Teks Tafsiran/Catatan Daftar Ayat
 
Hasil pencarian 161 - 180 dari 303 ayat untuk engkau tidak AND book:18 (0.002 detik)
Pindah ke halaman: Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Selanjutnya
Urutkan berdasar: Relevansi | Kitab
  Boks Temuan
(0.59) (Ayb 6:21) (jerusalem: Demikianlah) Dalam naskah Ibrani tertulis: Sebab/Memang
(0.59) (Ayb 9:24) (jerusalem: oleh siapa lagi?) Oleh karena sepenuh-penuhnya percaya pada penyelenggaraan Allah yang merangkum segala-galanya, maka Ayub tidak segan-segan melemparkan kepada Allah tanggung jawab atas segala pengalaman yang menjengkelkan, Ayu 9:22-24.
(0.59) (Ayb 21:5) (jerusalem: menutup mulutmu...) Menutup mulut dengan tangan, bdk Ayu 29:9; 40:4, adalah isyarat menyatakan bicara samasekali tidak ada gunanya, oleh karena sia-sia atau bodoh.
(0.59) (Ayb 26:14) (jerusalem: ujung-ujung jalanNya) Artinya: apa yang kita lihat, segi lahiriah karya Allah yang sekali-kali tidak memadai segi batiniah dan rahasia yang ada pada karya Allah, bdk Sir 43:32.
(0.59) (Ayb 38:39) (jerusalem: singa betina) setelah berbicara tentang makhluk-makhluk tidak berhayat, pesajak beralih kepada binatang-binatang. ia memilih yang dianggap paling buas atau aneh-aneh. Allah mengurus binatang-binatang itu juga. Bdk Maz 104:20-22.
(0.59) (Ayb 39:13) (jerusalem) Bagian mengenai burung unta ini tidak terdapat dalam terjemahan Yunani dan oleh sementara ahli Kitab dianggap sebuah sisipan.
(0.59) (Ayb 40:1) (jerusalem: jawab TUHAN) Ayat peralihan ini tidak terdapat dalam terjemahan Yunani. Ayub mau berbantah-bantah dengan Tuhan. Tetapi Allah menghadap Ayub kepada rahasia hikmat Tuhan yang menyata dalam karyaNya.
(0.59) (Ayb 3:25) (full: YANG KUTAKUTKAN, ITULAH YANG MENIMPA AKU. )

Nas : Ayub 3:25

Kerinduan terbesar Ayub ialah mengalami kehadiran dan perkenan Allah; kini hal yang paling ditakutinya terjadi. Allah tampaknya telah meninggalkan dia dan ia sama sekali tidak mengetahui alasannya. Namun, Ayub tidak mengutuki Allah; ia masih berdoa kepada-Nya memohon kemurahan dan pembebasan (Ayub 6:8-9).

(0.59) (Ayb 4:21) (jerusalem: kemah) Dalam naskah Ibrani tertulis: tali-tali. Tetapi yang dimaksudkan ialah tali-tali atau pasak-pasak kemah
(0.59) (Ayb 19:26) (jerusalem: Juga... sangat rusak) Dalam naskah Ibrani tertulis: sesudah kulitku di belakang kulitku mereka rusakkan. Artinya tidak jelas dan naskahnya kiranya rusak. Ada macam-macam usul perbaikan yang semua kiraan belaka. Salah satu usul ialah: sesudah aku bangkit ia menempatkan aku di sisiNya
(0.59) (Ayb 12:1) (sh: Membandingkan diri (Kamis, 25 Juli 2002))
Membandingkan diri

Membandingkan diri. Ketika kita menderita salah satu godaan terbesar pada saat itu ialah membandingkan penderitaan yang diri kita alami dengan kebahagiaan orang lain. Ini adalah respons manusiawi; kita cenderung mengukur keadilan dari sudut, apakah orang lain menerima yang sama seperti yang kita terima atau tidak. Tetapi, dampak dari sikap ini adalah kekecewaan yang dalam terhadap Tuhan. Kita mulai mengklaim bahwa Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi kita. Tampaknya Ayub terperangkap di dalam jebakan yang serupa.

Pada ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6, Ayub mengeluh dengan sinis. Ayat ini merupakan pengkontrasan dengan ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">4, ketika Ayub berseru dan seakan menyesali kondisinya, "Aku menjadi tertawaan sesamaku … orang yang benar dan saleh menjadi tertawaan." Ayub menganggap bahwa ia telah diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal ini terjadi pada dirinya, sedangkan ia telah hidup saleh? Tuhan tidak adil karena telah menghadiahinya penderitaan. Sebaliknya, orang yang hidup dalam dosa, menurut Ayub, justru menikmati ketenteraman. Dalam penderitaan, Ayub membandingkan diri dengan orang lain. Ini sangat berbahaya karena ia menuntut keadilan Tuhan.

Melalui perikop ini, kita belajar bahwa beberapa hal yang penting dan perlu untuk kita pelajari dan pahami dalam perjalanan iman kita adalah pertama, bahwa apa yang menjadi bagian kita adalah wujud dari keadilan dan kasih Allah. Kedua, menerima bagian kita apa adanya tanpa harus membandingkannya dengan bagian orang lain. Tuhan tidak mengharapkan agar kita dapat memahami seutuhnya setiap tindakan-Nya, namun Ia mengharapkan supaya kita mempercayai-Nya, bahwa Ia adalah Allah yang baik, kudus, dan adil.

Renungkan: Ketika kita berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak jarang kita menemukan kegagalan, kegagalan yang sering kali juga diciptakan oleh konsep rohani yang sempit dan dangkal. Akibatnya, kita mulai berpikir bahwa tidak mudah memahami kesulitan hidup. Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hanya dalam Kristus sajalah kebenaran itu mewujud.

(0.59) (Ayb 20:1) (sh: Nasib orang fasik (Rabu, 15 Desember 2004))
Nasib orang fasik

Nasib orang fasik. Apakah orang fasik bernasib baik? Bagaimana nasib akhir orang fasik?

Zofar melontarkan uraian nasib orang fasik yang dimaksudkan bagi Ayub. Bagaimana nasib orang fasik menurut Zofar? Pertama, orang fasik akan sementara saja menikmati hasil kejahatannya. Pada mulanya terlihat ia aman karena kejahatannya belum terungkap. Selain itu, orang fasik bangga akan kehebatannya dalam `dunianya'. Padahal dalam sekejap ia akan kehilangan segalanya. Bahkan kebinasaan akan datang menerpa dirinya seumpama bayi yang lahir sebelum waktunya (ayat 5-11). Kedua, Allah tidak berdiam diri melainkan akan menghukum orang fasik dan menimpakan semua perbuatan dosanya kepada diri sendiri. Seringkali kehancuran mereka sepertinya lambat terjadi. Ini berarti mereka sedang dibiarkan Allah mengalami dan merasakan penderitaan yang telah mereka perbuat kepada sesama (ayat 12-19). Ketiga, orang fasik tidak akan merasa damai. Mereka tidak menikmati hasil kejahatannya. Sebaliknya, mereka gelisah dan mengkhawatirkan bahwa perbuatan jahat mereka akan berbalik dan mencelakakan diri sendiri (ayat 20-22). Keempat, murka Allah mengejar dan akan mengenai orang fasik, ibarat anak panah dan tombak yang sekali dilempar tidak akan kembali sebelum mengejar dan mengenai sasaran (ayat 23-29).

Uraian Zofar tentang nasib orang fasik ini benar, tetapi tidak tepat bagi Ayub sebab penderitaan yang Ayub alami bukan akibat kejahatannya. Selain itu, tidak ada bukti yang menyatakan Ayub telah melakukan dosa sehingga ia menderita. Jadi, kata-kata yang dituduhkan Zofar kepada Ayub adalah fitnah.

Meski ucapan Zofar ini tidak tepat untuk Ayub, kebenarannya perlu kita terima. Tidak seorang fasik pun dapat luput dari perbuatan dosa-dosanya sendiri. Karena Allah akan menghukum orang fasik sesuai dengan perbuatannya. Apakah selama ini Anda merasakan Allah `membiarkan' perbuatan orang fasik? Bahkan sepertinya mereka hidup jauh lebih baik dari anak Tuhan?

Renungkan: Dosa pasti mendapatkan balasannya. Jangan biarkan perbuatan buruk orang lain melunturkan iman percaya Anda.

(0.59) (Ayb 22:1) (sh: Dosa sosial (Sabtu, 3 Agustus 2002))
Dosa sosial

Dosa sosial. Bila dalam ucapan-ucapannya sebelumnya Elifas terdengar sebagai yang paling menahan diri dari menuduh dan berupaya untuk menghibur Ayub (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">4:6; 5:17), kini terang-terangan Elifas menuduh Ayub dihukum Tuhan karena dosa-dosanya.

Seperti halnya ucapan Zofar dan Bildad, ucapan Elifas ini pun mengandung kebenaran. Firman Allah tidak saja melarang orang dari melakukan perbuatan salah, tetapi juga mendorong orang untuk berbuat benar. Perintah-perintah Allah dalam Taurat maupun uraiannya, serta ucapan para nabi, menegaskan dua sisi sifat perintah-perintah Allah itu. Karena itu, kejahatan tidak saja harus berbentuk melakukan yang jahat terhadap orang lain, tetapi bisa juga dalam bentuk menahankan yang baik terhadap orang lain. Dosa-dosa juga tidak saja bersifat individual tetapi bisa pula bersifat sosial. Bahkan dalam sorotan Alkitab, aspek sosial menjadi ukuran dari kesungguhan spiritualitas seseorang.

Dengan terang-terangan, kini Elifas menuduh Ayub telah melakukan dosa-dosa sosial dalam bentuk menerima gadai (ayat 6), tidak peduli terhadap orang miskin (ayat 7) dan menelantarkan para janda dan yatim piatu (ayat 9). Kelak Ayub akan menegaskan kembali bahwa tuduhan bahwa dirinya telah melakukan ketidakpedulian sosial ini pun tidak benar (ps. 29). Maju selangkah lebih jauh, Elifas juga menuduh bahwa Ayub telah meremehkan Allah. Rupanya Elifas menafsirkan ucapan-ucapan Ayub sejauh ini yang membela bahwa dirinya benar di hadapan Allah sebagai kemunafikan. Seolah Ayub menganggap Allah dapat dikelabui atau Allah tidak peduli terhadap benar atau salahnya perbuatan orang. Berdasarkan pengandaian keliru ini, Elifas lalu mengunci khotbahnya dengan undangan agar Ayub bertobat (ayat 21-30). Undangan untuk bertobat diikuti dengan janji yang mengandung kebenaran: Orang yang bertobat dan mengikuti jalan benar, akan diperkenan Tuhan dan beroleh berkat-berkat-Nya. Sayang semua kebenaran ini berasal dari orang yang tidak pernah membuka mata dan telinga hatinya kepada rintihan rohani sahabatnya, Ayub.

Renungkan: Meski tidak beroleh keberuntungan sosial, kita tetap harus memiliki kepedulian sosial.

(0.59) (Ayb 35:1) (sh: Nyanyian di waktu malam (Rabu, 14 Agustus 2002))
Nyanyian di waktu malam

Nyanyian di waktu malam. Elihu berusaha meyakinkan bah-wa Ayub tidak memiliki hak menuntut agar Allah menjawab keluhannya karena [1] tidak ada keharusan bagi Allah untuk menjawab, (ayat 3-8), [2] Allah tidak akan menjawab keluhan pembuat kejahatan (ayat 9-13), dan keluhan Ayub bahwa Allah tidak pernah menghukum orang jahat adalah omong kosong (ayat 14-16).

Elihu melihat kata-kata Ayub yang saling bertentangan (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">2b-3). Di satu sisi Ayub menyatakan meminta keadilan Allah, di sisi lain menganggap Allah tidak peduli akan kesusahannya. Pada ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">5-8 Elihu menyatakan tentang jarak tak terhingga antara Allah dan manusia. Jadi, kesalahan atau ketidakbersalahan Ayub tak dapat mempengaruhi Allah. Tindakan manusia hanya berpengaruh terhadap manusia lainnya.

Di ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">9-13, Elihu nampaknya menyatakan bahwa ketika orang-orang menderita, mereka tidak berseru kepada Tuhan untuk pertolongan. Inilah sebabnya Allah tidak menolong mereka. Ratapan mereka hanyalah teriakan kosong dari sifat yang egois, bukan dari kepercayaan kepada Allah. Mereka mengabaikan pengajaran Allah dari alam. Padahal Allah yang memberikan mereka nyanyian-nyanyian di waktu malam dan mengajar mereka melalui binatang-binatang (bdk. engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">12:7). Nyanyian di waktu malam mungkin adalah nyanyian bintang-bintang dan makhluk-makhluk surgawi lainnya yang bersukacita kala bumi dijadikan (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">38:7). Kaum tertindas harus mengingat pencipta mereka, dan berseru kepada-Nya, bukan kepada manusia.

Elihu menyimpulkan kasus Ayub dengan mengatakan: pernyataan Ayub bahwa Allah belum menampakkan diri-Nya adalah bodoh. Allah telah menyatakan diri melalui keajaiban alam (ayat 14). Ayub juga dianggap salah karena mengatakan bahwa Allah tidak menghukum dosa. Kalau kelihatannya demikian, tentu adalah karena orang yang tertindas belum datang kepada Allah dengan memohon secara tulus.

Renungkan: Dalam kesusahan Anda, pandanglah bintang dan hiruplah udara segar. Allah mengasihi Anda. Berserulah kepada-Nya!

(0.59) (Ayb 40:1) (sh: Berdiam sejenak (Minggu, 18 Agustus 2002))
Berdiam sejenak

Berdiam sejenak. Kita teringat lagi perkataan Yahweh dalam engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">38:1 yang menyatakan bahwa Ia akan menanyai Ayub. Allah menuduh bahwa Ayub telah mengaburkan desain-Nya melalui ketidaktahuan Ayub. Situasinya sekarang berubah: Yahweh telah memberikan Ayub hak yang unik untuk belajar dari-Nya secara langsung tentang karya-Nya yang begitu luas cakupannya.

Tibalah waktunya bagi Yahweh untuk menanyakan pertanyaan itu lagi. Ia menyatakan-Nya dengan bahasa hukum, seperti istilah yang digunakan Ayub dalam engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">31:35, "surat tuduhan", suatu istilah hukum. Ayub telah berbantah dengan Allah dan telah membuat tuduhan hukum terhadap-Nya (istilah berbantah dalam ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">35 seharusnya diterjemahkan dengan lebih keras: menegur, mengoreksi).

Ayub sekarang harus berespons kepada Allah setelah ia mendapatkan pengetahuan yang baru ini. Ayub memang menjawab (ayat 36-38), tetapi jawabannya tidak memuaskan. Ia tidak dapat menyangkali kebenaran yang telah diungkapkan Allah. Ayub tertegun di hadapan kehadiran Allah yang begitu blakblakan, sehingga ia harus mengakui kerendahannya secara tulus. Namun, ia tidak pernah meragukan kuasa Allah. Ayub hanya meragukan keadilan Allah. Sekarang pun Ayub tetap merasa tidak bersalah atau menjadi fasik seperti yang dituduhkan teman-temannya. Ayub juga tidak menarik kasusnya. Ia hanya mengatakan bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menjawab Allah dan ia dengan demikian akan terus berdiam diri.

Renungkan: Mengakui ketidaktahuan kita dan sejenak berdiam diri di hadapan penderitaan akan lebih baik daripada merasa tahu dan terburu-buru menegur Allah.

(0.59) (Ayb 1:1) (sh: Tuhan memberi, Tuhan mengambil (Rabu, 17 Juli 2002))
Tuhan memberi, Tuhan mengambil

Tuhan memberi, Tuhan mengambil. Apa yang Anda mengerti tentang arti kata "paradoks"? Banyak yang memahaminya sebagai "pertentangan". Dalam arti yang sebenarnya, "paradoks" bukanlah dua sifat yang berlawanan, melainkan dua sifat yang tampaknya berlawanan, namun sesungguhnya tidak. Semua karakter Tuhan terpadu dan saling mendukung, walaupun ada kalanya tampak berlawanan. Dengan kata lain, Tuhan tidak terbagi-bagi ke dalam beberapa sifat yang saling bertentangan. Dalam perikop awal kitab Ayub ini, ada suatu paradoks yang harus kita temukan jawabannya, yaitu mengapa Tuhan bekerja sama dengan Iblis!

Pertama, Iblis mencobai manusia untuk menjatuhkannya; sebaliknya, Tuhan tidak mencobai manusia, Ia menguji manusia untuk memurnikannya (Yak. 1: 3,13). Yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Ayub ialah, pada saat Iblis mencobai Ayub, Tuhan menguji Ayub - (ayat 12), dua niat yang berbeda, namun bergabung dalam satu peristiwa. Dengan kata lain, Tuhan tidak bekerja sama dengan Iblis. Kedua, Iblis meminta izin kepada Tuhan bukan untuk menunjukkan bahwa Iblis bekerja bagi Tuhan. Hal ini justru memperlihatkan bahwa Tuhan berkuasa penuh atas Iblis dan bahwa tidak ada yang terjadi di luar kuasa Tuhan. Iblis takluk kepada Tuhan. Kita aman dan tak perlu takut kepada Iblis sebab Tuhan jauh lebih berkuasa atasnya (bdk. 1Yoh. 4:4).

Ketiga, Iblis berharap pencobaan ini akan menghancurkan iman Ayub, tetapi Tuhan tahu bahwa iman Ayub dapat bertahan dan malah akan bertambah murni. Bahkan dari mulut seorang Ayublah keluar dua seruan agung, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" Apakah kita hanya mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Ayub menyadari bahwa segala yang pernah dimilikinya adalah pemberian semata. Ia bersyukur bisa menikmatinya walau hanya sejenak, dan ia bersedia melepaskannya. Ayub tidak menggenggam erat-erat harta miliknya sebab ia tahu bahwa memang bukan dialah pemiliknya. Bagaimana dengan kita?

Renungkan: Hal apakah yang terpenting dalam kehidupan Anda selama ini? Berkat Tuhankah atau Tuhan yang memberkati?

(0.59) (Ayb 3:1) (sh: Datanglah kepada-Nya (Jumat, 19 Juli 2002))
Datanglah kepada-Nya

Datanglah kepada-Nya. Elisabeth Kubler Ross, yang terkenal dengan bukunya, Death and Dying, menulis bahwa dalam menghadapi kematian, manusia melewati beberapa tahapan reaksi, dan salah satunya ialah keputusasaan. Tampaknya kondisi seperti itulah yang sedang dialami oleh Ayub. Ia tidak hanya telah kehilangan orang-orang yang dikasihinya, harta bendanya, tetapi juga tubuhnya terancam kematian. Saat itu, selain napas, tidak ada lagi yang tersisa dalam kehidupannya.

Dalam keputusasaan, manusia sering kali berpikir untuk segera mengakhiri hidupnya. Begitu pula dengan Ayub. Ia berharap untuk tidak dilahirkan, sehingga tidak pernah ada di dunia ini (ayat 3). Hidup yang dijalani terlalu menyakitkan dan baginya saat itu, kematian jauh lebih baik daripada kehidupan. Munculnya pertanyaan "mengapa" sebanyak empat kali menunjukkan sesal dan derita yang begitu dalam. Ayub mulai bertanya kepada Allah. Di dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, terkandung kekesalan dan kekecewaan kepada Allah. Ayub mempertanyakan kasih dan kedaulatan Allah. Apakah untuk yang dialaminya ini Allah menciptakan manusia? Untuk sikap Ayub ini, Tuhan belum meresponinya. Itu berarti Ayub masih harus menatap dan meniti hidup yang penuh kesesakan ini.

Respons Ayub terhadap penderitaan berkepanjangan yang dialaminya, menunjukkan reaksi kita yang sebenarnya terhadap penderitaan, yaitu bahwa reaksi pertama akibat penderitaan yang kita alami adalah kemarahan. Hal itu kemudian terus berlanjut dengan kemunculan berbagai tuduhan dan gugatan kepada Allah. Kita mulai memperhitungkan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan. Memang, sekuat dan seteguh apa pun kita, tidak dapat dipungkiri bahwa ketika menghadapi kesusahan kita tidak selalu kuat. Namun demikian, walau usaha mencari jawaban atas penderitaan batin yang kita alami tidak mengalami kemajuan atau mungkin jalan buntu, penderitaan itu sendiri akan membuahkan kemantapan dan keteguhan sikap iman kita kepada Tuhan.

Renungkan: Kepada siapakah kita berkeluh kesah selain kepada Dia yang memedulikan kita?

(0.59) (Ayb 16:1) (sh: Kebenaran di atas kenyataan (Senin, 29 Juli 2002))
Kebenaran di atas kenyataan

Kebenaran di atas kenyataan. Sekali lagi kita membaca teriakan Ayub yang memilukan, "Semangatku patah, umurku telah habis, dan bagiku tersedia kuburan" (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">17:1,11). Hidup Ayub tidak selalu penuh penderitaan, bahkan di masa lampau ia pernah mencicipi kehidupan yang baik, (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">16:12) tetapi kemudian semuanya lenyap (ayat 14,15). Kita semua merindukan ketenteraman dan kesejahteraan; kehilangan kedua hal ini akan membuat kita kehilangan keseimbangan hidup. Sekuat-kuatnya kita, niscaya kita akan terhuyung-huyung dan kehilangan pegangan. Kita tidak dapat melihat secercah sinar, kita hanya mampu memandang malam yang kelam.

Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan bukunya, The Cost of Discipleship, pernah berjalan "terhuyung-huyung" dalam kegelapan hidup karena menentang kekejaman Hitler. Ia ditangkap dan pada akhirnya dihukum gantung, meski ia bukan orang Yahudi. Di penjara, orang hanya mengenalnya sebagai seseorang yang tegar. Namun, dengan jujur ia mengakui bahwa di dalam sukmanya, ia gelisah dan tidak tenteram. Ia berjuang untuk tegar, namun ia pun dapat terguncang.

Ayub pun berupaya keras untuk tetap berharap walau berharap telah menjadi sebuah perjuangan, bukan lagi penghiburan. Ia berseru, "Meskipun begitu orang yang benar tetap pada jalannya dan orang yang bersih tangannya bertambah-tambah kuat" (ayat engkau+tidak+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">17:9). Saya tidak tahu apakah itu yang Ayub alami - bertambah kuat- namun itulah yang ia proklamasikan sebagai pernyataan imannya. Ia menolak untuk mengubah kebenaran menjadi serupa dengan kenyataan. Bagi Ayub, kebenaran tetap kebenaran kendati tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam mengarungi laut penderitaan, kita harus berjuang keras untuk tetap berpegang pada kebenaran firman Tuhan walau kenyataan terlihat berbeda. Firman Tuhan adalah sauh yang menancap di dasar laut sehingga sebesar apa pun ombak bergulung di permukaan, perahu kehidupan kita tidak akan terseret oleh ombak yang menggunung.

Renungkan: Kita tidak selalu dapat memahami kenyataan hidup, tetapi kita selalu dapat mempercayai kebenaran firman-Nya.

(0.59) (Ayb 19:1) (sh: Teman tak berkuasa, Tuhan berkuasa (Rabu, 31 Juli 2002))
Teman tak berkuasa, Tuhan berkuasa

Teman tak berkuasa, Tuhan berkuasa. Ayub tidak hanya kehilangan harta benda, anak-anak, dan kesehatannya. Ia juga kehilangan teman dan respek. Ayub meratap bahwa ia sekarang dikucilkan oleh saudara, kenalan, kaum kerabat, dan kawan-kawannya. Tidak berhenti di situ, ia pun diasingkan oleh anak semang dan budaknya (ayat 13-16) dan bahkan oleh istrinya sendiri (ayat 17). Ejekan tidak saja diterimanya dari teman karibnya, tetapi juga dari anak-anak kecil (ayat 18-19). Tidak heran pada akhirnya dengan memelas Ayub memohon kepada ketiga sahabatnya itu, "Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku."

Dalam penderitaan, kita membutuhkan dukungan dari orang-orang yang mengasihi kita. Seberat apa pun permasalahan yang kita hadapi, kalau kita masih mendapatkan kepercayaan dan kekuatan dari mereka, kita akan lebih sanggup menghadapinya. Namun, ironisnya, dalam kesusahan kita cenderung memilih untuk sendirian, mengucilkan diri dari keramaian. Kita menangis sendirian dan kita menderita sendirian, sepi dari sapaan teman dan kerabat.

Namun, meskipun Ayub bergumul sendirian, ia menghampiri Tuhan. Itu sebabnya ia tetap berkata dengan yakin, "Tetapi aku tahu: Penebusku hidup dan Ia akan bangkit di atas debu." (ayat 25). Ayub datang kepada Pribadi yang tepat: Tuhan sendiri. Ia membawa ketidakmengertian dan kekecewaannya kepada Tuhan. Sekarang Ayub tidak sendirian lagi. Meski sahabat-sahabatnya tidak memahami keadaannya, Tuhan mengerti.

Ada masalah yang dapat kita bagikan dan ceritakan kepada teman. Namun, ada juga masalah yang tidak bisa kita ceritakan kepada siapa pun. Akhirnya kita hanya dapat datang kepada Tuhan yang mengerti kepedihan kita bahkan sebelum kita mengucapkan sepatah kata pun.

Renungkan: Teman mengerti sebagian tentang diri kita, tetapi Tuhan mengerti seluruhnya. Teman mengasihi, memperhatikan kita, tetapi Tuhan mengurbankan nyawa-Nya buat kita. Dialah satu-satunya tempat kita mendapatkan kasih sayang dan pertolongan.



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA