Pentas pertentangan antara etika dan ilmu pengetahuan yang memang selalu ada, seolah marak kembali dengan kahadiran Dolly. Sekarang sering dibicarakan imperatif Iptek, yaitu apa yang bisa dilakukan iptek akan dilakukan oleh iptek, seperti yang ditegaskan Hille, "Sekali kita membolehkan kloning pada manusia, tidak ada titik balik bagi iptek untuk berbalik arah."
Imperatif Iptek itu, menurut Liek Wilardjo (Kompas, 12 Maret 1997, h. 4) berdasar pada satu dari dua aksiologis ilmu yaitu idealisme Aristoteles: Ilmu untuk ilmu itu sendiri. Umumnya ilmuwan yang mendukung rekayasa genetika termasuk kloning pada manusia meletakkan dasar legitimasi bagi kiprah mereka pada ideal ini, entah itu atas nama ilmu atau sekadar demi memuaskan naluri ingin tahu yang menjadi kodratnya sebagai manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana para ilmuwan boleh melangkah dalam kiprah mereka untuk menerobos wilayah ketidaktahuan dalam memperluas wilayah pengetahuan, khususnya menyangkut misteri nyawa dan kehidupan?
Apa yang seharusnya menjadi rambu-rambu pembatas bagi langkah mereka? Staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, K. Bertens (Kompas, 9 Maret 1997) menyatakan, "Perkembangan iptek harus dibatasi dengan norma-norma etis, imperatif moral. Itu berarti apa yang secara teknis bisa dilakukan belum tentu boleh dilakukan." Untuk itu, aspek moral dan etis dari agama bisa dan harus digunakan untuk menilai apakah penemuan teknologi kloning boleh atau tidak boleh diterapkan pada manusia. Hille menegaskan sebagai orang beriman, tidak bisa tidak, norma mutlak bagi moral dan etika Kristen adalah Alkitab, firman tertulis yang kebenarannya mutlak.
Untuk itu, Hille menyatakan bahwa dalam melakukan kiprah ilmiahnya, para ilmuwan termasuk ahli biogenetika tidaklah memadai bila hanya memakai kausalitas Aristoteles. Dia cenderung lebih memilih kausalitas kedua keilmuan yang menyatakan: Ilmu untuk kemanusiaan (idealisme Francis Bacon-red). Karena pada dasarnya, setiap ilmuwan dalam melakukan kiprahnya, tak pernah secara murni bebas dari kepentingan tertentu, tandas Hille.
Seolah mendukung Hille, Singgih mengemukakan kepentingan dibalik lahirnya Dolly. Tujuan eksperimen-eksperimen tersebut sebenarnya untuk mencari cara terbaik mereproduksi gen domba untuk kepentingan industri farmasi. Embrio domba bisa digunakan memproduksi protein atau hormon manusia dalam air susunya. Protein manusia tersebut kemudian dipanen dari air susu domba lalu dijual. Daripada menanti tanpa kepastian melalui proses alami yang memakan waktu lebih panjang, dilakukanlah kloning agar gen yang di rekayasa tersebut tidak hilang. "Makanya inti sel kambing dipakai untuk menghasilkan Dolly," tandas Singgih.