Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
APAKAH ITU INJILI? 
 PENGANTAR

Dalam ruang wawancara Pelita zaman kali ini, kami menampilkan Dr. Stanley Heath. Beliau dilahirkan di Amerika Serikat, negara bagian New York pada tahun 1925. SeteLah bertobat maka beliau menyeLesaikan Ph.D-nya dalam bidang teknologi kimia pada tahun 1958, kemudian beliau melanjutkan lagi di Asbury untuk M.Div. Sekarang beliau menjadi staff dosen di ITS dalam, bidang teknologi kimia. Selain itu juga mengajar fak 'Faith and Science' serta Filsafat Agama di Universitas Maranatha Bandung. Tetapi yang terutama adalah ketua Bidang Studi Lanjutan dari Institut Alkitab Tiranus.

Dalam kehidupannya ada satu hal yang amat dibanggakannya, yaitu beliau pernah mengangkat seorang remaja putri Indonesia sebagai anaknya yang kemudian menikah dengan seorang eks morfinis dan tokoh gang di Bandung. Tetapi mereka telah menyerahkan diri kepada Tuhan dan bergabung dalam Lembaga Perekaman Injil, sekarang melayani di Sumatera Selatan. Bapak Heath menerima tiga orang utusan dari Pelita Zaman yang terdiri dari Ev. Henry Efferin, Ev. Lily L. Efferin dan Ev. Linawati Chondro di kantor pribadinya pada hari Selasa tanggal 29 April 1986, pukul 09.00 WIB.

 WAWANCARA DENGAN DR. STANLEY HEATH

PZ: Istilah Injili belakangan ini populer, ada yang menanggapinya dengan sikap sinis, ada yang memakainya tapi dengan konotasi yang bermacam-macam. Apakah sesungguhnya Injili itu?

SH: Sebetulnya semua gereja di Indonesia pada mulanya didirikan oleh badan misi yang Injili, misalnya GMIM, HKBP dan sebagainya. Hakekat dari makna Injili adalah bahwa kita diselamatkan oleh Yesus Kristus sendiri dan bukan oleh suatu lembaga. Pada zaman Reformasi orang menganggap manusia diselamatkan oleh gereja, seolah-olah gereja merupakan lembaga penyalur keselamatan. Gerakan Reformasi - dari sinilah timbulnya istilah Injili pertama kali - menentang hal tersebut, karena gereja bukanlah kantor imigrasi surga. Perkembangan di Indonesia belakangan ini ada kemiripan dengan situasi gereja di Amerika, di mana gereja-gereja Injili dipertentangkan dengan gereja-gereja 'main line' yang sudah mapan dan tradisional, sehingga menganggap keanggotaan gereja saja sudah cukup.

Di samping itu ada perbedaan antara gereja yang percaya kepada Injil dan gereja yang yakin harus menginjil, sekalipun perbedaan tersebut sebenarnya kurang baik. Injili menekankan kalau kita sudah menyambut Injil, maka seharusnya Injil itu menuntut penyampaian, pemberitaan di mana-mana. Jadi kalau gereja belum menjalankan penginjilan, patut dipertanyakan sifat Injilinya dan sampai seberapa jauh keyakinannya terhadap Injil yang dipercayainya. Injili tidak dapat dipisahkan dari tugas menginjil.

PZ: Apakah ada perbedaan antara pandangan Injili dan Fundamentalisme?

SH: Bagi saya Fundamentalisme dan Injili adalah sama. Yang menjadi masalah adalah ketika pertentangan antara Fundamentalisme dan Liberal memuncak di Amerika, sebagian dari golongan Fundamentalisme menjurus ke arah separatis (mengasingkan diri). Mereka ini mungkin merasa dirinya terpojok oleh sains, sehingga akhirnya golongan ini dicap picik, kolot, kurang terbuka. Karena itu sebagian golongan Fundamentalisme tidak mau diidentikkan dengan mereka, kemudian menyebut dirinya "Injili". Sebenarnya seseorang dikatakan picik, belum tentu dirinya picik. Misalnya Gresham Machen yang menjadi pelopor Fundamentalisme, tidak ada seorangpun yang meragukan bobot akademisnya. Tetapi biasanya kalau seribu orang melawan satu, maka suara seribu itulah yang masuk sejarah.

Jadi sekali lagi, dalam hal dasar kepercayaan Fundamentalis dan Injili adalah sama. Bahkan, bagi saya mereka yang menyebut dirinya Injili sekarang masih kalah bobotnya dibandingkan dengan Kristen Radikal di Belanda pada awal abad ke-20 yang dipimpin oleh Abraham Kuyper, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Dengan didampingi 134 gereja beliau memisahkan dirinya dari gereja negara yang tradisional. Kemudian mereka mendirikan Universitas Amsterdam yang memasukkan Filsafat Kristen ke dalam setiap jurusan, karena mereka mempunyai keyakinan bahwa ilmu yang sesungguhnya itu harus bertolak dari Alkitab.

PZ: Apakah yang menjadi keprihatinan sesungguhnya (real concerns) dari Injili di Indonesia?

SH: Indonesia membutuhkan Kristus! Itulah yang pertama. Kalau tidak ada golongan yang bersikap tegas memperjuangkan Firman Allah, maka Indonesialah yang rugi. Masih banyak golongan yang belum menerima keselamatan di dalam Yesus. Jangankan golongan lain, di dalam tubuh Kekristenan sendiri masih banyak yang Kristen kafir.

Sebagai ilmuwan Injili, saya sendiri memperjuangkan bahwa Alkitab mutlak benar, terhadap setiap bidang sains. Mungkin dalam hal ini saya adalah salah seorang yang paling fundamentalis di Indonesia, karena menganggap penjelasan PII atau PASTI terhadap Firman Allah terlalu terbatas. Mereka hanya bersedia mengatakan bahwa Alkitab itu benar sebagai dasar kepercayaan dan penghayatan. Tetapi sikap itu belum menjawab permasalahannya. Sewaktu PASTI dibentuk, saya mengusulkan untuk mengubah asas tersebut menjadi "Alkitab itu benar sebagai dasar kepercayaan, penghayatan sains dan sejarah."

Tetapi beberapa perumus kurang berani merumuskannya demikian, padahal jelas benar bahwa sains yang bertentangan dengan Alkitab pasti salah dan bahwa sains yang demikian tidak memiliki kerangka epistemologis dalam meyakini kebenaran ilmiahnya. Sebagai contoh, Immanuel Velikovsky, seorang ilmuwan Rusia keturunan Yahudi, mengatakan bahwa sejarah sekuler Mesir meleset 600 tahun berdasarkan beberapa penemuan ilmiah. Kalau itu dikoreksi, maka akan menjadi tepat sama dengan sejarah Perjanjian Lama. Jadi menurut saya, kaum Injili ada kelemahan: Yang pertama, belum berani menerima Alkitab secara mutlak. Yang kedua, kaum Injili terlalu banyak memikirkan pengalaman pribadi; ini sebenarnya pengaruh dari Schleiermacher. Memang dalam Perjanjian Baru terdapat banyak pengalaman rohani pribadi, tapi pengalaman pribadi selalu disoroti dari sudut negatifnya dan tidak boleh dijadikan dasar pembenaran Injil.

PZ: Ada yang mengatakan bahwa pergolakan Injili vs Oikumenikal tidak relevan di Indonesia, itu hanya pengaruh dari Barat. Bagaimana pandangan bapak mengenai hal itu?

SH: Bagi saya inti pertanyaan ini ialah apakah manusia diselamatkan oleh Injil semata-mata, ataukah bisa mengambil bagian dalam penyelamatannya sendiri. Karena itu jawabannya jelas, masalah ini ada dan relevan di Indonesia, yang merupakan suatu negara perpaduan dari pelbagai latar belakang agamawi.

Masyarakat Indonesia membanggakan istilah "gotong royong", maka kalau kita tidak waspada kehidupan gereja akan ditetapkan oleh musyawarah antar golongan dan tidak bergantung pada Firman Allah semata-mata.

Memang kita melihat bahwa di dalam masyarakat selalu ada kecenderungan untuk melebur. Hal ini sudah ditemui dalam I Korintus 15, yang menyoroti sebagian kaum Kristen dari abad pertama yang tidak mau menerima kebenaran Injil secara mutlak. Mereka merasa lebih bisa melebur dalam masyarakat kalau tidak mengakui kebangkitan Yesus secara ragawi. Padahal Alkitab menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengharapkan, perpaduan/kerukunan antara dua golongan manusia yang berbeda kodrat.

Masalahnya memang ada di Indonesia dan merupakan sifat hakiki dalam budaya setempat, tetapi dipertajam oleh teologia "impor". Pertentangan ini tidak dibawa oleh para misionaris yang datang sebelum abad ke 20, melainkan terutama oleh mereka yang menempuh pendidikan lanjutan di Barat. Masalah sebenarnya dari kedua fihak, Timur dan Barat, ialah pilihan antara Firman Allah dengan Humanisme.

Bukan maksud saya untuk mempertentangkan fihak Injili dengan Oikumene. Perbedaan itu selalu akan ada selama ada orang yang tidak senang dengan Alkitab. Keunggulan Kristen adalah pengakuan bahwa manusia pada hakekatnya jahat/berdosa. Kebanyakan orang tidak senang mengakui dirinya bejat atau salah. Mereka lebih senang mengatakan dirinya sebagai korban lingkungan, misalnya kalau ada kendaraan yang nabrak pohon, sopirnya menyalahkan pohonnya; kalau ada masalah lain, disebut "takdir", maksudnya Allah yang dipersalahkan. Menurut Alkitab manusia harus bertanggung jawab dan mengakui ketidakbenarannya dan ketidakberdayaannya, suatu hal yang tidak disukai orang.

PZ: Di Indonesia sendiri ada berbagai aliran yang memakai label Injili. Ada kesan bahwa antara yang satu dan yang lain tidak dapat bekerja sama, bahkan lebih parah lagi saling menyerang. Bagaimana pendapat bapak mengenai hal ini?

SH: Yah, kalau kita tinjau dari latar belakangnya, gereja-gereja di Indonesia didirikan oleh badan-badan misi yang biasanya melayani di daerah-daerah terpencil di mana masing-masing juga mengembangkan ciri khasnya sendiri, sehingga mereka terbiasa berdiri sendiri. Permasalahan ini bisa dibandingkan dengan zaman sesudah kemerdekaan Indonesia di mana ada peperangan antar suku.

Gereja-gereja Injili sekarang sedang berkembang menuju suatu kerja sama yang lebih baik. Hal ini disebabkan juga karena adanya konperensi-konperensi di Jawa, sehingga satu dengan yang lain saling mengenal.

Saya sendiri selalu mengusahakan kerjasama. Misalnya sekolah kami menerima siswa-siswa yang berasal dari 45 macam gereja. Juga dalam jabatan saya sebagai Ketua Seksi Pendidikan PASTI saya selalu bekerjasama dengan sekolah-sekolah teologia lain. Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa kerjasama hanya mungkin terjadi kalau tiap pihak mengenali identitasnya sendiri. Kerjasama tidak sama dengan bersatu. Kalau semuanya bersatu, kasihan dunia sebab dengan demikian akan terjadi dua akibat:

1. Pelestarian lembaga, badan penginjilan/gereja berubah menjadi ormas socio-politik.

2. Kalau gereja masih mau menginjil, mereka hanya punya satu ladang pergereja.

Seringkali Allah harus campur tangan untuk memisahkan mereka, supaya menjadi dua lembaga dengan dua ladang pelayanan. Supaya penginjilan dapat berjalan di mana-mana harus ada ribuan lembaga yang dapat bekerja sama tanpa perlu bersaing, tetapi tetap mengakui identitasnya masing-masing.

Kalau mereka bersatu dan tidak lagi membicarakan identitas dirinya, ada kemungkinan keyakinannya sudah mulai luntur; sebab seseorang yang yakin, kalau melihat ada perbedaan sedikit saja dari pihak lain, ia akan mengatakan itu salah. Maksud saya dalam hal ini bukan memutlakkan teologia saya, sehingga orang lain yang pandangan teologisnya tidak sama berarti tidak selamat. Keselamatan adalah tetap karena percaya kepada Yesus. Marilah kita bekerjasama dengan masing-masing mempertahankan identitasnya.

PZ: Sehubungan dengan pertanyaan tadi apakah menurut bapak PII adalah jawaban yang tepat untuk itu?

SH: Ya, PII sedang menuju pada perkembangan kerja sama yang baik. Tetapi masih ada masalah tentang identitas PII sendiri, apakah merupakan suatu badan konsultasi antar lembaga ataukah suatu kongres di mana lembaga-lembaga tersebut terwakili.

Strateginya ke luar sudah cukup memadai namun urusan intern belum tuntas dan menurut saya PII terlambat 10 tahun dibentuknya. Misalnya, di India, wadah Injili sudah dibentuk lebih awal sehingga mereka mendapat jatah kertas khusus untuk penerbit-penerbit Injili. Kalau PII dibentuk 10 tahun sebelumnya suaranya pasti lebih kuat.

PZ: Bagi kami masih ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan sehubungan dengan munculnya PII, apakah ini tidak justru mengkotak-kotakkan umat Kristen, mengapa kaum Injili tidak aktif saja dalam PGI dan menyatakan warna Injilnya. Atau masalahnya karena mereka memang kurang diterima dan mendapat tempat dalam PGI?

SH: Tidak! Bagi kami persoalannya lain, kalau kita hanya memikirkan pelayanan jangka pendek, yah lebih baik bergabung dalam PGI saja. Tetapi jangka panjang jelas lebih menguntungkan adanya PII, sebab dengan demikian identitas dan suaranya jelas. Kalau semua bergabung dalam satu wadah saja, saya kuatir suara Injili sulit untuk mengumandang.

Dari pertimbangan segi politik mungkin lebih menguntungkan kalau hanya satu wadah Kristen, tetapi kita tidak dipanggil untuk menerjuni bidang politik. Memang saya percaya harus ada orang Kristen yang bergerak dalam bidang politik dan gereja harus mengarahkan mereka dalam hidup yang bertanggung jawab sebagai warganegara. Tetapi sebagai wadah, gereja atau badan pelayanan kita tidak diamanatkan untuk itu. Amanat kita jelas seperti yang terdapat dalam Kis. 1:8.

"Saya kira banyak orang Injili mempunyai gelar lebih rendah dari pengetahuannya, sebaliknya orang-orang non-Injili mempunyai pengetahuan lebih rendah dari gelarnya."

PZ: Ada yang mengatakan bahwa kaum Injili itu kurang akademis. Apakah itu benar? Bagaimanakah sikap kaum Injili sesungguhnya terhadap ilmu?

SH: Saya kira banyak orang Injili mempunyai gelar lebih rendah dari pengetahuannya, sebaliknya orang-orang non Injili mempunyai pengetahuan lebih rendah dari gelarnya. Misalnya, lulusan STT selama 5 tahun, kemudian melanjutkan ke Princeton untuk gelar Th.M., biasanya diperlukan 2 tahun. Jadi total masa studinya 7 tahun. Sedangkan di sekolah-sekolah Injili rata-rata untuk mendapatkan Th.M. diperlukan waktu 9 tahun. Ini saya alami sendiri ketika saya ke sekolah teologia. Walaupun saya sudah mendapat gelar Ph.D tetapi sekolah-sekolah Injili masih menuntut 3 tahun lagi untuk mendapatkan gelar M.Div., sedangkan sekolah-sekolah non Injili hanya menuntut 2 tahun orientasi. Jadi bobot gelar sekolah-sekolah Injili lebih tinggi. Ini juga merupakan salah satu tujuan sekolah kami, untuk memperlengkapi orang-orang Injili dengan gelar yang sepadan dengan pengetahuan mereka, karena dengan demikian mereka akan mempunyai peluang untuk berbicara dalam media massa. Di sekolah kami kini ada lebih dari 53 sarjana yang mengikuti program master dengan 10 antara 100 sampai 140. Menurut saya, orang pandai umumnya cenderung menjadi Injili, karena mereka kritis terhadap kontradiksi di dalam ajaran non Injili, sebagaimana Paulus di dalam I Korintus 15 - kalau Kristus tidak bangkit, maka iman kita sia-sia! Banyak orang non-Injili tidak menerima kebangkitan Kristus, tetapi menyatakan dirinya beriman ... bukankah itu suatu kontradiksi?

Nah, tentang sikap kaum Injili terhadap ilmu, hal ini bertepatan dengan vak 'Faith and Science' yang saya ajar di Maranatha (Bandung).

Sikap saya jelas, bahwa kaum Injili tidak perlu bersikap negatif bahkan seharusnya mempelajari setiap bidang sains. Saya yakin bahwa Alkitab tidak bertentangan dengan ilmu. Kalau sampai terjadi ilmu itu tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab, pasti Alkitablah - yang benar. Ilmu yang bertentangan dengan Alkitab adalah sok tahu, bukan tahu. Hanya orang-orang misionaris Injili saja yang pernah mengatakan saya terlalu ekstrim dalam menentang evaluasi, dan biasanya mereka ini hanya mempelajari teologi saja. Justru di kalangan profesor-profesor universitas saya juga menegaskan bahwa Firman Allah adalah dasar satu-satunya yang benar dalam kegiatan ilmiah, anehnya mereka lebih terbuka daripada para teolog.

Saya sendiri pernah menjadi korban teori evolusi sebelum meyakini Yesus, namun kemudian saya menggumuli hal tersebut selama 10 tahun dan mendapatkan kesimpulan tuntas bahwa evolusi itu Salah dan Alkitablah yang benar. Evolusi hanya salah satu pilihan falsafah. Kemudian saya butuhkan 10 tahun lagi untuk memikirkan sebab musabab kemenangan evolusi dalam sains. Sekarang sikap saya hampir sama dengan Herman Dooyeweerd, yang mengatakan bahwa kalau suatu sistem filsafat itu tidak dilandasi iman Kristen, adalah filsafat yang dangkal, sebab filsafat tersebut tidak mempunyai pemecahan yang riil terhadap problema manusia. Untuk mendapatkan suatu pandangan yang utuh, Dooyeweerd merangkum 14 sarana pengalaman manusia dan membahasnya secara filsafat, sesudah menguraikan beberapa pemikiran tersebut akhirnya ia menyimpulkan bahwa semua pilihan di luar Firman Allah bersifat dualis dan dualisme tidak pernah memberi penyelesaian yang tepat. Kalau suatu filsafat itu bukan Kristen, pasti tidak ilmiah. Cukup radikal bukan?

"Saya sendiri pernah menjadi korban teori evolusi sebelum meyakini Yesus, namun kemudian saya menggumuli hal tersebut selama 10 tahun dan mendapatkan kesimpulan tuntas bahwa evolusi itu salah dan Alkitablah yang benar."

Sebetulnya Darwin di dalam mencetuskan ide evolusi itu didalangi oleh tokoh-tokoh lain yang bernama Charles Lyell dan Thomas Henry Huxley. Sebelumnya Darwin tidak pernah tertarik pada biologi walau ia bertugas sebagai naturalis dalam perjalanannya mengelilingi dunia selama 5 tahun. Minatnya terhadap biologi dikembangkan oleh Lyell mulai 10 bulan sesudah Darwin pulang dari perjalanan tersebut. Dan ketika buku 'The Origin of Species' terbit 20 tahun kemudian, sebetulnya hanya merupakan pengungkapan kembali - jilid II dari tulisan Lyell 'Outlines of Geology' dalam bahasa biologi. Buku yang paling tepat untuk menganalisa cikal bakal teori evolusi adalah 'The Rise of the Evolution Fraud' karya M. Bowden (Creation Life Publisher, California).

Saya akan memberikan beberapa contoh tentang kebenaran sains dalam Alkitab:

Pertama, waktu Musa menghancurkan anak lembu emas dan melemparkannya ke danau, lalu memerintahkan orang Israel minum air tersebut, saya heran bagaimana Musa bila tahu tehnik penghancuran emas sehingga dapat dipakai sebagai obat penyakit kelamin. Kemudian hari ternyata bahwa emas koloid memang merupakan obat mujarab sampai ditemukannya penicilin menjelang PD II.

Kedua, dalam Kejadian pasal 10 dicatat tentang Peleg yang menyaksikan benua terpisah-pisah. Pada tahun 1957 melalui penelitian antar negara "Tahun Geofisika Internasional" terbukti bahwa asal bumi satu benua, lalu berpisah menjadi 5 benua, bahkan kutub magnetis bumi sudah bertukar 187 kali sejak bumi terpisah-pisah. Sekali lagi Alkitab ternyata benar. Sesungguhnya seluruh sejarahpun dapat kita telusuri berdasarkan nubuat Nuh dan panggilan Abraham. Sejarah yang ditafsirkan dengan dasar lain pasti meleset.

Jadi kaum Injili harus kritis, katakanlah sebagai manusia yang dahulunya berdosa, dengan fungsi mental tersumbat dosa, tetapi kini sudah diperbaharui termasuk intelek kita. Mana mungkin orang yang demikian berpikir dangkal? Kalau dangkal, itu disengaja.

PZ: Sebagai tambahan terakhir, himbauan apakah yang bapak ingin sampaikan kepada kaum Injili di Indonesia?

SH: Yah ada beberapa, pertama tentang mutu akademis. Harus diakui ada kalanya kaum Injili dianggap kurang terlibat dalam bidang-bidang non teologis. Ini soal prioritas. Kebanyakan beban mereka adalah memenangkan jiwa yang belum diselamatkan dan untuk mengembangkan gereja. Waktunya tersita untuk tugas utama itu begitu besar, dan sepertinya tidak ada kesempatan untuk memperhatikan bidang-bidang lain ataupun meningkatkan mutu akademisnya. Hendaknya pada masa mendatang lebih banyak orang Injili yang menyadari kebutuhan akademis tersebut.

Disamping itu, saya menghimbau supaya misionaris dan rohaniwan nasional yang belajar ke luar negeri, supaya mereka tidak asal menerapkan apa yang mereka pelajari dengan cara dan pola kepemimpinan yang sebenarnya berbeda dengan situasi dan kondisi di mana mereka melayani, sehingga hal tersebut menimbulkan gesekan, kadang-kadang orang demikian ini memakai cara berpikir Barat untuk menilai kerohanian seseorang. Kemungkinan lain, mereka terlalu memakai ukuran akademis (ala Barat) atau universitas untuk dijadikan syarat jabatan kependetaan. Padahal pola berpikir dan corak kehidupan di Barat banyak dilandaskan dan dipengaruhi oleh Skolastisisme dan Renesans, yang merupakan pengungkapan dari Humanisme. Sebaliknya di dalam Alkitab kita lihat bahwa Petrus yang berlatar belakang nelayan juga bisa dipakai menjadi alat di tangan Tuhan, yaitu menjadi rasul.

Ambil contoh tentang pengertian kita terhadap Injil. Di Barat kalau kita bisa menjelaskan iman kepercayaan dengan merumuskan suatu teologia sistematika yang baik, bagi mereka sudah cukup. Di Asia, yang lebih dipentingkan dalam kepercayaan bukanlah suatu penalaran, melainkan suatu penghayatan yang bisa membawa kepada kebahagiaan hidup. Teologia sistematika di Barat banyak mempersoalkan tentang kepastian keberadaan Allah, hal tersebut di Asia jarang dipersoalkan. Bahkan dalam Alkitab juga tidak memperdebatkan tentang keberadaan Allah. Alkitab hanya menyatakan bahwa Dia ada! Saya terkesan dengan buku teologia pertama di Jepang, yaitu The Theology of Pain', di mana mereka memakai penderitaan Hiroshima sebagai titik tolak dalam berteologia. Bagaimana dengan Indonesia, apa yang akan kita pakai sebagai titik tolak teologia kita? Itulah sebabnya saya memilih mendalami filsafat agama, karena sebelum menyusun suatu teologia sistematika di Indonesia kita perlu mengerti terlebih dahulu pandangan filsafat dan sosial orang di Indonesia.

Himbauan saya yang terakhir berkenaan dengan hal yang praktis. Hendaklah para hamba Tuhan di Indonesia khususnya para pendeta, dengan serius memikirkan pembinaan keluarganya. Syarat utama untuk menjadi pendeta ialah mempunyai rumah tangga yang 'kristiani'. Sebab Alkitab menggariskan bahwa yang boleh menjadi penatua atau sesepuh ialah kepala dari rumah tangga yang beres. Di Indonesia seringkali saya melihat pendeta yang kurang menyadari betapa penting arti relasi suami istri dan kehidupan anak-anaknya terhadap pelayanan gerejawi. Karena hal ini, saya suka memberikan ceramah-ceramah, baik di pelosok maupun di kalangan cendekiawan, mengenai bagaimana membina dan mengembangkan anak mulai dari usia 0-12 tahun, sehingga mereka secara bertahap dibawa kepada suatu penghayatan iman yang dewasa. Saya kira cukup tambahan yang terakhir ini.

PZ: Terima kasih, kiranya pada masa mendatang kita bisa bekerjasama dalam bentuk lain yang lebih indah dan membawa berkat bagi orang lain terutama umat Kristen di Indonesia.



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA