(0.52) |
(Pkh
1:1)
|
(ende) PENGCHOTBAH
PENDAHULUAAN
Kitab jang sesuai dengan pendapat Luther kami namakan "Pengchotbah" ini, didalam
Kitab Sutji Hibrani di-hubung2kan dengan "Qohelet". Kata ini ada gandingannja
dengan kata Hibrani jang berarti: "himpunan, kumpulan". Pula karena bentuk-
katanja jang sulit, maka makna kata "Qohelet"-pun tidak begitu djelas. Kami kira
suatu keterangan jang boleh diterima, kalau kata ini mengenai seseorang, kang
ada sangkut-pautnja dengan suatu himpunan atau rapat orang2 - boleh djadi
sekelompok murid guru ilmu kebidjaksanaan. Himpunan itu diketuai dan dipimpinnja
dan kepadanja membentangkan pengadjarannja. Dari itu kata "Pengchotbah" hanjalah
suatu usaha untuk mendekati arti kata "Qohelet".
Pengchotbah tadi disebut "Putera Dawud, Radja di Jerusjalem" (1,1). Teranglah
kiranja, bahwa jang dimaksudkan ialah Sulaiman, radja Israil jang bidjaksana dan
kaja dimasa kegemilangan bangsa Jahudi, sebagaimana radja itu hidup dalam
hikajat orang2 Jahudi. Ini sesuai dengan gambaran jang disadjikan dalam pasal
kedua kitab ini. Namun demikian, kitab itu sendiri memberikan keterangan2 jang
tjukup untuk menarik kesimpulan dengan pasti, bahwa bukan Sulaimanlah
pengarangnja. Sungguhpun lama orang menganggap Sulaiman sebagai pengarangnja,
namun bolehlah dipastikan, bahwa disini kita bertemu dengan chajalan
kesusateraan sadja, sebagaimaan tidak djarang terdapat dalam Kitab Sutji dan
lazim didjaman dahulu kala. Orang jang mengenal kelaziman ini, tidak akan
teperdaja olehnja.
Selain keterangan jang sedikit sekali dalam kitab itu sendiri, tidak ada
petundjuk2 lainnja guna menentukan lebih landjut, siapa pengarangnja. Sudah
tentulah seorang guru kebidjaksanaan. Bahasa kitab, jang menundjukkan adanja
pengaruh bahasa2 asing serta perkembangan kemudian bahasa Hibrani sendiri, dan
keternagn2 lainnja lagi menundjukkan, bahwa ia hidup didjaman, ketika Juda sudah
bukan keradjaan jang berdaulat lagi, tetapi didjadjah orang2 asing; terangnja
didjaman Helenistis, ketika kebudajaan dan agama Jahudi sudah terantjam oleh
peradaban Junani. Dari kitab ini adalah salah satu dari antara kitab2 terachir
Perdjandjian lama dan pengarangnja kiranja hidup semasa Putera Sirah. Si
penchotbah kiranja hidup di Palestina sendiri atau tidak begitu djauh
daripadanja - boleh djadi Fenesia, negeri dagang jang tersohor didjaman itu.
Guru ilmu kebidjaksanaan ini sangat boleh djadi tidak menjusun dan menerbitkan
sendiri kitab ini. Kitab ini agaknja lebih berwudjud suatu kumpulan amsal2nja,
jang dibukukan murid2nja selagi sang guru masih hidup atau tidak lama sesudah
meninggal (12,9-10). Anehlah, kalau ia mengadjarkan tidak lebih banjak dari apa
jang termuat dalam kitab jang agak ketjil ini. Murid2 hanja mengumpulkan dan
mentjatat apa jang menurut pendapat mereka sangat penting dan jang sangat djelas
menundjukkan pandangan hidup umum sang guru.
Tjara terdjadinja kitab itu dapat menerangkan pula susunan kitab, jang
memberikan kesan ruwet. Djalan pikirannja tidak selalu sama djelasnja dan
gandingan antara bagian jang satu dengan bagian jang lainpun kadang2 nampaknja
tiada. Umpamanja sadja kumpulan pepatah2 bebas dalam pasal2 9,17-12,8 memutuskan
djalan pikiran umum. Tetapi tak perlulah kiranja lalu menduga akan adanja
beberapa pengarang atau beberapa murid, jang melengkapi kitab dang guru. Selain
tjara lazim orang2 Jahudi berpikir dan mengarang, maka tjara terdjadinjapun
dapat kita djadikan pegangan. Sudah pastilah kitab ini muat pepatah2, jang
dihidangkan si pengchotbah bukannja pada waktu serta kesempatan jang sama. Lebih
tepatlah dikatakan, bahwa pepatah2 itu disampaikan disepandjang hidup sang guru.
Oleh karena itu adjaran kitab ini didalam bagian2nja ditangkap dan saringlah
orang harus me-ngira2kan sadja maksud amsal2 tersendiri. Namun demikian,
pandangan hidup umum jang dinjatakan dalam seluruh kitab ini adalah djelas.
Dengan itu diteguhkan pula, bahwa tokoh jang satu dan sama djualah, jang selalu
tampil kemuka dan angkat bitjara. Persoalan, jang memusing2kan si Pengchotbat,
ada banja persamaannja dengan persoalan kitab Ijob. Kalau Ijob diasjikan karena
soal sengsara, jang ia tidak tahu menemukan pemetjahannja jang memuaskan, maka
si Pengshotbah disesakkan oleh ke-sia2-an dunia dan terutama oleh persoalan
mati, jang nampaknja mengachiri se-gala2-nja. Ia mentjari makna segala sesuatu,
jang achirnja tetap lolos djuga dari tangkapannja. Karena mati se-gala2nja dan
teristimewanja hidup manusia serta segala djeri-pajah manusia mendjadi sia2 sama
sekali dan kehilangan segala artinja. Entah hidup baik entah djahat, entah
bidjaksana entah bodoh kesudahannja selalu sama djuga, jakni mati. Walaupun
didalam Perdjandjian Lama teranglah terdapat djua pikiran2 lainnja, namun si
Pngchotbah belum lagi mempunjai pemandangan akan sesuatu kekekalan, jang dapat
mendjawab banjak dan dimana hidup manusia dapat menemukan gandjaran atau
hukumannja. Baginja nampaknja se-gala2nja berachir pada saat mati. Orang saleh
dan pendosa. Orang kaja dan miskin, radja dan budak, mereka menemui achir jang
sama dan oleh karenanja tidak banjak bedanja dengan hewan. Dari itu si
Pengchotbah sampailah kekejakinan, bahwa pandangan hidup jang terbaik bagi
manusia ialah tidak terlalu memusingkan dirinja dengan persoalan itu, melainkan
menikmati nilai2 nisbi kehidupan sedapat mungkin. Tetapi selaku orang berTuhan,
ia toh mau menundukkan segala sesuatunja kepada Allah serta perintah2-Nja
(12,13). Kesemuanja inisungguhpun bukan pemetjahan jang sempurna lagi memuaskan,
tetapi si pengchotbah jang hidup didalam Perndjandjian Lama itu belum mengenal
djawaban jang lebih baik atas persoalan itu. Dipandang dari sudutnja dan
mengingat pengetahuan jang ada padanja, maka kesimpulannja jang pesimistis tapi
berkegamaan itu dapat diterima. Itu hanja pemetjahan atau djawaban sementara,
jang tidak menutup pintu bagi sesuatau jang lebih baik dan jang harus menunggu
pembentangan penuh Wahju Ilahi.
Dalam pengadjarannja agaknja si Pengchotbah membantah guru2 ilmu kebidjaksanaan
lainnja di Israil (7,25-8,14), seperti umpamanja Kitab Amsal. Orang2 itu mengira
sudah memetjahkan persoalan tadi seluruhnja: umur pandjang dan berbahagia adalah
gandjaran Allah atas kebajukan, sedangkan hidup tjelaka si pendosa mesti segera
berachir. Perempuan2 djalang dan ketidaksetiaan akan hukum Allah mendjadi sebab-
musebabnja segala kesengsaraan. Tetapi pemetjahan jang terlalu gampang ini tidak
dibenarkan si Pengchotbah. bukan hanja karena kenjataannja tidak selalu
berlangsung sebagaimana dikirakan oleh guru2 ilmu kebidjaksanaan itu, tetapi
terutama djuga karena mati itu bagaimanapun djua kelihatannja menjudahi semuanja
setjara sama. Nah, kalau begitu, apa gerangan artinja umur pandjang jang
berbahagia atau keadaan tjelaka itu? Orang saleh dan si pendosa sungguh sama
adanja dan tiada lagi soal gandjaran atau hukuman. Meskipun si Penchotbah
sendiri tidak mengenal pemetjahan jang sebenarnja, namun ia merasa, bahwa
pendapat jang lazim itu bukanlah keterangan jang djitu. Dengan kritiknja ia
membuka jalan dan memberikan dorongan, untuk mentjari djawaban jang lain dan
bilamana itu sudah diberikan, untuk menerimanja. Seorang jang berguru kepada
orang bidjak ini akan terbukalah hatinja bagi Wahju seterusnja.
Demikianlah kitab Pengchotbah beserta dengan kitab Ijob menduduki tempat jang
penting dalam perkembangan Wahju Ilahi. Djanganlah Ia dipentjilkan, tetapi arti
serta peranannja hendaknja dibuat didalam keseluruhan Perdjandjian Lama dan
Perdjandjian Baru. Kitab ini merupakan penguntji suatu masa tertentu dalam
perkembangan itu, dan karena persoalan jang diutarakannja merupakan djuga
permulaan suatu fase baru, jang lebih mendalam dan lebih luas. Sebagai salah
satu dari tokoh2 terachir dari Perdjandjian Lama ia dalam hal ini merupakan
persiapan terdekat bagi perdjandjian Baru.
Pada achir kitab ini terdapatlah ichtisar kitab ini.
|