A. Quo Vadis
Roh zaman ini lebih cepat berubah dari cuaca. Thomas Oden membagi zaman kita ke dalam dua kategori: modern dan pasca modern. Era modern ditandai jatuhnya tembok penjara Bastille, Perancis 1789 dan pasca modern ditandai runtuhnya tembok Berlin 1989.
Setiap era ditandai penaburan benih tetapi mekarnya baru terasa kemudian. Era globalisasi telah dikandung berabad sebelum dilahirkan pada awal abad XXL Dua abad sebelum para teknolog berhenti berdoa pada abad XX, pencerahan telah membunuh wahyu sehingga Nietzsche mengukir slogan, "Allah sudah mati." Manakala Allah dan wahyuNya dikeluarkan dari dunia, maka matilah yang absolut. Sehingga dia tidak dapat menjawab tiga pertanyaan fundamental berikut ini. Pertanyaan metafisika: Bagaimana aku menjelaskan kompleksnya alam semesta dan kepribadian manusia? Pertanyaan epistemologi: Bagaimana aku tahu bahwa yang kuketahui itu benar? Bagaimana membedakan fakta dari fantasi? Dan pertanyaan moral: Apakah dasar moralitas dan mengapa semua orang mempunyai nilai moral?
Ketiga faktor di atas pada hakekatnya saling erat berkaitan.1157 Absennya jawaban terhadap ketiga faktor tersebut mereduksi signifikansi individu menjadi yatim piatu kosmos. Itu salah satu penyebab dia mengantisipasi era global tetapi pertanyaan kita Quo Vadis manusia modern?
B. Transisi ke Mana?
Ibarat pesta tutup tahun menjelang tahun baru yang selalu diantisipasi dengan penuh harap; demikian pula persiapan dan antisipasi milenium ketiga sejarah manusia. Pertanyaannya, "Apakah atau siapakah yang diantisipasi dan diharapkan?" Transisi ke era global. Tetapi transisi menuju apa dan yang bagaimana? Lalu di manakah letak perbedaan era 2000 sM dan pasca 2000?
Seorang pengamat menunjukkan tiga ciri era transisi ini: (1) Runtuhnya kepercayaan. Lenyapnya konsensus universal tentang apa sesungguhnya kebenaran. Ibarat pasar, semua kepercayaan tersedia untuk dikonsumsi; yang diutamakan adalah; (2) Lahirnya budaya global. Satu kepercayaan menyadari kepercayaan lain. Tidak ada yang mengklaim diri absolut, dan; (3) polarisasi baru di mana terjadi konflik kebenaran sosial yang menyobek budaya modern.1158
Kita bahasakan kembali ciri-ciri tersebut sebagai: Seluruh eksistensi hanya membutuhkan penjelasan horisontal -- tidak diperlukan penjelasan ilahi. Karena Allah tidak relevan, manusia menentukan sendiri nasib, makna dan hari esoknya. Segalanya bersifat relatif dan temporal -- semuanya hanya sementara dan berlalu. Kebenaran absolut mati.
Jikalau memang demikian, maka pertanyaannya, "Apakah hal-hal yang disebutkan di atas memberikan alasan memadai untuk optimis?" Optimisme boleh saja tetapi apakah dasarnya? Kapal Titanic disebut pembuatnya sebagai kapal yang tidak dapat ditenggelamkan Tuhan sekalipun. Pada pelayaran perdananya April 1912, ia menabrak gunung es dan menenggelamkan lebih dari 1500 penumpang. Kebanyakan mereka sedang berpesta. Ironisnya banyak yang tidak mempercayai ketika diberitahukan bahwa Titanic sedang tenggelam hingga terlambat. Demikianlah kapal dunia sekularisme sedang tenggelam, tetapi para sekularis masih menganut optimisme walaupun tanpa dasar.
Ada yang mengibaratkan manusia zaman pertengahan tersesat dalam katedral, sedangkan orang modern terapung di lautan tidak berpantai. Manusia abad pertengahan memiliki wahyu supranatural, manusia Romawi memiliki hukum dan keteraturan objektif sedangkan manusia modern menyangkali keduanya. Pemikiran modern menjadi tuna wisma (homeless). Pada gilirannya, dia menjadi tuna susila -- melacur dengan semua isme yang dijumpai.
C. Menolak Referensi dari Atas -- Suara Allah Di redam
Pengakuan iman rasuli dimulai dengan "Aku percaya kepada Allah Bapa yang mahakuasa. "Sebaliknya manusia sekular berangkat dari dogma, "Aku percaya kepada alam yang mahakuasa." Otonomi metafisik dari Allah disebut Alkitab sebagai dosa. Sebaliknya, justru itulah fondasi budaya dan ilmu dewasa ini. Seharusnya manusia bergantung total pada Allah. Tidak dibenarkan adanya independensi metafisik maupun moral.
Imanuel Kant di Barat, Panteisme di Timur, sama-sama mengajarkan bahwa Allah tidak berbicara secara verbal proposisional. Kita hanya mendengar gaung suara sendiri. Kebenaran bersifat observasional bukan wahyu revelasional. Sejak wahyu suprarasional verbal dari atas ditiadakan, yang absolut mati. Pergeseran dari adanya absolut menuju tidak ada yang absolut ini tidak terjadi dalam sehari tetapi proses panjang penggantian pola pikir lama.1159 Jikalau Dia membisu suara siapakah yang absolut? Tidak ada. Tinggal siapa yang berteriak lebih keras dia didengar. Alternatif lainnya yaitu pemungutan suara. Lalu kebenaran ditentukan secara statistik demokratis. Atau kebenaran ditentukan sendiri-sendiri secara lokal. termasuk kebenaran agamis yang didefinisikan kembali oleh sosiologi.
D. Agama Produk Lingkungan
Era kita ini disebut jam "magribnya para dewa."1160 Manusia disuruh mengakui bahwa dia produk interaksi sosial semata. Kebiasaannya adalah produk lingkungan: bahasanya, budayanya, termasuk agamanya.1161 Kita hanya diizinkan berbingkai pikir sekular naturalis. "Berpikir secara sekular adalah berpikir dengan bingkai referensi yang terbatas kehidupan di bumi saja menjaga agar segala perumusan tetap berakar pada kriteria-kriteria duniawi."1162
F. Manusia Norma Tertinggi
Protagoras (abad 5 SM) menciptakan slogan sekularisme humanis "Manusialah ukuran segala sesuatu."1163 Optimisme ini diulangi Leon Battista Alberti, "Seseorang bisa melakukan semua hal jikalau ia berkehendak untuk itu."1164 Manusia adalah kapten dan juru mudi hidupnya. Itulah dogma utama sekularisme humanis. Tidaklah mengherankan jikalau gerakan pengembangan potensi diri, gerakan zaman baru dan yang serupa merebak dewasa ini.
Jikalau dulu Plato berkata, "Kenalilah dirimu," Tuhan Yesus bersabda, "Sangkalilah dirimu!" Tetapi pada zaman ini, Ayn Rand mengajak, "Cintailah dirimu" dalam bukunya The Virtue of Selfishness. Ciptakan sendiri nilai-nilaimu. Tidak ada hukum dan makhluk selain dirimu. Kerangka pikir sekular tertutup terhadap intervensi ilahi.
Manusia menjadi otonom. Dia bebas menentukan nasibnya sendiri. Jikalau Alkitab mengajarkan predestinasi dari Allah (Ef 1:3-11), sekularisme menganut predestinasi oleh diri sendiri. Dia berkuasa menentukan nasibnya sendiri. Dia sekaligus penentu makna kehidupannya. Sejarahwan Arnold Toynbee menilai generasi kita merupakan yang pertama dari 21 peradaban yang ingin dibangun tanpa moralitas. Generasi yang ingin hidup seolah-olah Allah tidak ada.
G. Proyek Rasionalisasi
Apa saja bisa dirasionalisasi. Apalagi kalau bersumber dari kekuasaan. Tidak ada yang bisa membantah. Pada era kita, akibat meninggalkan penjelasan ilahi. manusia memberi substitusi rasionalisasinya sendiri. Penggantian penjelasan asal usul dan detail yang suprarasional menyebabkan manusia menggantikannya dengan penjelasan rasional. Aborsi ada rasionalisasinya. Korupsi bisa dijelaskan secara logis, tidak harus secara moral. Pendefinisian HAM secara eksklusif bisa dirasionalisasi dengan "kepribadian bangsa, sistem nilai bangsa," dan seterusnya. Rasionalisasi menjadi reservoir guna mengganti penjelasan religi. Dari satu segi itulah fungsi pendidikan: memberikan manusia modern alat merasionalisasikan perilakunya.
H. Tidak Ada yang Sakral
Dalam realitas, kebanyakan hidup seakan Allah tidak ada. Allah tidak bersangkut paut dengan kegiatan dan relasi sehari-hari. Walaupun eksisnya Allah tidak disangkali, tetapi Dia dan hukum-Nya dianggap tidak relevan secara privat maupun publik. Dulu orang intelek bangga menyebut nama Allah, tetapi kini nama-Nya tidak masuk kamus relasi antar person dan relasi profesi.
I. Segalanya Relatif
Akibatnya, makna dan nilai ditentukan oleh lokasi dan kelompok. Moralitas tidak lagi bersifat universal. Tetapi di kondisi lingkungan dan budaya lokal. Sejarahwan Cambridge, Paul Johnson menulis, "Pada permulaan tahun 1920-an kepercayaan ini [relativitas] mulai tersebar pertama kalinya pada tingkap popular, bahwa kini tidak ada lagi ada absolut dalam hal: waktu dan ruang, baik dan jahat, pengetahuan dan di atas segalanya tidak ada nilai absolut. Barangkali keliru tetapi nyata bahwa teori relativitas [Einstein] dianggap sama dengan relativisme."1165 Tidak ada yang lebih sedih dari Einstein, akibat kesalahpahaman umum tentang teorinya. Dia sendiri tidak berdaya mengatasi kesalahan akibat publisitas dan dampak teorinya.1166
Manakala seseorang lulus dari universitas dewasa ini, yang pasti yaitu segalanya serba tidak pasti. Tidak ada yang pasti tentang Allah. Tidak ada yang pasti tentang nilai norma dan seterusnya. Yang korup di Amerika belum tentu korup di Indonesia. Yang merupakan pelanggaran hak asasi di luar negeri belum tentu merupakan pelanggaran hak asasi di sini. Segalanya relatif lokasi dan budaya. Ada rasionalisasinya.
A. Iman Tertawan Akal
Akibatnya, agama hanya tercantum di KTP tetapi tidak berkonsekuensi praktis. Praktis agama serius hanyalah pada saat pemakaman. Sebelum itu Pencipta di surga aku di bumi, keduanya hanya berurusan di batin tidak dalam realitas. Itulah ateisme praktis. Dia melumpuhkan iman sehingga tidak menjadi faktor dalam bidang seksual, financial dan profesi seseorang. Iman tanpa konsekuensi merupakan akibat penyakit ini. Iman hanya menentramkan batin, tetapi tidak menentukan perilaku; memberi perasaan tetapi tidak menentukan prinsip.
Setiap orang Kristen perlu menyimak dengan teliti peringatan Bender tentang bahaya sekularisme yang paling parah.
Manakala orang menganggap bahwa Allah bisa di manipulasi, diajak berdamai dan di rayu, maka dia akan kehilangan kapasitas untuk menyembah Allah. Kesadaran Kristen akan kasih karunia Allah selalu mencakup apresiasi yang dalam akan kebesaran Allah. Karena tidak ada yang lebih cepat mematikan kapasitas memuji, bersyukur dan menyembah dalam hati manusia daripada basa-basi di bibir tentang Allah yang bisa di reduksi menjadi antropomorfisme (Allah proyeksi ilusi manusia) sembarangan atau reka-rekaan palsu tentang Allah. Ini sekularisasi agama yang paling buruk.1167
B. Ilmu Tertawan Naturalisme
Sains modern lahir karena gagasan Kristen tentang wahyu dan penciptaan semesta.1168 Para pioner hampir semua cabang sains modern mempercayai penciptaan (menerima wahyu). Misalnya, Johann Kepler (1571-1630) dalam fisika astronomi; Blaise Pascal (1623-1622) hidrostatik; Robert Boyle (1627-1691) kimia; Isaac Newton (1642-1727) kalkulus; James Clerk Maxwell (1831-1879) termodinamika statistik; George Mendel (1822-1884) genetika dan masih banyak lagi. Awal sains modern selama 240 tabun tidak sekular tetapi sangat imani dan Alkitabiah.
Ini disebabkan oleh pengakuan bahwa kosmos adalah ciptaan Allah yang rasional, indah dan bila terkontrol. Para pendiri sains modern mendirikan Royal Society of London yang dalam anggaran dasarnya menekankan penelitian para anggotanya mesti ditujukan untuk "kemuliaan Allah dan keuntungan umat manusia." Di antara mereka tercatat nama-nama seperti Isaac Newton dan Robert Boyle. Tetapi setelah abad ke-17 mulai muncul gagasan alternatif untuk menjelaskan alam semesta oleh Deisme -- Allah ada tetapi semesta berjalan sendiri. Ini langkah awal menuju naturalisme -- "Allah tidak lagi diperlukan." Ini ditandai dengan dipublikasikannya buku Darwin, The Origin of Species, 1859. Mula-mula Darwin masih mengakui bahwa Allah yang menciptakan bentuk-bentuk kehidupan permulaan. Kemudian dia berubah agnostik sehingga Allah sebagai first cause, penyebab pertama diganti proses alam secara natural. Lalu gagasan tersebut disebarkan murid-murid Darwin paling fanatik seperti Alfred Wallace, T.H. Huxley, Herbert Spencer, Ernest Haeckel, Karl Marx, Bertrand Russell, Frederick Nietzsche, Adolf Hitler; dewasa ini maha fisikawan Stephen Hawking dan lainnya sehingga Aldous Huxley berkata bahwa kini semuanya evolusi.
Tidaklah mengherankan seorang mahasiswa menjawab pertanyaan tentang hakekat manusia berkata, "Apakah sebenarnya seorang manusia. Kalau bukan biliunan sel-sel yang bekerja sama secara harmonis?" Itulah salah satu penyebab orang tua tidak memahami mengapa anaknya tidak berdoa dan tidak lagi ke gereja. Padahal semasa di SMA dulunya aktif paduan suara gereja dan lainnya. Walau masih dibiayai orang tua, tetapi pandangan sang anak mengenai dan manusia sudah bertentangan dengan pandangan Alkitab. Sang ayah memakai kaca mata supranaturalisme sedangkan sang anak naturalisme. Manakala supranaturalisme mengangkat tangan menyembah Allah, naturalisme mengacungkan tinju ke wajah Pencipta. Dua insan di bawah satu atap dengan pemikiran yang saling berlawanan.
C. Moralitas Tertawan Privatisme
Alkitab mengajarkan asal usul semesta dan manusia secara personal, rasional dan supranatural (Kej. 1-2). Dewasa ini dengan asal usul yang non inteligen, non personal dan natural sekularisme harus merekayasa signifikan manusia sekaligus merekayasa moralitas. Artinya sekularisme harus mengarang sendiri secara privat jawaban atas pertanyaan: "Dari mana asalku?", "Untuk apa aku hidup ini ?" dan "Ke mana aku pergi setelah mati?" Tanpa jawaban supranatural absolut hanya ada suara privatisme -- Pendapatmu baik bagimu, pendapatku baik bagiku. Selesai.
Sekularisme ingin mempertahankan aspek-aspek moral Kristen dengan membuang sumbernya. Menginginkan semacam duplikat samar-samar kesepuluh penyeruan, tetapi anti Pemberi sepuluh penyeruan. Karena ingin menjadi penentu moralitas otonom dan selektif. "Jangan membunuh" diterima hanya manakala orang terdekat pada kita terbunuh. Tetapi "Jangan berzinah" ditolak. Mengapa? Salah satu dua penyebab: (1) menolak otoritas Allah dan Kitab Suci dan (2) agenda pribadi yang kontras dengan perintah tersebut.
Freud menganggap bahwa moralitas merupakan rasionalisasi ilusi yang kosong nilai. Dalam Civilization and Its Discontents, dia berkata "Hanya satu hal yang aku ketahui dengan pasti, yaitu bahwa pendapat manusia tentang nilai-nilai lahir dari keinginannya akan kebahagiaan -- nilai-nilai tersebut merupakan sebuah usaha mendukung ilusi-ilusinya dengan argumentasi-argumentasi."
Ironi era globalisasi bukan imoralitasnya yang dianggap "biasa', tetapi penolakan yang absolut. Sejak Torat diberikan dan bahkan pra-Torat sudah banyak praktek imoral. Yang baru yaitu penyangkalan akan adanya absolut moralitas. Budaya global ingin mengasuh sebuah generasi tanpa moralitas absolut. Mengapa demikian? Karena norma ditentukan sendiri secara horisontal, karena relativisme budaya. Itulah sebabnya tidak ada yang bisa menjamin bahwa yang ada sekarang tidak bisa diganti lainnya besok. "Mengapa manusia tidak boleh sekejam alam?" tanya Hitler penganut prinsip "yang paling kuat harus menang." Manakala fondasi moralitas absolut dibuang, mereka membuat resep moral yang imoral sendiri. Mao berkata, "Keadilan muncul dari moncong senapan." Siapakah yang berhak marah jikalau Hitler mengkamargaskan 12.000 insan sehari dan berkata itu "permainan baru?" Kalau tidak ada yang absolut, tidak ada yang berhak melarang.
Manakala era global mentrivialisasi manusia sekedar bilangan digit dalam komputer guna permainan ideologi, siapakah yang berhak melawan? Berdasarkan apa hal tersebut dilawan? Kita tidak berkata bahwa yang berpaham sekular humanis semuanya imoral. Tidak, yang ingin ditegaskan, yaitu: Jikalau orang sekuler bermoral dasarnya sekedar sentimen pribadi, tidak lebih. Dia tidak bisa mempertahankan tugas moral tanpa adanya hukum moral. Tidaklah sah mengakui hukum tanpa adanya Pembuat hukum moral. Pembuat hukum tersebut adalah Allah. Dialah otoritas sah moralitas. Hukum moralNya diberi dalam Kitab Suci, sudah ada bukan dicari-cari dan bukan mengada-ada. Itulah alternatif satu-satunya.
Karena itu kita diingatkan bahwa sistem asal usul pertama segala sesuatu yang bersifat personal, rasional dan berdesain pada diri Allah memberi fondasi dan makna pada siapa kita, dari manakah moralitas dan lainnya. Tetapi sekularisme hunfanis tidak mempunyai fondasi guna mempromosikan moralitas, makna, keindahan dan masa depan. Jadi manakah yang merupakan candu massa? Iman yang optimis berfondasi ataukah sekularisme pesimis tanpa fondasi?
A. Diagnosis yang Tepat
Theodore Roszak mengkritik sekularisme sebagai penyebab "tercekiknya psikis sehingga roh manusia tidak dapat bernafas". Dia menyesalkan keangkuhan reduksionis sains menghapus segala yang spiritual dan misteri. Sebenarnya yang bisa diukur sains cuma sedikit saja. Lagipula tanpa yang transenden manusia mengkeret.1169 Alvin Toffler telah lama mengingatkan bahwa Amerika Serikat sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini muncul lebih 3000-an sekte. Mengapa? Kalau bukan kekecewaan dengan sekularisme dan usaha menggapai transenden. Sebab "Usaha menggapai makna kehidupan merupakan kekuatan motivasi terutama dalam diri seseorang".1170 Kapan saja, di mana saja dan siapa saja manusia akan mencari tahu "siapakah aku?" (signifikan). Selain itu dia akan mencari komunitas (where do I belong). Jikalau kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka alienasi dan krisis akan mendominasi.
Ada kerinduan akan sesuatu yang transenden, jauh di balik pengalaman keseharian. Tetapi sebutan apa yang kita berikan padanya? Sesuatu yang lebih besar dari segala yang kita miliki. Sebuah kerinduan. Setiap kerinduan manusia merupakan rambu penunjuk pada kebutuhan sungguhan yang pada gilirannya menunjuk pada objek sungguhan yang berkaitan dengan kerinduan tersebut. C. S. Lewis berkata bahwa kerinduan tersebut merupakan rambu petunjuk pada sumber pemuasan segala kerinduan yaitu Allah sendiri.
Buku atau musik yang disangka merupakan lokasi keindahan bisa menipu jikalau kita bergantung pada mereka: bukanlah pada mereka, tetapi hanya melalui merekalah, datang kerinduan tersebut. Hal-hal tersebut -- keindahan, memori masa lalu kita sendiri -- adalah citra bagus mengenai yang kita ingini sesungguhnya dirindukan mereka menjadi berhala bodoh dan menghancurkan hati penyembahnya. Karena mereka bukan kerinduan sendiri: hanya sekedar wanginya sekuntum bunga yang belum kita temukan, gaungnya sebuah nyanyian yang belum kita dengar, kabar dari negeri yang belum pernah dikunjungi.1171
Rasa lapar dan haus berkaitan dengan eksisnya makanan dan minuman. Bahaya manusia sekuler bukan karena dia tidak haus dan lapar akan kebenaran ilahi, tetapi dia tertipu dan menipu diri bahwa dia tidak haus dan lapar. Simone Weil menulis, "Bahayanya, yaitu bukanlah jiwa meragukan keberadaan roti, tetapi oleh tipu daya dia terbujuk bahwa dia tidak lapar. Ini hanya bisa terjadi oleh penipuan, karena realitas kelaparan jiwa bukanlah sebuah kepercayaan, tetapi sebuah kepastian.1172 Inilah namanya sekulerisme memberi batu kepada orang yang mencari roti kehidupan, tetapi Kristus memberi air hidup dan roti hidup yang berkelimpahan.
Absennya Allah dari kehidupan seseorang menjadikan dia bebas, tetapi sekaligus dia memikul tanggung jawab tidak terbatas. David Hume mengakui bahwa, Mula-mula aku takut dan dibingungkan oleh kesendirian menyedihkan akibat filsafatku." Sartre menyetujui bahwa lepas dari Allah mengakibatkan dia "bertanggung jawab secara total dalam kesendirian total." Kebebasan tanpa bentuk atau kebebasan tanpa batasan diinginkan manusia sekuler. Tetapi justru ini menjadi bumerang baginya. Itulah keadaan tersesat di lautan tanpa pantai. Sartre menyadari bahwa lepas dari Allah `manusia hanya segumpal nafsu tiada guna."1173
Karena itu Lord Byron mengeluhkan yang berikut ini tiga hari sebelum ulang tahun ketiga puluh enam:
kehidupanku tertulis di dedaunan kering,
bunga dan buah cinta telah lenyap,
cacing, kanker dan kematian sajalah bagianku!
Makna lenyap dari manusia sekuler akibat menolak Tuhan dalam kehidupannya. Kegelapan semakin pekat, makna semakin kabur dan individu semakin sekarat. Bahwa manusia tidak terasing secara metafisik tetapi secara moral harus disadari benar-benar. Kitab Suci menerangkan alienasi ini sebagai kejatuhan dan kedosaan (Kej 3; Rm 3:23). Artinya diagnosis Alkitab sangat relevan bagi manusia pada era globalisasi.
B. Allah Sangat Relevan
Menyangkali Allah dan wahyuNya ibarat melepaskan fondasi pijakan kehidupan serta menyampahkan sumber makna dan nilai kehidupan. Dalam sekularisme, tidak ada kohesi pengikat budaya dan makna pribadi. Manusia menjadi yatim piatu kosmos. Bukan saja celaka, tetapi sekaligus mencelakakan.1174 Dari segi fondasional itu, Kristen memberi alternatif terbaik.
Sekularisme gagal memuaskan kebutuhan transenden individu akibat mereduksinya menjadi materi yang terperangkap di sini. Reduksi ini bisa berlangsung sebentar. Manakala krisis memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting seperti apakah makna hidup ini, lumpuhlah sekularisme. Sekularisme menggapai yang mulia bagi manusia tanpa tempat pijak. Fondasi Kristen bukan saja memadai tetapi sekaligus menjamin keindahan proses menuju tercapainya panggilan tertinggi manusia. Sebaliknya, sekularisme berimplikasi nihilistik (ingat: waktu + materi + kebetulan = nol).
Kegagalan sekularisme menghadapi tuntutan transenden terlihat di negara-negara komunis di mana rakyat dipaksa tidak menjadi Kristen dengan todongan senapan. Mengapa demikian? Karena "doktrin-doktrin dasar komunisme tidak meyakinkan pikiran, dan tidak juga memuaskan emosi kaum intelek atau proletariat sekalipun."1175 John Stott menunjukkan akibat-akibat sekularisme lainnya, seperti di solusi dengan materialisme di Barat, proliferasi ajaran-ajaran sesat sekte-sekte rahasia dan epidemi penyalahgunaan obat bius.
Jikalau Allah tidak relevan maka orang lain harus mengambil tempatnya. Malcolm Muggeridge berkata bahwa sebagai gantinya "kalau bukan megalomania maka erotomania (gila seks) ... Hitler atau Hugh Hefner. Kalau bukan kekerasan tentu kenikmatan menjadi nilai dan tujuan tertinggi. Nietzsche berkata, "jikalau Allah mati, akulah Allah." Alternatif lain satu-satunya yaitu kesenanganisme (pleasure). Kalau Nietzche berkesimpulan "yang kuat yang benar, Freud melengkapi dengan kenikmatanlah yang benar. Tetapi keduanya terbukti substitusi yang sementara, lemah dan destruktif.
C. Perlunya Kembali ke Esensi-esensi Iman
Pertama, jelas diperlukan desekularisasi gereja. Dunia sekular dikoreksi gereja. Tetapi jika gereja menjadi sekular, dia tidak bisa menegur dunia. Bahwa gereja dalam dunia merupakan panggilan, tetapi dunia dalam gereja adalah celaka. Liciknya sekularisasi gereja dikarenakan bungkusan liturgis, bahasa, dan program selalu berkonotasi sakral. Tidak ada yang mencurigai. Padahal para pemimpin gereja bisa lebih materialistis dari dunia dengan mengatasnamakan Tuhan. Tujuan jasmani dengan kedok rohani.
Perlu diingatkan bahwa yang "lebih besar tidak selalu lebih diberkati". Penjara pun besar anggotanya. Bank-bank bernama bergedung dengan arsitektur luar biasa. Apakah gereja berlomba dengan dunia sekular? Di manakah kesederhanaan dan kerendahan hati, serta kekuatan moral yang dimiliki Yesus dan para rasul? Kita toh tidak ingin menuntaskan mandat spiritual dengan metode jasmani. Kembali kepada Firman yang bisa menguji komitmen pribadi dan komunitas, sembari menaruh tangan kita di tangan Kristus dan biarlah Dia yang memimpin kita di via dolorosa.
Kedua, orang Kristenlah antitesis sekularisme terampuh. Para sekularis seperti Feuerbach, Nietzsche, Marx dan lain-lain memprediksi matinya Kristen diganti naturalisme. Namun gagasan-gagasan mereka mati terkubur bersama mereka. Pintu neraka pun tidak dapat mengalahkan gereja Tuhan.
Sejak semula Kristen membangun iman sekaligus akal. Gereja tidak perlu berlari pada irasionalitas dan non personal. Gereja tidak saja beriman tetapi sekaligus berintegrasi dan berkredibilitas setelah diadili oleh mahkamah akal, sains, sejarah secara legal dan metode ilmiah lainnya. Iman Kristen bukan loncatan dalam kegelapan (bertentangan dengan pendapat Kiekegaard) tetapi melangkah dalam kerasionalan wahyu dan keilahian. Kebenaran wahyu tidak kontra dengan walaupun bukan produk akal. Iman Kristen tetap rasional dan bukan irasional. Kebenaran wahyu ini jikalau dipersonalisasikan merupakan antidot sekularisme yang paling manjur.
Orang Kristen eksis demi "memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya". Alternatif Kristen yaitu manusia bukan mesin karena menyandang citra Allah (Kej 1:26-28). Nilai manusia sebagai milik Allah dikarenakan penciptaan dan penebusan darah Kristus. Karena itu, manusia bukan alat untuk dipakai, tetapi objek kasih Allah. Sebaliknya, yang sekular mencintai kebendaan dengan menggunakan manusia. Karena itu, Kristen menekankan pentingnya hubungan pribadi dengan Tuhan dan sesama. Bukan penampilan, efektivitas serta efisiensi. Identitas individu bukan akibat efektivitas dan penampilannya, tetapi karena hakekat identitasnya sebagai makhluk sesuai gambar Allah bukan ditentukan aktivitasnya. Sekularisme materialis tidak memiliki dasar memadai untuk menghargai manusia demikian tinggi. Kalaupun relasi antar person ditekankan, itupun dalam bingkai kepentingan perusahaan. Manusia sekular dimengerti oleh relasi antara insan, atau dalam perspektif Alkitab, dimengerti berdasarkan keseragamannya dengan Allah. Jika sekularisme mereduksi manusia menjadi materi semata, agama Kristen memahami manusia sebagai kesatuan tubuh, jiwa dan roh secara utuh. Ketika C.S. Lewis ditanyai apakah yang akan dikatakannya manakala sebuah bom atom sedang jatuh di atas kepalanya, jawabnya, "Aku akan mengeluarkan lidahku dan berkata kepadanya: "Pooh, kamu cuma sebuah bom, tetapi aku ini makhluk imortal yang tidak akan mati." Manusia sekular tidak memiliki kepastian tersebut.
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Kontak | Partisipasi | Donasi