengan santai. Secangkir teh, humor, ngobrol dan doa pembukaan dapat membantu menciptakan suasana.
4. Buat rencana pengisian waktu seperti contoh:
5. Komunikasi:
Beberapa jenis Komunikasi yang salah:
1. Pemimpin/anggota dominan.
2. Kelompok pecah dua.
3. Panel Diskusi.
4. Tertidur?
{*}Komunikasi yang baik:
Tanggung jawab pemimpin dan anggota:
Pemimpin:
1. Persyaratan utama yang harus dipenuhi seorang pemimpin, sama seperti syarat pemimpin rohani dalam Alkitab: I Tim. 3:8-13, Tit. 1:5-16. Pada intinya syarat-syarat tersebut ialah mutu rohani dan mutu kecakapan (II Tim. 2:2).
2. Beberapa ungkapan berikut membantu kita mengerti peran pemimpin kelompok kecil: pemrakarsa, pengarah, pembimbing, pembina, pendorong, pembuka jalan, rekan belajar/kerja, dsb.
3. Pemimpin kelompok kecil bukan: boss, pengkhotbah, pengritik, penjawab. Dia membantu kelompok untuk bersama peka terhadap Roh Allah, FirmanNya, sesama anggota kelompok dan kebutuhan pelayanan gereja. Dia menghargai, tidak memaksa atau memborong, sabar, trampil memotivasi, mendorong komunikasi, pendengar yang baik, sabar, melemparkan pertanyaan diskusi, fleksibel, tidak sembrono. Pemimpin menjadi penghubung majelis dan anggota.
Anggota:
Anggota menentukan mati hidupnya kelompok. Kesetiaan menjaga waktu dan persiapan, kesungguhan dan keterlibatan, doa, sikap positif, saling belajar, semua ini mendukung sukses kelompok.
Evaluasi
Dalam satu periode kelompok kecil (3-6 bulan), perlu diadakan evaluasi sebanyak 2-3 kali untuk melacak beberapa hal:
1) dinamika kelompok
2) kegunaan bahan dan dampaknya dalam kehidupan anggota
3) mutu kepemimpinan
4) peran serta anggota
Pemimpin sebaiknya membuat pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang dapat diisi dan mengarahkan diskusi bersama dengan tujuan menilai dan meningkatkan mutu kelompok.
Gereja yang sehat adalah gereja yang bertumbuh sesuai dengan hakekat dan fungsi seperti yang digariskan Alkitab. Pengertian bertumbuh adalah semakin berfungsinya gereja sebagai umat yang beribadah dan bersekutu, dibangun atas kebenaran dan memelihara kebenaran serta mencapai dunia ini dengan Injil. Tentu saja, pertumbuhan akan berjalan bersama dengan perkembangan yang berarti penambahan jumlah. Kelompok kecil yang secara serius dijadikan bentuk penataan kehidupan gereja, akan memungkinkan gereja bertumbuh dan berlipat ganda, memuliakan Allah.
1. Michael Griffiths, The Example of Jesus, IVP, Illinois, 1985.
2. Brian V. Hill, The Greening of Christian Education, Lancer Books, NSW, 1985.
3. Anton Baumohl, Grow your own leaders: a practical guide to training in the local church, Scripture Union, London, 1987.
4. Anton Baumohl, Making adult disciples, ANZEA, NSW, 1984.
5. John Mallison, Building small groups in the Christian community, Scripture Union, London, 1981.
6. Creative ideas for small groups in the Christian community, Scripture Union, London, 1981.
7. Lawrence O. Richards, A new face for the church, Zondervan, Grand Rapids, 1976.
8. Ray C. Stedman, The church comes alive, Body Life, Regal Books, Glendale, 1972.
9. Howard A. Snyder, The problem of wine skins, Church structure in a technological age, IVP, Illinois, 1975.
10. Howard A. Snyder, The community of the King, IVP, Illinois, 1977.
11. Bruce Milne, Know the Truth, a handbook of Christian belief, IVP, Illinois, 1982.
12. Bruce Milne, We belong together, the meaning of fellowship, IVP, Leicester, 1978.
13. Pat Baker, Mary-Ruth Marshall, Simulation Games book 1,2,3, The joint board of Christian education, Australia, 1984.
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Kontak | Partisipasi | Donasi