Diskusi kita belum selesai. Tidak semua teolog setuju dengan pemikiran di atas. Pertanyaan bagaimana dosa bisa masuk ke dalam surga yang mahasuci, mahakudus, di mana Allah bersemayam, masih belum tuntas dijawab. Rupanya kesulitan ini serupa dengan pertanyaan yang diajukan atas Kitab Ayub 1 dan 2, yaitu bagaimana Allah bisa bercengkrama dengan Iblis yang jelas-jelas sudah berdosa, bahkan disebut sebagai bapa segala pendusta (Yoh 8:44)?
Dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 tentang Kitab Ayub, disebutkan bahwa sebenarnya Iblis yang dimaksud bukanlah Iblis sebagaimana yang digambarkan dalam teologia ortodoks, yaitu Iblis yang berasal dari malaikat yang jatuh.370 Heavenor menerima, bahwa Iblis sesungguhnya tidak tampil selaku malaikat yang jatuh, bahkan sebenarnya ia digambarkan selaku mahkluk yang mempunyai kemungkinan untuk datang ke surga (bdk. 1:6; 2:1). Sehingga kalau Ayub 1 dan 2 menyebut suatu dewan surgawi yang dihadiri oleh anak-anak Allah, tidak perlu dipermasalahkan kalau yang termasuk di dalamnya adalah Iblis juga.
Komentar ini sejajar dengan Tafsiran Kitab Yesaya yang ditulis oleh Derek Kidner, yang menyatakan bahwa Yes 14:13-17 tidak mungkin ditafsirkan sebagai cerita pemberontakan Iblis terhadap Allah (termasuk halnya dengan Yeh 28:11-19).371 Pendapat sejenis juga dapat ditemukan dalam komentar S.H. Widyapranawa maupun John B. Taylor.372 Pada prinsipnya, masing-masing kitab tersebut sama sekali tidak membicarakan tentang narasi kejatuhan malaikat, tapi merupakan nubuatan nabi Yesaya dan Yehezkiel tentang bangsa-bangsa yang akan dipakai Allah untuk menjajah dan menghukum Israel sebagai umat yang memberontak kepada Allah. Tapi Allah mengingat janji yang pernah Dia ucapkan di depan Musa terhadap umat-Nya Israel (Kel 6:2-6) dan membebaskan mereka dari tangan bangsa kafir tersebut.
Sekarang bagaimana? Posisi apakah yang sebaiknya kita ambil dalam menjawab pertanyaan dasar diskusi kita: Asal mula Iblis, dari kejatuhan malaikat dalam dosa? Ataukah Allah sendiri yang menciptakan mereka?
Penulis rasa, sikap yang bijaksana bagi kita menghadapi dialog yang sulit dan masing-masing mempunyai argumen yang kuat untuk pandangan mereka, adalah menerima diskusi ini sebagai misteri Allah yang tidak mungkin terungkap oleh keterbatasan rasio pikir manusia. Karena perdebatan ini bukanlah masalah prinsip iman kekristenan kita. Bahkan dengan sikap yang seperti itu, menunjukkan sikap takluk kita dan mengakui bahwa kita terbatas di hadapan Allah kita yang tidak terbatas. Sepatutnya kita senantiasa. menjaga diri dan bersikap waspada akan kehidupan kita, karena Iblis yang nyata-nyata ada itu senantiasa bekerja mengganggu kehidupan rohani orang percaya untuk keluar dari jalan kasih Allah.