Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 3 No. 1 Tahun 1988 > 
ALTERNATIF BAGI KEBEKUAN GEREJA 

Judul: Baptisan dan Kepenuhan: Peranan dan Karya Roh Kudus Masa Kini

Oleh: John R.W. Stott

Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1984, 117 halaman.

Selama dua dasawarsa terakhir ini terjadi gelombang pengaruh Kekristenan yang boleh dikatakan merata di seluruh dunia. Pengaruh itu dirasakan betul baik oleh kalangan umat Kristen Protestan maupun oleh umat Katolik. Banyak umat Kristiani diperbaharui dalam penghayatan mereka atas peran Roh Kudus dan karunia-karunia rohani (charismatic renewal).

Arus pembaharuan apa saja biasanya menimbulkan ekses. Jadi, di satu pihak kehadiran kecenderungan baru ini disambut hangat, tetapi di lain pihak ada pula yang mengecam habis-habisan. Memang Gerakan Karismatik atau Gerakan Pentakosta Baru mengundang reaksi pro dan kontra dari gereja-gereja. Hal ini tentunya mengancam keutuhan tubuh Kristus. Lalu bagaimanakah sikap seorang percaya di dalam kancah seperti itu?

Inilah yang penulis buku usahakan untuk mencapainya. Dalam kata pengantar bukunya John Stott melihat persoalan Pneumatologi itu dari kaca mata seorang gembala. Kesan membela panji denominasi tertentu sebisa mungkin dihindari. Setiap masalah dalam buku itu disoroti di bawah terang Alkitab dengan penafsiran yang ketat. Walaupun Stott memiliki alur teologi yang jelas, namun yang ditonjolkan bukanlah sikap membela keyakinan pribadinya. Kerinduan Stott adalah merangkul anggota-anggota tubuh Kristus di dalam kebenaran. Maka kesimpang-siuran hendak diluruskan.

Bab I membahas soal yang kontroversial, yaitu masalah baptisan Roh Kudus. Setelah memaparkan beberapa sinonim dari ungkapan baptisan Roh, Stott menerangkan arti baptisan Roh dalam konteks perikop Alkitab. Uraian tentang konsep baptisan dari I Korintus 12:13 sangat menarik dan berharga.

Tetapi patut disimak penjelasannya tentang perbedaan menerima baptisan Roh pada hari Pentakosta antara 120 orang dan 3000 orang. Justru kekacauan pengalaman karismatik saat ini disebabkan oleh keyakinan yang didasari pada penafsiran sepihak atas pengalaman dari 120 orang. Stott justru dengan jeli melihat kekeliruan ini. Baginya "kini kita hidup di zaman setelah kejadian Pentakosta, seperti halnya dengan ke-3000 orang itu" (halaman 13). Dengan kata lain, kelahiran baru dan baptisan Roh dialami berbarengan. Tidak ada pengalaman dibaptis Roh dalam pengertian "second blessing" (berkat kedua).

Berhubungan erat dengan pengalaman baptisan Roh adalah pengalaman kepenuhan Roh. Dalam Bab 11 Stott menyimpulkan bahwa kepenuhan Roh berbeda dari baptisan Roh. Kepenuhan Roh merupakan akibat dari baptisan Roh dan itu adalah perintah Tuhan. Sedangkan baptisan Roh tidak pernah dijadikan keharusan untuk pengalaman sesudah pertobatan. Kehidupan dipenuhi Roh harus selalu menjadi ciri utama dari kehidupan seorang percaya. Seseorang mengalami hidup dipenuhi Roh bisa berulang kali. Tetapi seseorang dibaptis Roh hanya sekali dan itu terjadi di awal hidup kekristenannya.

Lalu apakah tanda utama suatu kehidupan yang dipenuhi Roh? Dalam Bab III Stott menguraikan bahwa ukuran mutlak kepenuhan Roh adalah buah Roh itu sendiri. Buah Roh jelas bersifat moral dan sulit dipalsukan. Sedangkan apa yang dikenal sebagai "pengalaman Pentakosta" sulit dijadikan patokan. Mungkin saja itu asli buah pertobatan, tetapi itu bisa juga berasal dari setan (demonis) atau dari fenomena kejiwaan (psikologis). Oleh sebab itu Stott tidak ragu-ragu untuk menyatakan buah Roh sebagai bukti terbaik dari orang yang hidupnya dipenuhi Roh (halaman 71).

Akhirnya, dalam Bab IV dibicarakan tentang karunia-karunia rohani (kharismata). Stott tetap dengan pola pembahasan sebelumnya. Ia mulai dari definisi dan pengertian yang alkitabiah. Pengertian mengenai kharismata ini lebih diperjelas, sewaktu ia membandingkannya dengan bakat-bakat alami. Bagi Stott keragaman kharismata justru membuat kehidupan bergereja menjadi semarak. Keesaan gereja diwarnai dengan kepelbagaiannya. Kendatipun demikian, Stott perlu menjernihkan pengertian tentang nubuat dan mujizat, karena kedua hal itu memang sering disalahartikan.

Pendek kata, Stott mengakui sumbangsih Gerakan Karismatik bagi kebekuan gereja. Kehidupan gereja yang bergantung pada rohaniwan sepenuhnya (klerikalisme) pada gilirannya memang membuat gereja tidak sehat. Kaum awam bisa dan perlu dimobilisasikan dalam pelayanan sesuai dengan karunianya masing-masing.

Secara keseluruhan buku kecil ini termasuk padat dan berisi. Pokok-pokok masalah dibahas satu per satu dengan mendalam. Namun keterbatasan ruang tidak memungkinkan suatu pembahasan yang meluas dan terperinci. Maka pernyataan Stott bahwa karunia mengajar merupakan karunia yang tertinggi pasti akan mengundang pendapat pro dan kontra yang baru (halaman 109).

Sesungguhnya buku ini patut disimak oleh siapa pun yang mencintai kebenaran firman Tuhan. Kehadiran karya Stott ini melengkapi khazanah kepustakaan kristiani tentang topik Roh Kudus yang akhir-akhir ini terasa langka. Walaupun kehadiran buku itu di Indonesia dinilai lambat, namun usaha almarhum Dr. Harun Hadiwijono dan penerbit layak mendapat acungan jempol. Memang "api itu belum padam..."

Yongky Karmen



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA