Bila kapitalisme sebagai pandangan hidup merupakan kritik utas feodalisme, maka kapitalisme sebagai paradigma politik merupakan kritik atas realisme dan kapitalisme sebagai paradigma ekonomi merupakan kritik atas merkantilisme. Mari kita kembali ke sejarah, kepada masa pencerahan yang baru saja kita tinggalkan pada bagian yang lain.
Kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa kapitalisme mempunyai akar dan asal mula di Italia Utara, dengan tumbuhnya kota-kota yang menjadi pusat perdagangan di kawasan Eropa. Dan pada pencerahan dan segala atributnya menimbulkan perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama untuk ekspedisi-ekspedisi pelayaran ke Asia, Afrika, dan Amerika. Di abad pencerahan ini pulalah muncul semangat nasionalisme, yang menjadi jati diri manusia Eropa menggantikan jati diri agama (kekristenan)sesudah mereka berhasil menahan ekspansi Islam pada masa perang salib. Muncullah kebanggaan nasionalistik menjadi orang Spanyol, Inggris, Belanda, Jerman, Itali, Portugis, dan sebagainya. Sebagai salah satu sumber kebanggaan tersebut adalah bagaimana masing-masing negara ini melakukan "the great voyages" mencari koloni-koloni baru untuk dikuasai.
Persaingan antar bangsa tak tertahankan. Zaman kolonialisasi dan imperialisme dimulai. Sejak abad ke-16, tata dunia internasional sudah berubah menjadi hubungan imperial kolonial, di mana hanya 'ada dua macam negara di dunia: (1) yang menjajah, yaitu Eropa; dan (2) yang dijajah, yaitu seluruh dunia lainnya. Mulailah masa yang penuh dengan peperangan dan kekerasan di dalam hubungan internasional. Bukan saja peperangan antara kelompok (1) dan (2) di atas, melainkan juga perseteruan antar kelompok penjajah sendiri. Yang paling dekat dengan kita adalah persaingan Belanda dan Portugis untuk menguasai Selat Malaka dan persaingan Portugis dan Spanyol memperebutkan Maluku, yang kemudian keduanya dibasmi oleh Belanda, sehingga Spanyol menyingkir ke Filipina dan Portugal menyingkir ke Timor. Timur. Perseteruan antar negara Eropa ini menyebar dan nyata di seluruh penjuru dunia.
Lalu apa hubungannya dengan kapitalisme? Kapitalisme dalam pola pikir ekonomi dan politik sekarang tidak menjadi arus utama (mainstream). Mengapa? Karena sekarang prioritas utama bagi negara-negara di dunia adalah bagaimana mengalahkan negara lainnya di dalam persaingan teritorial. Kepentingan yang utama adalah kepentingan negara, bukan kepentingan individu (yang menjadi prioritas di dalam masyarakat kapitalistik). Kepentingan negara di dalam masa yang penuh pertempuran dan peperangan ini adalah bagaimana caranya mengungguli negara lain di dalam persenjataan dan militer. Konsekuensinya adalah negara harus mempunyai mesin-mesin perang yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Dan untuk menyediakan mesin-mesin perang ini, dibutuhkan emas dan perak sebanyak-banyaknya (yang menjadi alat tukar pada masa itu). Bagaimana memperoleh emas dan perak sebanyak-banyaknya? Sama saja dengan bagaimana sebuah negara modern saat ini ingin memperoleh devisa, yaitu dengan menekan impor dan memperbesar ekspor. Apa konsekuensinya di dalam dunia ekonomi? Negara harus kuat di atas masyarakat, demokrasi dianggap sebagai suatu yang melemahkan kekuatan nasional dan kegiatan ekonomi harus dipimpin oleh kekuatan kelembagaan negara yang kuat untuk mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya nasional guna kepentingan nasional (baca: memenangkan perang).
Mulailah masa di mana kapitalisme dibelokkan dari kepentingan individu menjadi kepentingan negara/nasional. Paham yang memprioritaskan kepentingan negara di atas kepentingan individu dan menganggap bahwa negara atau pemerintah harus kuat dan masyarakat lemah dinamakan realisme. Kalau kapitalisme liberal mengajarkan bahwa pemerintah harus campur tangan seminimal mungkin di dalam perekonomian, maka realisme mengharuskan suatu sistem ekonomi yang disebut merkantilisme. Merkantilisme adalah sistem di mana pemerintah secara aktif menguasai dan mengalokasikan sumber daya ekonomi guna mencapai tujuan-tujuan yang sudah digariskan. Pemerintah yang kuat sangat penting karena menurut kaum merkantilis, tujuan utama bagi suatu bangsa adalah mengungguli negara lain di dalam perang dan ini membutuhkan senjata. Senjata harus dibeli dengan emas dan perak, sementara emas dan perak hanya dapat diperoleh dengan meningkatkan ekspor dan meminimalkan impor. Rakyat tidak bisa dibiarkan begitu saja mengkonsumsi barang-barang impor semau-maunya sehingga pemerintah harus aktif mengatur pola konsumsi dan produksi pelaku-pelaku ekonomi di negaranya. dengan demikian pemerintah harus kuat melawan keinginan-keinginan masyarakat yang berlawanan dengan tujuan nasional dalam penghematan tersebut. Kadang-kadang pemerintah menggunakan kekuatan militer atas rakyatnya sendiri demi maksud dan tujuan ini.
Realisme sebagai paradigma politik kemudian dikritik oleh liberalisme yang berkembang sejalan dengan pencerahan yang semakin cerah dengan Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis (1776 dan 1789). Liberalisme muncul sebagai paradigma baru yang lebih mengutamakan kebebasan individu di atas kekuasaan negara. Paradigma liberalisme menjadi `laku' karena pada akhir abad ke-18 ini koloni-koloni di Amerika Latin, Afrika, dan Asia pada umumnya telah jelas batas-batasnya sehingga jarang sekali ada persaingan dan pertempuran antara negara Eropa lagi. Pada masa damai seperti ini pemerintah yang bertangan besi tentu tidak relevan lagi di dalam kehidupan masyarakat Eropa. Dan dengan demikian merkantilisme sebagai paradigma ekonomi juga menghadapi kritik yang keras. Kapitalisme sebagai sistem dan paradigma ekonomi dilahirkan oleh ekonom-ekonom klasik yang diawali oleh Adam Smith, kemudian dilanjutkan oleh David Ricardo, John Stuart Mill, dan Thomas Robert Malthus.
Ekonom klasik menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi (dan bukannya ekspansi militer internasional) adalah yang utama, dan pertumbuhan ekonomi dapat diraih dengan pemupukan modal (kapital) yang setinggi-tingginya dan secepat-cepatnya. Adam Smith dianggap sebagai `Bapak Ilmu Ekonomi' bukan karena dia yang pertama menciptakan dalil-dalil dan teori-teori interaksi ekonomi di dalam masyarakat, tapi karena Smith adalah orang pertama yang memisahkan `ekonomi' dari `politik', dan menjauhkan `pasar' dari `bedil'. Efisiensi, produktivitas, dan persaingan pasar menjadi teramat penting untuk menumbuhkan perekonomian dan produksi. Dan ini membutuhkan pemerintah `hands-off' dari perekonomian dan membiarkan semuanya bebas (laissez-faire). Mereka menganggap bahwa campur tangan pemerintah, kecuali untuk barang dan jasa publik tertentu, hanya akan mendatangkan inefisiensi dan pilih kasih yang: tidak memungkinkan terjadinya persaingan yang adil. Lebih lanjut lagi, di dalam politik keseharian pun, liberalisme menganggap bahwa pemerintah juga harus seminimal mungkin, dengan kata lain lebih baik pemerintah terlalu lemah daripada terlalu kuat.
Namun demikian, kapitalisme klasik seperti ini menghasilkan ketidakadilan yang muncul dari dalam dirinya (embedded). Mengapa? Ekonom-ekonom klasik sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan tercapai bila terjadi pemupukan modal di dalam suatu masyarakat. Dari mana asalnya pemupukan modal ini? Ada dua sumber: tabungan masyarakat dan laba perusahaan. Namun demikian, tabungan masyarakat (yang per definisi adalah kelebihan pendapatan di atas konsumsi) sangat tidak bisa diharapkan karena seseorang bila mendapatkan pendapatan melebihi kebutuhannya biasanya akan digunakan untuk konsumsi yang berlebih-lebihan. Jadi satu-satunya sumber kapital yang memungkinkan adalah laba perusahaan. Laba perusahaan adalah pemasukan perusahaan dikurangi biaya-biaya. Salah satu komponen terbesar dari biaya itu adalah upah. Untuk memaksimalkan laba perusahaan (dengan demikian memaksimalkan kapital dan pertumbuhan ekonomi), biaya harus diminimalkan, dengan demikian upah juga harus diminimalkan. Ini sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa upah (pendapatan) yang berlebihan harus dihindari, sehingga upah cukup diberikan sesuai dengan kebutuhan subsistemnya. Subsistem maksudnya agar supaya si pekerja tetap eksis, tidak sampai mati atau sakit (sehingga menghambat proses produksi). Oleh Adam Smith dan pengikut-pengikutnya, hal ini disebut sebagai the iron law of wage, di mana upah harus ditekan sedemikian rupa sehingga hanya cukup bagi pekerja untuk hidup subsistem. Hukum upah besi ini adalah sasaran utama dari para kritikus kapitalisme, termasuk Marx, dan juga yang mengakibatkan banyak orang menilai kapitalisme sebagai sesuatu yang tidak manusiawi.
Sebelum kita lanjutkan, baiklah kita ingat bahwa kapitalisme liberal mempunyai ciri-ciri: (1) persaingan bebas dan laissez-faire; (2) campur tangan pemerintah minimal; (3) pertumbuhan ekonomi di atas politik; (4) pemupukan modal sebagai kunci pertumbuhan; (5) upah besi. Sedangkan kecuali nomor (5), merkantilisme mempunyai ciri yang persis berlawanan dengan ciri liberalisme ini. Liberal kapitalisme menjadi paradigma politik dan ekonomi yang sangat laku sampai menjelang pertengahan abad ke-19. Ia juga menjadi filosofi yang berkembang sejalan dengan revolusi industri yang membutuhkan profesionalisme, efisiensi, dan produktivitas.
Namun aplikasi kapitalisme klasik, termasuk di dalamnya upah besi menjadikan kesenjangan yang semakin lebar. Para pemilik modal (kapital) yang tidak banyak bekerja hidup kaya raya sedangkan para pekerja yang membanting tulang setiap hari hidupnya pas-pasan. Keadaan ini menyebabkan Karl Marx mulai berpikir mengenai distribusi sebagai hal yang lebih utama daripada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme hanya menggemukkan kantong-kantong para pemilik modal sementara para pekerja secara sistematis dimiskinkan. Ia juga mengkritik pasar bebas ala kapitalisme liberal. Konsepnya adalah `bebas belum tentu adil.' Persaingan bebas memang bebas, tetapi` tidak adil, karena kalau konglomerat dibiarkan bebas bersaing dengan pengusaha kecil justru yang terjadi adalah ketidakadilan.
Gerakan Marxisme, sosialisme, dan komunisme sebagai kritik atas kapitalisme berkembang pesat di Eropa yang sudah terindustrialisasi. Di hampir setiap negara Eropa partai kiri mendapat dukungan yang makin lama makin besar. Sampai-sampai di awal abad ke-20 dikenal apa yang disebut Eurocommunism atau Marxisme Barat yang memikat golongan kelas menengah dan akademisi Eropa, sehingga menjadi arus utama (mainstream) dunia politik dan ekonomi. Salah satu tokoh yang berhasil mempopulerkan Marxisme kepada kelas menengah Eropa adalah George Lukacs dan bukunya "History and Class Consciousness." Menurut Lukacs, manusia bergerak dan mengekspresikan diri di dalam kelompok `kelas' sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya di dalam kelas tersebut dan membuat tuntutan politiknya sesuai dengan kelasnya ("Saya kelas pekerja dan ingin pajak bagi orang kaya dinaikkan" atau "Saya kelas kapitalis dan ingin pajak diturunkan", dan sebagainya). Manusia tidak terlalu mengidentifikasikan dirinya di dalam kelompok bangsa/suku, seperti yang diasumsikan oleh paradigma realisme/merkantilisme ("Saya orang Indonesia" atau "Saya orang Jawa") dan tidak juga berdiri sendiri secara individual tanpa afiliasi, seperti yang diasumsikan oleh paradigma liberalisme/kapitalisme.
Di dalam perekonomian, Marxisme menganggap bahwa peran negara tidak usah minimal, tetapi juga tidak maksimal, yang penting negara bertugas melaksanakan distribusi yang merata mungkin dan menyediakan arus pendapatan dari yang kaya kepada yang miskin. Dalam hal demokrasi, Marxisme lebih mementingkan demokrasi sosial (ekonomi) ketimbang demokrasi liberal (politik).