Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  MEMAHAMI DAN MENGHADAPI ROH ZAMAN INI > 
I. ROH ZAMAN INI 

A. Quo Vadis

Roh zaman ini lebih cepat berubah dari cuaca. Thomas Oden membagi zaman kita ke dalam dua kategori: modern dan pasca modern. Era modern ditandai jatuhnya tembok penjara Bastille, Perancis 1789 dan pasca modern ditandai runtuhnya tembok Berlin 1989.

Setiap era ditandai penaburan benih tetapi mekarnya baru terasa kemudian. Era globalisasi telah dikandung berabad sebelum dilahirkan pada awal abad XXL Dua abad sebelum para teknolog berhenti berdoa pada abad XX, pencerahan telah membunuh wahyu sehingga Nietzsche mengukir slogan, "Allah sudah mati." Manakala Allah dan wahyuNya dikeluarkan dari dunia, maka matilah yang absolut. Sehingga dia tidak dapat menjawab tiga pertanyaan fundamental berikut ini. Pertanyaan metafisika: Bagaimana aku menjelaskan kompleksnya alam semesta dan kepribadian manusia? Pertanyaan epistemologi: Bagaimana aku tahu bahwa yang kuketahui itu benar? Bagaimana membedakan fakta dari fantasi? Dan pertanyaan moral: Apakah dasar moralitas dan mengapa semua orang mempunyai nilai moral?

Ketiga faktor di atas pada hakekatnya saling erat berkaitan.1157 Absennya jawaban terhadap ketiga faktor tersebut mereduksi signifikansi individu menjadi yatim piatu kosmos. Itu salah satu penyebab dia mengantisipasi era global tetapi pertanyaan kita Quo Vadis manusia modern?

B. Transisi ke Mana?

Ibarat pesta tutup tahun menjelang tahun baru yang selalu diantisipasi dengan penuh harap; demikian pula persiapan dan antisipasi milenium ketiga sejarah manusia. Pertanyaannya, "Apakah atau siapakah yang diantisipasi dan diharapkan?" Transisi ke era global. Tetapi transisi menuju apa dan yang bagaimana? Lalu di manakah letak perbedaan era 2000 sM dan pasca 2000?

Seorang pengamat menunjukkan tiga ciri era transisi ini: (1) Runtuhnya kepercayaan. Lenyapnya konsensus universal tentang apa sesungguhnya kebenaran. Ibarat pasar, semua kepercayaan tersedia untuk dikonsumsi; yang diutamakan adalah; (2) Lahirnya budaya global. Satu kepercayaan menyadari kepercayaan lain. Tidak ada yang mengklaim diri absolut, dan; (3) polarisasi baru di mana terjadi konflik kebenaran sosial yang menyobek budaya modern.1158

Kita bahasakan kembali ciri-ciri tersebut sebagai: Seluruh eksistensi hanya membutuhkan penjelasan horisontal -- tidak diperlukan penjelasan ilahi. Karena Allah tidak relevan, manusia menentukan sendiri nasib, makna dan hari esoknya. Segalanya bersifat relatif dan temporal -- semuanya hanya sementara dan berlalu. Kebenaran absolut mati.

Jikalau memang demikian, maka pertanyaannya, "Apakah hal-hal yang disebutkan di atas memberikan alasan memadai untuk optimis?" Optimisme boleh saja tetapi apakah dasarnya? Kapal Titanic disebut pembuatnya sebagai kapal yang tidak dapat ditenggelamkan Tuhan sekalipun. Pada pelayaran perdananya April 1912, ia menabrak gunung es dan menenggelamkan lebih dari 1500 penumpang. Kebanyakan mereka sedang berpesta. Ironisnya banyak yang tidak mempercayai ketika diberitahukan bahwa Titanic sedang tenggelam hingga terlambat. Demikianlah kapal dunia sekularisme sedang tenggelam, tetapi para sekularis masih menganut optimisme walaupun tanpa dasar.

Ada yang mengibaratkan manusia zaman pertengahan tersesat dalam katedral, sedangkan orang modern terapung di lautan tidak berpantai. Manusia abad pertengahan memiliki wahyu supranatural, manusia Romawi memiliki hukum dan keteraturan objektif sedangkan manusia modern menyangkali keduanya. Pemikiran modern menjadi tuna wisma (homeless). Pada gilirannya, dia menjadi tuna susila -- melacur dengan semua isme yang dijumpai.

C. Menolak Referensi dari Atas -- Suara Allah Di redam

Pengakuan iman rasuli dimulai dengan "Aku percaya kepada Allah Bapa yang mahakuasa. "Sebaliknya manusia sekular berangkat dari dogma, "Aku percaya kepada alam yang mahakuasa." Otonomi metafisik dari Allah disebut Alkitab sebagai dosa. Sebaliknya, justru itulah fondasi budaya dan ilmu dewasa ini. Seharusnya manusia bergantung total pada Allah. Tidak dibenarkan adanya independensi metafisik maupun moral.

Imanuel Kant di Barat, Panteisme di Timur, sama-sama mengajarkan bahwa Allah tidak berbicara secara verbal proposisional. Kita hanya mendengar gaung suara sendiri. Kebenaran bersifat observasional bukan wahyu revelasional. Sejak wahyu suprarasional verbal dari atas ditiadakan, yang absolut mati. Pergeseran dari adanya absolut menuju tidak ada yang absolut ini tidak terjadi dalam sehari tetapi proses panjang penggantian pola pikir lama.1159 Jikalau Dia membisu suara siapakah yang absolut? Tidak ada. Tinggal siapa yang berteriak lebih keras dia didengar. Alternatif lainnya yaitu pemungutan suara. Lalu kebenaran ditentukan secara statistik demokratis. Atau kebenaran ditentukan sendiri-sendiri secara lokal. termasuk kebenaran agamis yang didefinisikan kembali oleh sosiologi.

D. Agama Produk Lingkungan

Era kita ini disebut jam "magribnya para dewa."1160 Manusia disuruh mengakui bahwa dia produk interaksi sosial semata. Kebiasaannya adalah produk lingkungan: bahasanya, budayanya, termasuk agamanya.1161 Kita hanya diizinkan berbingkai pikir sekular naturalis. "Berpikir secara sekular adalah berpikir dengan bingkai referensi yang terbatas kehidupan di bumi saja menjaga agar segala perumusan tetap berakar pada kriteria-kriteria duniawi."1162

F. Manusia Norma Tertinggi

Protagoras (abad 5 SM) menciptakan slogan sekularisme humanis "Manusialah ukuran segala sesuatu."1163 Optimisme ini diulangi Leon Battista Alberti, "Seseorang bisa melakukan semua hal jikalau ia berkehendak untuk itu."1164 Manusia adalah kapten dan juru mudi hidupnya. Itulah dogma utama sekularisme humanis. Tidaklah mengherankan jikalau gerakan pengembangan potensi diri, gerakan zaman baru dan yang serupa merebak dewasa ini.

Jikalau dulu Plato berkata, "Kenalilah dirimu," Tuhan Yesus bersabda, "Sangkalilah dirimu!" Tetapi pada zaman ini, Ayn Rand mengajak, "Cintailah dirimu" dalam bukunya The Virtue of Selfishness. Ciptakan sendiri nilai-nilaimu. Tidak ada hukum dan makhluk selain dirimu. Kerangka pikir sekular tertutup terhadap intervensi ilahi.

Manusia menjadi otonom. Dia bebas menentukan nasibnya sendiri. Jikalau Alkitab mengajarkan predestinasi dari Allah (Ef 1:3-11), sekularisme menganut predestinasi oleh diri sendiri. Dia berkuasa menentukan nasibnya sendiri. Dia sekaligus penentu makna kehidupannya. Sejarahwan Arnold Toynbee menilai generasi kita merupakan yang pertama dari 21 peradaban yang ingin dibangun tanpa moralitas. Generasi yang ingin hidup seolah-olah Allah tidak ada.

G. Proyek Rasionalisasi

Apa saja bisa dirasionalisasi. Apalagi kalau bersumber dari kekuasaan. Tidak ada yang bisa membantah. Pada era kita, akibat meninggalkan penjelasan ilahi. manusia memberi substitusi rasionalisasinya sendiri. Penggantian penjelasan asal usul dan detail yang suprarasional menyebabkan manusia menggantikannya dengan penjelasan rasional. Aborsi ada rasionalisasinya. Korupsi bisa dijelaskan secara logis, tidak harus secara moral. Pendefinisian HAM secara eksklusif bisa dirasionalisasi dengan "kepribadian bangsa, sistem nilai bangsa," dan seterusnya. Rasionalisasi menjadi reservoir guna mengganti penjelasan religi. Dari satu segi itulah fungsi pendidikan: memberikan manusia modern alat merasionalisasikan perilakunya.

H. Tidak Ada yang Sakral

Dalam realitas, kebanyakan hidup seakan Allah tidak ada. Allah tidak bersangkut paut dengan kegiatan dan relasi sehari-hari. Walaupun eksisnya Allah tidak disangkali, tetapi Dia dan hukum-Nya dianggap tidak relevan secara privat maupun publik. Dulu orang intelek bangga menyebut nama Allah, tetapi kini nama-Nya tidak masuk kamus relasi antar person dan relasi profesi.

I. Segalanya Relatif

Akibatnya, makna dan nilai ditentukan oleh lokasi dan kelompok. Moralitas tidak lagi bersifat universal. Tetapi di kondisi lingkungan dan budaya lokal. Sejarahwan Cambridge, Paul Johnson menulis, "Pada permulaan tahun 1920-an kepercayaan ini [relativitas] mulai tersebar pertama kalinya pada tingkap popular, bahwa kini tidak ada lagi ada absolut dalam hal: waktu dan ruang, baik dan jahat, pengetahuan dan di atas segalanya tidak ada nilai absolut. Barangkali keliru tetapi nyata bahwa teori relativitas [Einstein] dianggap sama dengan relativisme."1165 Tidak ada yang lebih sedih dari Einstein, akibat kesalahpahaman umum tentang teorinya. Dia sendiri tidak berdaya mengatasi kesalahan akibat publisitas dan dampak teorinya.1166

Manakala seseorang lulus dari universitas dewasa ini, yang pasti yaitu segalanya serba tidak pasti. Tidak ada yang pasti tentang Allah. Tidak ada yang pasti tentang nilai norma dan seterusnya. Yang korup di Amerika belum tentu korup di Indonesia. Yang merupakan pelanggaran hak asasi di luar negeri belum tentu merupakan pelanggaran hak asasi di sini. Segalanya relatif lokasi dan budaya. Ada rasionalisasinya.



TIP #32: Gunakan Pencarian Khusus untuk melakukan pencarian Teks Alkitab, Tafsiran/Catatan, Studi Kamus, Ilustrasi, Artikel, Ref. Silang, Leksikon, Pertanyaan-Pertanyaan, Gambar, Himne, Topikal. Anda juga dapat mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan ayat-ayat yang anda inginkan melalui pencarian Referensi Ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.02 detik
dipersembahkan oleh YLSA