Teks Tafsiran/Catatan Daftar Ayat
 
Hasil pencarian 1521 - 1540 dari 1919 ayat untuk segala (0.001 detik)
Pindah ke halaman: Pertama Sebelumnya 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 Selanjutnya Terakhir
Urutkan berdasar: Relevansi | Kitab
  Boks Temuan
(0.10) (2Taw 32:1) (sh: Bersandar kepada kekuatan manusia (Senin, 8 Juli 2002))
Bersandar kepada kekuatan manusia

Nas yang kita baca ini memberikan dua contoh bagaimana manusia memperlakukan kekuatannya: yang masih mengingat dan berserah kepada kekuatan Allah, sementara yang lain hanya mengagungkan kekuatannya sendiri. Hizkia menjadi contoh yang pertama. Ketika ia mendengar tentang invasi pasukan Sanherib, Hizkia segera melakukan berbagai tindakan strategis, seperti meniadakan sumber-sumber yang dapat digunakan musuh (ayat 3-4), memperkuat tembok-tembok dan menara pertahanannya (ayat 5a), memperkuat kota berkubunya, memperbanyak persenjataan bagi tentaranya (ayat 5b), dan memobilisasi rakyatnya (ayat 6). Tetapi, semua ini bukan hal utama yang ingin ditampilkan penulis Tawarikh mengenai Hizkia. Dalam ayat 7-8, Hizkia berpidato untuk menguatkan rakyat, dan sekaligus menegaskan sikap iman yang diambil Hizkia, "Yang menyertai dia adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah TUHAN, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita" (ayat 8a). Hizkia tidak berpangku tangan, ia juga bertindak. Tetapi ia tahu, bahwa hanya tindakan Allah sajalah yang menjadi penentu akhir segala sesuatu. Sikapnya ini pun menjadi teladan bagi rakyatnya, karena mereka kembali terinspirasi (ayat 8b).

Keangkuhan kata-kata Sanherib menjadi contoh pengandalan kekuatan diri sendiri yang paling vulgar. Allah Israel dipersamakan dengan allah-allah bangsa lain yang telah dikalahkan oleh kekuatan Sanherib. Penulis Tawarikh dengan cukup jelas menyatakan keangkuhan luar biasa dari raja Sanherib, bahwa apa yang dilakukannya itu penuh "hujat dan cela terhadap TUHAN, Allah Israel" (ayat 17). Mungkin ini dapat membuat takut beberapa orang penduduk Yerusalem pada zaman Hizkia (ayat 18). Tetapi tidak bagi saudara-saudari penulis Tawarikh, orang-orang Yehuda yang kembali dari pembuangan. Mereka telah melihat langsung tangan Allah yang kuat itu merendahkan para raja dunia yang berkuasa.

Renungkan: Kristen sedang bersandar pada kekuatannya sendiri dan melupakan Tuhan bila berusaha melakukan apa yang sebenarnya baik tanpa berserah kepada Tuhan dan mencari kehendak-Nya.

(0.10) (2Taw 36:1) (sh: Pembuangan, upeti, dan pengganti (Senin, 15 Juli 2002))
Pembuangan, upeti, dan pengganti

Masing-masing catatan mengenai trio raja terakhir Yerusalem sebelum Zedekia ini memperlihatkan terjadinya ketiga peristiwa ini kepada diri mereka. Hukuman Allah kepada Israel mulai diberlakukan. Meskipun demikian, Yoyakim serta Yoyakhin pun ditunjukkan tetap saja berbuat apa yang jahat di mata Tuhan (ayat 5,9). Akibatnya, ketiga raja tersebut sama-sama mengalami pembuangan. Mereka juga sama-sama dipaksa membayar upeti, sehingga harus membiarkan bait Allah dijarah. Bahkan mereka juga diturunkan, lalu digantikan oleh orang yang diangkat oleh bangsa asing.

Ringkasnya catatan penulis Tawarikh tentang ketiga raja ini mengarahkan pembacanya ke satu hal penting: tidak ada hal yang dapat diteladani dari ketiga raja tersebut. Tindakan-tindakan mereka hanya mengulang dosa-dosa raja-raja jahat sebelum mereka. Sangat kontras, misalnya, dengan catatan penulis Tawarikh mengenai Yosia dan reformasinya yang belum lama kita gali. Catatan tentang Yoahas yang hanya memerintah selama tiga bulan (ayat 1) menunjukkan tidak banyak yang dapat dilakukannya ketika kerajaannya berada di bawah penghukuman dan disiplin Tuhan.

Kisah mengenai Yoyakim dan Yoyakhin sekali lagi menunjukkan bahwa dwitunggal lembaga kerajaan dan bait Allah tanpa kesungguhan untuk mencari Allah, tidak akan membawa kesejahteraan dan kejayaan bagi Yehuda. Melakukan apa yang jahat justru akan mendatangkan nasib yang sebaliknya: penistaan dan kesengsaraan. Ini terjadi tidak hanya melalui pembelengguan raja, seperti yang dialami Yoyakim, tetapi juga penjarahan bait Allah. Pada masa itu, tindakan ini merupakan tanda takluknya suatu bangsa secara menyeluruh, baik secara militer maupun keagamaan. Sebenarnya apa yang dialami Yoyakim ini masih akan terjadi di masa yang akan datang pada zaman raja Zedekia, dalam bentuk yang lebih buruk.

Renungkan: Kesimpulan terakhir dari segala sesuatu yang dikerjakan tanpa penyertaan Allah adalah keterpurukan dan ratapan. Kepemimpinan Kristen harus sungguh-sungguh berusaha agar ini tidak terjadi pada komunitas Kristen sekarang.

(0.10) (Neh 2:11) (sh: Gaya kepemimpinan Nehemia (Senin, 13 November 2000))
Gaya kepemimpinan Nehemia

Mengapa begitu banyak kegiatan besar yang menghabiskan waktu dan tenaga berlalu tanpa membuahkan hasil yang memadai? Salah satu sebab kegagalannya adalah kelalaian sang pemimpin untuk mendapatkan data yang akurat. Sebelum berbicara dengan pemuka masyarakat di Yerusalem, Nehemia pergi sendiri untuk menyelidiki dengan saksama segala sesuatunya. Inilah teladan pertama dari gaya kepemimpinan Nehemia. Teladan kedua yang dapat kita ambil adalah sebagai pemimpin ia tidak memakai gaya memerintah namun ia 'membagikan visi' yang ia miliki kepada orang-orang yang akan bekerja sama dengan dirinya. Memang tidak mudah bagi seseorang yang mempunyai visi untuk memotivasi orang lain agar mau turut serta mewujudnyatakan visi yang ia miliki. Namun Nehemia mempunyai pendekatan yang tepat dalam menularkan visinya. (1) Ia membeberkan dengan jelas tantangan dan masalah yang dihadapi (17). (2) Ia melihat masalah itu bukan sebagai urusan 'kalian', tetapi sebagai urusan 'kita' (17). Ia mengidentifikasikan dirinya dengan saudara-saudaranya yang sengsara di Yerusalem. (3) Ia mengajak saudara-saudaranya untuk mengambil tindakan yang nyata (17). (4) Ia memberikan kesaksian yang meyakinkan dan membangkitkan semangat mereka bahwa Tuhan telah menolongnya dan akan senantiasa menolongnya (18, 20).

Teladan ketiga dari gaya kepemimpin Nehemia adalah kedekatannya dengan Tuhan. Ini adalah salah satu kunci keberhasilan perwujudan visinya menjadi sebuah realita. Ia peka terhadap suara Tuhan sehingga rencana pembangunan tembok ini 'diberikan Allah dalam hatinya' (11). Tantangan dan ejekan dari kerajaan tetangga pada awal pelaksanaan pembangunan tembok Yerusalem dapat dihadapi juga berkat keyakinannya akan kuasa Tuhan: Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil!

Renungkan: Sebagai pemimpin rohani yang efektif, Nehemia secara realistis mengevaluasi setiap masalah dan kesulitan yang dihadapi. Namun ia tidak membawa dirinya dan orang yang dipimpinnya terfokus pada masalah yang dihadapi, melainkan terfokus kepada kekuasaan Allah. Ia berusaha membangun keyakinan diri dan semangat diri berlandaskan kekuasaan Allah. Bagaimana ciri kepemimpinan kita selama ini di gereja, kantor, rumah tangga, dan pelayanan?

(0.10) (Neh 7:1) (sh: Standar Nehemia (Senin, 20 November 2000))
Standar Nehemia

Kota Yerusalem kini pulih kembali. Tembok kota telah berdiri dan pintu gerbangnya telah dipasang. Lalu Nehemia mengangkat penunggu- penunggu pintu gerbang yaitu para penyanyi dan orang-orang Lewi. Sepintas penunjukkan ini nampak aneh. Para penyanyi dan orang- orang Lewi memang biasa bertugas menjaga pintu namun bukan pintu gerbang kota tetapi pintu gerbang Bait Allah. Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tepat, sebab mereka telah terbiasa sehingga sikap mental dan kewaspadaan terhadap tugas sudah terbentuk.

Nehemia juga mengangkat Hanani sebagai pengawas Yerusalem karena ia adalah saudaranya. Bukan karena alasan koneksi ataupun nepotisme, sebab Nehemia telah membuktikan bahwa hidupnya, saudara- saudaranya, dan bawahannya bebas dari korupsi dan memperkaya diri sendiri. Alasan penunjukkan Hanani sebagai pengawas atas Yerusalem adalah ia mempunyai kredibilitas dan integritas, hingga kepadanya dipercayakan tugas yang berat dan besar. Untuk jabatan panglima benteng Nehemia mengangkat Hananya, seorang yang dapat dipercaya dan takut akan Tuhan. Ada kombinasi yang serasi dan indah dalam kualifikasi yang dimiliki Hananya. Ia tidak hanya mempunyai kredibilitas yang tinggi tetapi juga mempunyai kedewasaan rohani yang lebih matang dari yang lain.

Nehemia tidak berhenti sampai disitu. Ia memberikan perintah yang sangat jelas dan teliti untuk tugas mereka. Sepintas nampaknya Nehemia sangat berlebihan. Mengapa pintu gerbang harus tetap ditutup hingga matahari tinggi? Sekalipun pintu sudah ditutup dan dipalangi, orang-orang masih harus berjaga. Bahkan penjagaan pun dilakukan dari depan rumah para penjaga. Nehemia melakukan itu semua dengan pertimbangan situasi di luar Yerusalem masih sangat rawan. Musuh Israel masih terus berusaha keras menggagalkan segala usaha Nehemia. Nehemia mempunyai tekad untuk menjalankan misi yang dipercayakan kepadanya dengan sempurna dan hasil semaksimal mungkin.

Renungkan: Standar Nehemia pun menjadi tuntutan bagi kita saat ini. Karena itu dalam setiap tugas yang dipercayakan kepada kita hendaklah kita laksanakan dengan standar Nehemia, mulai dari pemilihan orang- orang yang akan menjadi tim hingga ketepatan dan ketelitian kerja.

(0.10) (Neh 9:38) (sh: Komitmen dasar kehidupan Kristen (Minggu, 26 November 2000))
Komitmen dasar kehidupan Kristen

Kebangunan rohani sejati menghasilkan reformasi rohani total yang berdampak praktis dalam kehidupan umat Allah sekaligus mendorong mereka untuk bertindak konkrit. Bangsa Israel telah siap mengikat perjanjian yang baru, menandatangani komitmen tertulis bahwa mereka akan melakukan semua firman-Nya (9:38 - 10:28). Tindakan ini penting dilakukan sebagai tanda pertobatan sejati dan tanda pulihnya hubungan Allah dan manusia. Isi dokumen yang ditandatangani menyatakan secara khusus kesalahan-kesalahan yang harus mereka perbaiki (10:29-39). Karena itu reformasi mempunyai pengertian pengakuan kesalahan dan kelemahan dilanjutkan dengan komitmen untuk memperbaikinya. Karena itulah pengikatan perjanjian yang dilakukan oleh bangsa Israel ini merupakan tindakan yang sangat serius. Sebab kata `mengikat perjanjian' berasal dari kata Ibrani 'brit' yang mempunyai arti sebuah kontrak.

Keseriusan melakukan reformasi terlihat dari tekad mereka tidak hanya memberikan komitmen secara umum tetapi juga komitmen secara khusus. Secara umum mereka berkomitmen untuk hidup menurut hukum Allah dan tetap mengikuti dan melakukan segala perintah-Nya (10:29). Komitmen khusus apakah yang mereka janjikan kepada Allah (30-39)? Hampir semua komitmen khusus mereka terfokus pada kehidupan ibadah kepada Allah. Ini tidak berarti kehidupan sosial tidak penting. Hal ini menunjukkan keyakinan mereka bahwa kehidupan ibadah merupakan dasar bagi kehidupan sosial. Jika hubungan dengan Tuhan beres, hubungan dengan sesama pasti mengalami hal yang sama.

Renungkan: Kebangunan rohani sejati membuahkan reformasi sejati yang akan menghasilkan komitmen yang melandasi kehidupan sosial manusia.

Komitmen apa yang akan Anda lakukan agar kehidupan sosial Anda semakin mencerminkan kehendak Tuhan?

Bacaan untuk Minggu ke-24 sesudah Pentakosta

Maleakhi 2:1-10

1Tesalonika 2:7-13

Matius 23:1-12

Mazmur 131

Lagu: Kidung Jemaat 391

(0.10) (Est 4:1) (sh: Tuhan di balik penderitaan umat-Nya (Minggu, 24 Juni 2001))
Tuhan di balik penderitaan umat-Nya

Ketika Anda berada dalam suatu ruangan yang gelap pekat, munculnya seberkas cahaya menjadi begitu berarti bagi Anda. Atau pernahkah Anda berada dalam suatu situasi dimana semua harapan dan angan-angan Anda hancur berkeping-keping sehingga masa depan Anda terlihat begitu suram dan gelap? Adakah secercah pengharapan dan keyakinan yang memampukan Anda melewati awan yang gelap dan pekat?

Di dalam suasana perkabungan besar (1, 3, 4), Mordekhai masih memiliki keyakinan dan pengharapan akan pertolongan serta pemeliharaan Tuhan (14). Karena keyakinan dan pengharapan ini, Mordekhai berinisiatif membimbing Ester untuk memaksimalkan perannya (10-11, 14), memberikan penegasan tentang rencana Tuhan bagi posisi Ester di samping penjelasannya tentang apa yang sedang terjadi, memberikan teguran dan peringatan di samping tantangan untuk beraksi (4-8; 13-14). Melalui keyakinan dan pengharapan ini, Ester yang telah mejadi sadar mengajak orang Yahudi meratap dan berpuasa bagi perjuangannya sebagai ganti ratap tangis kepedihan (1- 3; 15-17). Ia menaati Mordekhai dan mengambil risiko menentang undang-undang kerajaan dengan suatu tekad "Kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati" (16). Inilah seberkas keyakinan dan pengharapan yang memampukan mereka menerobos awan pekat. Tuhan Raja di atas segala raja walaupun tidak terlihat oleh mata, Ia hadir bersama kita. Dialah sumber keyakinan dan pengharapan orang percaya di tengah penderitaan.

Renungkan: Karena adanya pengharapan dan keyakinan akan pertolongan dan pemeliharan Tuhan, maka umat Tuhan seharusnya bangkit, mengambil tanggungjawab dan memainkan perannya. Pikirkan bagaimana memaksimalkan peran Anda saat ini bagi pergumulan Kristen!

Bacaan untuk Minggu ke-3 sesudah Pentakosta

Kejadian 3:9-15

II Korintus 4:13-5:1

Markus 3:20-35

Mazmur 61:1-5, 8

Lagu: Kidung Jemaat 411

(0.10) (Ayb 1:1) (sh: Tuhan memberi, Tuhan mengambil (Rabu, 17 Juli 2002))
Tuhan memberi, Tuhan mengambil

Apa yang Anda mengerti tentang arti kata "paradoks"? Banyak yang memahaminya sebagai "pertentangan". Dalam arti yang sebenarnya, "paradoks" bukanlah dua sifat yang berlawanan, melainkan dua sifat yang tampaknya berlawanan, namun sesungguhnya tidak. Semua karakter Tuhan terpadu dan saling mendukung, walaupun ada kalanya tampak berlawanan. Dengan kata lain, Tuhan tidak terbagi-bagi ke dalam beberapa sifat yang saling bertentangan. Dalam perikop awal kitab Ayub ini, ada suatu paradoks yang harus kita temukan jawabannya, yaitu mengapa Tuhan bekerja sama dengan Iblis!

Pertama, Iblis mencobai manusia untuk menjatuhkannya; sebaliknya, Tuhan tidak mencobai manusia, Ia menguji manusia untuk memurnikannya (Yak. 1: 3,13). Yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Ayub ialah, pada saat Iblis mencobai Ayub, Tuhan menguji Ayub - (ayat 12), dua niat yang berbeda, namun bergabung dalam satu peristiwa. Dengan kata lain, Tuhan tidak bekerja sama dengan Iblis. Kedua, Iblis meminta izin kepada Tuhan bukan untuk menunjukkan bahwa Iblis bekerja bagi Tuhan. Hal ini justru memperlihatkan bahwa Tuhan berkuasa penuh atas Iblis dan bahwa tidak ada yang terjadi di luar kuasa Tuhan. Iblis takluk kepada Tuhan. Kita aman dan tak perlu takut kepada Iblis sebab Tuhan jauh lebih berkuasa atasnya (bdk. 1Yoh. 4:4).

Ketiga, Iblis berharap pencobaan ini akan menghancurkan iman Ayub, tetapi Tuhan tahu bahwa iman Ayub dapat bertahan dan malah akan bertambah murni. Bahkan dari mulut seorang Ayublah keluar dua seruan agung, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" Apakah kita hanya mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Ayub menyadari bahwa segala yang pernah dimilikinya adalah pemberian semata. Ia bersyukur bisa menikmatinya walau hanya sejenak, dan ia bersedia melepaskannya. Ayub tidak menggenggam erat-erat harta miliknya sebab ia tahu bahwa memang bukan dialah pemiliknya. Bagaimana dengan kita?

Renungkan: Hal apakah yang terpenting dalam kehidupan Anda selama ini? Berkat Tuhankah atau Tuhan yang memberkati?

(0.10) (Ayb 1:1) (sh: Apabila hidup berintegritas (Selasa, 23 November 2004))
Apabila hidup berintegritas

Bagaimana kesan Anda membaca pengantar kisah Ayub ini? Hampir-hampir tidak percaya bukan? Sepertinya tidak pernah kita jumpai orang yang dalam segala segi kehidupannya, baik bisnis, keluarga, sosial, maupun rohani seperti Ayub. Yang sering kita jumpai atau alami ialah bila seseorang sangat rohani, biasanya ia tidak begitu berhasil dalam bisnis. Atau, orang yang berhasil dalam bisnis dan pergaulan luas, sering berkompromi dengan nilai-nilai moral-spiritualnya.

Apa yang langka di dunia ini, ternyata ada di dalam diri Ayub yang berintegritas. Tentang integritas dirinya itu, empat kata digunakan oleh penutur kisah ini: saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan (ayat 1). Karena sikapnya di hadapan Allah (spiritualitas) dan terhadap sesama (segi-segi hidup dalam dunia ini) saling menunjang, maka terciptalah suatu kepribadian yang berintegritas. Saleh berpasangan dengan takut akan Allah, adalah prinsip yang membuatnya jujur serta menjauhi kejahatan. Kesalehan adalah akibat dari orang takut akan Allah; integritas moral adalah akibat dari orang memiliki integritas spiritual.

Kesalehan atau takut akan Allah menjadi penyebab dari keberhasilan Ayub dalam berbisnis, bergaul, dan berkeluarga. Jumlah harta yang ia miliki (ayat 2, 3) sekaligus menggambarkan kelimpahan tetapi juga batasan. Sebanyak-banyaknya milik itu tetap tidak infinit, tidak kekal, bukan sesuatu yang tidak terbatas. Memang, alangkah banyaknya harta milik Ayub itu, demikian juga betapa diberkatinya Ayub dalam hal keturunan. Integritas moral-spiritualnya tidak hanya sesuatu yang membuatnya diberkati sebesar itu, tetapi sekaligus membatasi sehingga tidak bisa dan tidak boleh lebih lagi dari sekian itu. Karena jujur tentu ia tidak bisa mendapatkan hasil lebih banyak daripada yang bisa ia dapat seandainya ia tidak jujur. Penundukan dirinya kepada Allah adalah rahasia kecukupan dan kelimpahan hidup Ayub. Ia bukan tuhan tetapi hamba yang mengelola semua karunia Allah dengan penuh integritas. Itulah hidup yang penuh berkat.

Ingat: Sukses yang didapat sebagai buah integritas moral-spiritual akan memberi kesan bahwa hidup berarti dan penuh.

(0.10) (Ayb 2:11) (sh: Simpati dan Empati (Sabtu, 27 November 2004))
Simpati dan Empati

Kata-kata hiburan yang terlalu cepat diucapkan, tidak akan terlalu menolong. Kesalahan seperti ini banyak kita lihat dalam adegan-adegan film seperti ketika orang menderita sakit berat, atau mengalami kecelakaan, sering orang lain menghibur dengan ucapan: "Tidak usah kuatir. Segalanya akan beres. Engkau tidak akan mengalami masalah berat." Maksud ucapan penghiburan itu mungkin baik, tetapi sayang orang bermasalah berat tidak akan ditolong hanya dengan simpati.

Seorang perempuan misionari berusia setengah baya tiba-tiba mengalami depresi berat. Ia beroleh panggilan untuk melayani Tuhan penuh waktu belum berapa lama. Sesudah mengalami pembaruan hidup ia merasakan panggilan Allah. Tetapi mengapa kini di tengah ia menjawab panggilan itu, ia depresi? Selidik punya selidik, ternyata akar masalahnya ada di masa kecilnya. Ketika masih usia belia, ia diperkosa berulangkali oleh kakeknya sendiri. Luka batin dahsyat itu mendadak pecah. Bagaimana konselor menolongnya menjalani pemulihan diri? Tidak dengan simpati gampangan tetapi dengan empati. Ketika perempuan itu dengan pedih menangis pilu, "Di manakah Allah ketika kakekku merejang memperkosaku?" Si konselor menjawab singkat dengan nada lirih, "Ia di kamar itu juga bersamamu, menanggung derita tak terperi."

Empati sarat pemahaman teologis itu berhasil mendukung perempuan itu bangkit dari kehancurannya tentu masih diikuti oleh perjuangan panjang dan berat. Mengapa empati seperti yang diungkapkan Elifas, Bildad, dan Zofar adalah sikap yang paling tepat? Dengan menghibur dan mengucapkan kata-kata menguatkan, orang memposisikan diri lebih daripada yang dihibur. Dengan menangis, mengoyakkan baju, membisu, teman-teman Ayub memposisikan diri serendah dasar terdalam jurang derita temannya itu. Hanya ketika orang yang menderita memiliki orang lain yang sepenanggungan, ia akan sungguh tertolong.

Ingat: Satu-satunya yang mengerti penuh derita manusia adalah Kristus, sebab Ia menjadi manusia, dicobai dalam segala perkara, mati dan bangkit bagi kita. Bagikan empati Kristus itu melalui hidup Anda.

(0.10) (Ayb 4:1) (sh: Ia memukul, namun juga menyembuhkan (Sabtu, 20 Juli 2002))
Ia memukul, namun juga menyembuhkan

Teman-teman Ayub mempunyai keyakinan yang sama tentang kekuasaan Tuhan. Itu sebabnya Elifas, teman Ayub, beranggapan bahwa musibah yang menimpa Ayub memang merupakan rancangan Tuhan dan bukan sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya. Namun, kali ini rancangan Tuhan untuk Ayub ialah menghukumnya dan penyebabnya jelas: Ayub telah berdosa (ayat 4:17). Elifas terus berusaha menasihati Ayub untuk tetap bersabar (ayat 5:2-6), memasrahkan diri ke dalam tangan Allah, sebab Dia berkuasa mengubah segala sesuatu (ayat 8). Asal saja Ayub sabar, penderitaan ini dapat juga merupakan disiplin (ayat 5:17). Bahkan Elifas mengatakan bahwa "Dia yang melukai ... juga yang membebat" (ayat 18).

Semua nasihat Elifas ini benar. Tetapi, hal itu tidak menjawab pergumulan Ayub. Pada akhir kitab ini, kita dapat membaca bahwa kesimpulan Elifas keliru. Menurut Elifas penderitaan Ayub merupakan ganjaran Allah atas kejahatan yang Ayub lakukan. Elifas memutlakkan hukum sebab-akibat. Akibatnya, ia tidak berhasil meringankan derita Ayub, tetapi justru tambah membebaninya.

Dari kisah ini, kita belajar beberapa hal penting mengenai pemahaman Kristen tentang penderitaan. Pertama, Kristen harus belajar untuk tidak melihat penderitaan dari satu sudut pandang saja. Misalnya, walaupun fakta di sekeliling kita menunjukkan bahwa penderitaan mengganggu keserasian ciptaan Allah, namun Allah mengizinkan penderitaan itu terjadi untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Kedua, selama Kristen berada di dunia, maka kemungkinan kita akan mengalami penderitaan. Itu bukan karena dosa atau salah kita. Misalnya, bencana alam dan sakit. Ketiga, Kristen harus menentukan sikap yang tepat ketika mengalami penderitaan, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan, mohon kekuatan untuk mengerti makna yang terkandung di dalamnya.

Renungkan: Kekuatan serta penghiburan diberikan Tuhan padaku. Tiap hari aku dibimbing-Nya; tiap jam dihibur hatiku. Dan sesuai dengan hikmat Tuhan 'ku dib'rikan apa yang perlu. Suka dan derita bergantian memperkuat imanku (KJ. 332). Ketika Anda berada dalam penderitaan, hayati syair lagu ini.

(0.10) (Ayb 8:1) (sh: Terlalu luas untuk dipahami (Senin, 22 Juli 2002))
Terlalu luas untuk dipahami

Ketika Tuhan menciptakan manusia, Tuhan meminta agar manusia mematuhi-Nya, dan bahkan Ia menjanjikan berkat bagi kita yang menaati-Nya. Sebaliknya, hukuman akan diberikan bagi kita yang tidak menaati kehendak-Nya (Mzm. 1). Inilah pemahaman Bildad dan kebanyakan kita, tentang Tuhan - sebuah pemahaman yang benar, namun tidak menyeluruh. Itu sebabnya Bildad terus mendesak Ayub untuk mengakui dosanya. Alasan Bildad sederhana saja, yaitu bahwa Tuhan memberkati orang yang benar dan menghukum orang yang fasik. Tuhan tidak mungkin keliru menjatuhkan vonis-Nya dan Ayub memang layak menerima hukuman ini. Ini adalah sebuah hukum sebab-akibat yang universal dan mudah dicerna.

Namun, ada segi-segi lain dalam hukum ini yang perlu kita pertimbangkan. Kemakmuran bukan pertanda bahwa Tuhan memberkati kita dan kesusahan bukan pertanda bahwa Tuhan menghukum kita. Rencana dan karya-Nya terlalu luas untuk dikotakkan dalam hukum ini. Sebagai Allah, Ia memiliki kebebasan untuk berbuat sekehendak hati-Nya dan kadang tindakan-Nya melenceng dari pemahaman kita tentang Allah yang terlalu sederhana ini. Tetapi, jangan mengira bahwa kebebasan Allah identik dengan kejahatan. Kebebasan Allah tidak sama dengan kesewenang-wenangan. Ia adalah Allah yang kudus. Jadi, segala tindakan-Nya tidak akan tercemari oleh dosa dan tidak akan termuati oleh maksud jahat.

Sewaktu kesusahan menimpa kita, janganlah kita tergesa-gesa memvonis bahwa Tuhan sedang menghukum kita. Periksalah diri kita, apakah ada dosa tersembunyi yang perlu kita bereskan dengan Tuhan. Jika tidak ada, terimalah kesusahan itu sebagai kehendak Tuhan yang tidak kita pahami. Tuhan tidak berjanji bahwa kita akan senantiasa mengerti tujuan akhir dari tindakan-Nya karena Ia terlalu luas untuk dicerna oleh otak kita yang terlalu kecil ini.

Renungkan: Charles Haddon Spurgeon, pengkhotbah terkenal, berkata,"Kemurahan Tuhan kerap kali datang ke pintu hati kita mengendarai seekor kuda hitam yang bernama Penderitaan." Kesusahan tidak senantiasa berarti kemarahan Tuhan; ada kalanya kesusahan adalah baju kemurahan Tuhan.

(0.10) (Ayb 9:1) (sh: Tidak ada wasit di antara manusia dan Allah (Sabtu, 4 Desember 2004))
Tidak ada wasit di antara manusia dan Allah

Agak sulit untuk kita menentukan apakah ucapan-ucapan Ayub dalam pasal ini tentang Allah bernada positif atau negatif. Itu terkait dengan pertanyaan apakah ucapan-ucapan itu ditujukannya untuk dilihat dari sudut pendengarnya (para sahabatnya), atau dari sudut dirinya sendiri, atau dari sudut Allah. Mungkin yang paling baik adalah menempatkan perikop ini dalam kaitan dengan ucapan Bildad yang mendakwa Ayub

Pertanyaan Ayub bukan, "bagaimana orang berdosa dapat dibenarkan di hadapan Allah," atau "bagaimana orang yang serba terbatas dapat benar di hadapan Allah." Pertanyaan Ayub yang yakin bahwa dirinya tidak bersalah: "Bagaimana orang yang tidak bersalah, dapat dinyatakan demikian oleh Allah?" Menurutnya, tidak mungkin. Mengapa? Pertama, karena alasan keberadaan. Realitas Allah melampaui realitas manusia. Ia tidak terbatas dalam kebijakan, kekuatan, kemampuan, sebab Ia Pencipta segala sesuatu (ayat 4-10). Kedua, karena alasan posisi Allah sebagai Allah dan manusia sebagai manusia. Allah tidak di posisi harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan-Nya kepada manusia. Manusialah yang wajib bertanggungjawab kepada Allah (ayat 3, 11-18). Jika Ia menjelaskan sesuatu pun, belum tentu manusia menyadari atau memahami suara Allah. Oleh karena kebebasan Allah itu, maka di dalam keterbatasannya manusia mustahil dapat memahami Dia secara tepat dan benar. Nah, sampai di sini ucapan Ayub ini jelas mengritik Bildad dan masih menjunjung Allah.

Namun, mulai ayat 29 seolah muncul keraguan Ayub terhadap Allah. Jika Allah mutlak dan bebas di luar pemahaman manusia dan tidak harus menjawab manusia dan tidak mungkin dipahami manusia, bukankah kesimpulannya sangat negatif? Apa gunanya kudus, apa gunanya lagi berusaha mempertahankan hidup benar? Bagaimana mungkin mendapatkan wasit yang adil antara manusia dan Allah? Ini memang pergumulan serius sekali.

Renungkan: Siapakah dapat menjadi pengantara yang mendamaikan manusia dengan Allah dan membuat kehendak Allah terselami, terpahami, terjalani oleh manusia? Yesuslah jawabannya.

(0.10) (Ayb 18:1) (sh: Hati-hati menuduh sesama sebagai orang fasik (Senin, 13 Desember 2004))
Hati-hati menuduh sesama sebagai orang fasik

Keadilan Tuhan pasti menghukum orang fasik. Hanya ada satu cara menghindarkan diri dari hukuman yaitu: bertobat, mengaku dosa, dan memohon pengampunan-Nya.

Itulah yang diungkapkan Bildad menjawab sikap tegar Ayub bahwa dirinya tidak berdosa (ayat 2-4). Masalahnya, apa bukti Ayub berdosa? Bildad mulai dengan mengecam sikap Ayub yang dianggapnya sombong, seakan-akan dirinya dan teman-temannya bersikap bodoh dalam menuduh Ayub berdosa (ayat 1-4). Lalu Bildad meneruskan perkataannya dengan menguraikan nasib orang fasik (ayat 5-21). Pertama, orang fasik yang tampaknya bernasib terang, akan mengalami kegelapan yang menyebabkan ia akan terhambat dalam jalan kejahatannya (ayat 5-7). Kedua, orang fasik akan mengalami nasib buruk terjebak oleh perangkap yang dipasangnya sendiri, seperti seorang pemburu terkena umpannya sendiri (ayat 8-10). Ketiga, segala "nasib sial" akan mengejarnya ke mana pun ia pergi, yakni: kelaparan, penyakit, dan bahkan kematian. (kata "kemah" di sini menunjukkan tubuhnya) (ayat 11-15). Keempat, orang fasik akan binasa dalam keadaan miskin, kesepian, dan menderita (ayat 16-21).

Terdapat dua kesalahan dalam paparan Bildad tentang orang fasik ini. Kesalahan pertama adalah Bildad hanya menguraikan nasib `lahiriah' dari orang fasik. Kenyataannya justru banyak orang fasik yang secara lahiriah hidup menyenangkan. Sesungguhnya kesusahan orang fasik lebih bersifat psikis dan hati nurani. Kesalahan kedua adalah Bildad `salah alamat' dengan mengidentikkan Ayub sebagai orang fasik, padahal tak satu pun tuduhan para sahabat Ayub bahwa Ayub berdosa terbukti.

Alkitab menyatakan orang fasik dimurkai Tuhan. Bildad tak berhak meyakini bahwa Ayub adalah orang fasik. Kekeliruan Bildad ini disebabkan hanya melihat penderitaan fisik Ayub saja. Sebenarnya bukan tugas kita untuk menilai bahkan menghakimi orang lain. Hanya firman Tuhan yang boleh dijadikan ukuran fasik tidaknya seseorang.

Camkan: Ukuran yang Anda pakaikan kepada orang lain akan dipakai untuk mengukur Anda.

(0.10) (Ayb 22:1) (sh: Konselor atau pendakwa? (Jumat, 17 Desember 2004))
Konselor atau pendakwa?

Tidak henti-henti para sahabat Ayub menuduh Ayub telah berdosa kepada Allah sehingga Ayub menderita. Elifas, masih tetap teguh mendakwa Ayub melakukan perbuatan dosa dan meminta Ayub untuk bertobat (ayat 4-5). Namun, Ayub bersikukuh bahwa dirinya tidak berdosa. Ia dengan tegas menolak tudingan Elifas bahwa ia harus bertanggung jawab atas penderitaannya sebagai akibat dosanya. Meski demikian, Elifas kembali memulai serangkaian tuduhan yang tidak mendasar. Ia memfitnah Ayub dengan sejumlah dakwaan palsu (ayat 6-9). Elifas menuduh Ayub telah melakukan berbagai dosa sosial yang menyengsarakan sesamanya. Menurut Elifas, dosa sosial itulah yang menyebabkan Ayub menderita karena Allah membalas perbuatan jahatnya itu (ayat 10-20). Oleh karena itu, Elifas meminta Ayub mengakui segala dosanya itu supaya melunakkan hati Allah sehingga Allah akan memulihkan kembali keadaan dirinya (ayat 21-30).

Tuduhan-tuduhan ini bertolak belakang dengan komentar penutur kisah bahkan evalusi Allah sendiri di pasal 1. Ayub seorang yang saleh, jujur, takut akan Tuhan, dan menjauhi kejahatan. Dengan demikian, kita tahu bahwa tuduhan Elifas itu palsu. Jangankan perbuatan dosa sosial, kesalahan yang tak terlihat saja, diselesaikan Ayub dengan kepekaan rohani yang tinggi (ayat 1:5). Jadi, di mata Allah pun Ayub tidak bersalah. Sungguh menyedihkan bagaimana ketiga sahabat Ayub, telah terang-terangan memusuhi Ayub. Sebenarnya, awalnya mereka telah mulai dengan sikap empati merasakan penderitaan Ayub. Akan tetapi, dengan berangkat dari konsep teologis `sempit', mereka berpaling menuduh Ayub. Sungguh berbahaya jika kita memiliki konsep teologis `sempit'. Karena konsep teologis yang `sempit' tersebut menyebabkan kita salah menilai penyebab sesama menderita. Sama seperti para sahabat Ayub ini yang beranggapan keliru terhadap penyebab penderitaan Ayub. Jangankan menolong Ayub mengatasi penderitaannya, mereka justru menambahkan beban penderitaan Ayub.

Renungkan: Jadilah konselor (pembela/penghibur) bukan pendakwa bagi jiwa yang merana.

(0.10) (Ayb 30:1) (sh: Bagaimana sekarang? (Jumat, 9 Agustus 2002))
Bagaimana sekarang? Demikian kira-kira yang ditanyakan Ayub di dalam pembelaannya ini

Demikian kira-kira yang ditanyakan Ayub di dalam pembelaannya ini. Setelah melontarkan ujaran-ujaran yang berupa keluhan-keluhan karena kehilangan masa lalunya, meskipun Ayub hidup bersih, ia menunjukkan bahwa Allah tidak lagi berpihak kepadanya, melainkan melawan dia.

Setelah Ayub menertawakan pihak-pihak yang menolak dia (ayat 29:24), kini Ayublah yang dicemooh orang-orang lain. Para pengejek ini begitu hina. Mereka kemungkinan adalah anak-anak muda yang dulu takut kepada Ayub. Ayah-ayah mereka memiliki status sosial yang rendah sampai Ayub sendiri pun tidak mau mempekerjakan mereka untuk pekerjaan kasar. Kemungkinan mereka bukan warga negara, tetapi para pelanggar hukum dan orang buangan. Ironis, kini Ayublah yang menjadi orang pinggiran, bahkan bagi mereka yang sudah tersisih dari masyarakat. Ayub melihat ini sebagai tindakan Allah melawan dirinya (ayat 11a).

Ayub merasa bahwa pihak-pihak yang melawannya datang dari segala arah: kemungkinan anak-anak muda sebagaimana disebutkan di atas dan teror yang mencekam (ayat 12-15), bahkan Allah sendiri (ayat 18-19). Ayub tidak berdaya, bagaikan sebuah kota yang dikepung musuh dan dihancurkan. Gambaran tentang angin membuat ini menjadi lebih dramatis (ayat 15): kemuliaan Ayub diterbangkan angin. Awan yang melintas pergi menunjukkan raibnya kemakmuran Ayub.

Ayub tahu bahwa sebenarnya Allahlah yang merupakan "penyiksa" dan "musuh" yang sejati. Allah mengambil kesehatannya dan menjatuhkan Ayub ke lumpur kehinaan. Akhirnya Ayub membawa perkaranya ini kepada Allah (ayat 20-23). Empat ayat ini merupakan kata-kata terakhir Ayub sebelum Allah berbicara kepadanya (ps. 38-41). Ayub menuduh Allah berubah sikap, tidak lagi peduli kepadanya, dan melawan dirinya. Allah mengangkat Ayub, bukan untuk ditinggikan, tetapi untuk dihancurkan dalam badai (ayat 22). Kesimpulannya, kesukacitaan telah lenyap. Hidup menjadi gelap. Bagi Ayub, Allah penyebab semuanya!

Renungkan: Allah adalah Terang. Waktu hidup Anda menjadi gelap, ingatlah bahwa tak ada kegelapan dalam diri-Nya.

(0.10) (Ayb 38:1) (sh: Manusia vs Allah (Sabtu, 23 Agustus 2003))
Manusia vs Allah

Ketika pada akhirnya Ayub melayangkan gugatan kepada Allah (ayat 31:35), Ayub telah bertindak seolah ia mengerti masalah penderitaannya adalah masalah dengan Tuhan. Ayub menuntut Allah agar bertanggung jawab atas penderitaannya. Namun, Allah tidak menjawab gugatan Ayub. Sebaliknya, Allah mempertanyakan hak Ayub menggugat Dia. Siapakah Ayub, ciptaan dibandingkan dengan Allah, Pencipta?

Karena Ayub menantang Allah maka Allah balik menantang Ayub. Allah mulai dengan pertanyaan pertama: di manakah Ayub ketika alam semesta dan segala isinya diciptakan (ayat 38:4-21)? Adakah Ayub hadir ketika Allah berkarya? Di mana Ayub waktu TUHAN menciptakan bumi, (ayat 4-7); laut (ayat 8-11); pagi hari (ayat 12-15); dunia dalam (ayat 16-18); terang (ayat 19-21); salju (ayat 22-23); badai (ayat 24-27); hujan (ayat 28-30); bintang-bintang (ayat 31- 33); awan (ayat 34-38). Pertanyaan kedua: apakah Ayub bisa mengatur alam semesta yang telah diciptakan Allah secara dahsyat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidak dapat dijawab oleh Ayub, tetapi sebaliknya menggugah hati Ayub. Respons Ayub ini sekaligus menunjukkan suatu pengakuan bahwa ada perbedaan kualitas antara dirinya dengan diri Allah. Perbedaan kualitas yang tidak terjembatani, sehingga tidak layak Ayub berbantahan dengan Allah.

Pertanyaan-pertanyaan Allah yang tak dapat dijawab menyadarkan Ayub untuk belajar dua hal: [1] Ayub mengakui bahwa bukan ia yang mampu atau berhak mengatur dan menentukan jalan kehidupan di alam ciptaan Allah ini; [2] Ayub mengakui sepenuhnya bahwa Allah Pencipta berdaulat penuh atas seluruh alam ciptaan termasuk dirinya. Jika demikian pantaskah Ayub menggugat Allah karena penderitaannya?

Renungkan: Jangan pernah menuduh Allah sebagai penyebab penderitaan Anda. Sepatutnya pergunakan hak Anda untuk menyembah Dia dan mohon pimpinan serta pertolongan-Nya.

(0.10) (Ayb 42:1) (sh: Wawasan yang baru (Rabu, 21 Agustus 2002))
Wawasan yang baru

Ayat 3a dan 4 jelas bukan perkataan Ayub. Kelihatannya Ayub mengingat lagi kata-kata Yahweh dalam 38:2 dan 38:3b waktu akan memberikan jawaban kepada Yahweh. Peristiwa yang mengharukan ini menunjukkan bahwa pada akhirnya Ayub luluh di dalam sikap menyerangnya. Akhirnya Ayub puas. Yang menarik adalah, Ayub puas bukan karena telah mendapatkan jawaban, tetapi karena wawasan yang baru bahwa hak-hak manusia bukanlah yang terpenting di dalam desain Allah. Kehendak dan kedaulatan Allah, itulah yang terpenting.

Dalam jawaban pertamanya kepada Yahweh (ayat 39:37-38), ia telah mengakui kehinaannya dan kesia-siaan untuk mengadili Allah. Kini ia mengulanginya lagi (ayat 2). Dalam ayat 3, mengulangi 38:2, ia kini mengakui bahwa ia telah berbicara dalam ketidaktahuan mengenai karya-karya ajaib yang sekarang telah disingkapkan Yahweh kepadanya. Karya-karya itu tetap melampaui pengertiannya. Dengan demikian, respons Ayub telah berubah, dari mengakui kehinaannya sampai menarik kasusnya - mengakui hal itu sebagai kekeliruan. Perlu dicatat bahwa sampai akhir kitab Ayub pun tidak disinggung mengenai kebersalahan atau ketidakber-salahan Ayub. Allah tidak melihat hak dan kedudukan manusia sebagai yang sentral.

Ayat 4-5 berbicara mengenai dua model pengetahuan. Pertama adalah mendengar. Ini bisa berarti mendengar melalui telinga, semacam berita yang belum tentu kebenarannya. Kedua adalah melihat. Setelah Ayub melihat Allah, maka barulah ia memahami Dia. Ia masuk ke dalam wawasan baru, bukan sekadar menerima tradisi, tetapi mengalami penyingkapan-penyingkapan yang mencerahkan pikiran dan hatinya.

Ayat 6 menyatakan pertobatan Ayub. Ia mengubah pikirannya dan mencabut kasusnya. Ayub duduk dalam debu dan abu, menunjukkan kerendahan hati dan menghinakan diri sendiri karena ketidakmengertiannya.

Renungkan: Segala sesuatu ada waktunya. Badai pasti berlalu. Hidup berjalan terus. Lihatlah cakrawala baru dari Allah dan temukan keindahan dalam misteri Ilahi.

(0.10) (Mzm 1:1) (sh: Memilih kebahagiaan (Jumat, 3 Januari 2003))
Memilih kebahagiaan

Banyak orang mau melakukan apa saja asal hidupnya bahagia, puas dan tenteram. Maka, tidak heran anak-anak muda lari ke narkoba, seks bebas; orang-orang yang lebih tua menyibukkan diri dengan mencari harta dan kuasa; orang lain mencari agama-agama, kebatinan, apa pun yang dapat menenteramkan hati. Tetapi, mereka yang memilih hal-hal tadi akhirnya harus mengakui bahwa kenikmatan bertolak belakang dengan kebahagiaan. Jadi, adakah pilihan yang tepat?

Mazmur 1 memberikan jawabannya. Secara negatif, kebahagiaan tidak didapat dari perbuatan fasik/berdosa (ayat 1). Maka, orang yang mau berbahagia harus menjauhi semua hal yang membawanya berdosa. Jikalau tidak, kehidupan berdosa akan membawa kegagalan hidup (ayat 4), dan akhirnya kebinasaan (ayat 6b). Sebaliknya, secara positif, kebahagiaan hanya didapatkan di dalam hidup sesuai dengan firman Tuhan (ayat 2). Orang yang hidup seturut firman- Nya akan diberkati dengan keberhasilan (ayat 3) dan Tuhan berkenan kepadanya (ayat 6a). Namun, lebih penting dari semuanya itu, orang demikian dijamin penuh oleh sang sumber hidup sendiri (ayat 3).

Hidup bahagia itu tumbuh melalui rangkaian pilihan dan keputusan yang membentuk kebiasaan seumur hidup. Hal menghindari dosa dalam segala bentuknya itu, juga hal mengasihi dan menyimpan firman dalam hati. Sudah tiga hari dari tahun baru ini kita jejaki; apakah kita sedang membangun hidup melalui pilihan- pilihan dan kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita hidup mesra serasi dengan Tuhan? Kita tidak perlu merasa bahwa perjuangan rohani itu berat, sebab Tuhan Yesus telah memasuki sejarah manusia, membuka jalan dan memberi teladan tentang hidup demikian.

Renungkan: Pilihan kebahagiaan adalah tanggung jawab kita sendiri. Allah menyediakan jalannya, tetapi Ia tidak memaksa kita untuk menjalani kehidupan ini menurut kehendak-Nya. Keputusan ada di tangan kita.

(0.10) (Mzm 3:1) (sh: Tuhan Perisaiku (Selasa, 7 Januari 2003))
Tuhan Perisaiku

Di mana di bumi ini yang aman dari bahaya? Di jalan? Teror, perampok, bom, dan kecelakaan menghantui. Di rumah? Sewaktu- waktu kebakaran, ledakan bom, banjir bisa menimpanya. Perisai macam apa yang bisa kita pakai untuk melindungi diri dari ancaman bahaya?

Pemazmur juga melihat di sekelilingnya penuh bahaya. Musuh mengepung dirinya, bukan hanya puluhan atau ratusan, melainkan puluhan ribu (ayat 7). Ini adalah suasana perang yang dilukiskan dalam mazmur ini. Pemazmur (mungkin raja Daud) sedang terjepit dari segala pihak. Menurut judul mazmur ini, Daud sedang menghadapi makar putranya sendiri, Absalom yang berhasil menghasut hampir seluruh rakyat dan pahlawan untuk menyingkirkan Daud. Namun, bahaya itu ia hadapi dengan berharap kepada Tuhan. Berbagai senjata pencabut nyawa boleh mengancamnya. Memang tidak ada perisai buatan manusia yang dapat melindunginya seratus persen. Tetapi, Tuhan adalah perisai, bukan hanya melindungi pemazmur (ayat 4), melainkan juga akan balik menghantam semua musuh sampai hancur (ayat 8). Ajaib, pemazmur merasa tenang dan tidak khawatir lagi, bahkan mampu tidur dengan nyenyak karena perlindungan Tuhan pasti adanya (ayat 6).

Sejarah mengajarkan bahwa kita tidak dapat mempercayakan kesejahteraan kita sepenuhnya pada sesuatu yang bukan Allah. Terali tidak dapat melindungi nyawa kita. Pengawal pribadi tidak mungkin memberi kebebasan. Jikalau Anda termasuk orang yang mengandalkan uang, senjata, kepandaian, dlsb., segeralah bertobat dan bergantung kepada Tuhan saja. Bahkan andaikan diri kita terancam sekali pun, di dalam Tuhan nasib kekal nyawa kita terjamin sempurna.

Renungkan: Jaminan sejati tidak datang dari dunia ini, tetapi dari surga. Jaminan apa pun dari dunia ini apabila melebihi kedudukan Tuhan, malah bisa berubah menjadi jerat pembantai hidup kita.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.06 detik
dipersembahkan oleh YLSA