Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI PELAYANAN PADA ABAD XXI > 
VII. TANTANGAN DAN APA YANG DAPAT DILAKUKAN? 

Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang yang baru, mereka pada umumnya bekerja dengan pola yang serupa yaitu membentuk sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan dan kemudian tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik yang masih relevan untuk zaman ini yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu merangkum situasi pelayanan masa kini.

Bagaimana dengan situasi kini? Masyarakat kini jelas digarami oleh media massa. Selain itu pluralitas di dalam tubuh gereja terus menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, maka cara kerja pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan menyelam ke budaya tulisan kini harus meraih manusia yang berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita di dalam menjawabnya. Kita perlu menggumuli apakah yang merupakan inti pelayanan dan di manakah yang dapat di tawar karena merupakan alat dalam menjalankan pelayanan tadi.

Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada abad pertengahan dan zaman sebelum abad X, gereja-gereja menguasai kota bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, kini keadaan sudah menjadi lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, media massa dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di perkotaan di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin membutuhkan pelayan-pelayan spesialist dan bukan hanya generalist membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula.

Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak dimiliki oleh gereja. (pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral spiritual, bukan lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara church dan parachurch yang secara notabene sudah ada Lama di tanah air ini harus dijadikan synergi dari pada dipandang selaku persaingan, serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang Kristen yang saling berbeda serta, telah ditembusinya batas-batas denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-masing.

Kedua, hubungan sinergistis antar gereja sendiri menjadi hal yang tidak lagi dapat di tawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, yaitu independen namun interdependen dalam network. Tidak lagi mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh satu dua kelompok Kristen.

Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa Baja di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam di luar negeri, maka informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka panjang. Di sini kita sadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam arti fisik, namun besar di dalam kemampuannya mengolah data dan memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit dan sebagainya.

Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. Selanjutnya kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi Sakaiya sebagai sikap outward looking. Untuk menyiapkan sikap mental tadi dan sikap iman serupa itu, maka suatu crash program dapat dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi Kristen antar gereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

A. memiliki sikap ingin kerja sama

B. berporos pada visi kerajaan Allah lebih dari visi yang terikat hanya pada denominasi, mampu membuat konsep pelayanan bersama para teolog.

C. mampu mengenali kesempatan melayani, antara lain melalui dunia komunikasi dan melalui lingkup kota-kota,

D. handal dalam menyusun strategi,

E. Mampu menjamin pelaksanaan operasionalisasinya serta mampu memiliki hati yang peka pada kehendak dan kuasa Allah bagi kenyataan di Indonesia, yaitu antara lain lajunya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya jumlah mereka yang lebih lemah secara pendidikan, ekonomi, dan politis dari pada kita.

F. mampu menangani pertumbuhan iman pribadinya secara serius.



TIP #35: Beritahu teman untuk menjadi rekan pelayanan dengan gunakan Alkitab SABDA™ di situs Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA