Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 >  BUDAYA POPULER > 
MENILAI DENGAN KRITIS ARUS BUDAYA POPULER 

Pada awal bagian ini, sekilas kita akan menelaah berita-berita yang dipesankan budaya zaman serta memusatkan perhatian pada dampak selulernya terhadap umat manusia. Betapa pentingnya kita secara berkala memeriksa pikiran-pikiran maupun tindakan-tindakan kita sendiri dalam upaya mawas diri. Tanpa mawas diri, kita mungkin sekali untuk mudah terperangkap dalam rimba budaya dunia dengan arus-arus jeramnya yang demikian kuat menyeret orang yang tercebur di dalamnya.

Alam budaya populer pada zaman ini ditandai dengan sejumlah faham atau trend gaya atau nilai falsafah hidup berbentuk "isme" seperti yang berikut:

Materialisme: yang paling penting dalam hidup ini adalah memiliki kekayaan bendawi, aset atau harta yang bersifat material, uang dan alat tukar sejenis. Maka orientasi dan sukses hidup semata-mata diukur dengan standar kekayaan materi.

Eksistensialisme: yang terutama hidup hanyalah untuk momen saat ini. Itulah yang dimiliki pada hari ini, sehingga tak perlu repot-repot memikirkan kenangan masa lain maupun mengantisipasi perkembangan masa depan.

Individualisme: pribadi yang paling penting dalam hidup adalah diri sendiri. Tak perlu dicampuri oleh orang lain. Karena itu egoisme mutlak perlu dibangun agar diri mampu menyelesaikan segala sesuatu untuk kebaikan diri.

Hedonisme: yang harus menjadi obsesi seumur hidup adalah bersenang senang menikmati hidup. Tujuan hidup semata-mata adalah membahagiakan diri. Puaskanlah segala keinginan hati dengan melampiaskan hawa nafsu.

Sekularisme: Allah itu tidak penting karena hal agama sudah tidak relevan dalam menjawab kebutuhan manusia pada hari ini. Yang terbaik adalah mengandalkan potensi diri yang dianggap sudah dewasa dalam dunia ini.

Pragmatisme: Apa yang bisa diharapkan dan diterima adalah yang bisa jalan; artinya manusia harus bisa memutuskan pilihannya atas perkara-perkara atau metoda metoda hidup berfungsi. Semua kebajikan diukur dari hasil akhirnya.

Moral relativisme: Di dunia ini tidak ada hal yang absolut. Segala sesuatu itu tidak mutlak benar maupun tidak mutlak salah. Karena itu hiduplah dengan sewajarnya, tak perlu memperjuangkan apa yang dianggap paling benar.

Utopianisme: Pada dasarnya semua manusia itu baik. Dunia akan menuju kepada keadaan yang semakin membaik. Hanya ciptakanlah lingkungan hidup yang baik maka segala kejahatan akan pudar dan lenyap dengan sendirinya.

Fatalisme: Nasib hidup adalah suratan takdir. Manusia tak akan bisa menghindar dari gilasan zaman. Diri menjadi seperti apa adanya tidaklah terlepas dari perlakuan orang lain dalam sistem masyarakat yang dominan membentuk hidup.

Sebenarnya cukup banyak bentuk "isme" lain yang tumpang tindih membentuk budaya zaman. Sebut saja subjektivisme, egoisme, konsumerisme, oportunisme ("mumpungisme") naturalisme, romantisme, ateisme, ideologi kapitalisme, komunisme, rasionalisme, empirisisme, mistisisme, sinkretisme, pluralisme dan okultisme. Sedikit banyak warna warni nuansa "isme" ini bisa secara tak disadari atau tak sengaja telah menyusup dalam hidup kita. Kesemuanya ini tak terlepas dari akarnya yang tunggal yaitu bersumber pada natur manusia yang berdosa.

Seperti disinggung sebelumnya, produk budaya juga tak pernah bebas dari pengaruh dosa. Alkitab dengan gamblang memotret keadaan manusia berdosa. Penilaian Allah dalam Mazmur 14 misalnya, menyatakan bahwa perbuatan orang fasik itu jahat dan keji, tidak ada yang berbuat baik. Semua orang telah menyeleweng dan bejat adanya. Tampaknya, manusia pada zaman sekarang ini semakin tenggelam dalam lembah nista dosa. Paulus mengingatkan bahwa pada hari-hari terakhir akan ada banyak kesusahan. Mengapa? Karena manusia akan semakin mementingkan dirinya, bersifat mata duitan, sombong dan suka membual. Mereka suka menghina orang, memberontak terhadap orang tua, tidak tahu berterima kasih, dan membenci hal-hal rohani. Mereka tidak mengasihi sesama, tidak suka memberi ampun, mereka suka memburuk-burukkan nama orang lain, suka memakai kekerasan, mereka kejam, dan tidak menyukai kebaikan. Mereka suka mengkhianat, angkuh dan tidak berpikir panjang. Mereka lebih suka pada kesenangan dunia daripada menuruti Allah. Meskipun secara lahir, mereka taat menjalankan kewajiban agama, namun menolak inti dari agama itu sendiri. (2 Timotius 3:1-5 dalam versi Alkitab Bahasa Indonesia sehari-hari). Bila budaya berdosa semakin populer dan diterima secara luas oleh semua kalangan atau lapisan masyarakat, ini adalah indikasi kuat dan serius bahwa moralitas zaman memang telah merosot tajam Dalam perspektif inilah, budaya populer dapat diibaratkan sebagai riak-riak akibat perbenturan antara gelombang zaman dengan karang kebenaran, kesucian, keadilan dan kesempurnaan kasih serta kemuliaan Allah yang tak pernah berubah. Oleh karena itu dalam menghadapi arus budaya populer, kita wajib menggantungkan diri pada tali keimanan yang berpangkal pada genggaman kuat Tuhan Allah Juruselamat sejati.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.07 detik
dipersembahkan oleh YLSA