Mula-mula konsep kontekstualisasi muncul pada tahun 1971 ketika Theological Education Fund berpendapat bahwa kata indigeneous (pempribumian) tidak cukup untuk memberikan tanggapan yang bermakna terhadap Injil dalam hal hakikat inkarnasi Firman.
"Pada hakikatnya "pempribumian" cenderung dipakai sebagai tanggapan atas Injil dalam pengertian budaya tradisional. Kontekstualisasi, kendati tak mengabaikan hal tersebut, namun memperhitungkan unsur proses sekularitas, teknologi dan perjuangan untuk keadilan manusia, yang mencirikan momen historis negara-negara dunia ketiga."967
Selama 25 tahun yang baru berlalu ini, ahli-ahli misiologi dari pelbagai gereja memperbincangkan kontekstualisasi dan kegunaannya. Masih banyak orang Injili yang tidak senang dengan konsepnya. Mereka lebih senang memakai konsep lama, yaitu konsep indigenous (pempribumian) sebagai dasar perencanaan pemberitaan Injil dan church planting secara lintas budaya. Orang-orang injili masih belum menyetujui definisi umum sebab ada yang tidak senang dengan istilah kontekstualisasi yang lahir di kalangan orang oikoumene (baca: liberal). Di samping itu, mereka takut akan pengaruh antropologi yang diberi peranan penting dalam bidang misiologi. Akibatnya, kita masih berpisah jauh satu dari yang lain dan konsep-konsep kontekstualisasi cukup banyak, apalagi perencanaan-perencanaan untuk mendekatkan Injil pada budaya-budaya yang belum terjangkau.968
Dalam keadaan yang majemuk ini, kita menghadapi banyak macam cara kontekstualisasi. Yang penting bagi kita ialah suatu pegangan yang dapat mengikat kita pada landasan yang teguh. Bagi orang Kristen, pegangan ini disebut intisari Injil (gospel core).
Misalnya, Paulus menerangkan intisari Injil dalam Roma 1:1-5 dan 1 Korintus 15:1-6. Di dalam ayat-ayat tersebut telah tercatat pokok kepercayaan Kristen yang tidak boleh dihilangkan. Jika intisari Injil tidak jelas kita cenderung terseret jauh bilamana kita menerapkan Injil dan kekristenan pada budaya lain.

