Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 >  MISI GEREJA: SUMBER KONFLIK > 
PENDAHULUAN 

Misi adalah hal yang sangat mutlak bagi gereja (bahkan bagi semua agama). Tanpa misi, gereja tidak akan pernah ada. Sebab Gereja hadir karena misi. Namun, justru karena misi itu sangat penting dan mutlak bagi gereja, maka misi itu sering disalahpahami. Misi sering menjadi persoalan baik secara intern maupun ekstern, baik dalam hubungan antar gereja, maupun hubungan antar gereja dengan umat beragama lain. Misi menjadi persoalan dalam hubungan antar gereja, ketika kata itu dipakai oleh gereja tertentu untuk mengukur aktivitas gereja lain. Ungkapan seperti: "gereja itu tidak memiliki misi",. menjadi contoh dari persoalan ini. Misi menjadi persoalan dalam hubungan antar agama, ketika aktivitas yang disebut "misi" oleh gereja tertentu dipandang sebagai ancaman oleh agama lain. Misi dipandang sebagai sumber dari konflik yang terjadi dalam hubungan antara agama, secara khusus dalam hubungan antar agama Islam dari Kristen di Indonesia.

Hal terakhir inilah yang akan menjadi fokus dari tulisan atau artikel ini. Dalam tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk menjawab pertanyaan: Benarkah misi menjadi sumber konflik antar agama (baca: Islam Kristen) di Indonesia? Dan dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menunjukkan bahwa hal ini sebenarnya hanya merupakan kesalahpahaman. Dengan perkataan lain, yang saya hendak uraikan adalah dugaan saya tentang kesalahpahaman yang potensial menimbulkan konflik, isi dari dan penyebab munculnya kesalahpahaman tersebut, serta sedapat mungkin berusaha menempatkan yang disalahpahami itu pada tempat yang sebenarnya.

Suatu Kesalahpahaman

Pada hemat saya, ada dua isu sentral yang telah menyebabkan munculnya kesan bahwa misi Kristen di Indonesia adalah sumber konflik antara agama, minimal sumber ketidakharmonisan hubungan antara agama, secara khusus hubungan antara Islam - Kristen di Indonesia. Yang pertama adalah isu "kristenisasi" (dan juga "islamisasi"). Isu inilah yang memberikan sumbangan terbesar dalam terciptanya keadaan yang rawan dalam hubungan antar kelompok agama di Negeri yang kita cintai ini. Padahal Kristenisasi adalah kata yang tidak dikenal dalam kamus teologi atau sejarah gereja. Misiologi (yang disebut-sebut sebagai induk dari istilah Kristenisasi) juga tidak mengenal istilah ini. Tapi, aneh bin ajaib, istilah ini dipakai begitu sering dalam percakapan warga tentang misi gereja, seolah kata ini adalah kata yang sudah jelas maksudnya dan celakanya, kata kristenisasi dipandang mengandung nilai yang benar pula.

Pada hemat saya, istilah kristenisasi ini muncul sebagai akibat dari kesalahpahaman tentang misi gereja, baik oleh kalangan Kristen maupun oleh kalangan non Kristen (baca: Islam). Ada kalangan tertentu dalam kekristenan yang memang memahami dan meyakini misi gereja itu sebagai usaha untuk menjadikan semua bangsa di dunia ini menjadi pemeluk agama Kristen. Dan bertolak dari keyakinan ini, mereka mengembara ke segala pelosok yang mungkin, untuk mengajak orang menjadi penganut agama Kristen. Dan dalam usaha itu, kalangan tertentu tersebut tidak segan-segan memakai segala macam metode, termasuk pembandingan yang berat sebelah terhadap validitas ajaran agama lain, yang ujung-ujungnya tentu pemutlakan ajaran gereja (yang mereka anut) sebagai satu-satunya yang benar. Dan inilah yang agaknya dimaksudkan dengan kristenisasi. Pada sisi lain, ada kalangan non Kristen, yang mencurigai segala sesuatu yang dilakukan gereja sebagai usaha bujuk rayu untuk berpindah agama dan memeluk agama Kristen. Usaha-usaha yang tulus, tanpa pamrih, dari kalangan Kristen (tertentu) untuk berbagi tetap dicurigai (dan karena itu sering sekali ditolak): hanya sebagai tipu daya yang ujung-ujungnya mengajak pindah agama. Dan inilah yang agaknya mereka maksudkan dengan istilah kristenisasi.

Hal kedua yang sering menjadi penyebab munculnya kesalahpahaman ini adalah pertanyaan keliru yang sering diajukan dalam membandingkan kebenaran agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam pendekatan antara kekristenan dan agama-agama dunia, ada suatu asumsi yang hampir tidak diragukan bahwa satu-satunya pertanyaan yang benar adalah, "Apakah yang terjadi terhadap orang non Kristen sesudah kematian?" Lebih celaka lagi karena pertanyaan ini diajukan bukan karena sungguh-sungguh ingin bertanya, bukan karena keinginan yang tulus untuk mendengar jawaban iman dari pihak-pihak yang ditanyakan itu melainkan sekedar basa-basi, yang dijadikan pintu bagi penghakiman terhadap kebenaran agama lain. Artinya, dalam mengajukan pertanyaan tersebut, sang penanya biasanya sudah punya jawaban yang absolut. Dan jawaban yang absolut ini dipakai sebagai alat untuk menilai jawaban yang diberikan oleh pihak yang ditanyakan yang ujung-ujungnya mengajak agar pihak lain itu mengakui kekeliruan, minimal ketidakcukupan iman yang ia atau mereka anut selama ini dan mengakui kemutlakan iman Kristen.

Akar-akar Kesalahpahaman

Kesalahpahaman tentang misi gereja ini saya duga (karena saya memang belum melakukan penelitian tentang hal ini) pertama-tama bersumber dari kesalahpahaman tentang apa yang biasa disebut "Amanat Agung" (Mat 28:19-20) yang berbunyi: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman". Ada kalangan Kristen yang memandang ayat tersebut sebagai dasar misi; karena itu mereka memakai ayat ini sebagai legitimasi terhadap usaha kristenisasi, seperti dimaksud dalam pemahaman di atas. Perintah, yang diasalkan Penulis Injil Matius pada Yesus, untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus, membaptis dan mengajarkan ini, dianggap sebagai perintah yang sangat jelas terhadap usaha kristenisasi. Dalam buku-buku. seperti: "Menjawab Tantangan Amanat Agung"; "Menjadi dan Menjadikan Murid Kristus".. "Injil untuk Semua Orang", misalnya, hal ini amat sangat jelas terlihat. Dalam buku-buku tersebut, Amanat Agung ditafsirkan sebagai perintah untuk pergi ke seluruh dunia (terutama yang penduduknya belum menjadi pemeluk agama Kristen) untuk menobatkan orang-orang di situ menjadi pengikut Kristus. Pengikut Kristus di sini disamaartikan dengan menjadi penganut agama Kristen dan menjadi anggota gereja.

Pada sisi lain, kecurigaan pihak non Kristen di Indonesia berakar pada persepsi yang keliru terhadap kebijakan pemerintah Belanda terhadap Pekabaran Injil di Indonesia pada zaman kolonial dulu. Alwi Shihab dalam bukunya Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, misalnya, antara lain mengatakan bahwa sejak semula ada kecurigaan yang sangat tinggi dari pihak Islam (baca: Muhammadiyah) terhadap misi Kristen di Indonesia (maksudnya Pulau Jawa). Bagi tokoh seperti Ahmad Dahlan, misalnya, kuatnya misi Kristen pada zaman kolonial dipandang sebagai awal dari kekuatan dahsyat yang akan mengusir Islam secara menyeluruh dari bumi Indonesia. Karena itu, muncullah reaksi untuk menentang misi Kristen dimana saja dan dalam bentuk apapun. Namun, demikian lanjut Alwi, meskipun ada usaha yang sangat keras untuk menentang misi Kristen dari pihak Islam, agama Kristen pada waktu itu tetap tampil sebagai pemenang, karena pihak pemerintahan kolonial Belanda memberi dukungan yang sangat besar bagi usaha kristenisasi di Pulau Jawa tersebut. Dan inilah, menurut Alwi, yang menjadi sumber kecurigaan pihak Islam terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Indonesia. Bahkan ketika pada masa kini, ada kalangan Kristen yang tulus terlibat dalam usaha menanggulangi masalah-masalah sosial di Indonesia, kalangan Islam tertentu tetap mencurigainya sebagai usaha terselubung untuk kristenisasi.

Apakah Pandangan-pandangan tersebut Benar?

Namanya saja kesalahpahaman! Ya, pasti salah! Amanat Agung tentu bukan perintah dan karena itu tidak boleh menjadi legitimasi kristenisasi. Perintah menjadikan murid (matheteusate), yang adalah kata kerja utama dan berarti sebagai atau menjadi inti dari pengutusan tersebut (sebab dua kata kerja lain: membaptiskan dan mengajar bersifat partisipatif, yang menerangkan kata kerja utama), adalah perintah untuk melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, seperti dicatat oleh penulis Injil Matius dalam Injilnya. Jadi, ketika Matius mengidentifikasikan misi sebagai "menjadikan murid", ia tidak berpikir tentang menambah anggota-anggota baru ke dalam "Jemaat". Menjadi murid tidaklah sama dengan menjadi anggota sebuah "gereja setempat", "menjadikan murid" tidak semata-mata berarti peluasan jumlah gereja secara angka. Menjadikan murid lebih merupakan perintah untuk menjadikan orang lain memiliki pengalaman seperti yang dimiliki para murid pertama. Artinya sebagaimana para murid Yesus meneladani Yesus dalam ketaatanNya kepada kehendak Bapa-Nya, demikian juga para murid harus membuat orang lain dapat meneladani mereka dalam ketaatan pada kehendak Bapa yang diajarkan Yesus. Para murid dari murid Yesus itu juga harus melakukan hal yang sama kepada orang lain, dan demikian seterusnya. Atau, kalau mengikuti kata kerja partisipatifnya: "Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu...", maka memuridkan berarti membuat orang lain melakukan apa yang telah diajarkan Yesus. Mat 7:21 mengatakan: "Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." Jadi, Amanat Agung lebih menekankan ortopraksis ketimbang ortodoksi.

Tentang dukungan pemerintah Belanda bagi misi Kristen pada masa lampau, saya harus menegaskan bahwa kita tidak boleh melihatnya secara sederhana seperti kesan sebagian kalangan Islam dalam buku Dr. Alwi Shihab. Perlu diingat bahwa berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang terkesan memberi dukungan terhadap misi Kristen itu, sesungguhnya tidak pertama-tama bertolak dari keinginan untuk mendukung misi Kristen, melainkan sebagai alat untuk memperkokoh cengkeraman Belanda terhadap masyarakat Indonesia pada waktu itu. Belanda berasumsi bahwa dengan menjadikan masyarakat Indonesia memeluk agama Kristen maka mereka dapat dengan mudah dijinakkan atau minimal ditarik untuk memihak Belanda. Asumsi pemerintahan Belanda ini kemudian sudah terbukti sangat keliru. Sebab bukan hanya orang Kristen Indonesia yang akhirnya menentang Belanda, melainkan para misionaris Belanda juga.

Mengenai pertanyaan: "Apakah yang terjadi terhadap orang non Kristen sesudah kematian?" saya ingin menegaskan bahwa ini adalah pertanyaan yang salah! Dan sepanjang itu tetap merupakan pertanyaan yang sentral, maka kita tidak pernah akan sampai kepada kebenaran.

Apa Yang Harus Kita Lakukan?

Untuk meluruskan kembali pemahaman tentang misi sehingga terhindar dari salah paham, terutama anggapan bahwa seolah-olah misi Kristen memang sumber konflik; minimal dua hal yang harus kita lakukan. Pertama, memberi penjelasan yang jernih terhadap akar-akar kesalahpahaman tersebut; dan kedua, memberi penjelasan tentang motif-motif misi yang ada dalam Alkitab, sehingga semua pihak memahami dengan baik apa itu misi.

Sebagai usaha awal, maka dalam tulisan ini, saya akan berusaha memberi uraian ringkas terhadap kedua pokok tersebut.



TIP #15: Gunakan tautan Nomor Strong untuk mempelajari teks asli Ibrani dan Yunani. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA