Resource > Jurnal Pelita Zaman > 
Volume 14 No. 1 Tahun 1999 
 EDITORIAL

Menjelang milenium ke-3 satu isu penting bahwa pascamodernisme telah menjadi suatu tantangan yang paling utama bagi Kekristenan, seperti yang diungkapkan oleh penulis Pascamodernisme dan Keyakinan Injili, akan mengawali edisi Jurnal Pelita Zaman kali ini. Sebagai tanggapan terhadap era pascamodern penulis artikel kedua, mengenai strategi pengembangan kepemimpinan, melihat pentingnya pemimpin-pemimpin Kristen mengembangkan strategi kepemimpinannya supaya mereka siap dan handal memimpin umat Tuhan di era pascamodern ini. Masih membahas pascamodern, redaksi memuat tinjauan bukunya Henry Knight III, A Future for Truth: Evangelical Theology in A Postmodern World.

Selanjutnya, dua artikel yang mengangkat isu-isu yang sangat relevan yang terjadi di negara ini, yakni masalah ekonomi kerakyatan, yang akan dibahas menurut kitab Amsal, dan masalah kekerasan yang dilakukan oleh negara. Selain itu, satu artikel hasil studi eksegetis mengenai proklamasi Kristus kepada evvn qulak pneuvvaqiu. Yang terakhir adalah artikel mengenai pemilihan penerjemahan Alkitab yang disukai sehingga orang Kristen semakin memahami firman Tuhan dengan benar.

Seperti yang telah diberitahukan dalam bentuk leaflet pada edisi yang lalu bahwa redaksi akan memberikan suatu ruang konsultasi teologi dalam Jurnal Pelita Zaman, maka untuk edisi ini kami memilih satu pertanyaan dari seorang pelanggan, mengenai metode kritik sejarah dan sikap kaum Injili. Redaksi menunggu lebih banyak pertanyaan lagi dari para pembaca jurnal ini. Ruang Konsultasi Teologi ini diasuh oleh Pdt. Hetuy Efferin, Ph.D.

Redaksi berharap bahwa keenam artikel tersebut ditambah dengan ruang konsultasi teologi dan tinjauan buku dapat memberikan manfaat kepada Kekristenan di Indonesia secara khusus. Kiranya kemuliaan hanya bagi Allah dan kemajuan atas pelayanan gereja-Nya.

 PASCAMODERNISME DAN KEYAKINAN INJILI
Penulis: Henry Efferin
 STRATEGI PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN KRISTEN PADA ERA PASCAMODERN
Penulis: Joppy A. Saerang
 EKONOMI KERAKYATAN MENURUT KITAB AMSAL
Penulis: Risnawaty Sinulingga
 MENYIKAPI KEKERASAN YANG DILAKUKAN NEGARA
Penulis: Yonky Karman

Kekerasan sebenarnya bukan barang baru. Praktek kekerasan sudah seumur peradaban manusia. Generasi kedua manusia menurut Alkitab memiliki kisah kakak membunuh adik. Yang membuat perbincangan tentang kekerasan sekarang menjadi urgen adalah karena kita dibuat terhenyak oleh praktek-praktek kekerasan yang sadis sepanjang tahun yang baru lalu: tragedi Trisakti, Semanggi, Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Sambas, dan Ambon. Belum lagi dengan penculikan para aktivis oleh aparat pemerintah pada masa Orde Baru serta pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia) lainnya. Berdasarkan: fakta-fakta yang menyedihkan ini, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menjadikan tahun 1998 sebagai Annus Horribilis, tahun yang mengerikan.

Tulisan berikut akan membahas sejenis kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence) yang umumnya terjadi di negara-negara yang kehidupan demokratisnya masih belum berkembang. Jenis kekerasan ini perlu mendapat perhatian sendiri, karena kekerasan model lain mudah diidentifikasi dan mudah dibawa ke sidang pengadilan. Tapi kekerasan yang dilakukan negara dalam suasana yang belum demokratis, hampir-hampir lewat begitu saja. Kita sudah hampir lupa kasus penembakan seputar insiden Trisakti, sepertinya itu kecelakaan kecil.

Pertama-tama, perlu dijernihkan dulu arti kekerasan dan sejauh mana itu boleh dan tidak boleh dipakai. Kedua, baru kita masuk ke dalam problem dari kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada warganya. Ketiga, kita akan melihat posisi dan peran agama dalam terjadinya tindak kekerasan, terlebih menyikapi perkembangan di Indonesia yang amat memprihatinkan belakangan ini. Akhirnya, tindakan apa, saja yang harus dilakukan untuk meredam menjalarnya tindak kekerasan.

 PROKLAMASI KRISTUS KEPADA {YUNANI}
Penulis: Erick Sudharma
 EKUIVALEN DINAMIS
Penulis: Hali Daniel Lie

Metode Penerjemahan yang Paling Disukai

Hali Daniel Lie

Berbeda dengan membaca Al-Quran oleh kaum muslimin. Alkitab yang kita baca dan kita renungkan merupakan hasil kerja para penerjemah. Kaum muslimin membaca Al-Quran dalam teks bahasa Arab sedangkan orang-orang Kristen membaca Alkitab dalam teks bahasa Indonesia. Teks Alkitab yang kita baca bukanlah teks pada bahasa asli atau bahasa asalnya. Sedikit sekali kalangan orang Kristen yang mampu dan pernah membaca Alkitab dalam bahasa asli.

Kitab Suci agama Kristen dibedakan menjadi dua kelompok besar. Pertama, Perjanjian Lama meliputi 39 kitab. Sebagian besar di antara kitab-kitab itu berbahasa Ibrani pada naskah aslinya, ditambah dengan bahasa Aram pada sebagian kecilnya saja. Kedua, Perjanjian Baru meliputi 27 kitab. Seluruhnya tertulis dalam bahasa Yunani.

Kalangan orang Kristen di Indonesia sebagian besar membaca Alkitab di dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ada pula yang membaca salah satu versi bahasa Inggris dan Mandarin. Selain ketiga bahasa ini, terdapat juga berbagai Alkitab versi bahasa daerah. Jadi, lazimnya Alkitab yang kita baca merupakan salah satu versi terjemahan.

Sadarkah Anda bahwa para penerjemah Alkitab diperhadapkan dengan persoalan-persoalan pelik tatkala hendak membahasa-indonesiakan atau membahasa-inggriskan Alkitab dari bahasa asli Alkitab: Ibrani, Aram dan Yunani? Lantas bagaimanakah cara mereka menyelesaikan pelik-pelik itu? Apa faedahnya kita mengetahui adanya pelik-pelik penerjemahan?

Guna turut memahami salah satu di antara sekian banyak pergumulan para penerjemah, kita akan menelaah salah satu ayat Alkitab! Ayat terpilih diambil dari 1 Sam 24:4. Kita pun tidak mengamati seluruh kalimat dalam ayat ini. Perhatian kita hanya difokuskan kepada kata-kata yang dicetak tebal. Amatilah kutipan-kutipan berikut ini!

Living Bible: At the place where the road passes some sheepfolds, Saul went into a cave to go to bathroom, but as it happened, David and his men were hiding in the cave.130

King James Version: And he came to the sheepcotes by the way, where was a cave; and Saul went in to cover his feet: and David and his men remained in the sides of the cave.131

American Standard Version: And he came to the sheepcotes by the way where was a cave; and Saul went in to cover his feet. Now David ad his men were abiding in the innermost parts of the cave.132

Today's English Version: He came to a cave close to some sheep pens by the road and went in to relieve himself. It happend to be the very cave in which David and his men were hiding far back in the cave.133

New American Standard: And he came to the sheepfolds on the way, where there was a cave; and Saul went in to relieve himself. Now David and his men were sitting in the inner recesses of the cave.134

Amplified Bible: He came to the sheepfolds on the way, where there was a cave; and Saul went in to relieve himself. Now David and his men were sitting in the cave's innermost recesses.135

Revised Standard Version: And he came to the sheepfolds by the way, where there was a cave; and Saul went in to relieve himself. Now David and his men were sitting in the innermost parts of the cave.136

New Century Version: Saul came to the sheep pens beside the road. A cave was there and he went in to relieve himself. Now David and his men were hiding far back in the cave.137

New Revised Standard Version: He came to the sheepfolds beside the road, where there was a cave; and Saul went in to relieve himself. Now David and his men were sitting in the innermost parts of the cave.138

English Version of the Polyglot: And he came to the sheepcotes by the way, where was a cave; and Saul went in to cover his feet; and David and his men remained in the sides of the cave.139

New King James Version: So he came to the sheepfolds by the road. where there was a cave; and Saul went in to attend to his needs. (David and his men were staying in the recesses of the cave.)140

LXX: {yunani}. {and he came to the flocks of sheep that were by the way. and there was a cave there; and Saul went in to make preparation, and David and his men were sitting in the inner partt of the cave.)141

New English Bible: There beside the road were some sheepfolds, and near by was a cave at the far end of which David and his men were sitting concealed. Saul came to the cave and went in to relieve himself.142

Vulgata: Et venit ad caulas quoque ovium quae se offerebant vianti eratque ibi spclunca quam ingressus est Saul ut purgaret ventrem porro David et viri eius in interiori parte speluncae latebant. {And he came to the shcepcotes, which were in his way. And there was a cave, into which Saul went, to ease nature; now David and his men lay hid in the inner part of the cave.) 143)

Bahasa Indonesia Sehari-hari: Maka sampailah saul di dekat beberapa kandang domba di tepi jalan di situ ada pula sebuah gua dan saul masuk untuk buang hajat kebetulan sekali daud dan anak buahnya sedang bersembunyi di gua itu juga lebih ke dalam lagi.144

Terjemahan Baru: Ia sampai ke kandang-kandang domba di tepi jalan. Di sana ada gua dan Saul masuk ke dalamnya untuk membuang hajat, tetapi Daud dan orang-orangnya duduk di bagian belakang gua itu.145

New World: At length he came to the stone sheepfolds along the road, where a cave was. So Saul came in to ease nature, while David and his men were in the parts of the cave farthost back sitting down.146 (Versi Alkitab untuk kalangan Saksi Yehovah)

Jerusalem Publications Society: He came to the sheepfolds along the route where there was a cave, and went in to cover his feet. Now David and his men were sitting in the recesses of the cave.147 (Versi Alkitab basil terjemahan dari para sarjana Yahudi)

Moffat: On his way he came to some sheepfolds, where there was a cave. Saul went inside to relieve himself. Now David and his men were seated in the recesses of the cave.148

New Jerusalem Publications Society: And he came to the sheepfolds along the way. There was a cave there and Saul went in to relieve himself. Now David and his men were sitting in the back of cave.149 (Versi Alkitab hasil terjemahan dari para sarjana Yahudi)

Kutipan-kutipan di atas mewakili aneka ragam versi terjemahan. Yang terbanyak ialah versi terjemahan berbahasa Inggris. Tak lupa kita mengikutsertakan versi terjemahan LXX (Septuaginta), berbahasa Yunani, dan Vulgata, berbahasa Latin, masing-masing dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggrisnya. Dan, tentunya tak ketinggalan versi berbahasa Indonesia. Kedua puluh versi itu dipilih secara acak150 sebagai bahan studi banding.

Pada naskah berbahasa Ibrani, penggalan kalimat yang bercetak tebal di atas tertulis {ibrani} Hasil parsing dari kata {ibrani} ialah kata depan {ibrani}, hiphil, infinitive contruct dari kata kerja {ibrani}, yang berarti menutup.151 Hasil parsing dari kata {ibrani} ialah objek langsung dengan penunjuk {ibrani}, kata benda, feminim dari kata {ibrani} yang berarti kaki.152 Jadi frase {ibrani} diterjemahkan menjadi "untuk menutupi kakinya" [kaki Saul].

Akan tetapi persoalan menerjemahkan {ibrani} tidak sesederhana itu. Penyelidikan-penyelidikan dalam kamus dan leksikon yang lebih berbobot menghasilkan makna yang berbeda. Mengapa demikian? Ternyata kedua kata itu telah membentuk semacam idiom. Lagipula idiom yang satu ini termasuk gaya bahasa eufemisme yang lazim dalam masyarakat Yahudi.

Brown memberikan penjelasan yang lebih lengkap: "with long garments, euphemism for evacuating the bowels, from posture assumed".153 Penjelasan ini senada dengan Bullinger yang mengatakan: "to cover his feet is put for performing a duty of nature, because when stooping dip garment fell over the feet. This is a beautiful example of euphemy.154 Pengertian ini bisa kita pahami jikalau kita memikirkan model pakaian asli masyarakat Yahudi. Dengan jubah yang panjang, manakala seseorang hendak buang hajat, dengan posisi jongkok, jubahnya akan menutupi kaki, Jadi, idiom eufemisme ini mengandung makna "buang hajat." atau "buang air besar;" suatu ungkapan yang lebih sopan.

Memperbandingkan naskah berbahasa Ibrani dengan kedua puluh versi terjemahan di atas, tampak adanya variasi-variasi dalam penerjemahan. Bila dengan serius mengamatinya, Anda akan tiba pada kesimpulan ini. Ke-20 versi di atas dapat dikategorikan ke dalam tip kelompok besar. Kelompok pertama menerjemahkan{ibrani} menjadi "to cover his feet." Kelompok kedua menerjemahkan {ibrani} menjadi "relieve himself" atau "to go to bathroom" atau "untuk membuang hajat." Kelompok ketiga menerjemahkan {ibrani} menjadi "make preparation" atau "to attend to his needs" atau "to ease nature."

Variasi-variasi di atas timbul karena metode yang dipergunakan masing-masing penerjemah berbeda. Pada umumnya terdapat tiga cara untuk menerjemahkan Alkitab, sama halnya dengan penerjemahan naskah-naskah kuno lain. Fee & Stuart menamakannya penerjemahan secara literal, free and dynamic equivalent.155 Sementara itu Klein, Blomberg dan Hubbard menamakan metode-metode itu sebagai formally equivalent, dynamically equivalent dan paraphrases.156 Tidak tertutup kemungkinan para pakar hermeneutika lain memberikan nama yang berbeda pula. Andaikata kita menjumpai nama-nama yang berbeda, prinsip dari metode-metode yang ada tetaplah sama dan dapat diwakili oleh tiga macam metode.

1. Terjemahan literal

Metode penerjemahan literal sama dengan metode formally equivalent. Tanpa perubahan, metode literal menerjemahkan apa adanya dari bahasa asal. Dalam contoh terjemahan di atas. metode literal dipergunakan dalam 4 versi terjemahan, yakni KJV, ASV, EVP, dan JPS. Hasil terjemahan itu kaku sekali dan tak dapat kita pahami. Mereka yang menyenangi hasil terjemahan metode literal adalah para sarjana Alkitab atau paling kurang mereka yang sungguh-sungguh ingin mendalami Alkitab sedekat mungkin ke naskah aslinya.

2. Terjemahan bebas

Metode free sama dengan metode paraphrase. Dalam contoh di terjemahan di atas, metode bebas dipergunakan dalam 4 versi terjemahan, yakni NKJV, LXX, Vul dan NW. Hasil terjemahan berakibat menghilangkan makna dari teks aslinya. Hasil terjemahan dengan metode bebas menjadi pilihan utama bagi mereka yang membaca Alkitab sepintas lalu saja.

3. Terjemahan ekuivalen dinamis

Metode ini terletak di tengah-tengah kedua metode sebelumnya. Dalam contoh di atas, metode ekuivalen dinamis dipergunakan dalam 12 versi terjemahan, yakni LB, TEV, NAS, AB, RSV, NCV. NRSV, NEB, BIS, TB, Moffat dan NJPS. Hasil terjemahan menunjukkan makna yang sama dengan teks aslinya. Hasil terjemahan dari metode ini dapat dipakai oleh semua golongan pembaca Alkitab.

Harus diakui metode penerjemahan literal dan bebas mengandung titik-titik lemah. Sedangkan, metode ekuivalen dinamis dapat meminimalkan titik-titik lemah itu. Keunggulan metode ekuivalen dinamis dibandingkan metode literal dan bebas secara jelas ditunjukkan dalam diagram berikut ini.157 Diagram Glassman ini merupakan pengembangan ide dari karya monumental Nida dan Taber dalam buku mereka berjudul The Theory and Practice of Translation.

Bad Good Bad Formal correspondence: Dynamic equivalence: Paraphrase: the form (syntax and the form is restructured by addition, deletion or classess or words) is pre- (different syntaz and lexi- skewing of the message served; the meaning is lost con) to presserve the same or distorted meaning

Metode penerjemahan literal (formal correspondence; sebelah kiri dan metode penerjemahan bebas (paraphrase; sebelah kanan) dinilai buruk. Sebagai alternatif dan jalan tengah, yang dinilai baik yaitu metode penerjemahan ekuivalen dinamis.

Survei kita di atas memperlihatkan metode literal hanya dipakai dalam 20% versi terjemahan, begitu juga dengan metode bebas. Namun, metode ekuivalen dinamis dipakai dalam 60% versi terjemahan. Survei ini cukup untuk membuktikan bahwa metode penerjemahan ekuivalen dinamis paling banyak dipakai dan paling disukai para penerjemah. Survei singkat ini sekaligus mendukung metode penerjemahan yang diusulkan dua pakar di atas, Nida dan Taber. Oleh sebab itu, adalah bijaksana bagi masyarakat pembaca Alkitab untuk memakai versi-versi terjemahan Alkitab yang menerapkan metode ekuivalen dinamis. Besar kemungkinan versi-versi terjemahan Alkitab yang akan dikerjakan di masa mendatang cenderung memanfaatkan metode ekuivalen dinamis.

 TINJAUAN BUKU

A Future for Truth: Evangelical Theology in A Postmodern World, olei Henry H. Knight III. Nashville: Abingdon, 1997. Hal. 253.

Karya akademis ini pada mulanya banyak dibahas dalam kelas-kelas seminar maupun kuliah tentang teologia injili kontemporer. Knight amat menyadari akan pergumulan untuk menemukan dan memahami hakekat kebenaran pada zaman modern, terlebih dalam dunia pascamodern dewasa ini. Bagi Kekristenan persoalan kebenaran sudah termanifestasi dalam pribadi Yesus Kristus. Klaim akan keunikan dan partikularitasnya tidak lagi merupakan sesuatu yang memalukan. Hal ini tidak dapat lagi diseret ke hadapan tiang nalar akal budi demi meraih pengesahan benar atau salah, sebab tiada alasan universal untuk membuat pertimbangan semacam ini dalam dunia pascamodern. Padahal Kekristenan historis telah menyatakan secara terang-terangan bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan sekaligus Juruselamat bukan hanya bagi kalangan sendiri, namun bagi seantero jagat dunia. Klaim seperti ini jelas menjadi sesuatu yang bermasalah bagi pascamodernitas. Lalu, apakah kebenaran kristiani masih memiliki suatu masa depan dalam dunia pascamodern? Penulis buku ini meyakini dengan mantap dan berharap mampu menunjukkannya mengapa. Akan tetapi pemaparannya tidak dalam gagasan apologetika klasik. Penulis tidak mencoba memberikan dasar-dasar rasional bagi iman, yang mana tidak kredibel dalam suatu dunia pascamodern bahkan tidak efektif sama sekali untuk meyakinkan kaum agnostik dan ateis di kalangan modernitas sekalipun. Maka ia menjelaskan bagaimana orang-orang Kristen tetap percaya akan suatu wahyu khusus; walaupun dianggap tidak lagi penting dan bermakna bagi penganut pascamodern, toh mereka harus berusaha setia memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan iman mereka (sebagaimana layaknya dituntut dalam 1 Petrus 3:15) terhadap suatu dunia pascamodern.

Di dalam upaya memahami kebenaran Knight memakai tiga teori yang berbeda yakni teori koresponden, teori koheren dan teori pragmatis, namun lebih khusus berkenaan dengan yang pertama. Ini berarti penulis sedang menggagas suatu epistemologi realis, yang berargumen menentang idealisme secara kritis. Memang kebenaran itu bertalian dengan realitas, namun seringkali di dalam suatu cara tak langsung atau analogis.

Alur pemaparan pikiran penulis diawali dengan penjelasan perihal natur injili-isme dengan rumpun keluarga injilinya (Bab I - pasal 1), yang mana dengan jelas juga menghujuk pada posisinya selaku penganut setia dari tradisi John Wesley (pelopor mazab Wesleyan-Metodis). Bagian selanjutnya adalah mengenai pascamodernitas dan kebenaran Injil. Dalam hal mengamati lebih dekat teologi pada pertengahan dan akhir era modernitas (Bab 11 - pasal 2 dan 3) kebanyakan ia lebih memakai istilah terminologi intelektual ketimbang perubahan kultural. Sedangkan dalam bagian ini keterkaitannya dengan pascamodernisme bukanlah bersifat menolak maupun merangkul. Knight ingin mendengarkan dengan penuh hati-hati terhadap apa yang menjadi keprihatinan pascamodernisme serta menelaah secara kritis proposal yang diusulkan olehnya. Selanjutnya ia mulai meletakkan dasar terpenting bagi proposal konstruktif seluruh sisa isi buku ini, yakni mengenai kebangkitan dari Yesus yang tersalib pasal 4). Inilah butir paling khas dari pengakuan iman kristiani yang menopang serta memampukan umat Kristen memahami dunia mereka dan hidup dengan setia di dalamnya. Subjek materi tentang pewahyuan dan kebenaran Kitab Suci mendapatkan porsi sorotan yang krusial dalam Bab III. Sedikit berlainan dengan tekanan yang biasa diperjuangkan oleh para teolog kubu injili yakni perihal ineransi, penulis lebih memusatkan pada isu sentral apakah Kitab Suci itu benar secara proporsional. Memang di sini diakuinya bahwa proporsionalisme rasional saja tidaklah memadai (pasal 5). Oleh karena itu ia perlu menawarkan suatu alternatif pendekatan naratif (pasal 6). Dengan menguji teologia pasca liberal ia mencoba menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk sastra naratif, metafor, dan non proporsional lainnya dapat merancang bangun kebenaran otoritatif di seputar Allah, penciptaan dan penebusan. Sementara itu ditunjukkan adanya jarak kesenjangan antara Kitab Suci dan alam kontemporer kita: artinya patut di kaji ulang masihkah teks yang dihasilkan pada konteks sejarah dan budaya kuno berbicara kepada manusia masa kini dengan berwibawa?! (pasal 7). Dalam Bab IV penulis mengupas tema umum mengenai karakter dan agensi atau perwakilan Allah dalam hal penebusan. Apa yang telah dilakukan oleh Allah dalam inkarnasi dan penebusan dibahas kembali sebagai perwujudan kasih-Nya (Pasal 8). Di bagian ini fokus pada kegiatan penyelamatan melalui kuasa penebusan-Nya pada era dewasa ini dilanjutkan lewat pendekatan interaktif. Misi Allah masih dapat diidentifikasi dengan Kerajaan Allah yang akan datang dan sekaligus berbarengan dengan kehadiran Kerajaan di dalam Yesus Kristus (Pasal 9). Kemudian pada akhirnya penulis menutup karya tulisnya dengan mempertimbangkan intensi dan aksi umat Allah dalam terang kehendak dan perbuatan Allah melalui Kristus dan Roh Kudus (Pasal 10).

Dengan sekilas membaca karya Knight ini, kita akan segera mendapatkan kesan bahwa ia adalah seorang akademisi yang benar-benar menguasai materi atau pokok isu yang dibahas. Gaya penulisannya lugas namun halus, singkat tapi kritis mengena langsung pada inti permasalahan serta memiliki dimensi kedalaman yang mengagumkan. Tidaklah mengherankan ataupun berlebihan bila koleganya Don E. Saliers mengomentari bahwa tulisannya ini jujur, meyakinkan akan cita rasa kematangan, kaya dengan referensi informatif yang luas sekaligus menyegarkan. Suara pandangannya perlu didengar, di kaji dan direnungkan oleh semua kalangan baik yang terbiasa maupun belum terbiasa dengan teologia injili serupa.

Sekalipun demikian, ada bagian-bagian tertentu dari buku ini yang cukup sukar dipahami, terutama oleh mereka yang masih awam betul dengan pascamodernitas. Misalnya dalam Bab tiga (halaman 53-69) sesudah penulis cukup berpanjang lebar mengupas runtuhnya dasar-dasar nilai modern dalam lima karakteristik berikut: (1) dari individualisme menuju komunitas; (2) dari fondasionalisme realis menuju non fondasionalisme; (3) dari keraguan metodologis menuju keyakinan tertradisi; (4) dari dualisme menuju holisme; serta (5) dari optimism menuju pesimisme, kemudian ia beralih menjelaskan pendekatan ultrakritis berupa kecurigaan metanaratif dibandingkan dengan pendekatan pascakritis berupa kritik atas kritikisme. Banyak proponen atau tokoh pascamodern yang diulas pandangannya. Antara lain ialah para pakar dekonstruksionis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault. neopragmatis Richard Rorty. lalu pencetus metanaratif Jean-Francois Lyotard dan bapak strukturalis Ferdinand de Saussure. Paul Ricoeur termasuk kelompok yang menerapkan pendekatan pasca kritis. Masih ada Ludwig Wittgenstein sang filsuf linguistik, dan Maclntyre penggagas komunitas moral. Di samping itu ada Michael Polanyi. seorang saintis yang belakangan menjadi filsuf. Di sinilah secara eksplisit penulis mengakui bahwa terdapat impak dari format pendekatan model terakhir yang mempengaruhi pemikirannya.

Agaknya tanpa dibekali dengan pengenalan yang memadai terhadap para tokoh beserta dengan pandangan pascamodern mereka, kita sulit mengikuti diskusi yang disodorkan dalam buku ini. Dalam rangka upaya mengatasi kesulitan ini kami anjurkan agar membaca terlebih dulu sebuah buku pengantar bercorak "komik" yang berjudul Mengenal Posmodernisme "For Beginners" (aslinya Postmodernism for Beginners) karya Richard Appignanesi dan Chris Garratt bersama Ziauddin Sardar dan Patrick Curry, terbitan Mizan, Bandung, cetakan III September 1998.

Dengan mengacu kepada posisi proposisional Carl F. H. Henry, penulis mengatakan bahwa pewahyuan secara konsekuen dapat digenggam oleh akal budi manusiawi tanpa iluminasi maupun pemahaman khusus yang mendalam (halaman 87-88). Rupanya ini merupakan konsekuensi dari pendekatan proposisionalis yang paling tragis. Tentu ada keberatan terhadap pernyataan ini. Barangkali dengan kapasitas rasional yang dimiliki oleh insan manusia rasional ciptaan Allah yang juga rasional, hal seperti ini lumrah dan masuk akal; namun setelah seluruh umat manusia jatuh dalam status berdosa, mampukah mereka memahami kehendak Allah tanpa campur tangan Roh Kudus, yang memimpin pada kebenaran sejati. Jelaslah bahwa pencerahan oleh Roh Kudus sama sekali tidak boleh diabaikan dalam menafsirkan kebenaran pewahyuan firman Allah sendiri. Bandingkan dengan beberapa ayat Alkitab ini - Yoh. 14:26; 16:13; 1Kor 1:10-16; 1Pts 1:20-21. Memang penulis kemudian menganggap serius upaya membebaskan akal budi dari efek-efek dosa. Apa yang dikerjakan oleh rasionalisme, sebagaimana mengutip kata-kata tepat dari McGarth, adalah membuat "kebenaran wahyu ilahi bergantung pada penghakiman akal budi manusia yang sudah jatuh." Di bagian ini Knight berargumen dengan benar bahwa apa yang dibutuhkan adalah suatu karya Roh Kudus yang meletakkan suatu dasar baru bagi akal budi melalui iman di dalam Yesus yang telah bangkit (halaman 91).

- Joachim Huang

 KONSULTASI TEOLOGI: APA ITU METODE KRITIK SEJARAH DAN BAGAIMANA SIKAP KAUM INJILI TERHADAP METODE INI?

Sebagaimana yang para pembaca ketahui, bahwa mulai penerbitan PZ kali ini akan dibuka ruang "Konsultasi Teologi" yang diasuh oleh Pdt. Henry Efferin, Ph.D. Pertanyaan kali ini dari seorang pelanggan Jurnal Pelita Zaman mengenai metode kritik sejarah.

Apa itu Metode Kritik Sejarah dan Bagaimana Sikap Kaum Injili terhadap Metode ini?

Metode kritik sejarah (historical-critical method) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mendapatkan informasi mengenai setting dari suatu cerita dengan tujuan untuk memberikan pertanggungjawaban historis yang akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada teks yang dipertanyakan tersebut. Jadi metode kritik sejarah ini dipraktekkan supaya bisa memberikan petunjuk terhadap cerita yang diragukan keabsahannya, menguraikan makna yang sesungguhnya dengan metode penelitian sejarah. Spinoza yang hidup pada abad ke-17 dapat dikatakan sebagai perintis dari metode kritik sejarah ini (Spinoza disebut juga sebagai "the father of high criticism"). Dia menyerukan pentingnya mempelajari dan mengetahui dengan tepat siapa pengarang dari suatu kitab, waktu penulisan, peristiwa terjadinya dan tujuan penulisan yang ada dalam Alkitab. Metode ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Semler yang menyarankan suatu pendekatan sejarah murni di dalam mempelajari tulisan-tulisan Alkitab dan bukannya memperlakukan Alkitab sebagai tulisan sakral dan teologis.

Banyak pemikir kaum Injili yang bereaksi secara berlebihan terhadap metode kritik sejarah ini dan menganggapnya sebagai suatu pendekatan destruktif apabila diterapkan pada Alkitab. Namun ada juga teolog Injili yang memandangnya dengan lebih seimbang antara lain pandangan dari I. Howard Marshall di dalam artikelnya "Historical Criticism". Barangkali masalahnya terletak pada ekses penggunaan metode kritik sejarah yang pada masa lalu selalu diiringi dengan sikap praduga tidak percaya terhadap isi Alkitab dan filsafat naturalisme yang melandasinya. Banyak contoh teolog liberal dari generasi yang lalu mempunyai sikap demikian. Salah satu contoh yang paling populer pada akhir abad ke-19 adalah Julius Wellhausen. Ia mencoba merekonstruksi sejarah agama Israel - dan penyembahannya berdasarkan asumsi evolusi yang sangat dominan pada waktu itu. Menurut Wellhausen, agama Israel berkembang dari suatu bentuk yang sangat primitif kepada bentuk ibadah yang semakin kompleks seperti tercatat dalam kitab Imamat. Dengan demikian Wellhausen menempatkan penulis kitab Imamat pada waktu yang sangat belakangan (sekitar abad ke-4) dan bukannya ditulis oleh Musa seperti kepercayaan tradisional. Contoh lain adalah F. C. Baur yang mengemukakan hipotesa bahwa isi penulisan dari Perjanjian Baru merupakan hasil sintesis dari Injil versi Rasul Petrus yang membawa muatan Judaisme dan versi Paulus yang berusaha untuk membebaskan Injil dari ikatan-ikatan Hukum Taurat. Sebagaimana kita ketahui, dengan semakin berkembangnya penelitian ilmiah dan arkeologi Alkitab pada akhir abad ke-20. terbukti bahwa teori-teori tersebut lebih merupakan suatu spekulasi daripada asumsi yang bersifat ilmiah.

Secara singkat, ada beberapa metode yang biasanya diasosiasikan dengan metode kritik sejarah ini:

- Source criticism (kritik sumber). Ini adalah suatu usaha untuk menemukan dokumen yang paling dekat dengan aslinya dari literatur yang ada.

- Form Criticism (kritik bentuk). Metode ini memfokuskan pada tradisi oral, bagaimana suatu bentuk tradisi oral itu bisa diturunkan kepada generasi berikutnya sampai akhirnya menjadi bentuk tulisan.<

- Tradition Criticism (kritik tradisi). Ini sebetulnya adalah suatu perkembangan dari kritik bentuk, dimana suatu kelompok atau kumpulan tradisi oral menjadi suatu cerita (naratif) tradisi yang dianggap sebagai kebenaran dan akhirnya berkembang menjadi bentuk tulisan.

- Redaction Criticism (kritik redaksi). Metode ini memfokuskan pada bentuk akhir dari suatu naratif, bagaimana pengarang mengumpulkan dan menyusun bahan-bahan yang ia dapatkan dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuannya dalam bentuk akhir sebuah kitab atau sebuah kisah tertulis.

Dari uraian di atas, tiga pendekatan yang pertama lebih bersifat historis dalam arti menelusuri ke belakang (diachronic) sedangkan yang terakhir adalah melihat kondisi akhir dari literatur yang sudah ada (synchronic). Pola yang terakhir ini belakangan semakin populer sebagaimana yang telah dipraktekkan dengan timbulnya "kritik kanon" (canon criticism) oleh B. S. Childs dan metode lain yang dikenal sebagai "strukturalisme". Dari pengamatan kami, metode kritik sejarah kalau diterapkan dengan semestinya bisa membantu pemahaman kita akan tulisan-tulisan Alkitab. Misalnya kritik bentuk (form criticism) telah membuktikan bahwa seberapa jauh pun kita mencoba menelusuri tradisi Injil ke bentuk oral yang pertama, tidak pernah didapati suatu strata tradisi yang memberikan gambaran mengenai kepercayaan kepada Yesus yang dianggap semata-mata manusia biasa. Ini jelas bertentangan dengan pandangan sebagian teolog liberal yang berspekulasi bahwa figur Yesus sebagai Tuhan itu sebetulnya merupakan hasil "rekayasa" dari gereja mula-mula bukan kepercayaan dari murid-murid Yesus generasi pertama. Contoh sumbangsih lain ialah yang diberikan oleh kritik redaksi, metode ini menolong kita untuk melihat bahwa para penulis kitab Injil tidak sekadar mengumpulkan dan menggabungkan bahan-bahan tersebut, tetapi mereka adalah pengarang sesungguhnya dengan tujuan tertentu di dalam menggunakan sumber-sumber yang mereka peroleh.

Kesimpulan kami ialah metode kritik sejarah itu sendiri bisa dipakai secara destruktif tetapi juga bisa berfungsi secara konstruktif bagi kaum Injili. Yang ditolak seharusnya asumsi naturalisme di balik penggunaan metode ini yang berakibat kepada teori-teori yang bersifat spekulatif dan belum tentu merupakan kebenaran. Sebaliknya, kalau pelaksanaan metode-metode ini sungguh didasari prinsip-prinsip ilmiah, kaum Injili perlu terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan lain yang barangkali tidak selaras dengan pandangan tradisional. Tetapi kalau yang kita yakini itu adalah kebenaran, maka kaum Injili tidak usah takut atau bereaksi negatif terhadap pengujian dari kebenaran tersebut, karena kebenaran justru akan semakin dinyatakan melalui pengujian terhadapnya.

 KETERANGAN PENULIS

Erick Sudharma. Mahasiswa tingkat dua program M.Div di STT Bandung. Alumnus Universitas Trisakti Jakarta.

Hali Daniel Lie. Penginjil di Gereja Kristen Immanuel Hosana Bandung, pengajar di STT-BLBS, Bandung: redaktur renungan Penuntun Harian. Alumnus STT Bandung (M.A. in Theology).

Henry Efferin. Pendeta di GKI Anugerah, Bandung. Alumnus SAAT Malang (B.Th.). China Evangelical Seminary Taiwan (M.Div.). Menyelesaikan program M.Th. dan Ph.D. dalam bidang Sistematika di Trinity Evangelical Divinity School (USA) dan Trinity International University (USA).

Joachim Huang. Alumnus SAAT Malang (S.Th.).

Joppy A. Saerang. Pendeta di GKI Rahmani Cirebon. Alumnus SAAT Malang (B.Th.), alumnus IFTK Jaffray Jakarta (S.Th. dan M.Th.).

Risnawaty Sinulingga. Dosen mata kuliah Perjanjian Lama dan bahasa Ibrani di Institut Teologia Alkitab - GMI, Medan. Alumnus SAAT Malang (B.Th.), STT HKBP Pematangsiantar (S.Th. dan M.Th.), ATESEA/ Hebrew University Jerusalem (Doktor Teologia Biblika).

Yonky Karman. Rohaniwan di Serukam. Kalimantan Barat. Alumnus SAAT Malang (B.Th.), STF Driyarkara Jakarta (Drs.), Calvin Theological Seminary (M.Th.).



TIP #14: Gunakan Boks Temuan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap kata dan ayat yang Anda cari. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA