Buku ini sangat baik dan bahkan tepat sekali dipakai sebagai buku wajib bagi para misionaris untuk pelayanan pengkomunikasian Injil kepada masyarakat animistik. Namun demikian, sebenarnya buku ini bukan saja tepat untuk dipakai dalam pelayanan kepada kaum animis, tetapi prinsip-prinsipnya tepat sekali dipakai sebagai pendekatan kontekstualisasi untuk konteks masyarakat yang lain. Hal ini disebabkan penulis mencoba menguraikan dengan begitu baik dan memperhatikan aspek-aspek yang holistik yang kadang-kadang tidak diperhatikan oleh para misionaris.
Analisis terhadap buku ini dilakukan dalam tiga aspek: pertama. analisis terhadap pemikiran penulis tentang animisme. Kedua. analisis terhadap metode kontekstualisasi yang ditawarkan untuk mengkomunikasikan Injil kepada mereka. Dan, ketiga, analisis dan pemikiran tentang penerapan metode tersebut dalam konteks dan masa tertentu, khususnya di Indonesia.
1. Analisis terhadap Pemikiran Penulis tentang Animisme dan Perkembangannya
Penulis melakukan penelaahan yang begitu mendalam dan menyeluruh tentang animisme. Ia melontarkan suatu pembahasan animisme bukan sekedar suatu aliran kepercayaan tertentu, tetapi sudah menjadi suatu sistem kepercayaan yang 'merasuk' ke dalam agama-agama besar yang ada di dunia ini. Hal ini secara positif membuka satu wawasan yang lebih luas bagi para pelaku kontekstualisasi khususnya dan pelayan Tuhan umumnya untuk lebih berhati-hati melihat 'susupan' pengaruh dari sistem animistik yang bergabung dengan ajaran-ajaran yang ada.
Secara obyektif dan tidak memihak, penulis telah berhasil menempatkan. diri sebagai kritikus misiologis yang baik. Ia bukan saja menguraikan apa isi dari aliran animistik itu, tetapi juga mencermati mengapa perkembangan sistem animistik itu berkembang luas, yaitu kurangnya perhatian dan ketiadaan jawaban dari pihak agama-agama besar (high religion) yang sudah melembaga di dunia ini terhadap masalah-masalah harian dalam kehidupan umat itu secara pribadi (yang kemudian berkaitan dengan low religion). Kritik ini sangat perlu diperhatikan dan di kaji serta ditindaklanjuti oleh para misiolog Kristen.
Penulis juga telah berhasil memberikan suatu metode penyelidikan worldview yang tepat yang sangat penting dilakukan oleh setiap misiolog dalam upaya kontekstualisasi. Metode ini secara singkat berbicara tentang tiga hal penting dalam mencermati worldview dari suatu konteks, yaitu: pengamatan, pengkontrasan, dan pembelajaran. Bukan saja dalam konteks animistik. tetapi metode penyelidikan worldview ini juga dapat diterapkan untuk konteks penerima Injil lainnya. Bila diperhatikan, maka ketiga langkah itu banyak bermunculan dalam buku ini, khususnya pada saat penulis memberikan input-input bagi para misionaris yang selalu ada di akhir pembahasan sebuah bagian atau topik.
2. Analisis terhadap Metode Kontekstualisasi yang Ditawarkan
Secara ringkas, metode kontekstualisasi yang ditawarkan dan yang telah dilakukan oleh penulis adalah metode yang menekankan suatu pengamatan cermat, pengkontrasan tajam dan pembelajaran mendalam yang aktif intensif dan holistik serta pengandalan diri pada kuasa Tuhan.
Maksud dari aktif intensif adalah pelaku kontekstualisasi terjun langsung ke dalam masyarakat, konteks penerima Injil itu, dan melakukan suatu pencermatan yang luar biasa, termasuk mengikuti gaya hidup dan aktivitas harian dari masyarakat tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama dan terus menerus.
Maksud dari holistik adalah pelaku melakukan suatu tindakan yang menyeluruh: pertama, bukan sekedar memberikan perspektif yang kognitif dan konseptual, tapi justru masuk kepada inti esensial yang jadi ciri khas konteks penerima Injil (dalam hal ini adalah masalah kuasa yang jadi titik berat kaum animis). Kedua, bukan sekedar mempelajari worldview, tetapi mencermati kaitan antara worldview dengan para praktisinya. Ketiga, bukan sekedar memberikan fondasi teologikal, tetapi juga biblikal dan antropoligikal dalam proses kontekstualisasi. Dan keempat, bukan sekedar memaparkan pengertian-pengertian klasik dan pemikiran kontemporer, tapi juga diperkaya oleh pengalaman pribadi hidup bersama konteks penerima, sambil tetap berpegang pada otoritas Alkitab. Sehingga, lahirlah suatu karya yang seimbang dan kaya.
Maksud dari pengandalan diri pada kuasa Tuhan adalah penulis bukan sekedar menekankan metode usaha manusia, tetapi tampak sekali adanya pengandalan diri kepada kuasa Tuhan dalam upaya melakukan kontekstualisasi (misalnya pandangan power encounter yang merupakan pendekatan paling tepat dalam melakukan kontekstualisasi dalam konteks animistik).
3. Suatu Pemikiran tentang Penerapan Metode dalam Konteks Kini dan di Sini
Buku ini sangat berguna untuk konteks Indonesia yang jelas berlatarbelakangkan animisme sebagai agama tertua.
Sejauh ini, di Indonesia belum dilakukan suatu studi intensif yang sekaya buku ini, dengan pengalaman 'hidup bersama' dengan konteks animistik itu sendiri yang saya percaya masih ada di pedalaman-pedalaman bumi Indonesia. Buku ini sesungguhnya bisa menjadi suatu model untuk penelitian serupa dengan fokus pada konteks di pedalaman-pedalaman Indonesia yang tentunya belum pasti sama dengan konteks animistis di Kipsigis. Kenya. Walaupun penelitian yang dilakukan penulis dilakukan di wilayah Kipsigis. namun secara prinsip, apa yang diuraikan penulis dapat diberlakukan dalam konteks Indonesia.
Bila memperhatikan pandangan penulis yang mengatakan bahwa animisme telah menjadi sistem kepercayaan yang melebihi suatu agama tertentu, maka buku ini bukan saja berlaku untuk diterapkan dalam masyarakat pedalaman di Indonesia. Namun sangat tepat diberlakukan bagi konteks masyarakat animistik yang modern dengan segala perkembangannya, misalnya dengan adanya gerakan zaman baru, maraknya horoskop dan perdukunan yang justru melanda manusia modern di desa dan perkotaan di Indonesia.