Bersamaan dengan itu muncul disputasi hebat dengan memasalahkan arti keberagaman agama-agama di dunia. Kekristenan yang telah betah dengan sebuah dunia tunggal yang homogen, kini harus berjumpa dengan agama lain dan dengan demikian dituntut mengambil sikap reflektif atas kehadiran mereka. Untuk itu berbagai paradigma theologia religionum bermunculan. Kita mencatat tiga paradigma utama, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
Saya tidak membahas secara rinci ketiga paradigma ini, tetapi cukup untuk memberikan sebuah penilaian umum, bahwa ketiga paradigma tersebut nyata-nyatanya tak mampu memberi respon memadai terhadap kenyataan pluralitas agama-agama. Yang satu terlalu arogan dengan sikap ilmiah yang terlalu a priori (eksklusivisme), yang lain tak mampu bersikap konsisten dalam menerjemahkan makna universalitas kasih Allah sekaligus partikularitas Kristus (inklusivisme), yang terakhir pun tak mampu meneguhkan secara utuh keunikan iman kristiani (pluralisme).
Ketidakmampuan ketiga paradigma ini dibarengi dengan kenyataan global yang makin mendesak untuk ditanggapi, yaitu tendensi kebangkrutan kemanusiaan. Peperangan, kerusakan lingkungan hidup, devaluasi makna hubungan keluarga, serta setumpuk soal-soal global lain, akhirnya berujung pada turunnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Malah ironisnya, semua ini tak jarang dilegitimasi oleh nilai-nilai religius. Oleh karena itu yang diperlukan sekarang adalah sebuah sikap beragama yang menyentuh langsung pada persoalan-persoalan nyata dunia. Singkatnya, dibutuhkan sebuah sebuah etik bersama yang muncul dari agama-agama yang sekaligus berwajah liberatif. Kita punya agenda bersama, yaitu menemukan dasar etis yang berwajah ganda: [1] etik yang dimiliki semua agama, yang kemudian dapat menjadi sikap moral yang secara mendasar diakui oleh agama-agama; serta [2] etik yang fungsional dan liberatif, etik yang membebaskan dan yang menempatkan kemanusiaan, the humanum, sebagai kriterium utamanya.
Kegagalan theologia religionum selama ini terletak pada ketekunannya pada diskursus yang cuma bersifat akademis, dogmatis, serta sekedar menjadi proyek resmi pemerintah. Dibutuhkan segera sebuah theologia religionum yang berwajah etis, menyentuh langsung persoalan hidup bersama. Dengan kesadaran inilah saya mengajak kita semua beralih pada isu utama tulisan ini: Etik Global (Global Ethic)!