Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 >  POLIGAMI DAN PERCERAIAN DALAM PERJANJIAN LAMA > 
VI. KESIMPULAN 

1. Penafsiran yang menyatakan bahwa undang-undang Perjanjian Lama merendahkan status perempuan dalam perkawinan adalah penafsiran yang tidak obyektif. Prasangka bahwa teks Perjanjian Lama mendukung perkawinan poligami dan perceraian adalah prasangka yang salah.

2. Untuk memahami status perempuan dalam perkawinan, khususnya yang berkaitan dengan poligami dan perceraian, dibutuhkan pendekatan yang Alkitabiah dan struktural. Pendekatan yang seperti ini memperlihatkan bahwa di dalam Perjanjian Lama terdapat tiga konsep perkawinan, yaitu konsep yang ideal, toleran dan refleksif.

3. Konsep perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, yang membentuk kesatuan yang sangat intim, bukan hanya dalam fisik, tetapi dalam psikis, cinta, kasih, ekonomi dan segala kesulitan dalam kehidupan.

4. Undang-undang Kitab-kitab Pentateukh mengandung aturan-aturan tentang poligami dan perceraian, tetapi aturan-aturan ini bukan apodiktik tetapi kasuistik, yaitu diberlakukan dalam kasus tertentu dan diformulasikan justru untuk memberi limitasi terhadap poligami dan perceraian, khususnya melindungi hak dan kebebasan perempuan. Aturan-aturan ini menggambarkan konsep perkawinan yang toleran terhadap poligami dan perceraian.

5. Kitab-kitab Sejarah melaporkan bahwa poligami dan perceraian tidaklah permanen terjadi. Dan hal itu terjadi di kalangan yang tertentu saja serta disertai dengan peringatan yang keras. Kitab-kitab ini memberikan konsep perkawinan yang refleksif.



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA