Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
ALIRAN TEOLOGIA DI DUNIA KETIGA: SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGIA PEMBEBASAN DALAM PERSPEKTIF INJILI 
Penulis: Henry Efferin
 PENDAHULUAN

Sesuai dengan topik di atas, maka makalah ini dimaksudkan untuk menelusuri aliran-aliran teologia yang sedang 'in' di dunia ketiga. Hal ini tidaklah mudah, sesungguhnya ada beberapa aliran yang sedang hangat. Pengaruh sekularisasi terhadap teologia menimbulkan apa yang disebut 'Neo Liberalisme', 'Neo Pentakostalisme' atau yang lebih dikenal dengan gerakan Karismatik. Yang tidak kalah pentingnya ialah akibat kebangkitan kaum Injili di Amerika sangat terasa di kalangan pemuda Indonesia, sehingga tidak sedikit pemuda-pemuda Kristen terbaik yang mempersembahkan diri untuk melayani Tuhan di dalam bidangnya masing-masing. Namun yang menjadi tugas kami kali ini, ialah memfokuskan diri pada suatu aliran yang sangat populer di kalangan Oikumene, yaitu Teologia Pembebasan. Aloysius Pieris, seorang teolog Sri Lanka yang mengamati perkembangan teologia di Asia mengatakan bahwa 'Teologia Pembebasan mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dipunyai oleh teologia klasik ... di gereja timur, metode baru ini sudah bersaing dengan teologia tradisional, sebagai hasilnya berdirilah EATWOT (The Ecumenical Association of Third World Theologians).22

Latar belakang Teologia Pembebasan

Sebetulnya Teologia Pembebasan ini muncul pertama kalinya di Amerika Latin pada tahun 60-an. Kemudian istilah tersebut menjadi terkenal sebagai sebutan untuk aliran ini setelah terbitnya buku Teologia de la Liberaction' karya teolog Peru, Gustavo Gutierrez. Hampir berbarengan dengan itu pada tahun 1970, James Cone, Profesor di Union Theological Seminary menerbitkan 'A Black Theology of Liberation'. Hubungan keduanya tidak jelas, tetapi tema pembebasan yang terkandung dalam keduanya jelas paralel. Yaitu pemusatan kepada kelompok yang tertindas, dan adanya redefinisi istilah teologia yang diartikan dalam konteks sosial politik. Pengaruhnya segera meluas dan mendapat sambutan yang hangat oleh negara-negara dunia ketiga. Di Asia, masih hangat dalam benak kita peran yang dimainkan oleh Gereja Katolik di Filipina dalam kejatuhan Marcos. Bahkan dalam harian Sinar Harapan, 17 April '86, halaman IV, dimuat berita bahwa Gereja Protestan di Korea Selatan bukan hanya mendukung bahkan memimpin perjuangan untuk menggeser Presiden Chun Doo Hwan. Pdt. Kim Dong Wan, ketua Dewan Gereja Nasional mengatakan bahwa Dewan tersebut telah memutuskan untuk memimpin di barisan terdepan untuk menghentikan kediktatoran militer yang jahat.

Di Indonesia, kami yakin masih belum ada teolog-teolog (mudah-mudahan tidak pernah ada - pen.) yang melibatkan diri dalam revolusi, atau yang memasukkan unsur politik dalam ibadahnya. Tetapi topik-topik pembebasan, keadilan sosial, itu jelas sekali berpengaruh besar dalam penulisan beberapa tokoh belakangan ini - sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Di kalangan Katolik, kita dapat baca dari tulisan Felix Danuwinata, Y.B. Mangunwijaya, juga Robert Hardowijono yang pernah kami pakai sebagai bahan diskusi dalam persekutuan mahasiswa teologia se kabupaten Malang tahun 1983. Di kalangan Protestan dari tokoh-tokoh seperti Liem Khiem Yang, P.D. Latuihamallo, F. Ukur, T.B. Simatupang, juga yang termasuk generasi belakangan antara lain; Eka Darmaputera, Albert Wijaya, H. Marianne Katoppo yang sering berbicara tentang feminisme. Bukan maksud kami untuk menyebutkan semua nama-nama yang sering berbicara tentang pembebasan di Indonesia, tetapi cukuplah ini untuk menunjukkan bahwa disadari atau tidak toh konsep teologia tersebut sudah sangat berpengaruh di Indonesia.

Ada persamaan-persamaan dalam dunia ketiga yang menyebabkan Teologia Pembebasan mendapatkan respons yang hangat. Rasa solidaritas dunia ketiga yang rata-rata merupakan korban penjajahan, kemiskinan yang masih merajalela, sedangkan hasil kemajuan teknologi impor hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil lapisan atas, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin makin nampak. Perkataan seperti pembangunan nasional, kemanusiaan, keadilan, tidak asing lagi. Tetapi justru dalam sektor ini di mana gereja mau menjalankan fungsi kenabiannya, mereka terbentur pada fakta bahwa 'agama Kristen' masih merupakan kelompok yang sedikit banyak agak asing, masih dicurigai sebagai koloni rohani dari barat. Ditambah lagi dengan faktor bahwa negara-negara di Asia banyak yang baru merdeka, semangat nasionalisme untuk mencari identitas bangsa sangat kuat. Hal ini diungkapkan bukan hanya dalam bidang politik, juga penggalian kembali nilai-nilai kebudayaan, agama asli dan sebagainya. Dengan berjalannya proses ini kekristenan yang sudah terlepas dari induknya mendapat sorotan secara kritis, dan gereja-gereja mendapati dirinya ditantang untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai asal mula kepercayaan, sumbangsih bagi negara yang sedang membangun, dan teologia yang memancarkan identitas dan pergumulan bangsa sendiri, bukan jiplakan dari barat.

Sebetulnya bagi kami gejala itu sendiri baik sekali, untuk menjadikan kekristenan sebagai suatu bagian integral bangsa memang teologia kita harus kontekstual. Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah legenda Budha tentang Thera Mahinda yang menyebarkan ajarannya di Sri Lanka, sehingga raja berikut ribuan orang menerima ajarannya. Pada suatu hari raja bertanya kepada Thera Mahinda apakah agama Budha sudah berdiri mapan sekarang. Mahinda menjawab, "Budhisme memang sudah berdiri, tetapi akarnya belum cukup dalam ke tanah." Raja bertanya kapan itu terjadi, jawab Mahinda, "Apabila seorang yang dilahirkan dari orang tua Srilanka asli, menjadi biarawan di Sri Lanka, belajar Vinaya, dan mengungkapkannya kembali dalam bahasanya, baru akar Budhisme dapat dikatakan merembes di dalam tanah Sri Lanka."23 Kita dapat menarik, hikmah dari, legenda tersebut bagi kekristenan di Indonesia, namun yang menjadi keprihatinan kami sebagai orang Injili terhadap gejala yang ada di Indonesia, ialah suatu kecenderungan asal mencari identitas teologia sendiri, jarang sekali mengemukakan dasar Alkitabnya, atau kalau ada, tidak jarang merupakan tafsiran yang dipaksakan untuk memberikan arti sesuai dengan konsep yang memang sudah ada duluan. Dan untuk itulah makalah ini ditulis, supaya dalam usaha yang kami katakan baik tadi, kita tidak terjatuh dalam 'Injil lain' yang sangat berbeda dari ajaran bapa-bapa gereja yang sudah digumuli, disempurnakan selama hampir 2000 tahun dan yang tentunya ada di bawah pimpinan Roh Kudus.

Teologia Pembebasan - Konsensus yang nampak

Sebetulnya tidak mudah untuk mencari suatu keseragaman antara teolog-teolog pembebasan baik yang di Amerika Latin, Orang hitam di Amerika, Asia, Afrika, karena masing-masing mempunyai tekanannya sendiri. Namun pada bagian ini kami akan memberikan lebih tepatnya suatu konsensus yang nampak di dalam pemakaian prinsip-prinsip metode dasar yang mereka pakai untuk kemudian merumuskan teologia pembebasannya masing-masing.

1. Orientasi teologia - Pembebasan bagi mereka yang tertindas

Suatu teologia harus dimulai bukan dari teori atau pandangan dari atas, melainkan pandangan dari bawah. 'It starts where the pain is', dimulai dari bagian yang sakit atau yang menjadi masalah, yaitu penderitaan dari kelompok yang dikesampingkan atau tertindas. Tertindas di sini sesuai dengan konteksnya masing-masing, bagi orang-orang di Amerika Latin tertindas dalam arti sosial ekonomi, bagi orang Hitam masalah ras, di Indonesia soal keadilan sosial.

Orang miskin bukan hanya menjadi obyek perhatian Injil, justru adalah subyeknya. Menurut Hugo Assman, teologia yang dipancarkan oleh Injil 'epistemological Privilege of the poor' - pada dasarnya, secara epistemologis memberikan hak istimewa kepada yang miskin. Seseorang tidak bisa disebut teolog kalau tidak terjun secara pribadi dan konkrit dalam mengidentifikasikan diri dengan perjuangan untuk pembebasan. Jangan berbicara tentang keselamatan atau penebusan tanpa pembebasan. Identifikasi ini bukan sekedar suatu pengalaman iman dalam konteks tersebut, melainkan suatu penolakan secara aktif terhadap status quo. Melalui proses tersebut 'manusia baru' sebagai anugerah Allah dalam kerajaanNya tampil dalam sejarah yang konkrit. Inilah suatu panggilan terhadap 'exodus' yang baru, yaitu emansipasi dari penindasan yang merupakan protes Allah terhadap ketidakadilan.

2. Wilayah teologia - Situasi konkrit sebagai konteks

Sebagai konsekuensi 'pandangan dari bawah' yang kami sebutkan di atas, maka ada perhatian yang mendalam terhadap kekonkritan sejarah sekarang dan di bumi ini. Mereka mengritik keabstrakan teologia barat dengan bahasa filsafatnya. Pembahasan tentang Allah secara ontologis adalah versi doketisme, yaitu teologia yang terpisah dari realita darah dan daging. 'The history of salvation means the salvation of history', sejarah keselamatan berarti keselamatan sejarah, teologia di luar kekonkritan sejarah adalah idealistik, warisan filsafat kuno Yunani. Mereka juga mengritik eskatologi tradisional yang cenderung tidak berhubungan dengan keadaan sekarang, dimensi eskatologis harus berakar di dalam 'present', eskatologi harus imanen, dan menginkarnasi.

Teologia Pembebasan membawa setiap individu menjadi manusia sepenuhnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Monika Hellwig:

"Mereka menekankan bahwa Injil Kristen bukan, semata-mata suatu berita mengenai keselamatan individu dari dunia ini, melainkan suatu berita mengenai keselamatan dunia ... Tugas gereja di dalam segala zaman adalah memprotes ketidakadilan, menentang segala yang tidak manusiawi (dari terang diri Yesus yang menyatakan manusia sesungguhnya), berpihak pada yang miskin dan yang tertindas."24

Dari segi ini maka hal-hal yang dipertanyakan dalam kerangka teologia menjadi berubah. Teologia tradisional berkisar mengenai Allah, penyataan, dosa, keselamatan, Kristus dan gereja. Teolog Pembebasan akan bertanya mengenai apa makna keselamatan kita dari segi pengalaman kontemporer, mengenai eksploitasi ras, sosial ekonomi. Dengan melihat saling ketergantungan struktur masyarakat, apa-apa yang harus dikerjakan untuk menebus masyarakat dunia itu?

3. Partner Teologia yang Baru - Ilmu Kemasyarakatan

Pada masa yang lampau teologia selalu dikaitkan dengan struktur filsafat. Pertanyaan-pertanyaan yang dipermasalahkan antara lain: Bagaimana kita bisa percaya kepada Allah pada zaman ilmiah ini? Bagaimana bisa percaya kepada Allah yang tidak berubah pada zaman yang berubah-ubah ini? Tetapi teolog pembebasan akan bertanya, bagaimana bisa percaya kepada Allah dalam masyarakat yang menindas si miskin, sehingga harkat manusia tidak dihargai lagi? Karena tuntutan ini membuat mereka harus mengerti analisa sosial, ilmu politik, ekonomi dan sejarah modern, sehingga ada yang menyebutnya 'the sociologization of theology'. Mereka menganggap pada zaman dahulu banyak teolog seolah-olah mengira eksegese netral terhadap ilmu, pada hal itu tidak mungkin, setiap kita pasti mempunyai ideologi tersembunyi akibat interaksi dan pengamatan terhadap realita di mana kita hidup. Melalui alat ini - ilmu kemasyarakatan - teologia memperoleh pengertian konkrit tentang dunia di mana iman kita hidup, dan bisa menggumuli pertanyaan-pertanyaan sehingga memampukan orang Kristen untuk menguji daya guna ketaatannya. Bagi teolog pembebasan (khususnya Amerika Latin) dimensi sosiologi ini berorientasikan karya Marx. Memang tidak semuanya menerima analisa Marxisme secara penuh, bagi kebanyakan teolog pembebasan Marxisme hanyalah alat untuk analisa sosial, tanpa komitmen pada antropologinya.

4. Metode teologia - Refleksi terhadap praktis

Bagaimana teologia bisa dibebaskan dari sistem akademis, menara pemenjaraan yang tinggi dan kembali kepada iman Kristen yang praktis? Bagaimana teologia bisa berbicara secara konkrit tidak abstrak, profetis tidak spekulatif? Jawabannya terletak pada jantung metodologi teologia pembebasan, yaitu refleksi terhadap praksis. 'Praxis' artinya menjadi jauh lebih luas daripada 'practice'. Praksis menggambarkan sirkulasi yang selalu berlangsung antara aksi dan refleksi. Sebagai suatu keterlibatan langsung dalam tindakan mengubah masyarakat yang tidak adil, aksi mendesak pada refleksi, refleksi mendesak pada aksi lagi, proses dialektikal yang tidak pernah selesai akibat keterlibatan kita secara langsung itulah yang disebut praksis. Inilah cara kita untuk bekerja sama dengan Allah di dalam membangun bumi dan langit baru, melalui praksis kita bukan hanya mengerti dunia, tetapi mengubahnya.

Jadi bagi teolog pembebasan, letak peran teologia ialah sebagai 'second act' mengikuti praksis yang adalah 'first act'. Teologia merefleksikan apa yang nampak dari hasil first act, dan membawa praksis sejajar dengan penyataan Allah di dalam diri Kristus. Teologia bukan teori yang kita kenakan pada kehidupan dan dunia, melainkan apa yang terjadi di dalam kehidupan dan dunia. Apa yang baru dalam formulasi ini? Bukankah teologia selalu dimengerti sebagai upaya untuk menghasilkan tindakan? Teorinya demikian, tetapi prakteknya tidak, jawab mereka. Di dalam tradisi, bahasa teologia selalu dianggap sebagai kebenaran mutlak, tanpa hubungan dengan praktek yang dilihat sebagai kelanjutannya. Sedangkan mereka, melalui hermeneutika yang berorientasi pada praksis mendesak bahwa kebenaran itu ada dalam tindakan. Dulu 'truth' punya dunia sendiri, dunia pemikiran, dunia di 'sono' bukan. di sini. Truth, menurut teolog Brazil, Ruben Alves, "adalah nama yang diberikan oleh manusia dalam sejarah kepada aksi yang efektif bagi pembebasan manusia".25 Karena itu teolog pembebasan tidak lagi bicara 'studying theology' melainkan 'doing theology'.

5. Tugas teologia - Hermeneutika yang selalu mempertanyakan dan memberikan pengharapan

Karena keterlibatan teologia sebagai refleksi terhadap praksis yang kami uraikan di atas, maka teologia mempunyai tugas khusus sebagai oposisi terhadap sikap 'nrimo', juga harus berperan serta untuk mengubah harapan eskatologis yang abstrak menjadi perubahan masyarakat yang nyata. Di sinilah letak dimensi hermeneutika yang selalu mempertanyakan dan memberikan pengharapan. Hermeneutika harus menjadi alat untuk mempertanyakan dan mencurigai ideologi tersembunyi kita, mencabut akar dari pandangan selektif kita terhadap Alkitab, di mana kita sering merasionalisasikan minat pribadi sehingga mendukung status quo. Misalnya kasih terhadap saudara, ideologi tersembunyi membuat kita membiarkan si miskin khususnya kalau hal tersebut menguntungkan kita, hermeneutika harus mengkonfrontir hal-hal tersebut. Kalau Allah berdiri di pihak si miskin, mengapa kita tidak tersentuh oleh fakta begitu banyak orang miskin? Kalau Allah menghendaki keadilan, mengapa terjadi pemerasan, monopoli ekonomi? Terkadang dari kelompok yang tertindas bisa juga lupa sesudah mereka mencapai tingkat sosial tertentu. Hermeneutika ini bukan hanya mempermasalahkan minat sosial, tetapi mempertanyakan minat sosialnya siapa? Di dalam konteks Indonesia, masih hangat masalah Kali Code, di mana Y.B. Mangunwijaya begitu gigih membela penghuninya; sehingga dia mendapat julukan 'Kyai Code'.

Hermeneutika ini mempunyai segi positif yaitu memberikan pengharapan. Begitu tugas negatif hermeneutika di atas dijalankan, maka harapan baru muncul, yaitu teks tersebut bisa membentuk ulang konsepsi kita tentang kehidupan dan kematian, epistemologi yang biasa kita pakai, pengetahuan tentang masyarakat, etika, politik dan seterusnya. Proses ini membentuk lingkaran dialektis antara realita yang digambarkan dalam sosiologi modern dan realita dalam Alkitab. Lingkaran, ini bukan untuk menimbulkan frustrasi, melainkan pengharapan baru. 'God's no to the old, and yes to the new'.

 EVALUASI TERHADAP TEOLOGIA PEMBEBASAN

Sering kali suatu gerakan itu muncul sebagai 'unpaid bills of the church' - rekening yang belum terlunaskan oleh gereja - sebagaimana juga dengan gerakan Karismatik. Pada bagian ini kami bukan hanya mengritik Teologia Pembebasan saja, namun sikap kami lebih cenderung mengusahakan dialog dengan rendah hati. Kami mengakui bahwa banyak hal yang diungkapkan oleh teolog pembebasan sebetulnya merupakan pergumulan hati nurani kami sendiri. Ada teolog-teolog Injili di dalam mereka mengritik Teologia Pembebasan lebih bersifat 'self-defence', tuduhan Marxisme mungkin hanya pembelaan terhadap Kapitalisme, atau keberatan terhadap 'epistemo logical privilege of the poor' sebetulnya hanya menguntungkan si kaya. Ada yang menyederhanakan dan menyamakan teologia ini sebagai 'theological glorification of violence' - pembenaran atau pemuliaan kekerasan secara teologis. Sebetulnya yang mereka tentang ialah kekerasan yang melembaga. Kekerasan yang pertama berasal dari struktur yang berkuasa yaitu kekerasan yang menindas, dilawan dengan aktif tanpa kekerasan (active non violence), yang menjadi populer setelah tergulingnya Marcos.

Munculnya Teologia Pembebasan menyadarkan kita akan perlunya suatu teologia yang mempunyai orientasi universal. Selama ini teologia yang kita warisi dibentuk dari konsep 'putih unggul'. Sehingga seolah-olah teologia putih saja yang berhak disebut teologia, yang lain pakai embel-embel teologia hitam dan sebagainya. Tertundanya pengadilan akhir karena Yesus belum datang tidak berarti sekarang tidak perlu keadilan. Nabi Allah perlu berseru, "Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar" (Why 6:9,10; Amos 1:13). Gereja memang tidak seharusnya menjadi motor gerila, tetapi juga bukan tempat retreatnya orang suci menunggu parousia. Kita perlu memikirkan kembali makna mengidentifikasikan diri dengan orang miskin. Apakah, seperti yang dikatakan Rudy Budiman, sering kali sikap kita sebagai orang yang di atas memberi sedekah kepada yang di bawah, ataukah seharusnya sebagai orang yang berdiri di samping bersama-sama orang tersebut menggumuli permasalahannya?26 Kegagalan kita mengambil resiko mempertanyakan bisa menjadi kegagalan kehilangan kemurnian Kerajaan Allah itu sendiri!

Teologia Pembebasan juga mengingatkan bahwa wilayah teologia harus selalu konteks dari situasi konkrit. Eklesiosentrisme adalah rintangan bagi teologia, kita perlu bergerak ke wilayah yang lebih luas, yaitu kosmosentrisme. Teologia pada hakekatnya adalah refleksi kontekstual, secara eksternal harus bersuara terhadap tensi dan konflik dalam masyarakat, ketidakpastian, pengharapan dan kegagalan manusia. Secara internal, teologia harus berfungsi secara kritis; menyoroti pertumbuhan iman jemaat di dalam pelayanannya kepada dunia, kualitas penatalayanannya. Teologia yang baik bukan hanya Alkitabiah, asumsi bahwa disiplin eksegese adalah obyektif merupakan warisan metode 'historicgrammatical' yang perlu direnungkan kembali. Alkitabiah hanya sebagian proses teologia, perlu dilanjutkan agar teologia tersebut menjadi kontekstual.

Perlu diakui bahwa dari Teologia Pembebasan kita menerima masukan baru dari sosiologi, ekonomi, ilmu politik. Di dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat orang Kristen perlu menunjukkan solidaritasnya, jangan hanya melihat kebutuhan orang lain dan mengatakan "selamat jalan" tetapi tidak berbuat apa-apa (Yak. 2:16). B.S. Childs mengatakan, "Setiap generasi berdiri di dalam momen sejarahnya sendiri yang khusus, untuk meneliti Alkitab supaya bisa mengenali kehendak Allah, dan berjuang menuju suatu ketaatan hidup yang harus dilaksanakan di dalam pokok permasalahan yang konkrit dari dunia."27 Kita terbiasa 'using theology' bukan 'doing theology'. Antropologi menjadi semacam proses kognitif mempelajari sejarah dogma dalam bentuk proposisional, terpisah dari tuntutan sosial dan pemanusiaan. Harvie Conn mengatakan bahwa perlu adanya hermeneutika spiral, yaitu suatu hermeneutika yang selalu mengadakan dialog antara masa lampau dan masa kini, bukan hanya 'what it means' tetapi juga 'what it means'. Hermeneutika spiral bertumbuh selagi orang tersebut datang kepada Alkitab dengan kesadaran akan situasi pribadinya, konteks budaya dan sosialnya, dan dengan suatu pengakuan tanggung jawab bahwa ia harus mengasihi sesamanya melalui keterlibatan nyata dalam memperjuangkan nilai-nilai masyarakat. Refleksi dari pertanyaan yang timbul akibat kesadaran tersebut adalah pertanyaan yang lebih jauh, di situlah spiral itu terus berfungsi secara penuh.

Sebagaimana kami sebutkan di atas bahwa evaluasi ini lebih merupakan dialog, maka di antara beberapa segi positif di atas yang kami yakin menjadi masukan baru bagi kaum Injili, Teologia Pembebasan mempunyai beberapa segi negatif yang kami rasakan sangat meresahkan bukan karena semata-mata merupakan perombakan dari yang lama, melainkan karena sulit dipertanggungjawabkan dari terang Firman Tuhan. Di bawah ini akan kami soroti beberapa hal yang perlu menjadi 'lampu merah' bagi para teolog pembebasan.

Persoalan yang pertama muncul dari orientasi teologia mereka, yaitu pembebasan bagi yang tertindas. Kerajaan Allah diidentifikasikan dengan gerakan pembebasan dari si miskin dan kelompok yang tertindas. Apakah ini sungguh-sungguh konsep keselamatan dalam Injil, 'holistic view' atau keselamatan seutuhnya? Mereka mengritik kaum Injili yang cenderung merohanikan tema-tema kemiskinan dalam Alkitab, tetapi diganti menjadi miskin secara sosio ekonomi. Kalau kaum Injili dikatakan menjadi internalisasi, justru mereka jatuh dalam bahaya eksternalisasi. Bagi kami miskin dalam Alkitab seharusnya mempunyai dimensi sosio religius (tidak hanya religius, tetapi juga tidak hanya sosio ekonomi). Yang satu merohanikan arti miskin dalam Alkitab menjadi masalah 'di dalam', yang lain menjasmanikan arti miskin menjadi masalah perbedaan klas sosial. Yang satu berbicara terlalu banyak tentang kasih Allah tanpa keadilan, yang lain keadilan Allah tanpa kasih. Yang satu melenyapkan garis horizontal dalam Injil menjadi vertikalisme, yang lain jatuh dalam horizontalisme.

Kesulitan kedua timbul kalau kita menganalisa tekanan teolog pembebasan terhadap kekonkritan situasi kita. Kaum Injili cenderung memberi respon terhadap konteks dengan prioritas monistik, yaitu terhadap keselamatan jiwa, sedangkan keadilan sosial adalah soal kedua. Karya Kristus dilihat sebagai aktivitas dalam gereja, baru kemudian melalui individunya menyentuh kebutuhan manusia secara lebih luas, ini menimbulkan privatisasi Sedangkan teolog pembebasan menekankan dosa yang sudah melembaga dalam masyarakat. Dosa bukan soal pribadi atau semata-mata realita di dalam, sehingga hanya cukup dengan penebusan secara rohani, tetapi dosa adalah fakta sosial dan historis. Carilah dosa di dalam struktur penindasan, eksploitasi manusia, perbudakan, klas sosial dan rasisme, bukan berarti mereka menolak dosa sebagai pemberontakan terhadap Allah, tetapi akarnya dicari melalui struktur masyarakat. Tetapi di sinilah letak persoalannya, teologia tradisional menunjukkan pandangan monistik privatisasi dari Injil, mereka sebaliknya monistik kolektivisasi sehingga mengabaikan kebutuhan dan tanggung jawab pribadi kepada Allah. Perkataan Carl Braaten sangat tepat dalam hal ini:

"Teologia Pembebasan benar di dalam melebarkan konsep dosa meliputi dimensi sosial, tetapi pandangannya justru dangkal dalam beberapa hal ... Banyak kekayaan konsep dosa dalam teologia, tradisional menjadi hilang. Dosa menimbulkan murka Allah; merupakan perbudakan iblis; suatu kondisi mati rohani... Suatu keadaan yang rusak total sehingga sekalipun masalah struktur sosial sudah beres, penindasan, rasisme, seksisme, perbedaan klas, kapitalisme dsb, tetap kondisi hakiki manusia yang berdosa belum beres secara fundamental."28

Wilayah ketiga yang kami soroti ialah sehubungan dengan ilmu kemasyarakatan sebagai partner teologia. Ini bukan soal menjadikan teologia ilmu sosial sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang, sebab sesungguhnya sulit memisahkan teologia dari asumsi kemasyarakatan sekalipun teologia tersebut dibentuk dari pandangan Alkitab yang ineran. Tetapi yang kami permasalahkan ialah pemutlakan ideologi di dalam pemakaian ilmu kemasyarakatan sebagai alat. Teologia warisan barat cenderung melihat kebutuhan sosial dari segi kapitalisme saja. Sebaliknya teolog pembebasan banyak yang melihatnya dari segi Marxisme atau Sosialisme. Yang satu menyoroti pertumbuhan ekonomi sebagai jalan keluar mengatasi kemiskinan, pandangan ini disebut idealisme optimistik sehingga menjadi pendukung status quo. Sebaliknya yang satu melihat perjuangan kelas sebagai jalan keluar yang disebut idealisme pesimistik, dengan demikian Kerajaan Allah dalam Kristus - suatu masyarakat baru - diperjuangkan melalui revolusi. Keduanya disebabkan kaitannya dengan ideologi. Gutierrez sering mengatakan bahwa mencari jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme akhirnya hanya jatuh lagi pada status quo. Usaha tersebut secara implisit mendukung penindas daripada secara eksplisit mendukung yang tertindas, bukan rekonsiliasi yang dibutuhkan melainkan liberasi, slogan tidak menyebabkan perubahan. Memang benar, tetapi kita juga harus tahu bahwa komitmen orang Kristen bukan pada teori perjuangan klas atau teori kemasyarakatan yang lain, melainkan kepada satu Allah yang benar yang menyatakan diri melalui firmanNya. Memang benar bahwa komitmen terhadap sosiologi tertentu lebih mendekati pola Injil, tetapi apakah benar demikian harus ditentukan oleh Injil, tidak oleh analisa sosial yang otonom sehingga terjadi pemutlakan ideologi. Jangan lupa bahwa Marxisme - adalah produk zaman pencerahan, yang dibangun atas definisi metafisis manusia yang mampu dan berkuasa dalam dirinya sendiri untuk menciptakan suatu masyarakat yang ideal, dengan demikian kedaulatan Allah adalah sekunder.

Masih ada satu hal lagi yang perlu diteliti sehubungan dengan tugas hermeneutika dan penolakan mereka terhadap perspektif utopia. Teolog pembebasan banyak memakai konstruksi eskatologis Moltmann (Teologia Pengharapan) untuk membentuk teologianya, tetapi mereka sangat kritis terhadap keabstrakan pandangan masa depan Moltmann, kekonkritan masa sekarang jangan ditumpulkan oleh kesamaran masa depan! Alves mengatakan bahwa mereka bukannya percaya terhadap kemungkinan adanya masyarakat yang sempurna, melainkan mereka percaya terhadap ketidakharusan keadaan masyarakat yang tidak sempurna sekarang ini. Tetapi yang menjadi masalah adalah sebaliknya. Tidakkah kekonkritan masa kini mereka justru melumpuhkan kekhususan eskatologi Kristen? Apakah pengalaman kelahiran baru yang sudah terjadi tetapi masih menunggu puncaknya pada masa yang akan datang hanya menjadi pengalaman 'sekarang' tanpa garis hubungan kepada Allah yang di depan kita dan membawa pada titik kesempurnaan tersebut? Sering mereka mengatakan bahwa eskatologi sebagai pelarian dari sejarah, tetapi apakah mereka tidak terancam bahaya eskatologi sebagai pelarian masa depan Allah? Teolog pembebasan menghadapi bahaya menurunkan eskatologi menjadi etika, sebagaimana kaum Injili menjadikan eskatologi suatu diagram yang digantung di depan tembok gereja. Etika yang bersumberkan eskatologi tidak dapat dipisahkan dari eskatologi yang mewujudkan diri dalam etika 'praxis'. Dapatkah para teolog pembebasan menjamin bahwa terlepas dari eskatologi Kristen, teologianya lalu tidak menjadi alat untuk membenarkan satu kelompok tertentu?.

Akhir kata

Sejak semula kami katakan bahwa ini adalah suatu dialog, mungkin banyak dari kritikan kami yang merupakan hasil ideologi tersembunyi yang belum dikonfrontir oleh terang Firman Tuhan. Namun sebaliknya kami himbau saudara yang sedikit banyak sudah memasukkan atau bahkan sudah menjadi pembela teologia pembebasan ini mengkonfrontir dirinya dengan terang Firman Tuhan. Kecuali interaksi antara kelompok Injili dengan Oikumenikal mengambil arah yang positif dan mau saling bertumbuh, maka sulit diharapkan keduanya bisa saling memperkaya dan mengadakan 'self-critique'. Kiranya segala kemuliaan hanya bagi nama Tuhan, bukan bagi denominasiku, latar belakang Sekolah Teologiaku, atau 'self-pride'-ku.

 KEPUSTAKAAN

Childs, B.S. Biblical Theology in Crisis Philadelphia: Westminster Press, 1970.

Choan Sen Song, Asians & Black: Theological Challenges Bangkok: EACC, 1972.

Qayis, J.J. Theology Primer. Grand Rapids: Baker, 1981.

England, John C, ed. Living Theology in Asia. SCM Press, 1981.

Gundry and Johnsons, eds. Tensions in. Contemporary Theology. Chicago: Moody Press, 1979.

Ihromi dan S. Wismoadi Wahono, penyusun. Theo-Doron. Jakarta: BPK, 1979.

Persetia. Himpunan Bahan Study Institute: Contextual Exegesis di Ujung Pandang, 1980.

Verkuyl, J. Contemporary Missio/ogy. Grand Rapids: Eerdmans, 1978.



TIP #18: Centang "Hanya dalam TB" pada Pencarian Universal untuk pencarian teks alkitab hanya dalam versi TB [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA