Yang kita perlukan sekarang adalah sebuah cara pandang baru yang mengakui perbedaan sebagai kekayaan, yang merayakan keberagaman secara bersama-sama. Kita mencatat munculnya postmodernisme sebagai bagian dari cita-cita semacam ini. Maka, tepat apa yang ditegaskan oleh David Tracy, "The real face of postmodernity, as Emmanuel Levinas sees with such clarity, is the face of the other, the face that commands "Do not kill me," the face that insists, beyond Levinas; do not reduce me or anyone else to your grand narrative" (David Tracy, Theology and the Many Faces of Postmodernity, h. 108). Tracy, di satu sisi, memang ingin menolak sisi barbar dari hidup modern, namun di sisi lain, ia ingin pula menyatakan bahwa dunia postmodern yang sedang kita hadapi jelas menuntut suatu sikap penerimaan terhadap wajah-wajah dari yang lain (the others).
Modernitas telah berhasil mendidik manusia dalam sebuah kehidupan rasional menuju kemajuan dan kemandirian. Namun ia gagap dan gagu ketika harus berhadapan dengan kemajemukan. Maka wajah ambigu modernitas semakin gamblang ketika wajah majemuk dunia semakin menguat pula. Rasionalitas menjadi instrumen untuk dipakai sebagai alat melegitimasi penindasan, sebagaimana dikritik oleh Jurgen Habermas misalnya.
Tracy dengan sengaja mengutip pemikiran Emmanuel Levinas, yang memang secara mendasar ingin mempersoalkan arti kehadiran orang lain (the others) yang berbeda dalam hidup bersama. Bagi Levinas, yang mengaku banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosofis Yahudi (khususnya yang disistematisasi oleh Martin Buber dan Franz Rosenzweig), filsafat Barat (modern) selalu memperjuangkan totalitas, yaitu keseluruhan yang berpangkal pada ego sebagai pusatnya. Filsafat telah menjadi egologi!
Dalam magnum opusnya, Totality and Infinity, Levinas mengajukan "Yang Tak Berhingga" untuk mendobrak tendensi totalistis modernisme. Yang Tak Berhingga itu - secara radikal - dijumpai dalam Yang Lain. Dalam hal ini Levinas memakai terminologi khas: Wajah! Aku berjumpa dengan orang lain dan aku menjadi orang lain pula bagi mereka. Maka di sini perjumpaan intersubjektif menjadi perjumpaan etis. Wajah orang lain menyapa saya, mengusik saya, mengundang respon saya. Aku hadir untuk sesama tanpa boleh ada tuntutan bahwa sesama harus pula hadir untuk aku. Singkatnya, hubungan intersubjektif - dari perspektif diriku! - selalu bersifat asimetris dan bukan berdasarkan prinsip resiprositas.
Orang lain (Wajah) itu tak mungkin diselami sepenuhnya. Ia adalah tamu, pendatang, orang asing. Dalam bahasa keagamaan Levinas menyatakan bahwa orang asing itulah "para janda dan yatim piatu," mereka yang tersingkir dan rentan. Kepada merekalah kita harus bertanggung jawab. Tanggung jawab sebagai tuntutan etis yang harus dilakoni memaksa kita pula untuk tidak mengasimilasi orang lain dalam pemahaman dan sistem pemikiran kita. "The face of the Other resists my power to assimilate the Other into knowledge; it resists possession..." Jika kita menunggu untuk memahami orang lain, maka itu sudah terlalu terlambat.
Dengan demikian, fundamentum bagi etika terletak pada tanggung jawab satu sama lain - dalam perjumpaanku dengan Wajah orang lain, atau dalam bahasa Levinas, dalam situasi muka dengan muka (face to face situation). Pada ladang semacam ini tanggung jawab lahir.
Bersamaan dengan itu Levinas mengajukan kritik atas filsafat modern yang berawal dari pemikiran Yunani. Baginya, filsafat Yunani dan modern memandang dunia real sebagai kenyataan yang harus dipahami dan diselidiki, namun bukan kenyataan yang teralami. Orang lain disikapi bukan sebagai wajah yang harus dikasihi, namun sebagai orang lain yang dipahami dan dihisabkan dalam sebuah sistem institusional. Dan karenanya tak lagi personal. Tak ada lagi kisah hidup yang dapat dituturkan. Manusia menjadi makhluk anonim, tanpa nama, bukan lagi manusia yang berbeda dan beragam, namun sama, sejenis dan seragam, dalam dunia totaliter. Mereka dijebak dalam sebuah sistem yang memberi nasihat, "Jangan berani untuk menjadi berbeda." Tak ada tempat bagi perbedaan dalam sistem semacam ini. Tak ada Wajah orang lain dalam dunia real yang dipahami. Persis sama seperti kisah suci tentang kisah Yesus yang harus fisika pemikiran Barat ditelanjangi dari tempat persembunyiannya. Derrida dengan ini tidak bermaksud menghancurkan (desctruction) metafisika, seperti yang dicita-citakan oleh fenomenologi Heidegger, namun membongkar (deconstruction) metafisika. Secara runtut Nicholas Rescher pernah mensketsakan pendirian dasar dekonstruksi sebagai berikut:
1. Teks apa pun mengakui beragam interpretasi atau konstruksi.
2. Konstruksi yang beragam ini sama-sama bermanfaat: tak satu pun definitif, secara unik benar; bahkan tak satu pun lebih meyakinkan daripada yang lain.
3. Interpretasi apapun dari sebuah teks adalah teks yang lain.
4. Dengan demikian, setiap interpretasi dari sebuah teks harus meruntuhkan dirinya sendiri ke dalam kemajemukan varian (yang bersama-sama bermanfaat).
Kita melihat adanya kesesuaian antara pendirian 1 dan 3, bahwa rupanya terdapat kemajemukan (pluralitas) interpretasi atas teks. Kemudian, pendirian 2 menandaskan bahwa setiap interpretasi sama-sama bermanfaat sekaligus sama-sama tidak memadai. Juga pada pendirian 4 kita melihat diteguhkannya relativisme tekstual secara utuh. Dengan prinsip pluralitas dan relativitas interpretasi ini sebenarnya kita melihat potensi besar dekonstrusi untuk mengerjakan proses destabilisasi atas hirarki fondasional yang sepertinya tak tertanyakan (final). Selubung logika fondasional lantas ditelanjangi dan "makna final" itu akhirnya dapat direlativir dengan makna-makna lain. Dengan kata lain, dengan memakai kata-kata Lee Kyoo-Eun, "deconstructive logic can function as an operative force by which the marginalized are to be liberated from the centered." Gagasan operasional Derrida ini akhir-akhirnya berdampingan erat dengan kritik Lyotard atas apa yang dinamakan Grand Narratives atau Kisah Agung, yang telah mengasingkan naratif-naratif kecil dan lokal.