A. Diagnosis yang Tepat
Theodore Roszak mengkritik sekularisme sebagai penyebab "tercekiknya psikis sehingga roh manusia tidak dapat bernafas". Dia menyesalkan keangkuhan reduksionis sains menghapus segala yang spiritual dan misteri. Sebenarnya yang bisa diukur sains cuma sedikit saja. Lagipula tanpa yang transenden manusia mengkeret.1169 Alvin Toffler telah lama mengingatkan bahwa Amerika Serikat sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini muncul lebih 3000-an sekte. Mengapa? Kalau bukan kekecewaan dengan sekularisme dan usaha menggapai transenden. Sebab "Usaha menggapai makna kehidupan merupakan kekuatan motivasi terutama dalam diri seseorang".1170 Kapan saja, di mana saja dan siapa saja manusia akan mencari tahu "siapakah aku?" (signifikan). Selain itu dia akan mencari komunitas (where do I belong). Jikalau kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka alienasi dan krisis akan mendominasi.
Ada kerinduan akan sesuatu yang transenden, jauh di balik pengalaman keseharian. Tetapi sebutan apa yang kita berikan padanya? Sesuatu yang lebih besar dari segala yang kita miliki. Sebuah kerinduan. Setiap kerinduan manusia merupakan rambu penunjuk pada kebutuhan sungguhan yang pada gilirannya menunjuk pada objek sungguhan yang berkaitan dengan kerinduan tersebut. C. S. Lewis berkata bahwa kerinduan tersebut merupakan rambu petunjuk pada sumber pemuasan segala kerinduan yaitu Allah sendiri.
Buku atau musik yang disangka merupakan lokasi keindahan bisa menipu jikalau kita bergantung pada mereka: bukanlah pada mereka, tetapi hanya melalui merekalah, datang kerinduan tersebut. Hal-hal tersebut -- keindahan, memori masa lalu kita sendiri -- adalah citra bagus mengenai yang kita ingini sesungguhnya dirindukan mereka menjadi berhala bodoh dan menghancurkan hati penyembahnya. Karena mereka bukan kerinduan sendiri: hanya sekedar wanginya sekuntum bunga yang belum kita temukan, gaungnya sebuah nyanyian yang belum kita dengar, kabar dari negeri yang belum pernah dikunjungi.1171
Rasa lapar dan haus berkaitan dengan eksisnya makanan dan minuman. Bahaya manusia sekuler bukan karena dia tidak haus dan lapar akan kebenaran ilahi, tetapi dia tertipu dan menipu diri bahwa dia tidak haus dan lapar. Simone Weil menulis, "Bahayanya, yaitu bukanlah jiwa meragukan keberadaan roti, tetapi oleh tipu daya dia terbujuk bahwa dia tidak lapar. Ini hanya bisa terjadi oleh penipuan, karena realitas kelaparan jiwa bukanlah sebuah kepercayaan, tetapi sebuah kepastian.1172 Inilah namanya sekulerisme memberi batu kepada orang yang mencari roti kehidupan, tetapi Kristus memberi air hidup dan roti hidup yang berkelimpahan.
Absennya Allah dari kehidupan seseorang menjadikan dia bebas, tetapi sekaligus dia memikul tanggung jawab tidak terbatas. David Hume mengakui bahwa, Mula-mula aku takut dan dibingungkan oleh kesendirian menyedihkan akibat filsafatku." Sartre menyetujui bahwa lepas dari Allah mengakibatkan dia "bertanggung jawab secara total dalam kesendirian total." Kebebasan tanpa bentuk atau kebebasan tanpa batasan diinginkan manusia sekuler. Tetapi justru ini menjadi bumerang baginya. Itulah keadaan tersesat di lautan tanpa pantai. Sartre menyadari bahwa lepas dari Allah `manusia hanya segumpal nafsu tiada guna."1173
Karena itu Lord Byron mengeluhkan yang berikut ini tiga hari sebelum ulang tahun ketiga puluh enam:
kehidupanku tertulis di dedaunan kering,
bunga dan buah cinta telah lenyap,
cacing, kanker dan kematian sajalah bagianku!
Makna lenyap dari manusia sekuler akibat menolak Tuhan dalam kehidupannya. Kegelapan semakin pekat, makna semakin kabur dan individu semakin sekarat. Bahwa manusia tidak terasing secara metafisik tetapi secara moral harus disadari benar-benar. Kitab Suci menerangkan alienasi ini sebagai kejatuhan dan kedosaan (Kej 3; Rm 3:23). Artinya diagnosis Alkitab sangat relevan bagi manusia pada era globalisasi.
B. Allah Sangat Relevan
Menyangkali Allah dan wahyuNya ibarat melepaskan fondasi pijakan kehidupan serta menyampahkan sumber makna dan nilai kehidupan. Dalam sekularisme, tidak ada kohesi pengikat budaya dan makna pribadi. Manusia menjadi yatim piatu kosmos. Bukan saja celaka, tetapi sekaligus mencelakakan.1174 Dari segi fondasional itu, Kristen memberi alternatif terbaik.
Sekularisme gagal memuaskan kebutuhan transenden individu akibat mereduksinya menjadi materi yang terperangkap di sini. Reduksi ini bisa berlangsung sebentar. Manakala krisis memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting seperti apakah makna hidup ini, lumpuhlah sekularisme. Sekularisme menggapai yang mulia bagi manusia tanpa tempat pijak. Fondasi Kristen bukan saja memadai tetapi sekaligus menjamin keindahan proses menuju tercapainya panggilan tertinggi manusia. Sebaliknya, sekularisme berimplikasi nihilistik (ingat: waktu + materi + kebetulan = nol).
Kegagalan sekularisme menghadapi tuntutan transenden terlihat di negara-negara komunis di mana rakyat dipaksa tidak menjadi Kristen dengan todongan senapan. Mengapa demikian? Karena "doktrin-doktrin dasar komunisme tidak meyakinkan pikiran, dan tidak juga memuaskan emosi kaum intelek atau proletariat sekalipun."1175 John Stott menunjukkan akibat-akibat sekularisme lainnya, seperti di solusi dengan materialisme di Barat, proliferasi ajaran-ajaran sesat sekte-sekte rahasia dan epidemi penyalahgunaan obat bius.
Jikalau Allah tidak relevan maka orang lain harus mengambil tempatnya. Malcolm Muggeridge berkata bahwa sebagai gantinya "kalau bukan megalomania maka erotomania (gila seks) ... Hitler atau Hugh Hefner. Kalau bukan kekerasan tentu kenikmatan menjadi nilai dan tujuan tertinggi. Nietzsche berkata, "jikalau Allah mati, akulah Allah." Alternatif lain satu-satunya yaitu kesenanganisme (pleasure). Kalau Nietzche berkesimpulan "yang kuat yang benar, Freud melengkapi dengan kenikmatanlah yang benar. Tetapi keduanya terbukti substitusi yang sementara, lemah dan destruktif.
C. Perlunya Kembali ke Esensi-esensi Iman
Pertama, jelas diperlukan desekularisasi gereja. Dunia sekular dikoreksi gereja. Tetapi jika gereja menjadi sekular, dia tidak bisa menegur dunia. Bahwa gereja dalam dunia merupakan panggilan, tetapi dunia dalam gereja adalah celaka. Liciknya sekularisasi gereja dikarenakan bungkusan liturgis, bahasa, dan program selalu berkonotasi sakral. Tidak ada yang mencurigai. Padahal para pemimpin gereja bisa lebih materialistis dari dunia dengan mengatasnamakan Tuhan. Tujuan jasmani dengan kedok rohani.
Perlu diingatkan bahwa yang "lebih besar tidak selalu lebih diberkati". Penjara pun besar anggotanya. Bank-bank bernama bergedung dengan arsitektur luar biasa. Apakah gereja berlomba dengan dunia sekular? Di manakah kesederhanaan dan kerendahan hati, serta kekuatan moral yang dimiliki Yesus dan para rasul? Kita toh tidak ingin menuntaskan mandat spiritual dengan metode jasmani. Kembali kepada Firman yang bisa menguji komitmen pribadi dan komunitas, sembari menaruh tangan kita di tangan Kristus dan biarlah Dia yang memimpin kita di via dolorosa.
Kedua, orang Kristenlah antitesis sekularisme terampuh. Para sekularis seperti Feuerbach, Nietzsche, Marx dan lain-lain memprediksi matinya Kristen diganti naturalisme. Namun gagasan-gagasan mereka mati terkubur bersama mereka. Pintu neraka pun tidak dapat mengalahkan gereja Tuhan.
Sejak semula Kristen membangun iman sekaligus akal. Gereja tidak perlu berlari pada irasionalitas dan non personal. Gereja tidak saja beriman tetapi sekaligus berintegrasi dan berkredibilitas setelah diadili oleh mahkamah akal, sains, sejarah secara legal dan metode ilmiah lainnya. Iman Kristen bukan loncatan dalam kegelapan (bertentangan dengan pendapat Kiekegaard) tetapi melangkah dalam kerasionalan wahyu dan keilahian. Kebenaran wahyu tidak kontra dengan walaupun bukan produk akal. Iman Kristen tetap rasional dan bukan irasional. Kebenaran wahyu ini jikalau dipersonalisasikan merupakan antidot sekularisme yang paling manjur.
Orang Kristen eksis demi "memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya". Alternatif Kristen yaitu manusia bukan mesin karena menyandang citra Allah (Kej 1:26-28). Nilai manusia sebagai milik Allah dikarenakan penciptaan dan penebusan darah Kristus. Karena itu, manusia bukan alat untuk dipakai, tetapi objek kasih Allah. Sebaliknya, yang sekular mencintai kebendaan dengan menggunakan manusia. Karena itu, Kristen menekankan pentingnya hubungan pribadi dengan Tuhan dan sesama. Bukan penampilan, efektivitas serta efisiensi. Identitas individu bukan akibat efektivitas dan penampilannya, tetapi karena hakekat identitasnya sebagai makhluk sesuai gambar Allah bukan ditentukan aktivitasnya. Sekularisme materialis tidak memiliki dasar memadai untuk menghargai manusia demikian tinggi. Kalaupun relasi antar person ditekankan, itupun dalam bingkai kepentingan perusahaan. Manusia sekular dimengerti oleh relasi antara insan, atau dalam perspektif Alkitab, dimengerti berdasarkan keseragamannya dengan Allah. Jika sekularisme mereduksi manusia menjadi materi semata, agama Kristen memahami manusia sebagai kesatuan tubuh, jiwa dan roh secara utuh. Ketika C.S. Lewis ditanyai apakah yang akan dikatakannya manakala sebuah bom atom sedang jatuh di atas kepalanya, jawabnya, "Aku akan mengeluarkan lidahku dan berkata kepadanya: "Pooh, kamu cuma sebuah bom, tetapi aku ini makhluk imortal yang tidak akan mati." Manusia sekular tidak memiliki kepastian tersebut.